Anda di halaman 1dari 3

Peran Pers Dalam Pemilu dan Pilkada

Risko Mardianto.

Pasal 28 UUD 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan mengakui hal itu. Pers yang meliputi media cetak, elektronik dan media
lainnya merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan maksud tersebut.

Agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan dalam pasal tersebut maka
dibentuklah Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers dengan fungsi maksimal sebagai
salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Pers juga berfungsi melaksanakan kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan baik berupa korupsi, kolusi, nepotisme maupun penyelewengan dan penyimpangan
lainnya.

Banyaknya kecurangan dan dugaan konsprirasi dalam penyelenggaraan tahapan pemilu hingga
pemilihan umum itu selesai maka pers ditntut untuk terlibat memberikan informasi kepada
publik agar amanah yang akan diberikan oleh publik benar – benar tepat.

Sesuai dengan ketentuan regulasi yang ada bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak azasi
warga Negara maka kemerdekaan ini harus disertai pula dengan kesadaran akan pentingnya
supremasi hukum yang dijunjung tinggi semua pihak, tanggung jawab profesi yang dijabarkan
dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.

Karena, ketentuan Pasal 6 UU No. 40/1999 menyebutkan, pers mempunyai kewajiban memberi
informasi yang benar kepada masyarakat agar masyarakat mendapatkan informasi yang
berimbang, tepat, benar dan akurat. Jika hal ini tidak dilakukan maka akan menimbulkan
misscomunication dimasyarakat, dan sudah pasti bertentangan dengan semangat dari UU pers itu
sendiri khususnya pasal 3 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No.40 Tahun1999.
Selain tuntutan profesi sebagai mata dan telinga publik, peran pers ataupun media massa menjadi
elemen penting penyalur informasi dari penyelenggara Pemilu dan Pilkada. Bahkan, pers
terkadang menjadi sumber inspirasi bagi pemegang kebijakan, dalam mengambil langkah
strategis dan signifikan.

Salah satu prioritas penting Bawaslu, sesuai dengan UU No.15 Tahun 2011 tentang
penyelenggara Pemilu yaitu, mengutamakan strategi pencegahan untuk meminimalisasi
pelanggaran dari pada melakukan penindakan pelanggaran itu sendiri. Pencegahan hanya dapat
dilakukan dengan peran pers di dalamnya. Berbagai macam informasi yang disampaikan media
massa, akan membuat khalayak semakin peduli pada pelaksanaan Pemilu. Dengan kepedulian
tersebut, maka akan muncul partisipasi aktif masyarakat, terutama untuk mencegah adanya
pelanggaran pemilu.

Saking pentingnya pers dalam mengawal pemilu maka saat kita memperbincangkan pers dan
pemilu atau membicarakan pers dalam perspektif pemilu maupun sebaliknya, sama artinya kita
sedang mendiskusikan arah, kebijakan serta “nasib” bangsa dan negara tercinta ini di masa
depan. Berdasarkan amanat konstitusi, pemilu telah menjadi simbol pelaksanaan pesta demokrasi
lima tahunan tersebut yang diharapkan mampu menjembatani aspirasi murni rakyat “badarai”.
Sejalan dengan hal itu, pada sisi lain, beberapa peran strategis pers dalam kaitannya dengan
kesuksesan pesta demokrasi lima tahunan dan tercapainya iklim demokrasi yang kondusif dan
matang serta berkeadilan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peran strategis itu antara lain :

1. Sarana Pendidikan Politik


Tidak dapat dipungkiri bahwa pers memegang peranan yang sangat penting terutama dalam
kaitannya dengan upaya pencerahan dan pencerdasan masyarakat, khususnya pada bidang sosial
dan politik. Karena kita sangat memahami, bahwa sejatinya pendidikan politik bukan saja
menjadi “domain” atau tugas pertama dan utama partai politik; baik fungsionarisnya, kadernya
maupun simpatisannya. Melainkan ada “ruang kosong” sebagai wilayah terbuka yang patut dan
pantas dikelola oleh segenap insan pers secara objektif, proporsional dan profesional.

Pendidikan politik dimaksud, tidak saja berbicara berkenaan dengan pemenuhan “hak” setiap
warga negara untuk “memilih ataupun dipilih”. Tidak juga sekadar untuk memberitahukan
masyarakat terkait siklus Pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali tersebut. Lebih
jauh dari itu, pendidikan politik yang diusung oleh pers bertujuan untuk memberikan kesadaran
dini kepada setiap individu sebagai Warga Negara yang telah memenuhi “persyaratan yuridis”
tentang pentingnya berpartisipasi aktif dan berkontribusi positif di dalam setiap “momentum
emas” kehidupan berdemokrasi itu.

Mengapa demikian? Karena “alam” demokrasi di negeri ini, dibangun di atas dasar
permusyawaratan dan perwakilan serta persatuan dan kesatuan semua “elemen dasar” bangsa ini
demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosil bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Sarana Sosialisasi dan Promosi


Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pemilu menjadi ajang “test case” atau uji kelayakan bagi
setiap partai politik hingga calon anggota legislatif di Pusat dan Daerah untuk mengukur
popularitas, elektabilitas dan bahkan akseptabilitasnya masing-masing di tengah-tengah
masyarakat. Dalam hal ini, pers memiliki ranah yang sangat luas untuk membantu
mensosialisasikan dan mempromosikan cita-cita para calon sebagai pertimbangan untuk ikut
dalam kompetisi lima tahunan itu.

Kampanye melalui pers juga diyakini akan memberi manfaat signifikan bagi tersebarluaskannya
visi, misi, program kerja, karakteristik dan “rekam jejak” masing-masing partai politik dan para
calon tersebut secara “gradual” dan massif.
3. Sarana Kontrol Sosial Demokrasi
Hampir semua penduduk di Negeri ini sudah sangat memahami dan memaklumi bahwa ajang
perhelatan demokrasi bersiklus lima tahunan ini; menggelontorkan biaya tinggi dan melibatkan
sumber daya yang sangat banyak serta beragam. Bahkan, pada beberapa daerah tertentu,
ditengarai sering berpotensi terjadinya konflik sosial hingga isu SARA (Suku, Adat, Agama dan
Ras). Oleh karenanya, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan serius dari semua pihak
termasuk insan pers, untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu
serentak. Ibarat kata pepatah Minang, pada saatnya nanti jangan sampai terjadi kondisi “pitih
abih samba tak lamak” alias sia-sia.

Sebagai salah satu sarana alternatif kontrol sosial dalam upaya penataan kehidupan berdemokrasi
di Negeri yang telah berdaulat semenjak 17 Agustus 1945 lalu, secara lebih spesifik, insan Pers
dituntut untuk tetap kritis terhadap masih adanya upaya provokasi, intimidasi dan praktek
“politik uang” hingga jual beli suara serta kemungkinan adanya pelanggaran atau kelalaian yang
dilakukan oleh “lembaga penyelenggara” Pemilu tersebut atau bahkan oleh peserta Pemilu pada
setiap tingkatannya.

Ibarat wasit di tengah pertandingan olahraga, pers mestilah menjadi “juru penengah” yang benar-
benar adil dan konsisten. Sebab, sebagai juri atau pengadil, tentunya pers juga tidak boleh
terlibat langsung di dalam permainan yang sedang “berkecamuk”.

Hal ini untuk memastikan bahwa prosesi monitoring, evaluasi dan kontrol sosial yang dilakukan
oleh pers terhadap dinamika “pesta politik rakyat” nan ritual itu berjalan dengan akurasi dan
presisi yang tinggi serta tanpa tekanan dari pihak manapun. Jika pers sebagai media
“mainstream” telah memainkan perannya dengan baik dan bertanggung jawab, maka dapat
dipastikan bahwa pemilu yang memiliki jargon Luber serta Jurdil itu akan menghasilkan para
pemimpin dan pengemban amanat rakyat yang memiliki integritas dan kompetensi yang sangat
memadai untuk menjalankan pemerintahan yang bersih, baik dan melayani sepenuh hati. **
Risko Mardianto, SH

Anda mungkin juga menyukai