net/publication/337257456
CITATIONS READS
0 1,233
1 author:
Dewi Parliana
Institut Teknologi Nasional
22 PUBLICATIONS 2 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Dewi Parliana on 14 November 2019.
Dewi Parliana
dpar@itenas.ac.id
Pengajar pada Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Nasional, Bandung-Indonesia
1. Latar Belakang
Bidang kajian ini adalah mengenai ruang terbuka publik di kota, sub judul yang akan dibahas adalah mengenai
pemahaman ruang didalam arsitektur, yang akan dikaji dari berbagai disiplin ilmu. Ilmu-ilmu yang terkait dengan ranah
arsitektur dalam pemahaman ruang ini antara lain Filosofi, Sosiologi, Psikologi(Lingkungan dan Ekologi), dan
Antropologi.
Permasalahannya adalah bahwa ruang dipahami oleh berbagai disiplin ilmu dan dilihat dari kacamata disiplin ilmu itu
sendiri berbeda, sementara ruang dalam pemahaman arsitektur adalah bisa mempunyai karakteristik antara fisikal dan
tidak fisikal. Jadi pertanyaannya adalah bagaimanakah ruang ditinjau dari kacamata arsitektur? Selanjutnya akan
dikemukakan dahulu pemahaman dari berbagai disiplin ilmu yang terkait yang kemudian pada bagian akhir akan
dirumuskan mengenai pemahaman ruang ditinjau dari ilmu arsitektur.
Pada diagram dibawah ini dapat dilihat bagaimana kedudukan ruang publik didalam kaitannya dengan disiplin ilmu-
ilmu lain, sehingga ruang publik tersebut tidak hanya dipandang sebagai satu bentuk fisik saja, tetapi ia juga merupakan
satu produk arsitektur hasil analisis dari fenomena manusia, yaitu secara psikologis antara lain perilaku, makna dan
nilai manusia pemakai ruang publik tersebut, dari disiplin ilmu antroplogi yaitu faktor pengaruh budaya dan tradisi
manusia juga mempengaruhi pola pembentukan ruang publik, dan dari displin ilmu filosofi pemahaman mengenai
ruang iitu sendiri digali secara mendasar.
2. Pemahaman tentang Arsitektur
Untuk memahami ilmu arsitektur, perlu dikaji kembali hal-hal yang paling mendasar dari arsitektur. Banyak teori yang
telah digali oleh para ahli, baik itu para filosof, sosiolog, dan para arsitek sendiri untuk mencari pemahaman arsitektur,
diantaranya ilmu pengetahuan tentang manusia, alam dan produk manusia.
Memahami arsitektur berarti mempelajari nenek moyang ilmu pengetahuan yaitu filsafat, ilmu dari segala ilmu, hal ini
penting untuk mencari epistemologi dari arsitektur dari aspek yang paling mendasar, dengan tujuan akhir tentu saja
harus proporsional dengan bidang arsitektur sendiri.
Dalam buku Architectural Theory volume I & II yaitu “The Vitruvian Fallacy” dan “Le Corbusier’s Legacy” tentang
sebuah perjalanan sejarah mengenai kategori kategori Arsitektur dan filosofi, dicari keterkaitan berbagai prinsip dan
doktrin dari para filosof di barat yang berpengaruh pada teori arsitektur selama dua puluh abad di barat.
Pada dasarnya semuanya berangkat dari satu asas yaitu kategori ketritunggalan vitruvius(Vitruvius Triad): Firmitas,
Utilitas, Venustas yang kemudian berkembang menjadi Function Form Construction. Sementara itu banyak ahli ahli
lain yang menulis tentang ke tritunggalan didalam arsitektur tersebut diantaranya T. Hamlin muncul pada tahun 1952
memulai pembicaraan tentang “Strength, Convenience, and Beauty yang berkata bahwa ketiga faktor ini selalu hadir
dan saling berhubungan”, pada tahun 1982 Rob Krier menulis dalam Architecture bahwa”Function, Construction and
Form mempunyai nilai sama dan bersama sama menjadi determinan bagi architecture, dan tidak satupun lebih
diprioritaskan dari yang lainnya”.
Ketritunggalan ini kemudian terus berkembang lagi sampai pada akhir abad dua puluh menjadi Form Function
Meaning, dimana Form terdiri dari size, shape, placement, kemudian Function terdiri dari function, perception(incl.
psychology, dan Meaning terdiri dari meaning of architecture, dan architectural orders.
2
Disamping asas ketritunggalan yang berkembang, banyak lagi teori teori arsitektur yang menjadi determinan didalam
arsitektur, diantaranya disiplin ilmu sosiologi, psikologi, fisika, matematika, antropologi dan filosofi. Dari pengaruh
pengaruh disiplin ilmu ilmu tersebut faktor faktor yang mempengaruhi ilmu Arsitektur dapat dijabarkan kedalam faktor
faktor yang berpengaruh dominan saja, dan walaupun berpengaruh, tetapi pengaruh tersebut masih dalam tataran dan
sudut pandang Arsitektur saja tidak diambil sudut pandang ilmu lain tersebut, sebagai contoh ruang ditinjau dari sudut
pandang psikolog dan ruang dari sudut pandang Arsitek akan berbeda, menurut psikologi cara pandang ruang tersebut
tergantung persepsi orang yang melihatnya, tetapi menurut arsitektur, ruang itu adalah sesuatu yang tidak terhalang
oleh benda.
Dari teori teori Arsitektur yang mendasar yang telah dibahas diatas, terlihat bahwa Form terjadi karena Function, dan
Contruction adalah pengejawantahan fisik dari Form. Perlu diyakini bahwa pengetahuan Arsitektur muncul karena
adanya kebutuhan akan “Space” atau ruang untuk menampung aktivitas manusia. Wadah yang tercipta ini kemudian
disebut produk Arsitektur, dan harus mengandung nilai guna didalamnya(Salura, Purnama 2001”Ber Arsitektur”),
sedangkan aktivitas manusia yang memerlukan ruang tersebut disebut Function, jadi asas utama didalam arsitektur
adalah Function Form.
Debat filosofi tentang space pada tiga abad terakhir telah didominiasi oleh dikotomi antara absolute versus relational
theories. Baik Isaac Newton maupun Aristoteles berpendapat tentang absolute space sebagai space yang tidak dapat
dipisahkan dengan time, space-time adalah “Container of infinite extension or duration” . Sebelum Newton, Aristotle
telah menyebutkan space sebagai wadah dari semua objek(Wiener, 1975 ; 297).
Bangsa Yunani kuno menciptakan space tidak sebagai persepsi yang logical, ontological atau psychological.
Melainkan mereka mengembangkan konsepsi umum dari space untuk geometry dan orientasi analisis geometrik,
seperti mereka mengkonsentarsikan space pada cosmology, fisika dan teologi(Bochner, 1973).
Relationist theory berkembang sebagai kritik dari konsep absolute space. Leibniz berkata bahwa space hanya tercapai
dalam hubungan antara non spatial, mental items(Speake, 1979; Smart 1988), Leibniz melihat space sebagai
order/tatanan dari hal hal yang hidup bersama sama berdampingan, atau order/tatanan dari keberadaan dari semua hal
yang sejaman (Bochner, 1973:297)
Kant berpendapat bahwa space adalah milik konstitusi yang subyektif dari pikiran, dan bukan konsep yang empiris
yang diturunkan dari pengalaman luar.(1993:48-68). Kita hanya dapat berbicara space dari sudut pandang manusia
saja. Diatas kondisi yang subyektif, gambaran space tidak ada maknanya sama sekali., sepertinya tidak dapat
menggambarkan milik objek manapun, juga tidak dapat menggambarkan mereka didalam hubungan mereka satu sama
lainnya. Space and time tidak akan ada dengan sendirinya tetapi pada diri kita. Dari pendapat ini itulah apa yang kita
sebut obyek luar, tidak lain dari gambaran belaka dari akal kita. Yang membentuk space(1993:54). Apapun obyek
alami sebagai sesuatu itu sendiri, pemahaman kita adalah dengan membatasinya kedalam cara kita merasakannya.
Relationist lainnya sudah mencoba untuk melindungi kenyataan space dengan menegaskan bahwa itu adalah
keterkaitan belaka antara objek fisik dan events(kejadian) dan oleh sebab itu wadah secara logika tidak jelas pada
sesuatu yang mewadahi.
Masih Albert Einstein(1954: xiii-xv) memberi kita kesan lain. Ia membedakan kedua konsep dari relational dan
absolute theory yaitu space sebagai posisi yang berkualitas dari dunianya objek material versus space sebagai wadah
dari semua objek material.
Kehadiran terminology space dari rekomendasi buku buku sosiolog mungkin bisa dimengerti, mempertimbangkan
keberadaan space dari sisi sosiolog. Tetapi keberadaannya pada architectural reference book(Hatje,1963; Harris and
lever, 1966, 1993; Yarwood, 1985; Pevsner, Fleming & Honour, 1991; Sharp, 1991; Curi, 1992) perlu dicatat. Satu
satunya pengecualian yang aku temukan adalah catatan lama, yang mendefinisikan space sebagai “ suatu area pada
sudut dari tangga putar” (Stuigis, 1989, terbit pada tahun 1901-2). Ini sangat mengherankan, mengingat dalam disiplin
ilmu dimana space dipertimbangkan oleh perbedaan perbedaannya sebagaimana esensinya(Zevi, 1957; Giedion, 1967;
Tschumi, 1990).
3
Satu penjelasan yang nyata mungkin pada konsep para arsitek pada pemakaian term dari space yang begitu sangat
jelas dan diterima secara universal antara mereka, sehingga tidak merasa perlu menjelaskan term itu lagi, diterima apa
adanya saja.
Tschumi(1990:13) mengingatkan kita bahwa ada dua pendekatan dalam mendefinisikan space: kesatu adalah
“membuat space jelas”, dimensi normatif dimana art dan arsitektur diperhatikan; yang kedua adalah menetapkan sifat
alami yang tepat dari space, sebuah gambaran dimensi yang mempertimbangkan philosophy, mathematics dan physics.
Konsep space sudah dipertanyakan sejak tahun 1970 oleh post modernists, yang telah memperlihatkan ketertarikan
baru dalam kebutuhan mass dan artinya(Van de Ven, 1993). Ini merefleksikan dilema yang berkepanjangan antara
mass dan void, antara empiris dan konseptual, antara nyata dan abstrak. Itu menjadi dilema physical space, yang dapat
secara cepat dimengerti oleh perasaan, dan mental space, yang butuh pengertian yang intelektual.
Meskipun kritik kritik ini konsep space sebagai esensi dari arsitektur tetap kuat. Dan pertanyaan mengenai hubungan
antara wadah dan mewadahi , antara mass dan space, masih terbuka. Tetapi apa yang kita pikirkan dari dilema antara
mass dan void dalam hubungannya dengan urban space? Itu bukan dikotomi yang dibesar besarkan dimana tidak ada
yang menang? Seperti kita berjalan dijalan, apa kita melihat orang saja, bangunan, perkerasan, jembatan, rambu jalan,
sain, dll. Dan hubungannya? Atau kita berjalan pada space yang ada tanpa benda benda ini? Apakah itu tidak masuk
akal untuk mengatakan bahwa dalam kita berjalan, di jalan kita berdua adalah bagian dari pengalaman spasial, dimana
kesertaannya berbeda dengan open space dan jalan dan berbeda pula dari squares, dan sebuah pengalaman dari objek
material yang membentuk atau mengkondisikan space tersebut? Kita dapat berpendapat, bahwa mass dan void
interrelated dan didalam pengalaman kita, interdependent. Bagaimanapun, interpretasi dari lingkungan
menggambarkan kepada sensor impresi kita sebaik abstrak formal kita. Tetapi apakah pengalaman ini cukup untuk
menjelaskan kompleksitas hubungan antara manusia, sebagai wakil dalam mentransformasikan space, dan space serta
objek material didalamnya, contohnya hubungan antara social dan physical space?
Kemudian ada perbedaan dan hubungan antara physical dan social space, Colquhoun(1989:223) mendefinisikan term
dari urban space kedalam dua perasaan: social space dan built space. Social space adalah “implikasi spasial dari
institusi sosial” dan telah distudi oleh para sosiolog dan geografer. Ini adalah pandangan yang mengarah untuk melihat
karakteristik physical dari lingkungan terbangun sebagai epiphenomena. Space yang dibangun, dengan kata lain
terfokus pada physical space “ morfologi space yang mempengaruhi persepsi kita, cara dipergunakannya/dipakainya
dan mendatangkan meaning yang mana merupakan perhatian arsitek.
Pandangan ini Colquhoun berpendapat “adalah subjek menuju dua pendekatan yang melihat bentuk sebagai fungsi
yang independen, dan melihat fungsi sebagai bentuk yang determinan”. Bahwa dalam interconnection dari fungsi dan
bentuk yang nantinya mempunyai perspektif mengarah kepada pendekatan para geographer dan para sosiolog tidak
menyukaianya, bagaimanapun, “arsitek selalu pada akhirnya tertarik dalam bentuk bentuk , bagaimanapun ini dapat
dipikirkan untuk dibangkitkan”(Colquhoun, 1989:224).
Contoh dari ketertarikan akan bentuk telah dikerjakan oleh Rob Krier(1979a), yang memulai dengan sebuah percobaan
untuk tidak memperkenalkan definisi baru dari space tetapi” membawa kembali arti yang orisinil dari space kedalam
peredaran”(1979a:15), sebuah arti yang menghindari value judgement, tidak ada estetika, kriteria dijatuhkan. Ia itulah
yang mengidentifikasikan urban space sebagai “external space”, “semua tipe space antara bangunan didalam kota
maupun ditempat lain”. Ini merupakan physical space yang murni, yang mana adalah”dibatasi secara geometris oleh
berbagai ketinggian”. Analisisnya dari urban space, jalan dan square, dan bentuk dasarnya, persegi, bulat dan segitiga,
dengan banyak variasi yang memungkinkan dan kombinasi.
Colquhoun menekankan lagi ketegasan yang konvensional antara physical dan social space dengan menaruh
kepercayaan pada peran pada fungsi sosial. Ia mengkritik kecenderungan modernist”mengambil pandangan pandangan
sejarah dan relatif dari arsitektur dan menghargai kota sebagai satu epiphenomena dari social function, menghasilkan
urban space yang khusus”, dalam melakukannya, ia berpihak dengan para kritikus post modern yang cenderung
memisahkan physical dan social space, dengan mengkonsentrasikan kepada pembentuk sebagai”sebuah otonomi sistem
yang formil”(Colquhoun, 1989:224).
Hubungan antara physical dan social space contohnya antara form dan function dalam bahasa arsitektur, telah menjadi
satu kunci tema dari tantangan post modern menuju modernisme. Formula modernist “form follow function”,
menghubungkan social dan physical space lebih pada sebuah jalan yang simplistic dan determenistic. Tantangan post
modern secara kontras berusaha untuk memisahkan hubungan tersebut dengan mengkonsentrasikan pada physical
space.
4
Satu lagi manifestasi dari debat antara absolute dan relational space adalah satu antara konsep mental dan real space.
Pada debat ini, real space, dimengerti sebagai melalui perasaan, yang membedakan interpretasi intelektuil manusia
didunia, yang menciptakan konstruksi mental. Representasi dari dilema pada mental versus real space dibuat oleh
Bernard Tschumi(1990).
Berlawanan dengan pendekatan teori, ada pendekatan pancaindera pada space. Dari perspektif ini, pengalaman kita
pada space adalah “peristiwa yang sensuous”. Ini berhubungan dengan pergerakan yang menciptakan “ sebuah
kaleidoskop dari perubahan impresi dari perpindahan antara satu sensasi spasial dan lainnya(Porter & Goodman,
1988:6). Tschumi memakai imaji dari labirin untuk mempresentasikan pengalaman space dari dalam. Dari pandangan
ini “space adalah nyata, untuk sepertinya memberikan pengaruh perasaan, lama sebelum sebab/alasanku”(Tschumi,
1990:20). Pandangan ini,”melihat datang sebelum kata kata”, telah dikenal oleh Surrealist:”Anak melihat dan
mengenali sebelum ia bisa berbicara”(Berger, 1972:7). Gap ini dapat ditelusuri dalam perasaan lain didalamnya, “ itu
dilihat tempat kita didirikan mana yang dikelilingi dunia”.
Masih ada hubungan yang tidak tetap antara apa yang kita lihat dan apa yang kita tahu. “Setiap sore kita melihat
matahari terbenam. Kita tahu bahwa bumi sedang berputar menjauh dari matahari. Masih pengetahuan, penjelasan,
tidak terlalu pas dengan penglihatan(Berger, 1972). Gap ini antara kata kata dan melihat, antara alasan/sebab dengan
pengertian/perasaan/akal, dilukiskan secara hidup oleh pelukis Surrealist Magrite dalam lukisannya seperti The Key of
Dream.
Didalam labirinnya Tschumi, dengan ambiguitas dan sudut sudut gelap, kita tidak mungkin punya pandangan tentang
space disekitar kita. Satu satunya jalan untuk menghubungkan kedalamnya melalui pengalaman sesaat dari space
dengan dibantu oleh perasaan/akal kita, pengertian yang empiris tentang space. Oleh sebab itu paradoks dari arsitektur,
menurut Tschumi, adalah” Kemustahilan mempertanyakan sifat dari space dan pada saat yang sama membuat
pengalaman dari real space” Itu sebuah paradoks antara pendekatan rationalist dan empiricist pada space. Seperti ia
menempatkannya, “Kita tidak bisa berpengalaman dan berpikir bahwa kita berpengalaman”; kemudian diikuti
oleh,”konsep dari space bukanlah didalam space”(Tschumi, 1990:27). Satu satunya jalan keluar dari dilema ini, ia
mempertahankan, dengan menggantikan konsep arsitektur terhadap proses pembangunan bangunan, dengan
memberikan contoh pekerjaan dari Henri Lefebvre.
Sebuah contoh yang menarik dari hubungan antara mental dan real space dapat ditemukan dalam arsitektur dan film,
dua spasial seni yang sering berhubungan asimetris(Dear,1994) sudah secara panjang lebar didiskusikan(Vidler),1993),
Toy,1994). Apa yang secara umum untuk mengkaitkan mereka adalah,”Pengalaman kini dari architectural space
dengan mengobservasi space, mempunyai banyak kesamaan kepada persepsi penonton dari rangkaian terpilih dalam
film”(Toy,1994:7). Mengingat pembentuk mengundang pengamat untuk berpartisipasi dalam narasi spasial, narator
terakhir mengatakan”Cerita cerita spasial”(O’Herlihy, 1994:90), Dalam peralihanlah, dari gerakan dalam real space
sampai pada pergerakan dalam imaginary space, yang Einstein, tulis pada akhir tahun 1930 an, diidentifikasikan
arsitektur sebagai nenekmoyangnya film. Ia menggambarkan kedua jalan yang kontras dari”mata spasial” “cinematic”,
dimana terdapat” impresi yang bermacam macam melewati depan dari tontonan yang tidak bergerak”., dan
“arsitektural”, dimana “tontonan bergerak melalui rangkaian fenomena yang diinginkan yang diserapnya dalam tatanan
dengan sensor visual”(dikutip dalam Vidler,1993:56). Inilah hal yang kurang lebih menginspirasikan para designer
seperti Jean Nouvel kepada siapa”Arsitektur ada, seperti sinema, dalam dimensi waktu dan pergerakan”. Yang
terkandung dan terbaca sebuah bangunan dalam term dari sequence.
Soja(1989:123) mengidentifikasikan dua konsep dari space: kesatu adalah physical space dari material alam, dibawah
yang ia klasifikasikan(salah) debat klasik tentang absolute versus teori relative(Soja,1989:120), Konsep kedua(yang
memang merupakan konsep relational) adalah mental space dari kognisi dan representisi, yang mengikutkan usaha
usaha untuk menjelajahi arti personal dan isi simbolik dari peta mental dan imaji lanskap. Ia kemudian mengikuti
Lefebvre, memperkenalkan konsep ketiga dari social space dan berpendapat bahwa satu tantangan yang paling berat
dari teori sosial kontemporer adalah mendefinisikan hubungan ketiga spaces. Soja menganalisis, kesamaan
Tschumi(1990) dan sebagian Dear”s(1994), menggambarkan kekuatan analisis dari social space oleh filsuf Henri
Lefebvre, yang bekerja sebagai skema dalam pekerjaan utamanya. The Production of Space(1991), telah
mempengaruhi keduanya, penafsiran modernist dan post modernist. Sementara Lefebvre menawarkan kita jalan untuk
menjembatani gap antara mental dan real space, justru ia memperkenalkan dilema lain antara differential dan abstract
space-sebuah dilema yang terletak didalam jiwa debat post modern versus modern.
Selanjutnya ada lagi yang menghubungkan antara abstract dan differential space yaitu Lefebvre. Point awalnya adalah
dari gap antara mental dan real space. Ia mengkritik tren dari epistemologi modern, dan pemikiran para filsuf terdahulu,
yang melihat space sebagai satu “mental thing” atau sebuah “mental place”. Ia menujukan kritiknya khususnya pada
semiology, studi sistematik dari signs, yang mana merupakan “dasar keilmuan yang tidak lengkap”.
5
Konsep produksi dari space merupakan peran utama dari pemikiran Lefebvre, “space sebagai produk sosial dan politik,
space adalah produk yang bisa dibeli dan dijual”(dikutip di Burgel 1987:29-30) , ini didasari oleh gagasan yang
dimodifikasi. Yang mana merupakan dasar dari tatanan kapitalis, meluas dalam space yang mempengaruhi
pergaulan/lingkungan fisik dalam sistem produksi pada kapitalis secara keseluruhan. Ia kemudian berpendapat bahwa
organisasi dari lingkungan dan pergaulan masyarakat, dan layout kota dan wilayah, tergantung dari produksi space dan
perannya dalam reproduksi dari formasi sosio ekonomi. David Harvey(1982,1985a,b) mengikuti Lefebvre dengan
menguraikan pada proses perubahannya, menggaris bawahi kontradiksi dengan jalur utama kapitalis, dimana proses
produksi para kapitalis mendominasi tempat. Disini adalah gerakan untuk menciptakan nilai surplus dengan persaingan
para kapitalis membawa pada akumulasi ynag berlebih. Ini menjadi manifestasi produksi berlebih dari komoditas,
dengan turunnya harga dan surplus buruh dan kapitalis. Mencoba untuk mengatasi kontradiksi ini, sumber khusus ini
dialihkan pada jalur kapital kedua, dimana penanaman modal dibuat pada lingkungan terbangun, menciptakan seluruh
lanskap fisik dengan kegunaan produksi, sirkulasi, pertukaran dan konsumsi. Juga ada pertukaran pergantian alur
kepada jalur keempat dari kapitalis dimana penanaman modal disalurkan pada penelitian dan pengembangan dan
peningkatan angkatan buruh. Bagaimanapun pertukaran tersebut berputar, disebabkan oleh perputaran alam dan
akumulasi berlebih, dan kadang, disebabkan pada krisis kenaikan dari investasi berlebih pada lingkungan terbangun,
Implikasi dari kontradiksi pada space ini diciptakan dibawah kapitalisme, oleh sebab itu devaluasi struktur diletakan
untuk dipakai nantinya dan kehancuran dari lanskap yang sudah ada dibuka secara segar untuk akumulasi. Konsep
produksi space merupakan peran utama dari pemikiran Lefebvre, “Space sebagai produk sosial dan politik, space
adalah produk yang bisa dibeli dan dijual”(dikutip di Burgel 1987:29-30). Menurutnya kegiatan sosial dan politik
mempengaruhi produksi space, dimana pada saat itu tatanan kapitalis yang berperan dalam pergaulan masyarakat
sehinnga pada akhirnya mempengaruhi layout kota, dan wilayah, juga space.
“space and time’, yang merupakan pemikiran Isaac Newton didominasi oleh paradigma biasa yaitu:”the mathematical
linear continuum”(Bochner, 1973:301).. Dan menurut Hermann Minkowski yang menyarankan konsep space-time
sebagai “four-dimensional continuum, yang menyatukan tiga dimensi space dengan satu waktu.
Space dan place: dimana space terlihat sebagai sesuatu yang terbuka, abstract expanse, sedangkan place adalah bagian
dari space yang ditempati oleh seseorang atau sesuatu dan diberkahi dengan arti dan nilai.
Space dan spesialisasi; perbedaan cara pandang dalam mengamati sesuatu dari manusia membutuhkan spesialisasi pada
space, ini disebabkan oleh faktor modernisasi yang mempengaruhi manusia
Setelah mengalami sejarah dan perjalanan panjang dari pemahaman space, dimana pemahaman space itu datang dan
dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu ilmu pengetahuan lain, untuk itu perlu kiranya menyimpulkan esensi dan
hakekat dari space itu sendiri.
Dari beberapa ahli telah dipahami bahwa space itu adalah wadah kegiatan sosial manusia atau juga merupakan wadah
objek material, yang mana space itu dapat juga merupakan produk dari kekuatan politik dan ekonomi.
Space juga dapat dipandang dari peta mental seseorang pengamat, sehingga space tersebut mempunyai persepsi
berbeda beda pada setiap orang, mengalami space haruslah berdasarkan pengalaman dan bukanlah sesuatu yang belum
dialami. Space dapat diimajikan tetapi space merupakan perspektif manusia yang mempunyai dimensi. Space dapat
dikategorikan dalam dua kategori yaitu inner space dan outer space, dan juga dibedakan dengan personal dan public
space.
4. Penutup
Ruang Didalam Arsitektur
Dari hasil pemahaman pemahaman diatas, maka pada akhir bagian dari tulisan ini akan dikaitkan antara ruang dengan
Arsitektur sehingga apa yang menjadi pokok bahasan mencapai hasil yang optimal karena dilandasi oleh berbagai teori.
Yaitu bahwa Arsitektur itu adalah proses mencipta yang memakai asas asas Form and Function dimana produk
Arsitektur itu adalah ruang/Form, ruang itu terjadi oleh karena adanya kegiatan manusia/Function. Sedangkan
ruang/space sendiri adalah wadah dari objek material dan kegiatan sosial manusia.
Didalam perjalanan proses mencipta dari Function menuju ke Form beraneka ragam faktor yang harus
dipertimbangkan, hal ini disebabkan karena Function melibatkan kegiatan manusia, dimana manusia adalah subjek atau
objek yang tidak pasti.
Untuk memahami manusia perlu perjalanan yang panjang dari para ilmuwan yaitu psikologi, antropologi dan juga
sejarah sehingga sampai kepada sesuatu yang lebih jelas, sementara ada juga faktor faktor luar yang mempengaruhinya
seperti ekonomi, politik fisik lingkungan dan lain lain.
Sedangkan ruang menurut Arsitektur adalah ruang kosong antara benda-benda padat, ruang merupakan wadah yang
mempunyai batas yang nyata yang terjadi akibat fungsi kegiatan manusia sesuai dengan aktivitasnya, dan dalam
menciptakan ruang banyak aspek yang dapat mengakibatkan efek secara psikologis maupun estetis(art). Ruang dalam
arsitektur bukan seperti dalam cyberspace atau cinema tetapi merupakan ruang yang dialami secara realita oleh
manusia dan ada.
6
Daftar Pustaka
1. Madanipour, Ali 1996. “ Design of Urban Space” An Inquiry Into A Socio-Spatial Process
2. Rutledge, Albert J. 1985. “A Visual Approach to Park Design”
3. Van de Ven, Cornelis. 1978. “ Space in Architecture”