Anda di halaman 1dari 3

BAB II PEDAGANG, PENGUASA DAN PUJANGGA PADA MASA KLASIK (HINDU DAN BUDDHA)

A. Pengaruh Budaya India


Letak wilayah Indonesia yang strategis dan merupakan daerah penghasil rempah-rempah membuat  indonesia sering di
kunjungi oleh bangsa-bangsa lain untuk melakukan perdagangan, salah satunya India. Bangsa India yang tadinya ke Indonesia
hanya bermaksud untuk berdagang ternyata membawa misi untuk menyebarkan agama.
Terdapat berbagai pendapat mengenai proses masuknya Hindu-Buddha atau sering disebut Hinduisasi. Berikut
merupakan teori-teori masuknya kebudayaan Hindu ke Indonesia :
1. Teori Brahmana
Teori ini mengatakan bahwa kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh para kaum brahmana. Para
brahmana mendapat undangan dari penguasa di Nusantara untuk mengajarkan agama kepada raja dan memimpin upacara-
upacara keagamaan.
 Tokoh yang mengemukakan pendapat tersebut adalah J.C. Van Leur. Ia perpendapat bahwa agama Hindu masuk ke
Indonesia di bawa oleh kaum brahmana, karena hanya kaum brahmana yang berhak mempelajari dan mengerti isi kitab suci
Weda. Pendapatnya ini juga berdasarkan pada pengamatannya terhadap sisa-sisa peninggalan kerajaan-kerajaan yang
bercorak Hindu-Buddha di Indonesia, terutama pada prasasti-prasasti yang menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf
Pallawa,dimana bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa itu hanya dimengerti oleh para brahmana. 
2. Teori Ksatria
Teori ini mengatakan bahwa kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh para kaum Ksatria atau para prajurit.
Tokoh yang mengemukakan pendapat tersebut adalah  F.D.K. Bosch. Menurut Teori ksatria, jaman dulu di India sering terjadi
perang. Kemudian para prajurit yang kalah banyak yang pergi meninggalkan India. Banyak diantara mereka pergi ke wilayah
nusantara. Mereka inilah yang kemudian menyebarkan agama dan kebudayaan hindu di wilayah nusantara. .
3. Teori Waisya
Teori ini mengatakan bahwa agama Hindu yang masuk ke Indonesia di bawa oleh para pedagang India yang
berdagang di Indonesia dan kemudian mengajarkan ajaran agama Hindu kependuduk setempat. Tokoh yang mengemukakan
pendapat tersebut adalah N.J. Krom. Menurut NJ. Krom, proses terjadinya hubungan antara India dan Indonesia karena
adanya hubungan perdagangan, sehingga orang-orang India yang datang ke Indonesia sebagian besar adalah para
pedagang.
4. Teori Arus Balik
 Teori ini mengatakan bahwa agama Hindu yang masuk ke Indonesia dibawa oleh para pelajar (orang Indonesia) yang
belajar atau mendalami agama Hindu di India kemudian setelah mereka menempuh pendidikan. Lalu mereka pulang dan
mengajarkan (menyebarluaskan) ajaran Hindu kepada penduduk setempat.
Teori ini di kemukakan oleh F.D.K Bosch. Ia mengemukakan peranan bangsa Indonesia sendiri dalam penyebaran
dan pengembangan  agama hindu. Penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh kaum terdidik.

B. Kerajaan-Kerajaan pada Masa Hindu-Buddha


1. Kerajaan Kutai
Sejarah
Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti  sejarah tertua. Kerajaan ini
terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam.
Yupa
Yupa atau prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa di Kerajaan
Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tiang untuk menambat hewan yang akan dikorbankan. Dari salah
satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat
dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Mulawarman
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental
dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kudungga adalah pembesar dari Kerajaan
Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kudungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.
Aswawarman
Aswawarman adalah Anak Raja Kudungga.Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi
gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah
Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman,
Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur.
Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing,
hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.

Berakhir
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan
Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura)
berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai
Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya
menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

2. Kerajaan Tarumanegara
Sumber Sejarah
Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan
penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian,
sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu
di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh
Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru
Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan
Salakanagara.
Prasasti yang ditemukan
 Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi        milik Jonathan
Rig, Ciampea, Bogor.
 Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi,
sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga
oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12km oleh Purnawarman pada
tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana
alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada
musim kemarau.
 Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak,
Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian   kepada Raja Purnawarman.
 Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor ditemukan pada aliran Ci Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai
tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini
peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sanskerta.
 Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
 Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu   peninggalan
Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini
mengalir (sungai) Cikasungka.
 Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
 Prasasti Telapak Gajah
 Prasasti Jambu di daerah Bogor,

3. Kerajaan Kalingga
Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa
Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini berada di antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten
Jepara sekarang. Tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada
abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah
ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah
oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.

Kisah lokal
Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang menjunjung tinggi
prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima
yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman
yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan
mendengar mengenai kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia
meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani
menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra
mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya, dewan
menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang
yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong kakinya

4. Kerajaan Sriwijaya
Catatan Sejarah
Sriwijaya merupakan kerajaan yang bercorak agama Budha. Raja yang pertamanya bernama Sri Jaya Naga,
sedangkan raja yang paling terkenal adalah Raja Bala Putra Dewa.
Letaknya yang strategis di Selat Malaka (Palembang) yang merupakan jalur pelayaran dan perdagangan
internasional.Keadaan alam Pulau Sumatera dan sekitarnya pada abad ke-7 berbeda dengan keadaan sekarang.
Sebagian besar pantai timur baru terbentuk kemudian. Oleh karena itu Pulau Sumatera lebih sempit bila dibandingkan
dengan sekarang, sebaliknya Selat Malaka lebih lebar dan panjang. Beberapa faktor yang mendorong perkembangan
kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan besar antara lain sebagai berikut :
 Kemajuan kegiatan perdagangan antara India dan Cina melintasi selat Malaka, sehingga membawa keuntungan
yang besar bagi Sriwijaya
 Keruntuhan Kerajaan Funan di Vietnam Selatan akibat serangan kerajaan Kamboja memberikan kesempatan bagi
perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim (sarwajala) yang selama abad ke-6 dipegang oleh kerajaan
Funan.
Budaya dan Perdagangan
Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M. Masyarakat yang kompleks
dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya.
Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati
peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga
Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan
keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa
Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai
dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti
yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana
penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa
Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.
Meskipun memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan
purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat
kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu,
dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi
Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit,
candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi,
Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan
keanggunan dan langgam yang sama yang disebut “Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang
memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar
abad ke-8 sampai ke-9).
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan
penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas
seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya
sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-
vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara,
dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok,
Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan
India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan
jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Selain menjalin hubungan dagang
dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab.

Anda mungkin juga menyukai