Anda di halaman 1dari 4

Jalan Panjang Indutri Garam Indonesia

Indonesia bukanlah negeri sembarangan. Ditakdirkan menjadi negara maritim oleh

Tuhan tentu sebuah ketetapan yang tanpa alasan. Sejarah telah membuktikan bahwa negeri

ini adalah salah satu tempat yang menjadi incaran banyak orang. Sudah masyhur di telinga

kita bahwa rempah-rempah dari negeri ini menajdi rebutan pada waktu silam. Mulai dari

cengkeh yang sampai detik ini masih mejadi andalan hingga cerita tentang buah pala dari

Kepulauan Banda yang sekitar 4-5 abad silam harganya setara dengan tujuh sapi jantan.

Terdengar berlebihan memang, tetapi itulah fakta yang tak terbantahkan. Perenungan itu

akhirnya membawa pada satu pertanyaan besar. Kemana negeri yang dahulu rempah-

rempahnya menjadi rebutan itu? Bagaimana mungkin negeri yang disebut “surga yang

hilang” itu tidak bisa memenuhi kebutuhan garam warganya hingga pemerintah memutuskan

untuk melakukan impor garam?

Garam bukanlah hal yang asing bagi warga Indonesia, bahkan garam bisa disebut

kawan hidup yang seakan menjadi saksi perjalanan negeri ini. Julukan nenek moyang bangsa

ini adalah pelaut adalah bukti bahwa garam menjadi barang yang lazim ditemukan oleh

nelayan untuk kemudian dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Garam

merupakan salah satu komoditas yang termasuk dalam salah satu sembilan kebutuhan pokok

atau yang lebih kita kenal dengan sembako. Dengan fakta tersebut, swasembada garam

menjadi hal yang penting dan mendesak jika Indonesia benar-benar ingin mewujudkan

swasembada pangan tahun 2019. Sebelum itu, kiranya kita perlu menengok bagaimana

kondisi industri garam saat ini dan apa sesungguhnya faktor yang membuat industri garam

seakan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Faktor cuaca sering menjadi kambing

hitam untuk menjawab pertanyaan ini. Akan tetapi, masih layakkah di era yang disebut-sebut

Revolusi Industri 4.0 ini kita masih menyalahkan faktor alam dan cuaca?
Setelah melakukan riset yang tentunya masih belum jauh dari kata maksimal,

setidaknya saya menemukan ada beberapa permasalahan pokok yang terjadi dalam industri

garam nasional. Pertama adalah tentang produktivitas yang rendah. Sebagai contoh,

produktivitas PT. Garam tidak lebih dari 70 ton/hektar (Kabar Bisnis, 2013). Jika

produktivitas petani garam rakyat hanya sebesar 60 ton/hektar, maka dapat disimpulkan

bahwa produktivitas garam domestik hanya berkisar 60 ton/hektar hingga 70 ton/hektar.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Australia yang dapat menghasilkan garam

dengan produktivitas yang mencapai 350 ton/hektar (Detik Finance, 2015). Hal ini

disebabkan oleh pelaku industri garam masih terpecah dan mayoritas dikerjakan oleh petani

garam secara individu. Yang lebih miris lagi, industri garam yang mereka jalankan hanya

dianggap sebagai usaha sampingan untuk menambah pundi-pundi penghasilan sehingga tak

heran jika kualitas garam yang dihasilkan tidak terlalu maksimal. Kebutuhan garam nasional

yang terus naik dari tahun ke tahun (data 2015 menunjukkan kebutuhan garam nasional 3,75

ton) seharusnya membuat pemerintah mengambil langkah strategis agar cita-cita swasembada

garam yang dicanangkan tak hanya seperti angin lalu. Dalam pandangan saya, sudah saatnya

pemerintah mengambil alih dan kontrol atas industri garam dengan membentuk satu lembaga

yang fokus mengurusi garam layaknya BULOG yang mengurusi masalah beras di Indonesia.

Selain itu, penyederhanaan rantai industri garam juga penting untuk dilakukan agar harga

akhir garam yang sampai ke masyarakat tak terlalu tinggi.

Problem kedua adalah kualitas garam yang dihasilkan oleh pelaku industri garam di

negeri ini masih terlalu rendah. Di samping itu, daya saing garam yang dihasilkan oleh

Indonesia juga terbilang sangat rendah. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh

Trade Map pada tahun 2015 dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA),

menunjukkan daya saingnya dibawah 1 atau tidak berdaya saing. Kenapa daya saing

Indonesia rendah? Hal ini dikarenakan karena kualitas yang rendah sehingga ekspor garam
Indonesia rendah. Perhitungan RCA adalah menggunakan data total ekspor garam

dibandingkan dengan total ekspor Indonesia dan total ekspor garam dunia. Jangankan untuk

dieskpor, memenuhi kebutuhan dalam negeri pun harus bersaing dari garam impor yang

didatangkan dari luar Indonesia, terutama dalam hal garam indsutri. Tentu banyak hal yang

menyebabkan kualitas garam local yang dihasilkan rendah, namun satu hal yang pasti dan tak

bisa dipungkiri adalah teknik produksi dan pengolahan garam yang masih sangat tradisional

memiliki andil besar dalam hal rendahnya kualitas garam yang dihasilkan oleh petani garam.

Teknik produksi tradisional yang sangat bergantung dengan air laut, cuaca, tanah, dan kondisi

air masih menjadi andalan petani garam Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman,

tentu muncul teknik-teknik produksi dan pengolaan garam yang lebih modern dengan hasil

yang tentu lebih baik daripada teknik tradisional.

Cara membuat garam dengan metode teknologi ulir filter geomembran atau biasa

dikenal teknik geomembran bisa menjadi alternatif untuk mendapatkan garam dengan

kualitas bagus dengan kadar garam diatas 90%. Prinsip utama dari teknologi ini adalah

mempercepat proses pembuatan air tua (20° Be) dengan memperpanjang aliran air serta tetap

mempertahankan kebersihan air dan meja hablu/meja garam. Proses menjaga kebersihan air

dilakukan dengan memasang filter pada saluran air dan memasang terpal hitam pada meja

hablur. Menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dari pengkajian dengan

melakukan modifikasi pada sistem pertanian garam dengan cara TUF Geomembran bisa

meningkatkan produktivitas hingga 100%. Hal ini telah dibuktikan oleh petani garam Jawa

Barat, khususnya di daerah Cirebon, Indramayu dan Karawang. Petani yang awalnya hanya

bisa menghasilkan 60-80 ton garam sekali panen, kini bisa menghasilkan 120-140 ton garam

dalam per hektar. Teknik vacuum evaporation juga layak dipikirkan pemerintah sebagai

solusi karena dengan teknik tersebut dapat menyentuh dua industri sekaligus, yaitu industri
garam dan industri air mineral. Selain itu, inovasi-inovasi dari ilmuwan Indonesia seperti Dr.

Muhammad Khotib dari Institut Pertanian Bogor (IPB) juga patut dipertimbangkan.

Akhir kata, indutri garam memang bukanlah industri yang sederhana. Banyak pihak

dengan kepentingan yang bermacam-macam terlibat dalam industri ini. Penulis percaya

bahwa menyelesaikan masalah industri garam dengan solusi jangka panjang seperti

peningkatan teknologi produksi dan pengolahan, pelatihan bagi petani garam, atau integrasi

produksi garam dalam satu lahan yang luas (baca:pembuatan pusat industri garam) jauh lebih

baik daripada hanya membuat UU tentang impor garam untuk mengatasi kelangkaan garam

di Indonesia. Sinergi antara semua pihak yang berkepentingan dalam industry garam juga

penting dilakukan demi terwujudnya cita-cita swasembada garam yang dicanangkan

pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai