Anda di halaman 1dari 2

Studi terbaru yang dilakukan peneliti AS menemukan makanan cepat saji lebih banyak dikonsumsi kelas

menengah dan atas. Harganya ditengarai salah satu alasan. (Foto: achmadbiz/Pixabay)

Jakarta, CNN Indonesia -- Makanan cepat saji kerap menjadi kambing hitam karena dianggap tidak
menyehatkan. Sejumlah ahli gizi menyebutkan, hal itu disebabkan karena ada kandungan lemak, garam
dan kalori di dalamnya. Lebih parah lagi, fast food atau junk food juga ditengarai menjadi salah satu
penyebab obesitas di AS dan juga dunia.

Karena hamburger, milkshake dan ayam goreng di makanan cepat saji relatif dijual dengan harga
terjangkau, banyak yang beranggapan junk food lebih banyak dikonsumsi oleh warga miskin. Asumsi ini
juga yang mendorong pemerintah di AS melarang penyebaran restoran fast food di daerah yang
berpendapatan rendah.

Asumsi itu kemudian dipatahkan oleh temuan baru yang dilakukan peneliti AS, dan terbit di jurnal
Economics & Human Biology, seperti dilansir dari Vox, baru-baru ini.

Ekonom dari Universitas Negeri Ohio, Jay Zagorsky dan profesor ekonomi dari Universitas Michigan,
Patricia Smith mencoba meneliti hal ini. Riset yang diterbitkan di jurnal tersebut menemukan bahwa
orang dari kalangan bawah sebenarnya cenderung lebih sedikit mengkonsumsi junk food daripada
kalangan menengah.

Temuan ini kemudian sejalan dengan sejumlah peristiwa yang terkait dengan promosi dari junk food itu
sendiri di AS. Sebut saja di antaranya para kalangan atas seperti Donald Trump yang terang-terangan
mengakui kalau dirinya menyukai junk food. Satu dari orang kaya di bumi, Warren Buffett pun pernah
berkata dirinya menikmati junk food layaknya anak enam tahun. Artinya, dia makan Oreo dan Cokes tiap
hari.

Jakarta, CNN Indonesia -- Makanan cepat saji kerap menjadi kambing hitam karena dianggap tidak
menyehatkan. Sejumlah ahli gizi menyebutkan, hal itu disebabkan karena ada kandungan lemak, garam
dan kalori di dalamnya. Lebih parah lagi, fast food atau junk food juga ditengarai menjadi salah satu
penyebab obesitas di AS dan juga dunia.

Karena hamburger, milkshake dan ayam goreng di makanan cepat saji relatif dijual dengan harga
terjangkau, banyak yang beranggapan junk food lebih banyak dikonsumsi oleh warga miskin. Asumsi ini
juga yang mendorong pemerintah di AS melarang penyebaran restoran fast food di daerah yang
berpendapatan rendah.

Asumsi itu kemudian dipatahkan oleh temuan baru yang dilakukan peneliti AS, dan terbit di jurnal
Economics & Human Biology, seperti dilansir dari Vox, baru-baru ini.
Ekonom dari Universitas Negeri Ohio, Jay Zagorsky dan profesor ekonomi dari Universitas Michigan,
Patricia Smith mencoba meneliti hal ini. Riset yang diterbitkan di jurnal tersebut menemukan bahwa
orang dari kalangan bawah sebenarnya cenderung lebih sedikit mengkonsumsi junk food daripada
kalangan menengah.

Temuan ini kemudian sejalan dengan sejumlah peristiwa yang terkait dengan promosi dari junk food itu
sendiri di AS. Sebut saja di antaranya para kalangan atas seperti Donald Trump yang terang-terangan
mengakui kalau dirinya menyukai junk food. Satu dari orang kaya di bumi, Warren Buffett pun pernah
berkata dirinya menikmati junk food layaknya anak enam tahun. Artinya, dia makan Oreo dan Cokes tiap
hari.

Selain temuan di atas, riset ini juga menunjukkan bahwa tingkat pendapatan tak membuat perbedaan
spesifik soal konsumsi junk food. Riset menunjukkan mereka yang berada di kelas ekonomi paling
rendah yang makan junk food paling tidak sekali dalam tiga minggu sebanyak 80,6 persen. Sedangkan
kalangan menengah sebanyak 84,3 - 85 persen. Kalangan atas sebanyak 74,6 persen.

Dilihat dari frekuensinya, riset menemukan kalangan menengah mengkonsumsi junk food lebih sering
daripada kalangan bawah dan kalangan atas. Kalangan bawah rata-rata 3,67 porsi, kalangan menengah
sekitar empat porsi dan kalangan atas tiga porsi.

Perlu Alternatif Lain

Keputusan untuk melarang restoran cepat saji di kawasan 'miskin' mungkin bukan hal yang tepat, meski
ada niat baik untuk meningkatkan kesehatan masyarakat miskin.

Lalu, apa alternatifnya? Zargosky dan Smith menemukan bahwa orang yang mengecek kandungan
bahan sebelum makan punya asupan junk food lebih rendah. Hal ini membuat masyarakat tahu dan
sadar tentang apa yang mereka makan lewat label dan informasi kalori dalam makanan. Ini pun bisa
membantu konsumen untuk memilih makanan yang lebih sehat.

Temuan lainnya, bahwa jam kerja yang lebih banyak juga meningkatkan konsumsi junk food, bukan soal
tingkat pendapatan. Orang makan junk food karena cepat dan nyaman. Mungkin para ahli gizi mesti
merumuskan menu makanan yang siap saji, cepat dan bisa mengurangi konsumsi junk food, misal
dengan menyediakan food truck yang menyediakan buah dan sayuran segar yang mendorong orang
untuk mengkonsumsi makanan sehat dengan nyaman.

Anda mungkin juga menyukai