Anda di halaman 1dari 35

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU PERKOSAAN

BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA

Oleh:
Bambang Heri Supriyanto
Fakultas Hukum Universitas Azzahra, Jakarta
Email: cri1_one@yahoo.com

ABSTRAK

Perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan kejahatan perkosaan adalah


merupakan keharusan dimana anak merupakan aset keberhasilan peradaban
bangsa dan negara dimasa depan, karenanya dalam menyikapi tindak kejahatan
yang dilakukan oleh anak, dalam pelaksanaannya jangan disamakan dengan orang
dewasa. Seyogyanya permasalahan anak menjadi perhatian semua bagian
masyarakat utamanya pemerintah baik dengan kebijakan maupun dalam
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh Negara selaku
penyelenggara amanah rakyat. Anak yang melakukan kejahatan bukan mutlak
kesalahan dirinya namun dikarenakan faktor-faktor pendorong baik dari dalam
maupun dari luar dirinya. Maka penulis mencoba menjabarkan permasalahan
diantaranya; berkenaan dengan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku
perkosaan, kemudian penerapan hukum terhadap anak sebagai pelaku perkosaan
berdasarkan perundang-undangan yang berkenaan dengan anak selanjutnya
pandangan hukum islam mengenai perlindungan anak pelaku perkosaan.
Disimpulkan faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya kejahatan perkosaan,
faktor internal; umur dilihat dari fisik, psikis dan sosiologis dan faktor eksternal;
bacaan atau film pornografi, keluarga, kesempatan, paling dominan krisis nilai-
nilai agama dan moral, ekonomi, dll. Anak sebagai pelaku kejahatan kesusilaan
ini memerlukan dan mempunyai hak dengan dasar hukum (legal rigths) sebagai
bentuk hak asasi manusia. Perlindungan hukum sebagai dasar penyembuhan fisik,
kejiwaan dan memulihkan kembali hak anak yang seharusnya dimilikinya. dalam
hukum Islam mempunyai aturan yang jelas, kedudukan anak dalam hukum Islam
merupakan amanah yang harus dijaga orang tuanya. Kewajiban untuk
mendidiknya hingga berperilaku sebagaimana yang dituntun dalam agama. Jika
terjadi penyimpangan dalam tingkah laku anak, Islam dalam keadaan tertentu
masih memberi kelonggaran ketidakberdosaan “raf’ul qalam” seorang anak
hingga mencapai akil baligh.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Anak, Perkosaan

ABSTRACT

The Legal protection of children who commit the crime of rape is imperative that
children are the assets of civilization and the country's success in the future,
hence in addressing the crimes committed by children, in practice should not be
confused with an adult. Problems of children should be the primary concern of all
sections of society with good government policy and the implementation of the
148 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

laws that have been made by the State as the organizer of the mandate of the
people. Children who commit crimes is not absolute fault itself but because of the
factors driving both from within and from outside. The author tried to explain the
problems are; with regard to the legal protection of children as perpetrators of
rape, then the application of the law against children as perpetrators of rape
based on legislation relating to child views subsequent Islamic law regarding the
protection of child rape. Concluded the factors of the background of the crime of
rape, internal factors; age seen from the physical, psychological and sociological
and external factors; reading or pornographic movies, family, opportunity, most
dominant crisis of religious values and morals, economics, etc. Children as
perpetrators of this decency and has a right to require a legal basis (legal rights)
as a form of human rights. Legal protection as a basis of physical healing,
psychological and restore the rights of children are supposed possession. Islamic
law has clear rules, the position of the child in Islamic law is a mandate that
should be kept by parents. The obligation to educate him to behave as guided in
religion. If there are deviations in the child's behavior, Islamic under certain
circumstances still gives leeway innocence "raful qalam" of a child until it
reaches puberty.

Keywords : Legal Protection, Child, Rape

PENDAHULUAN
Tidak ada yang dapat menafikan bahwa anak adalah aset bangsa. Sebagai
bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis, yakni sebagai pewaris
(successor) bangsa, penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus potensi sumber
daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak merupakan pewaris dan penentu
kemajuan suatu peradaban di masa yang akan datang oleh karenanya dalam
mengelola dan menyiapkan seyogyanya harus dilakukan dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai budi pekerti yang arif dan bijaksana (El Muhtaj, Majda Zuhdi
Manik (Ed.), 1999, 19).
Pada akhir abad ke-19, kriminalisasi yang dilakukan oleh anak dan remaja
semakin meningkat, sehingga dalam menghadapi fenomena tersebut diperlukan
penanganan terhadap pelaku kriminal anak disamakan dengan pelaku kriminal
orang dewasa. Hal ini merupakan suatu konsekuensi dari hukum yang ada pada
saat itu belum memiliki aturan khusus yang mengatur tentang anak yang
berhadapan dengan hukum atau anak pelaku tindak pidana.
Dalam perkembangan selanjutnya, di berbagai negara dilakukan pula
usaha-usaha ke arah perlindungan anak termasuk dengan dibentuknya pengadilan
anak (Juvenile Court) yang pertama di Minos, Amerika Serikat pada tahun 1889,
Perlindungan Hukum Terhadap… 149

dimana undang-undangnya didasarkan pada asas ‘parents patriae’, yang berarti


bahwa penguasa harus bertindak apabila anak-anak membutuhkan pertolongan,
atau dengan kata lain apabila anak dan pemuda melakukan kejahatan sebaiknya
tidak diberi pidana melainkan harus dilindungi dan diberikan bantuan.
Justifikasi konstitusional melindungi anak sebagai urusan utama berbangsa
dan bernegara, tertuang dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 secara ekplisit telah
menegaskan hak-hak konstitusional anak yang berbunyi, “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, dan perlindungan dari berbagai
bentuk kekerasan dan diskriminasi”. Negara Republik Indonesia secara
konstitusional telah eksplisit mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak
konstitusional anak, yakni:
a. hak atas kelangsungan hidup;
b. hak atas tumbuh dan berkembang, dan;
c. hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi orang dewasa baik orang tua,
keluarga, masyarakat maupun bangsa untuk memberikan jaminan, memelihara
dan mengamankan kepentingan anak serta melindungi dari gangguan yang datang
dari luar maupun dari anak itu sendiri. Yang pada kenyataannya hal tersebut
masih belum diutamakan jika tidak dikatakan hanya sekedar melaksanakan
prosedur formal yuridis. (Asnifriyanti, 2008, 26)
Sepanjang dunia ini tidak sepi dari anak-anak, selama itu pula masalah
anak akan selalu dibicarakan. Perhatian akan perlunya perlindungan khusus bagi
anak berawal dari deklarasi Jenewa tentang hak-hak anak tahun 1924 yang diakui
dalam Universal Declaration of Human Right tahun 1958. Bertolak dari itu
kemudian pada tanggal 20 November 1958 Majelis Umum PBB mengesahkan
Declaration Of Rigths of The Child (Deklarasi Hak Anak), sementara itu masalah
anak terus di bicarakan dalam kongres-kongres PBB mengenai The Prevention Of
Crime and the Treatment Of Offenders. (Kunarto, 2005, 40)
Pada kongres ke-I di Jenewa tahun 1955 dibicarakan topik Prevention of
Juvenile Delinquency. Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali
mengeluarkan pernyataan mengenai hak-hak yang merupakan Deklarasi
International ke dua bagi hak anak. Tahun 1989, rancangan konvensi hak anak
150 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir tesebut disahkan dengan suara
bulat oleh majelis umum PBB tanggal 20 November. Kovenan ini kemudian
diratifikasi oleh setiap bangsa kecuali oleh Somalia dan Amerika Serikat.
Dalam pasal 16 ayat (1) Konvensi Hak Anak disebutkan bahwa tidak ada
seorang pun anak yang dikenai campur tangan semena-mena atau tidak sah
terhadap kehidupan pribadinnya, keluarga, rumah atau surat menyurat, atau
mendapat serangan tidak sah atas harga diri dan reputasinya. Selanjutnya ayat (2)
disebutkan bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dari
campur tangan atau serangan semacam itu. Dapat ditarik pengertian bahwa anak
berhak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan
pribadi, keluarga, rumah dan surat menyurat serta fitnah. (Nursyahbani
Katjasungkana, 21, 2007)
Adapun kesejahteraan Anak itu sendiri menurut Arif Gosita adalah “hak
asasi anak yang harus di usahakan bersama baik oleh keluarga maupun
masyarakat dimana seorang anak itu berada dan berkembang secara fisik, mental,
sosial sehingga menjadi manusia seutuhnya yang berakhlak dan berbudi pekerti
yang luhur”. Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan bergantung pada partisipasi
yang baik antara objek dan subjek dengan seimbang dan selaras sesuai dengan
perkembangan dan pertumbuhan anak yang bertujuan, yaitu sesuai dalam
kesejahteraan anak. (Arief Gosita, 2003, 58)
Ini berarti bahwa setiap anggota masyarakat dan pemerintah berkewajiban
ikut serta dalam pengadaan kesejahteraan anak dalam suatu masyarakat yang
merata akan membawa akibat yang baik pada keamanan dan stabilitas suatu
masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi pembangunan yang sedang
diusahakan dalam masyarakat tersebut. Atas dasar pertimbangan tersebut,
pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Disebutkan dalam pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor
23 tahun 2002 bahwa yang dimaksud dengan Perlindungan Anak adalah: segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. (UU No 23 tahun 2002)
Perlindungan Hukum Terhadap… 151

Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin


pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan
seimbang. Pelaksanaan pembinaan dan perlindungan anak butuh dukungan, baik
menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang memadai ketika
perbuatan jahat telah terjadi dan dilakukan oleh anak tersebut serta berhasil
ditangkap oleh pihak yang berwajib, disaat itu pula hukum diperlakukan kepada
mereka dan anak sebagai pelaku kejahatan yang di hadapkan kepada hukum
akibat perbuatan melanggar yang mereka lakukan.
Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pengadilan Anak
merupakan Undang-undang pengganti Undang-Undang sebelumnya yaitu
Undang-Undang Pradilan anak tahun 1997, merupakan hukum formil yang
dipergunakan dalam memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi anak yang
melakukan kejahatan. Menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Anak sebagai
hukum formil yang dikategorikan anak adalah Pasal 1 angka 2 dan 3 menyatakan,
Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan
hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi
tindak pidana. Selanjutnya angka 3 berbunyi Anak yang Berkonflik dengan
Hukum, yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
Dalam menyelesaikan perkara anak, hakim wajib mempertimbangkan
laporan hasil penelitian kepada masyarakat mengenai data pribadi maupun
keluarga dari anak yang bersangkutan. Putusan Hakim mempengaruhi kehidupan
selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu hakim harus yakin benar
bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk
mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk
mengembangkan dirinya sebagai anak yang bertanggung jawab bagi dirinya,
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis dapatlah dikemukakan
beberapa pokok permasalahan sebagai berikut;
a. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku
perkosaan yang terdapat dalam perundang-undangan di Indonesia
152 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

berkenaan dengan anak?


b. Bagaimana penerapan hukum terhadap anak sebagai pelaku perkosaan
berdasarkan perundang-undangan tentang peradilan anak?
c. Bagaimana pandangan hukum islam mengenai perlindungan anak
sebagai pelaku perkosaan?

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN, MODUS OPERANDI FAKTOR KEJAHATAN
PERKOSAAN
1. Pengertian Arti Defenisi Kejahatan Perkosaan
Perkosaan termasuk dalam kejahatan, kekerasan, kekerasan seksual dan
juga merupakan hak asasi perempuan yang diinjak-injak. Perlu diketahui misalnya
dalam perpektif masyarakat pada lazimnya bahwa kejahatan seksual itu
bermacam-macam, seperti perzinahan, homoseksual, samen leven (kumpul kebo),
lesbian, protitusi (pelacuran), pencabulan, perkosaan promiskuitas (hubungan
seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti
pasangan). (A Wahid dan M. Irfan, 2001, 25)
Pada dasarnya perkosaan adalah bentuk kekerasan primitif yang kita
semua tahu terdapat pada masyarakat manapun. Gejala sosial perkosaan
merupakan salah satu tantangan yang harus dipikirkan secara serius. Sepintas
kasus perkosaan tidak lebih istimewa dari kasus kekerasan lainnya, atau kalaupun
jadi istimewa dari kasus kekerasan lainnya, biasanya dengan perkosaan diikuti
dengan pembunuhan. Ini mungkin menyangkut cara pandang orang tentang
perkosaan.

2. Macam, Karakteristik dan Modus Operandi Perkosaan


a. Macam Perkosaan
Saat ini istilah “perkosaan” cukup sering digunakan untuk suatu tindakan-
tindakan atau perbuatan-perbuatan tertentu yang modusnya merugikan orang dan
melanggar hak-hak asasi manusia, seperti “perkosaan” hak-hak sipil, “Perkosaan”
ekologis (lingkungan hidup), “perkosaan” terhadap harkat kemanusiaan dan
lainnya. Sedangkan memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan,
Perlindungan Hukum Terhadap… 153

menggagahi, melanggar dengan kekerasan. Tindakan ini dianggap melanggar


hukum yang berlaku.
Menurut Kamus Besar Indonesia itu menunjukkan bahwa unsur utama
yang melekat pada tindakan perkosaan adalah perilaku kekerasan yang terkait
dengan hubungan seksual, yang dilakukan dengan jalan melanggar hukum.
Artinya tidak selalu kekerasan yang terkait dengan hubungan seksual dapat
dikategorikan sebagai perkosaan.
Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang
lelaki terhadap seorang perempuan dengan menurut moral dan/atau hukum yang
berlaku melanggar. Dalam pengertian seperti ini, yang disebut perkosaan, di satu
pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (ialah perbuatan seseorang yang
secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya), dan di lain pihak dapatlah
dilihat pula sebagai suatu peristiwa (ialah pelanggaran norma-norma dan dengan
demikian juga tertib sosial).
Menurut Suagandhi, mengenai perkosaan adalah “seorang pria yang
memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan
dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria
telah masuk ke dalam kemaluan seorang wanita yang kemudian mengerluarkan air
mani. Adapun unsur-unsur kelengkapanya tentang perkosaan adalah:
a. Pemaksaan bersetubuh oleh laki-laki kepada wanita yang bukan menjadi
istrinya
b. Pemaksaan bersetubuh itu diikuti dengan tindak atau ancaman kekerasan
c. Kemaluan pria harus masuk pada lubang kemaluan wanita, dan
d. Mengeluarkan air mani.

Mengenai macam-macam jenis perkosaan dapat diklasifiksikan sebagai


berikut di bawah ini:
1. Sadistic Rape ialah perkosaan sadistis, artinya, pada tipe ini seksualitas
dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah
nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya,
melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan
tubuh korban.
154 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

2. Anger Rape ialah yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas


menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram
dan marah yang tertahan. Tubuh korban seakan-akan merupakan objek
terhadap siapa pelaku yang memperoyeksikan pemecahan atas prustasi-
prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
3. Dononation Rape ialah yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku
mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban.
Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun
tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.
4. Seduktive Rape ialah perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang
merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban
memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai
sejauh kesenggaman. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan
membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa
bersalah yang menyangkut seks.
5. Victim Precipitatied Rape ialah yakni perkosaan yang terjadi
(berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
6. Exploition Rape ialah perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap
kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki
dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita
yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial.

b. Karakteristik Perkosaan
Adapun karakteristik utama (khusus) tindak pidana perkosaan yaitu
ekspresi seksual agresivitas (sexual expression ofaggression). Artinya,
perwujudan keinginan seks yang dilakukan secara agresif, bersifat menyerang
atau memaksa lawan jenis (pihak) lain yang dapat dan dianggap mampu
memenuhi kepentingan nafsunya. Karakteristik umum tindak pidana perkosaan
adalah :
1. Agresivitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak pidana
perkosaan.
2. Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi
Perlindungan Hukum Terhadap… 155

seksual semata-mata.
3. Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung
masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu.
4. Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu ;
a. anger rape,
b. power rape dan sadistis rape,
c. direduksi dari anger and violation, control and domination,
erotis.
5. Ciri pelaku perkosaan : mispersepsi pelaku atas korban, mengalami
pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta terasing
dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional.
6. Korban perkosaan adalah partisipatif. Menurut Meier dan Miethe, 4 -
19% tindak pidana perkosaan terjadi karena kelalaian (partisipasi)
korban.
7. Tindak pidana perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan. Di antara
karakteristik perkosaan itu, ciri kekerasan dan sulitnya dilakukan
pembuktian tampaknya perlu mendapatkan perhatian utama.
Kekerasan yang menimpa korban bukan hanya berdampak merugikan
ketahanan fisiknya namun juga ketahanan psikologisnya. Kondisi buruk yang
membuat korban tidak berdaya ini dapat berdampak buruk lebih lanjut pada
persoalan penegakan hukumnya.

c. Modus Operandi Perkosaan


Setiap kejahatan yang terjadi atau dilakukan secara individual maupun
kelompok, terutama yang direncanakan, tentulah didahului oleh suatu modus
operandi. Modus operandi inilah yang menjadi fokus pembahasan dari kasus
perkosaan yang terjadi. Modus operandi kejahatan perkosaan ini biasanya
menunjukkan cara-cara pemaksaan kehendak, pengancaman dan kekerasan. Di
samping perkosaan itu sendiri termasuk kejahatan yang berkarakter kekerasan,
modus operandi yang dilaksanakan juga mengandung kekerasan. Suatu perbuatan
dikatakan perkosaan apabila salah satunya terdapat unsur kekerasan atau ancaman
kekerasan di dalamnya. Suatu cara atau upaya demikian biasanya dapat pula
disebut sebagai modus operandi. Modus Operandi adalah teknik atau cara-cara
156 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

beroperasi yang dipakai oleh pelaku. (R. Soesilo, 1980, 19)


Tiap-tiap pelaku kejahatan dalam melakukan kejahatannya menggunakan
cara yang beraneka ragam, khusus dan antara cara yang satu dengan pelaku yang
lain biasanya tidak sama. Modus operandi suatu perbuatan dapat dilakukan
dengan satu perbuatan atau lebih, bahkan merupakan kombinasi dari beberapa
perbuatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi modus operandi dilatarbelakangi oleh
pelaksanaan kehendak dan beberapa faktor lain. Semua kejahatan dilatar-
belakangi oleh 2 faktor, yaitu :
1. kesempatan (opportunity) berupa kebetulan atau diciptakan dan
2. kebutuhan (need) yang sebenarnya atau diimpikan.
Kedua faktor ini ditingkatkan menjadi aksi atau paksaan yang didasarkan
pada keinginan (desire) apakah normal atau abnormal. Korban perkosaan
merupakan praktek kekerasan yang dilakukan oleh pelaku. Pihak pemerkosa telah
menggunakan ancaman dan kekerasan (paksaan) untuk menundukkan korban.
Korban dibuat takut sehingga tidak berani melawan, atau dibuat tidak berdaya
sehingga mau mengikuti kehendak pelaku.
Derita korban bisa lebih parah dibandingkan kalau perkosaan yang
menjadi tujuannya. Sebab, bukan tidak mungkin kekecewaan yang tidak tercapai
yang dilakukan oleh pelaku dapat membuatnya berlaku lebih nekat dan sadis
dengan membunuh korbannya. Oleh karena itu, kalau dikonklusikan, modus
operandi perkosaan setidak-tidaknya sebagai berikut:
1. diancam dan dipaksa,
2. dirayu,
3. dibunuh,
4. diberi obat bius,
5. diberi obat perangsang,
6. dibohongi atau diperdaya dan lainnya.
Modus operandi perkosaan seperti itu sangat mungkin di kemudian hari
dapat berkembang dan dapat bermodus operandi lainnya. Karena, modus operandi
kejahatan itu, selain terkait dengan posisi korban atau objek yang menjadi
sasarannya, juga terkait dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan
Perlindungan Hukum Terhadap… 157

politik yang terjadi dan bergolak di tengah masyarakat. Hal ini sama dengan suatu
adagium yang menyebutkan “semakin maju suatu masyarakat, maka semakin
maju pula perkembangan kejahatannya”. Artinya, ada saja jenis dan modus
operandi baru di dunia kejahatan, karena beradaptasi dengan perkembangan yang
ada.

3. Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan


Secara teoritis, banyak faktor penyebab terjadi aksi kejahatan, termasuk
kejahatan perkosaan. Namun tentu dimensi yang paling dominan adalah terjadi
krisis nilai-nilai agama dan moral, yang secara lahiriah dan batiniah merupakan
batasan bagi seorang manusia untuk bertindak dan bersikap. Bila manusia tidak
lagi mematuhi nilai-nilai agama tersebut maka yang bersangkutan bertindak
seperti binatang, bahkan mungkin lebih buruk. Buktinya, seorang bapak tega
memperkosa anak kandungnya sendiri, atau seorang pemuda memperkosa dan
membunuh anak berumur lima tahun.
Ditengah kondisi ekonomi dan budaya seperti ini, memang sangat besar
peluang orang untuk melupakan nilai-nilai agama dan moral, “Budaya” minum
alkohol, narkoba, dan judi, menjadi peluang utama terjadinya tindak kejahatan,
karena yang demikian itu menghilangkan pikiran sehat seseorang. Sehingga apa
yang dilakukannya lebih banyak dikendalikan nafsu, bukan akal sehat. Kondisi
tersebut semakin parah, bila memang dalam diri orang tersebut jauh dari nilai-
nilai agama.
Di suatu daerah, biasanya peran tokoh masyarakat dan tokoh agama sangat
penting dalam mempengaruhi tindakan masyarakat, termasuk menyadarkan pada
orang tua pentingnya menanamkan sejak dini nilai-nilai agama dan moral kepada
anak-anak. Disamping ini penyebab terjadinya kriminalitas, pencurian dan
perampokan dari aspek sosial dan psikologis adalah faktor endogen dan eksogen.
Faktor endogen adalah dorongan yang terjadi dari dirinya sendiri, seperti
suatu kebenaran relatif itu bisa menciptakan suatu sikap mempertahankan
pendapatnya, diri, atau egosentris dan fanatis yang berlebihan. Jika seseorang
tidak bijaksana dalam menanggapi masalah yang barangkali menyudutkan dirinya,
maka kriminalitas itu bisa saja terjadi sebagai pelampiasan untuk menunjukkan
bahwa dialah yang benar. Sementara faktor eksogen adalah faktor yang tercipta
158 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

dari luar dirinya, faktor inilah yang bisa dikatakan cukup kompleks dan bervariasi.
Kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, dsb. Semua itu
merupakan contoh penyebab terjadinya tindak kriminal yang berasal dari luar
dirinya. (Bimo Walgito, 1997, 45)
Pengaruh sosial dari luar dirinya misalnya, ajakan teman, tekanan atau
ancaman pihak lain, minum-minuman keras dan obat-obatan terlarang yang
membuat ia tidak sadar. Pengaruh ekonomi misalnya karena keadaan yang serba
kekurangan dalam kebutuhan hidup, seperti halnya kemiskinan memaksa
seseorang untuk berbuat jahat. (Bimo Walgito, 1996, 57)
Dampak dari kriminalitas itu tidak saja merugikan individu itu sendiri dan
orang lain melainkan akan melahirkan atas kejahatan dan antitesa kejahatan yang
baru serta berkelanjutan. Secara konsepsual usaha pembinaan terhadap pelaku
kejahatan adalah dengan memasukkan unsur-unsur yang terkait dengan
mekanisme peradilan pidana dan partisipasi masyarakat antara lain: (P. Hardodo
Hadi, 1999, 48).
1. Peningkatan dan pemantapan aparat penegak hukum yaitu meliputi
pemantapan organisasi, personal, sarana dan prasarana, untuk dapat
mempercepat penyelesaian perkara-perkara pidana.
2. Perundang-undangan berfungsi untuk menganalisis dan menekan
kejahatan dengan mempertimbangkan masa depan.
3. Mekanisme peradilan yang efektif dan efisien (memenuhi sifat-sifat:
cepat, tepat, murah, dan sederhana).
4. Koordinasi antara aparatur penegak hukum dengan aparatur
pemerintah lainnya yang saling berhubungan atau saling mengisi
untuk meningkatkan daya guna penanggulangan kriminalitas.
5. Partisipasi masyarakat untuk membantu kelancaran pelaksanaan
penanggulangan kriminalitas.
Disamping upaya-upaya tersebut di atas, yang terpenting adalah upaya
yang bersifat preventif atau pencegahan, yaitu dengan jalan menyadarkan atau
menekan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan kejahatan. Disinilah peran
moral dan agama untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar. (M. Quraish
Shihab 1997, 164)
Perlindungan Hukum Terhadap… 159

Salah satu contoh kecenderungan manusia untuk melakukan pencurian dan


perampokan di beberapa tempat, apabila secara kriminologis tak bisa dicari faktor
penyebab tunggal kejahatan, banyak faktor penyebab yang berkaitan, ada faktor
penegakan hukum yang lemah, kesadaran hukum yang rendah, tekanan ekonomi,
membudayakan korupsi, kolusi, nepotisme. Juga faktor ketimpangan sosial dan
kesenjangan ekonomi. Keluasan dimensi yang dimaksud sangat bergantung pada
titik pandang yang hendak dipergunakan dalam melakukan analisis teoritis
terhadap subjek pembahasan. Terdapat tiga titik pandang dalam melakukan
analisis terhadap masalah kejahatan, yaitu: (Atmasasmita, Romli, 2005, 71–72)
1. Titik pandang secara makro atau macro theories adalah teori-teori yang
menjelaskan kejahatan dipandang dari segi structural social dan
dampaknya. Teori-teori ini menitik beratkan rates of crime atau
epidemiologi kejahatan dari pada atas pelaku kejahatan.
2. Titik pandang secara micro theories adalah teori-teori yang menjelaskan
mengapa seseorang atau kelompok orang dalam masyarakat melakukan
kejahatan atau mengapa di dalam masyarakat terdapat orang-orang yang
melakukan kejahatan dan terdapat pula sekelompok orang atau orang-
orang tertentu yang tidak melakukan kejahatan. Teori ini
menitikberatkan pada pendekatan psikologi atau sosiologis atau
biologis.
3. Titik pandang secara bridging theories adalah teori-teori yang tidak
atau sulit untuk dikategorikan ke dalam, baik macro theories maupun
micro theries. Teori-teori yang termasuk ke dalam kategori ini
menjelaskan struktur sosial dan juga menjelaskan bagaimana seseorang
atau sekelompok orang menjadi penjahat.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG TERJADINYA


PERKOSAAN.
Setelah dijelaskan mengenai realita kejahatan perkosaan yang terjadi,
selanjutnya diuraikan mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya
kejahatan perkosaan, Faktor yang menjadi penyebabnya kejahatan perkosaan
disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Umur merupakan salah
160 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

satu dari faktor internal yang mempengaruhi timbulnya kejahatan perkosaan.


Umur manusia akan selalu bertambah, dan faktor umur ini akan mempengaruhi
tingkah laku manusia dilihat dari segi fisik, psikis dan sosiologis.
Sedangkan faktor eksternal, meliputi faktor bacaan atau faktor film yang
mengandung unsur pornografi serta faktor keluarga. Dan juga faktor lainnya
adalah faktor kesempatan karena adanya kesempatan itulah perkosaan itu bisa
terjadi. Suatu kejahatan bisa terjadi karena adanya kesempatan yang membuat
pelaku melakukan kejahatan tersebut.
Upaya atau cara melakukan kejahatan kebanyakan dilatar belakangi oleh
faktor kesempatan. Faktor kesempatan merupakan salah satu faktor eksternal pula
yang mempengaruhi timbulnya kejahatan perkosaan. Seperti dijelaskan diatas,
bahwa bacaan dan film yang mengandung unsur pornografi akan mempengaruhi
seseorang untuk melakukan kejahatan pemerkosaan. Pesan inti dari pornografi
adalah semua perempuan pada dasarnya adalah pelacur, yang berarti pula
digunakan untuk kepentingan seksual.
Memang mengenai pornografi terdapat 2 pandangan umum masyarakat
yang bertolak belakang. Di satu pihak mengatakan bahwa pornografi adalah
amoral karena memotret seksualitas secara vulgar untuk merangsang birahi. Di
pihak lain, mengatakan bahwa pornografi hanyalah ekspresi kebebasan, ekspresi
dari seksualitas yang tidak merugikan masyarakat bahkan membantu masyarakat
untuk lepas dari represi seksual.
Selanjutnya berkembang dengan adanya pandangan yang melihat
pornografi sebagai kegiatan atau produk yang merendahkan peran dan status
perempuan menjadi sekedar objek seksual yang boleh dieksploitasi dan
dimanipulasi. Dampak negatif dari penyebaran pornografi ini selain dapat
merangsang birahi laki-laki dewasa dan meningkatkan fantasi gairah dalam
hubungan seks, juga akan memberikan efek buruk khususnya bagi anak-anak yang
belum mengerti apapun mengenai seks. Seorang anak akan mulai terpengaruh
pikirannya dengan tontonan tersebut dan timbul keinginan untuk mencoba dengan
lawan jenisnya tanpa ada perasaan bersalah pada dirinya.
Pendampingan dan perhatian orang tua ini sangat penting. Keluarga
merupakan unit yang terkecil dari masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Perlindungan Hukum Terhadap… 161

Anak yang baru dilahirkan pastilah dibesarkan dan memperoleh pendidikan serta
mengadakan sosialisasi pertama kali dalam keluarga. Bersosialisasi dengan
masyarakat sekitar tempat tinggal. Perkosaan merupakan kejahatan seksualitas
yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Kejahatan ini cukup kompleks
penyebabnya dan tidak berdiri sendiri.
Penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kondisi yang mendukung,
keberadaan korban yang secara tidak langsung mendorong pelakunya dan bisa
jadi karena ada unsur-unsur lain yang mempengaruhinya, terkait dengan posisi
korban dalam hubungannya dengan pelakunya. Artinya sudah ada relasi lebih dulu
(dalam ukuran internet tertentu) antara korban dengan pelakunya. Dalam setiap
kasus perkosaan paling tidak melibatkan tiga hal, yakni: pelaku, korban dan
situasi serta kondisi. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Masing-masing mempunyai andil sendiri-sendiri dalam mendorong timbulnya
suatu tindak pidana perkosaan.
Pendapat itu menunjukkan bahwa perkosaan dapat terjadi bukan semata-
mata disebabkan oleh dorongan seksual yang tidak bisa dikendalikan dan
membutuhkan pelampiasan, namun juga dapat disebabkan oleh faktor emosi
seperti hasrat pelaku untuk melakukan balas dendam terhadap diri perempuan
yang sebelumnya pernah menyakitinya, atau menjadikan setiap perempuan
sebagai sasaran kemarahannya, sehingga harus dijadikan korbannya.
Selain itu, terjadinya perkosaan juga didukung oleh peran pelaku, posisi
korban dan pengaruh lingkungan. Pelaku menjadi gambaran sosok manusia yang
gagal mengendalikan emosi dan naluri seksualnya secara wajar, sementara korban
(dalam kasus-kasus tertentu) juga memerankan dirinya sebagia faktor kriminogen,
artinya sebagai pendorong langsung maupun tidak langsung terhadap terjadinya
perkosaan. Posisi pelaku dengan korban ini pun didukung oleh peran lingkungan
(seperti jauh dari keramaian, sepi dan ruang tertutup) yang memungkinkan pelaku
dapat leluasa menjalankan aksi-aksi jahatnya.
Perempuan yang bepergian sendiri di malam hari (situasi), tanpa
didampingi suami, orang tua atau unsur keluarga dekatnya, sementara bepergian
terkait dengan kepentingan yang menyita waktu dan banyak berhubungan dengan
lawan jenisnya merupakan sosok perempuan yang berada dalam ancaman bahaya.
162 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

Dimensi atau waktu produktif yang digarap perempuan tanpa pendamping


akhirnya diposisikan sebagai “saat rentan” atau kondisi yang rawan terjadinya
kriminalitas bagi perempuan. Perempuan menjadi subjek sosial yang dikorbankan
lawan jenisnya. Kasus perkosaan misalnya jelas-jelas menempatkan perempuan
sebatas sebagai subordinasi dan objek kepentingan (kebutuhan, kepuasan dan
keserakahan seksual) laki-laki.
Kalau perempuan itu menjadi perempuan karier, maka karier yang
dilakukannya juga mudah dihadapkan dengan berbagai macam tantangan yang
dapat membahayakan harkatnya, seperti pelecehan dan kekerasan seksual.
Banyaknya perempuan yang terlibat dengan kegiatan-kegiatan produktif di luar
rumah adalah dapat membuka kesempatan atau menstimulasi iklim kriminogen
terhadap terjadinya tindak kejahatan seksual, bilamana aktivitasnya itu lepas dari
perlindungan yang menjamin keselamatannya.
Artinya, ketika perempuan makin terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan
produktif yang serba bebas, sementara disisi lain kegiatan-kegiatan itu lepas dari
kontrol moral agamanya, maka cukup terbuka peluang atau kemungkinan
keselamatan perempuan itu tidak terjamin lagi.
Kedekatan hubungan antara lawan jenis (laki-laki dengan perempuan yang
bukan isterinya atau bukan muhrimnya) merupakan faktor yang cukup
berpengaruh terhadap terjadinya perkosaan. Pihak pelaku memang bersalah,
namun kesalahan yang diperbuat itu bisa disebabkan oleh kesalahan-kesalahan
yang secara tidak langsung diperbuat oleh korban. Pelaku memanfaatkan
kelengahan, kelemahan dan barangkali kesalahan korban yang secara langsung
maupun tidak perilakunya telah mendorong pelaku berbuat jahat. Perempuan
(korban) cepat percaya dengan bujuk-rayu penampilan dan kedekatan hubungan,
yang mengakibatkannya berada dalam posisi tergantung atau membutuhkan
keberadaan laki-laki (pelaku).
Psikolog itu lebih menekankan faktor kriminogen perkosaan yang
bersumber pada kesalahan pelaku, yang gagal mengendalikan nafsu seksualnya.
Hasrat seksualnya yang cukup besar tidak diikuti dengan upaya pelampiasan yang
dibenarkan secara hukum dan agama. Ada potensi dalam diri pelakunya itu
potensi distabilitas psikologis atau ketidakseimbangan kejiwaan, sehingga
Perlindungan Hukum Terhadap… 163

mencari korban kompensasi, dan diagnosisnya melalui korban yang diperkosanya.


Dalam hal ini perilaku-perilaku si korban, disadari atau tidak, merangsang
timbulnya perkosaan. Sebagai contoh, seorang wanita berjalan sendiri di tempat
yang sepi, cara korban berpakaian yang dapat merangsang seseorang untuk
melakukan kejahatan perkosaan.
Mengenai posisi korban yang secara tidak langsung turut ambil bagian
terhadap terjadinya perkosaan. Artinya, ada sikap, perilaku, cara menempatkan
diri, cara bergaul dan hadir pada suasana yang menurut pandangan umum tidak
lazim, yang dapat mendorong emosi dan nafsu laki-laki untuk berbuat tidak
senonoh dan memperkosanya. Korban telah menempatkan dirinya sebagai “pelaku
secara tidak langsung, karena apa yang diperbuatnya telah mendorong terjadinya
kriminalitas”.
Meningkatnya kasus perkosaan terkait erat dengan aspek sosial-budaya.
Budaya yang semakin terbuka, pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian
kaum hawa yang semakin merangsang, dan kadang-kadang dengan berbagai
perhiasan mahal, kebiasaan bepergian jauh sendirian, adalah faktor-faktor
dominan yang mempengaruhi tingginya frekuensi kasus perkosaan. Belum lagi
mutu penghayatan keagamaan masyarakat yang semakin longgar. Belum lagi
vonis hakim terhadap pelaku perkosan yang tak setimpal. Dapat disimpulkan
bahwa faktor penyebab perkosaan setidak-tidaknya adalah sebagai berikut :
1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika
berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain
untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
2. Gaya hidup atau mode pergaulan di antara laki-laki dan perempuan
yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara
yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam
hubungannya dengan kaedah akhlaknya mengenai hubungan laki-laki
dengan perempuan.
3. Rendahnya pengalaman dan penghatayan terhadap norma-norma
keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan
yang semakin terkikis di masyarakat, atau pola relasi horizontal yang
164 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

cenderung makin meniadakan peran agama adalah sangat potensial


untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
4. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya
berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar
hukum dan norma keagamana kurang mendapatkan responsi dan
pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
5. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan
yang dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong
anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat.
Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi
dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.
6. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu
seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya
untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.
7. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam
terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang dianggap
menyakiti dan merugikannya.

C. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU


PEMERKOSAAN
Perlindungan hukum disini diberikan kepada anak yang menjadi pelaku
dari kejahatan seperti perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual. Sebagaimana
kita ketahui besama bahwa kepedulian umat manusia atas eksistensi anak dari
masa depannya telah mendapatkan legitimasi dengan diratifikasinya Konvensi
Perjuangan Besar Bangsa Indonesia tentang hak-hak anak.
Kita menyadari sepenunya bahwa penderitaan seseorang yang menjadi
korban kejahatan ini tidak berhenti pada saat selesainya kejahatan tersebut
dilakukannya. Bukan saja ia harus berusaha sendiri untuk menyembuhkan luka
yang dideritanya baik fisik maupun psikis dengan biaya sendiri pula, ditambah
lagi ia harus menyediakan waktu, dana dan upaya turut berperan serta dalam
proses pengadilan pidana terhadap kasus yang menimpa dirinya.
Anak sebagai pelaku kejahatan kesusilaan ini memerlukan dan mempunyai
Perlindungan Hukum Terhadap… 165

hak dengan dasar hukum (legal rigths) untuk mendapatkan uluran solidaritas
sebagai bentuk hak asasi manusia. Jadi hal ini untuk mengusahakan perlindungan
hukum sebagai dasar untuk dapat menindaklanjuti penyembuhan fisik, kejiwaan
dan memulihkan kembali hak anak yang seharusnya dimilikinya.

1. Perlindungan Hukum Anak


Jika kita berbicara mengenai anak, maka hal ini tidak akan lari dari
pembahasan mengenai perlindungan anak sebagai pelaku. Jadi yang harus
mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai
dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi
tertentu. Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana
anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Anak yang menjadi pelaku
kekerasan sesungguhnya juga memiliki hak asasi manusia, jadi tidak hanya pelaku
tindak pidana sebagaimana sejumlah ketentuan hukum yang lebih cenderung
melindungi terdakwa atau pelaku.
Dalam hal pengertian perkosaan, pendapat para ahli dalam mendefinisikan
tentang perkosaan berbeda-beda seperti yang dikemukakan oleh Soetandyo
Wingjosoebroto: perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh
seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan
atau hukum yang berlaku melanggar. (A Wahid & M. Irfan, 2001, 25)
Menurut Wirjono perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya
(Belanda) yakni Verkrachting tidaklah tepat karena istilah perkosaan tidak
menggambarkan secara tepat tentang perkosaan menurut arti yang sempit
sebenarnya, dari kualifikasi Verkrachting, yakni perkosaan untuk bersetubuh oleh
karena itu menurut beliau kualifikasi yang tepat adalah perkosaan untuk
bersetubuh. (Adam Chazawi, 2005, 62)
Apabila rumusan perkosaan diatas dirinci dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Perbuatan : memaksa;
b. Caranya : dengan kekerasan; ancaman kekerasan
c. Objek : seorang perempuan bukan istrinya
d. Bersetubuh dengan dia
Asumsi yang tak sependapat dalam hal mendefinisikan perkosaan tidak
memperhitungkan perlu atau tidaknya unsur mengenai keluarnya air mani seperti
166 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

yang dikemukakan oleh PAF Lamintang dan Djisman Samosir yang berpendapat:
“perkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan
perkawinan dengan dirinya.

2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Pemerkosaan


Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-
hak anak yang berhadapan dengan hukum, pemerintah Indonesia telah
mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan anak di
mata hukum. Anak adalah produk hukum pemerintah yang harus dilindungi
secara hukum. Masalah perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan
hukum terdapat dalam pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999,
menentukan bahwa:
a. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan,
penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi,
b. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan
untuk pelaku tindak pidana yang masih anak;
c. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara
melawan hukum;
d. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh
dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir;
e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan
perlakuan manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan,
pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan
dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya;
f. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan
hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku;
g. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela
diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang
objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Perlindungan Hukum Terhadap… 167

Peradilan Pidana Anak terdapat substansi yang paling mendasar dalam Undang-
Undang ini, adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan
Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses
peradilan, sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang
berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam
lingkungan sosial secara wajar.
Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka
mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan
Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan
suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana
tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban
untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban,
anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan
menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, ada beberapa pasal
berhubungan dengan masalah perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum,
yaitu Pasal 1 angka 2 yang menyatakan bahwa :
a. Pasal 1angka 1 berbunyi Sistem Peradilan Pidana Anak adalah
keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan
hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan
setelah menjalani pidana.
b. Pasal 1 angka 2 berbunyi Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah
anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
c. Pasal 1 angka 3 berbunyi Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana.
d. Pasal 1 angka 6 berbunyi Keadilan Restoratif adalah penyelesaian
perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
168 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada


keadaan semula, dan bukan pembalasan.
e. Pasal 1 angka 7 berbunyi Diversi adalah pengalihan penyelesaian
perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan
pidana.
Kemudian dalam pasal selanjutnya lebih dipertegas dan diperjelas yaitu
tepatnya dalam pasal 2 dilaksanakan berdasarkan asas:
a. pelindungan;
b. keadilan;
c. non-diskriminasi;
d. kepentingan terbaik bagi Anak;
e. penghargaan terhadap pendapat Anak;
f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g. pembinaan dan pembimbingan Anak;
h. proporsional;
i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
j. penghindaran pembalasan.

Dalam pasal berikutnya berkenaan dengan anak yang berhadapan dengan


hukum maka seorang anak harus tetap diperhatikan dan di prioritaskan dari sisi
fisik, psikologis dan pandedodisnya supaya perkembangan tidak terhambat oleh
karena sedang berkonflik dengan hukum. Dimana setiap Anak yang sedang dalam
proses peradilan pidana berhak untuk sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal
3:
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir
Perlindungan Hukum Terhadap… 169

dan dalam waktu yang paling singkat;


h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya
oleh Anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan.
Pada pasal (5) di dalam sistem peradilan pidana anak wajib
mengedepankan keadilan restoratif yang bermuara tetap menjaga supaya anak
jangan sampai menghambat perkembangannya sebagaimana disebutkan di bawah
ini, yaitu:
(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan
Keadilan Restoratif.
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini;
b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum; dan
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan
selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah
menjalani pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.
Berkenaan dengan diversi di dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di tempatkan secara eklusif dengan
170 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

kekhususan dalam satu pasal, yaitu tepatnya berada pada pasal 6 menjelaskan
diversi sebagai sebuah win-win solution dalam hal untuk menyelesaikan
permasalahan anak yang sedang berkonflik dengan hukum dikarenakan
melakukan suatu kejahatan, dalam hal ini yaitu anak yang melakukan perkosaan,
sehingga perkembangan dan pertumbuhan sebagai anak tidak terganggu dan
diharapkan kemudian hari dapat menjadi manusia seutuhnya. Diversi bertujuan:
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002, ada beberapa pasal berhubungan dengan masalah
perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum yaitu:
a. Pasal 1 angka (2), yang menentukan bahwa perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
b. Pasal 1 angka (15), menentukan bahwa perlindungan khusus adalah
perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak
yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak
korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik
fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban
perlakuan salah dan penelantaran.
c. Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip
dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi:
1. non diskriminasi;
Perlindungan Hukum Terhadap… 171

2. kepentingan yang terbaik bagi anak;


3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
4. penghargaan terhadap pendapat anak.
d. Pasal 3, menentukan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia berkualitas, berakhlak
mulia dan sejahtera.
e. Pasal 16, menentukan bahwa:
1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan
hukum.
3) Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
f. Pasal 17, menentukan bahwa:
Angkat (4), Setiapanak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
1) mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
2) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;
3) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak dalam siding tertutup untuk umum;
Angka (5), Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan
seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
g. Pasal 18, menentukan bahwa setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan
lainnya.
h. Pasal 59, menentukan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya
172 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan


khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan
perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak
yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran.
i. Pasal 64, menentukan bahwa:
Angka (6) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang
berhadapan dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan
kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat.
Angka (7) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum dilaksanakan melalui:
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak-hak anak.
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus.
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi
anak.
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan
anak yang berhadapan dengan hukum.
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang
tua atau keluarga.
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
Sistem Pengadilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala
unsur sistem pengadilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus
kenakalan anak:
1. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali
Perlindungan Hukum Terhadap… 173

bersentuhan dengan sistem Pengadilan, yang juga akan menentukan


apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut.
2. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga menentukan
apakah anak dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.
3. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak ditempatkan dalam
pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam
institusi penghukuman.
4. Terakhir, institusi penghukuman.
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat berhadapan dengan
hukum, yaitu:
a. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti
tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
b. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran
hukum.
Pelaksanaan Sistem Pengadilan Pidana Anak ditegakkannya demi
mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi
anak. Dengan kata lain, Sitem Pengadilan Pidana Anak berdasarkan pada
perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and full fil
ment child rights based approuch). Selanjutnya akan dibahas sistem Pengadilan
anak di Kepolisian, kejaksaan dan Pengadilan. (Steven Allen, 2003, 2)
Bukan cuma itu, dengan kecendrungan membawa anak ke mesin peradilan
pidana anak, maka anak-anak akan selalu menjadi target kriminalisasi. Padahal
penahanan, pemidanaan, merupakan upaya terakhir (ultimum remidium).
Sehingga tidak sepatutnya dibawa ke pengadilan apabila tidak perlu. Di samping
itu, tidak luput juga banyak kasus yang dilaporkan ke Polisi namun tidak diproses
menuju sidang anak, atau menjadi perkara yang hilang (dark number). (Paulus
Hadisuprapto, 2006, 23)
Dengan demikian secara normatif, adanya kriminalisasi terhadap anak
yang karenanya melanggar hak anak atas tumbuh dan kembang, dan hak anak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi karena adanya kriminalisasi anak
174 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

dan pemenjaraan anak melanggar hak konstitusional anak dalam Pasal 28B ayat
(2) UUD 1945. Secara normatif adanya kriminalisasi anak merupakan perbuatan
melanggar hak konstitusional atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan sama di hadapan hukum.
Padahal berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan
bahwa; Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Atas dasar itu,
maka para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive
justice) di masyarakat daripada terbelenggu ketentuan undang-undang (procedural
justice). (M. Mahfud MD, 2008, 6)
Sistem peradilan pidana anak, masih merupakan turunan dari sistem
peradilan untuk orang dewasa. Perbedaan usia dapat bertanggung jawab secara
hukum ini berkaitan dengan sistem peradilan anak yang diterapkan di negara-
negara tersebut. Scotlandia tidak memiliki pengadilan khusus bagi anak
delinkuen, karena anak-anak yang melakukan delinquency dibawa ke lembaga
yang dikenal dengan Children’s Hearing System yang tidak memiliki wewenang
menjatuhkan sanksi untuk menghukum anak. (Purnianti dkk, 2004, 204)
Oleh karena itu, Sidang Anak hanyalah bermaksud membedakan Sidang
Anak dengan sidang orang dewasa dengan berbagai kekhususan, misalnya,
kekhususan dalam petugas penegak hukumnya, adanya alternatif pidana dan
tindakan, masa tahanan yang lebih rendah, hukuman pidana yang dijatuhkan
diturunkan menjadi maksimum hanya ½ (seperdua) saja dari ancaman pelaku
dewasa, hukum acara pidana sama dengan KUHAP dengan berbagai
pengecualian. Dengan demikian, hukum acara dalam sidang anak hanya turunan
dari hukum acara dan sistem peradilan bagi orang dewasa. Implikasinya, secara
institusional perkembangan dan kemajuan Sidang Anak tidak berjalan efektif dan
cenderung terabaikan.
Upaya-Upaya Penanggulangan Kejahatan Perkosaan.
Untuk menaggulangi kejahatan perkosaan Instansi Polisi selaku yang
diberikan kewenangan dapat melakukan upaya preventif. Yang dimaksud dengan
upaya preventif, yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
kejahatan perkosaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bu Marti, upaya
Perlindungan Hukum Terhadap… 175

preventif ini dilakukan oleh Bagbinamitra (Bagian Pembinaan Kemitraan).


Upaya ini dapat meliputi kegiatan berupa pemberian penyuluhan atau
himbauan kepada masyarakat untuk saling menghargai dan melindungi hak dan
harga diri khususnya perempuan sebagai sesama ciptaan Tuhan. Dengan demikian
pelaku tidak hanya memuaskan hawa nafsunya sendiri tetapi juga memikirkan
dampak negatif yang akan terjadi kemudian, yaitu masa depan korban perkosaan
yang secara rohani dan materiil sangat dirugikan.
Memberikan penyuluhan atau penerangan di desa-desa dan tempat lain
tentang dampak terjadinya kejahatan perkosaan. Upaya preventif ini dilakukan
oleh Bagian Binamitra, melakukan sosialisasi sekaligus penyuluhan terhadap
perempuan sehingga ia dapat menjaga dirinya sendiri dari ancaman kejahatan
perkosaan, di antaranya menganjurkan agar perempuan hendaknya berpakaian
yang sopan. Menggunakan pakaian dengan mempertontonkan bagian tubuh yang
mulus secara tidak langsung akan merangsang nafsu seks laki-laki yang
melihatnya dan timbul kejahatan dalam pikirannya.
Hal ini yang biasanya disebut victim pertisipation artinya korban sendiri
yang turut menimbulkan terjadinya kejahatan tersebut. Di samping itu perempuan
diusahakan untuk tidak keluar malam, apalagi kalau keluar malam sendirian di
tempat rawan. Jika memang terpaksa, maka diharapkan dapat mengajak teman
yang bisa dipercaya. Faktor penyebab terjadinya kejahatan perkosaan sebagian
besar dikarenakan adanya faktor kesempatan, yaitu tempat yang sepi (tidak ada
orang lain) dan korban dalam keadaan sendirian.
Selain itu diharapkan perempuan tidak mudah terpengaruh oleh rayuan
setiap orang, baik yang dikenal ataupun tidak dikenalnya. Seringkali perempuan
tergoda atau terpedaya dengan sifat manis laki-laki yang tampak dari luarnya,
misalnya perbuatannya yang baik, sopan dan suka menolong. Hal ini selalu
melekat dan dilakukan oleh laki-laki terhadap setiap korbannya yang baru
dikenalnya. Baru setelah laki-laki tersebut merasa perempuannya atau korbannya
telah masuk dalam perangkapnya, ia akan melakukan aksi jahatnya yaitu
memperkosa perempuan itu atau korbannya. Seharusnya agar perempuan tidak
terpengaruh atau terpikat oleh rayuan setiap orang, meskipun orang tersebut telah
dikenal maupun yang tidak dikenal untuk berbuat tidak sopan (melakukan
176 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

hubungan seks) dengan menjanjikan sesuatu yang indah setelah perempuan


menuruti kehendak laki-laki tersebut.

D. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU PERKOSAAN


DALAM ISLAM
Dalam hukum Islam mempunyai aturan yang jelas, kedudukan anak dalam
hukum islam merupakan amanah yang harus dijaga oleh kedua orang tuanya.
Kewajiban mereka pula untuk mendidiknya hingga berperilaku sebagaimana yang
dituntun dalam agama. Jika terjadi penyimpangan dalam tingkah laku anak, Islam
dalam keadaan tertentu masih memberi kelonggaran seperti diisyaratkan sebuah
hadis yang menyatakan ketidakberdosaan “ra’ful alam” seorang anak hingga
mencapai akil baligh, ditandai dengan timbulnya mimpi basah (ihtilam) pada laki-
laki dan haid pada perempuan. (Luthfi Assyaukani, 1998, 164)
Bila seorang anak mencuri, atau membunuh sekalipun, ia tidak bisa
dikenakan hukuman apapun, bahkan, Wahbah Zuhaili dalam bukunya al-Fiqh al
Islami mencatat status perbuatan anak tersebut dalam kategori fiqh belum
termasuk dalam tindakan kriminak (jinayah) dalam hukum pidana Islam.
Pertanggungjawaban pidana dapat terhapus karena adanya sebab-sebab
tertentu baik yang berkaitan dengan perbuatan si pelaku tindak pidana maupun
sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pembuat delik, seperti kejahatan
yang dilakukan dalam keadaan dipaksa, tidak akan ada tuntutan hukum atas hal
tersebut asalkan terbukti benarnya, kemudian kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang dalam keadaan tidak sadar seperti mengigau, meskipun dia tampak
awas namun dia tetap tertidur. Maka, secara hukum dia tidak bertanggung jawab,
begitu juga dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang masih
anak-anak dan seseorang yang dalam keadaan gila atau sakit saraf. (Rahmat
Hakim, 2000, 177)
Tingkatan pertama kesepakatan ulama-ulama mengatakan bahwa tidak
adanya kemampuan menggunakan akal pikirannya bermula dari anak itu
dilahirkan dan berakhir sampai berusia tujuh tahun. Tingkatan kedua menunjukan
adanya kemampuan untuk mempergunakan akal pikirannya tetapi masih lemah.
Tingkatan ini bermula dari anak berumur tujuh tahun sampai baligh. Adapun
Perlindungan Hukum Terhadap… 177

tingkatan ketiga menunjukan bahwa kemampuan untuk mempergunakan akal


pikirannya secara sempurna dimulai dari balighnya seorang anak yang berumur 15
tahun (pendapat keumuman ulama fiqh) atau setelah berumur 18 tahun (pendapat
Abu Hanifah dan Masyhur Malikiyah).
Suatu perbuatan jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau delik)
apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau
masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata
aturan masyarakat, nama baik, perasan ataupun hal-hal yang harus dipelihara dan
dijunjung tinggi keberadaanya. Selain perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian
kepada pihak lain, perbuatan tersebut juga telah ditetapkan oleh Negara dalam
bentuk Undang-Undang, demikian pula dalam hukum pidana Islam, suatu
perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (jarimah) apabila perbuatan
tersebut diatur oleh nash.
Mengenai hukuman bagi anak yang melakukan tindak pidana, hukuman
pidana Islam tidak memberikan ketentuan yang jelas, karena menurut Islam anak
merupakan amanat yang diberikan oleh Allah SWT yang harus dijaga, dirawat
sebaik mungkin. Sehingga ketika anak melakukan perbuatan melanggar hukum
maka anak tersebut tidak dikenakan hukuman, dan sebagai gantinya yang
menjalankan hukuman adalah orang tuanya.
Menurut syariat Islam, pertanggungjawaban pidana anak terhadap apa
yang telah dilakukannya terdiri atas 2 perkara, yaitu kekuatan berfikir dan pilihan
(iradah dan ikhtiar). Oleh karena itu, kedudukan anak berbeda-beda menurut
perbedaan masa yang dilalui semasa hidupnya. (A Hanafi, Asas-asas, 1999, 280)
Unsur-unsur Jarimah dalam hukum pidana Islam, yaitu :
1. Adanya nash yang melarang dan mengancam perbuatan itu
2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah
3. Si pembuat adalah mukallaf
Pada dasarnya orang yang melakukan jarimah itu dihukum, tetapi ada
diantaranya yang tidak dihukum karena mabuk, gila dan belum dewasa. (Amrsum,
Junayat, 1989, 6)
178 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis menyimpulkan beberapa hal terkait dari hasil penulisan ini yang
telah dibahas, yaitu:
1. Perkosaan termasuk dalam kejahatan, kekerasan, kekerasan seksual dan
juga merupakan hak asasi perempuan yang diinjak-injak. Perlu diketahui
misalnya dalam perpektif masyarakat pada lazimnya bahwa kejahatan
seksual itu bermacam-macam, seperti perzinahan, homoseksual, samen
leven (kumpul kebo), lesbian, protitusi (pelacuran), pencabulan, perkosaan
promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan
dengan cara berganti-ganti pasangan).
2. faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya kejahatan perkosaan,
faktor yang menjadi penyebabnya kejahatan perkosaan disebabkan oleh
faktor internal maupun faktor eksternal. Umur merupakan faktor internal
yang mempengaruhi timbulnya kejahatan perkosaan, umur ini akan
mempengaruhi tingkah laku manusia dilihat dari segi fisik, psikis dan
sosiologis. Sedangkan faktor eksternal, meliputi faktor bacaan atau faktor
film yang mengandung unsur pornografi, faktor keluarga, faktor
kesempatan karena adanya kesempatan. Namun tentu dimensi yang paling
dominan adalah terjadi krisis nilai-nilai agama dan moral, yang secara
lahiriah dan batiniah merupakan batasan bagi seorang manusia untuk
bertindak dan bersikap, faktor ekonomi, dll.
3. Anak sebagai pelaku kejahatan kesusilaan ini memerlukan dan mempunyai
hak dengan dasar hukum (legal rigths) untuk mendapatkan uluran
solidaritas sebagai bentuk hak asasi manusia. Jadi hal ini untuk
mengusahakan perlindungan hukum sebagai dasar untuk dapat
menindaklanjuti penyembuhan fisik, kejiwaan dan memulihkan kembali
hak anak yang seharusnya dimilikinya. Dalam perundang-undang
berkenaan dengan anak, adalah produk hukum pemerintah yang
berkaitan tentang anak yang harus dilindungi secara hukum.
4. Dalam hukum Islam mempunyai aturan yang jelas, kedudukan anak dalam
hukum Islam merupakan amanah yang harus dijaga oleh kedua orang
Perlindungan Hukum Terhadap… 179

tuanya. Kewajiban mereka pula untuk mendidiknya hingga berperilaku


sebagaimana yang dituntun dalam agama. Jika terjadi penyimpangan
dalam tingkah laku anak, Islam dalam keadaan tertentu masih memberi
kelonggaran seperti diisyaratkan sebuah hadis yang menyatakan
ketidakberdosaan “ra’ful alam” seorang anak hingga mencapai akil baligh,
ditandai dengan timbulnya mimpi basah (ihtilam) pada laki-laki dan haid
pada perempuan.
B. Saran-Saran
Berikut saran-saran yang dapat diberikan penulis berkenaan dengan
penulisan ini, yaitu:
1. Kejahatan perkosaan adalah suatu kejahatan yang klasik dan faktor-faktor
bisa berasal dari dorongan internal (kejiwaan) atau ekternal (luar atau
lingkungan) yang menjadikan kejahatan itu dilakukan oleh seorang anak,
oleh karena itu baik orang tua, masyarakat, pemerintah untuk membuat
suatu tatanan kehidupan dalam masyarakat yang mengurangi faktor-faktor
terjadinya kejahatan perkosaan tersebut.
2. Untuk memngoptimalkan pranata-pranata baik secara kelembagaan
maupun kesadaran dalam masyarakat, mengawasi dan mengamati
pergaulan ataupun kegiatan yang mengarah pada terjadinya tindak
kejahatan pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang anak yang mana
secara psikologis anak dalam perkembangan jiwanya masih labil dan suka
mencontoh sesuatu yang di lihat, di rasa dan di dengar, dan etika dan nilai-
nilai agama harus ditanankan sejak dini sehingga dapat menjadi filter
akibat pergaulan dan kegiatan dalam zaman era globalisasi ini yang
semakin jauh dari tuntunan moral dan budaya kearifan lokal.
180 ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Steven. Analisa Situasi Sistem Pengadilan Pidana Anak (Juvenile


Justice System) di Indonesia. Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik
Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk. UNICEF, Indonesia, 2003.
Amrsum. Jinayat (Hukum Peradilan Islam). Cetakan 2, Yogyakarta:
perpusatakaan FH UII, 1989.
Asnifriyanti, “Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita dan Anak
Perempuan”. 2008.
Assyaukani, Luthfi. Politik HAM dan Isu-Isu Tekhnologi Fikih Kontemporer.
Cetakan 1, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Chazawi, Adam. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: Raja Grafindo,
2005.
Gosita, Arief. Bunga Rampai Viktimisasi. 2003.
Hadi, P. Hardodo. Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead.
Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Hadisuprapto, Paulus. “Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia
Masa Datang”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 2006.
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka Setia,
2000.
Katjasungkana, Nursyahbani. “Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan”, 2007.
Kunarto. “PBB dan Imlementasi Hak Asasi Manusia Dalam Penegakan
Hukum”, 2005.
Maftuh, Bunyamin. Sosiologi Umum II Untuk SMU. Bandung: Ganeca Exact,
1996.
Majda, El Muhtaj. Memahami Integritas Hak-hak Anak dan Impelementasinya,
dalam sulaiman Zuhdi Manik (Ed.), kekerasan Terhadap Anak, dalam
Wacana dan Realitas. Medan: PKPA,1999.
MD. M. Mahfud, “Penegakan Keadilan di Pengadilan”, Opini di harian
Kompas, 22 Desember 2008.
Perlindungan Hukum Terhadap… 181

Purnianti, dkk. “Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice
System) di Indonesia”. UNICEF, 2003.
Romli, Atmasasmita. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: Refika
Aditama, 2005.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1997.
Soesilo, R. Taktik dan Tehnik Penyidikan Perkara Kriminal. Bogor: Politeia,
1980.
Wahid, M. Irfan. A. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
(Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Malang: Refika Aditama, 2001.
Walgito, Bimo. “Psikologi Sosial”. Yogyakarta: Andi Ofset, 1997.
Indonesia Daily News Online, 4 Agustus 1998.
Sriwijaya Pos, 3 Januari 2003.

Anda mungkin juga menyukai