Anda di halaman 1dari 6

Menilik Dilematisnya “Impor Garam”

Di Indonesia
Oleh : Nanda Inggar N

Garam merupakan kebutuhan yang strategis bagi seluruh masyarakat maupun bagi sektor

industri di Indonesia sehingga hal inilah yang menjadikan garam sebagai komoditas yang

mendapatkan perhatian dan campur tangan dari pemerintah. Di Indonesia garam digunakan

bukan hanya untuk konsumsi rumah tangga namun juga digunakan untuk sektor industri yang

meliputi industri kimia, industri aneka pangan, industri farmasi, industri perminyakan dan juga

untuk industri penyamakan kulit.

Klasifikasi garam sebagai garam konsumsi dan garam industri didasarkan pada kandungan

zat kimia yang diperlukan oleh masing masing pengguna. Garam konsumsi mensyaratkan

kandungan NaCL minimal 94%, hal ini berbeda dengan garam yang dibutuhkan untuk industri

karena kualitas garam yang diperlukan untuk industri mensyaratkan kandungan NaCl sangat

bervariasi dan rata-rata di atas 96%. Misalnya industri kimia membutuhkan NaCL minimal 96%,

industri makanan dan minuman memerlukan NaCL minimal 97%, serta industri farmasi

memerlukan garam dengan kandungan NaCL yang lebih tinggi yaitu 99,8%. Selain dilihat dari

kadar NaCL yang tinggi, kualitas garam yang dipersyaratkan oleh sektor industri adalah

memiliki batas maksimal kandungan logam berat seperti kalsium dan magnesium tidak melebihi

400 ppm untuk industri aneka pangan, ambang batas maksmimal 200 ppm serta kadar air yang

rendah untuk industri chlor alkali plan (Gatra, 2015).

Di bawah ini merupakan penggambaran pembagian penggunaan garam di Indonesia pada

tahun 2015
Pembagian penggunaan garam
5% 4%
industri kimia
38%
27% konsumsi rumah tangga

11% industri pakan ternak


15%
dan pengasinan ikan
industri aneka pangan

sumber : Olahan Penulis berdasarkan Statistik Kementerian Perindustrian, 2015

Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan industrii yang pesat menyebabkan

kebutuhan garam nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat dari 2,7 juta tton pada tahun

2007 meningkat menjadi 3,6 ton pada 2015 dan meningkat menjadi 3,75 ton pada tahun 201
2018.

Pada tahun 2015, kebutuhan


n garam yang cukup besar sekitar
sekit 3,6 ton tidak diimbangi dengan

produksi garam lokal karena produksi garam lokal hanya sekitar 1,7 juta ton. Sektor Industri

merupakan sektor yang mendominasi penggunaan garam sebagai bahan baku pada proses

produksinya, seperti terlihat pada grafik di atas, kebutuhan garam untuk bahan baku industri

mencapai hampir 85% sementara sisanya untuk konsumsi rumah tangga. B


Berdasarkan studi

KKP (2015), pembuatan garam di Indonesia yang umumnya melalui metode solar evaporation

pada areal petak yang kecil


il mengakibatkan kualitas garam yang dihasilkan bervariasi.
Kandungan NaCL garam yang diproduksi dalam negeri hanya berkisar antara 81% - 96%.

Kondisi ini mengakibatkan Indonesia pada 2014 mengimpor sebanyak 2,16 juta ton garam untuk

memenuhi kebutuhan garam dalam negeri khususnya garam industri (Kemenperin, 2016)

Dari penjelasan singkat di atas, dapat diketahui dua permasalahan garam di Indonesia.

Permasalahan yang pertama adalah produktivitas garam yang masih rendah, dan yang kedua

kualitas garam yang rendah. Indonesia menghasilkan garam 70 ton/hektar, Angka ini lebih

rendah dibandingkan dengan Australia yang dapat menghasilkan garam dengan produktivitas

yang mencapai 350 ton/hektar (Detik Finance, 2015). Guru Besar Bidang Teknik Rekayasa

Lingkungan Universitas Indonesia Misri Gozan mengatakan, Indonesia sering mengalami

kelangkaan garam karena produksinya yang rendah. Hal ini terjadi pada tahun 2010, di mana

dalam satu tahun hanya mampu menghasilkan 3.000 ton garam dari kapasitas yang ada 2,1 juta

ton.

Ada banyak faktor yang diperkirakan menyebabkan rendahnya produktivitas garam di

Indonesia. Pertama, teknik produksi dan peralatan yang digunakan masih sangat tradisional serta

produksi garam yang sangat bergantung pada cuaca yang secara umum hanya memungkinkan

memproduksi garam hanya dalam waktu 4 bulan (KKP, 2014). Produksi garam di Indonesia

sebagian besar juga merupakan produksi garam rakyat dengan luas areal rata-rata sebesar 0,5-3

hektar dengan letak yang terpencar-pencar. Kondisi ini menyulitkan pengembangan garam dalam

skala besar yang terintegrasi dan efisien yang membutuhkan kesatuan lahan datar yang cukup

luas yaitu antara 4 ribu hingga 6 ribu hektar sehingga mendapat manfaat dari skala ekonomi

(Puska PDN, 2012). Selain itu usaha garam hanya mata pencaharian musiman. Petani garam

hanya memanfaatkan waktu jeda pada usaha tambak udang sehingga usaha garam rakyat belum
dilakukan secara berkelanjutan. Untuk permasalahan ini saat ini pemerintah sedang melakukan

ekstensifikasi lahan pengolahan garam.

Selain produktivitas garam, permasalahan yang kedua adalah kualitas garam. Garam

untuk sektor industri menuntut kualitas yang tinggi dibandingkan garam untuk konsumsi rumah

tangga. Maka penting bagi pemerintah untuk mengupayakan berbagai riset dan mendukung

produsen dalam negeri dengan memberikan insentif agar para produsen garam dapat

memproduksi garam dengan kualitas yang tinggi sesuai kebutuhan sektor industri.

Impor garam adalah sebuah solusi yang dilematis, bagaikan pisau bermata dua di satu sisi

impor garam bisa menjadi sebuah solusi untuk kebutuhan garam untuk sector industry.

Pemerintah harus melindungi sektor industri yang membutuhkan garam. Hal ini mengingat

bahwa industri pengguna garam sangat memegang peranan penting dalam ekonomi. Misalnya

Industri makanan dan minuman yang membutuhkan garam per tahunnya sebesar 509,6 ribu ton

per tahun. Tanpa garam, industri makanan dan minuman tidak dapat berproduksi, akhirnya akan

menghambat pertumbuhan ekonomi. Tumbuhnya industri makanan dan minuman sangat penting

untuk diperhatikan mengingat industri ini sangat berkontribusi terhadap penyerapan lapangan

kerja yang jumlahnya tidak sedikit karena multiplier effect yang dihasilkan oleh industri

makanan dan minuman dapat memberikan dampak penyerapan tenaga kerja sebanyak empat kali

lipat.

namun di sisi yang lain pemerintah harus melidungi petani garam karena 85% produksi di

Indonesia dihasilkan oleh garam rakyat dan hanya 15% dari total produksi garam yang

dihasilkan oleh PT. Garam (KKP, 2015). produksi garam rakyat tidak dikelola dengan teknologi

tinggi sehingga sebagian besar garam yang dihasilkan petani rakyat menghadapi kendala dalam
menghasilkan garam dengan kualitas yang memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh industri.

Akibat murahnya garam impor, petani garam lokal membanting harga namun pasar akan tetap

memilih produk impor yang kualitasnya terjamin.

Pemerintah harus lebih berani untuk menginvestasikan dana dalam mendukung riset dan

tercapainya produksi garam yang berkualitas. Sebenarnya garam rakyat juga mampu mencapai

kualitas seperti yang dipersyaratkan oleh industri yaitu dengan kandungan NaCl yang mencapai

lebih dari 95%. Hal itu terbukti bahwa sudah ada sekitar 31% garam rakyat yang berdasarkan uji

laboratorium telah mampu mencapai NaCl lebih dari 95% apalagi dengan perkembangan

produksi yang terjadi akhir-akhir ini dimana dengan bantuan KKP melalui teknologi membran

sel umumnya garam rakyat sudah memiliki kualitas dengan kandungan NaCl yang tinggi

(PKPDN, 2012). Namun upaya yang telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan

tersebut perlu bersinergi dengan kementerian lain seperti Kementerian Perindustrian dan

Kementerian Perdagangan untuk bisa menciptakan kepastian kualitas garam namun tetap

menjamin kepastian pasar dan pembatasan import barang sehingga harga bagi petani garam

menjadi kompetitif.

Selain pengembangan dari KKP, Berita antara pada Agustus 2017 menyebutkan bahwa

Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Trunojoyo Madura berkolaborasi

mengembangkan teknologi yang dapat memproduksi garam berkualitas sesuai standar dengan

kadar NaCl 99%. Pengembangan yang dapat meningkatkan kualitas seperti inilah yang

seharusnya mendapatkan perhatian dari pemerintah sehingga di masa depan Indonesia tidak

perlu mengambil opsi dilematis “impor garam” untuk memenuhi kebutuhan garam sektor

industri bahkan tidak menutup kemungkinan untuk Indonesia melakukan ekspor garam dari yang

sebelumnya ekspor garam meja menjadi ekspor garam berkualitas.


Sumber :

Antara News (2017). IPB – Trunojoyo kembangkan Teknologi Garam Berkualitas


Detik Finance.. (2015, Oktober 7). RI Punya Garis Pantai Panjang Tapi Impor Garam, Ini
Penyebabnya. Diunduh tanggal 9 April 2018.
dari http://finance.detik.com/read/2015/10/07/142628/3038290/4/ripunya-garis-pantai-
panjang-tapi-impor-garam-ini-penyebabnya.
Gatra. (2015, April 20). Hingga Akhir 2015, Kebutuhan Garam Nasional 2,6 Juta Ton. Diunduh
tanggal 9 April 2018
dari http://www.gatra. com/ekonomi/industri/143400-hingga-akhir-2015,-kebutuhangaram-
nasional-2,6-juta-ton.
Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP) (2016) Peningkatan Kualitas
Garam Menuju Swasembada Garam Nasional.Tidak dipublikasikan. dalam info komoditi
garam, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan, Al Mawardi Prima, Jakarta
2016.
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri. (2012). Penerapan Supply Chain Management
untuk Meningkatkan Efisiensi dan Efektifitas Distribusi pada Kasus Garam. Pusat
Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Jakarta.
Statistik Kementerian Perindustrian, 2015 dalam infografis garampedia.com diakses tanggal 9
April 2018

Anda mungkin juga menyukai