Anda di halaman 1dari 2

Empat Ciri Gereja

Empat Ciri Gereja adalah istilah yang terdiri dari empat kata sifat yang
menggambarkan Gereja Katolik (Timur maupun Barat) seperti yang didirikan oleh Yesus Kristus.
Keempat ciri ini diterima oleh beberapa denominasi Kristen dengan dimasukkannya mereka ke
dalam kredo-kredo. Ciri-ciri ini seringkali diurutkan sebagai berikuat:

1. satu,
2. kudus,
3. Katolik, dan
4. apostolik.
Keempatnya merujuk pada empat aspek yang sangat hakiki dari Gereja sejati: persatuan,
kesucian, keuniversalan dan kerasulan.
Syahadat iman Gereja Katolik dirumuskan dalam Kredo (credere = percaya). Ada dua rumusan
kredo yaitu rumusan pendek dan rumusan panjang. Syahadat rumusan pendek disebut
Syahadat Para Rasul karena menurut tradisi syahadat ini disusun oleh para rasul.Yang panjang
disebut Syahadat Nikea yang disahkan dalam Konsili Nikea (325) yang menekankan keilahian
Yesus. Dikemudian hari lazim disebut sebagai Syadat Nikea-Konstantinopel karena
berhubungan dengan Konsili Konstantinopel I (381). Pada Konsili ini ditekankan keilahian Roh
Kudus yang harus disembah dan dimuliakan bersama Bapa dan Putera.Syahadat inilah yang
lebih banyak digunakan dalam liturgi-liturgi Gereja Katolik.
Di dalam rumusan syahadat panjang itu pada bagian akhir dinyatakan ke empat sifat atau
ciri Gereja Katolik : satu, kudus, Katolik dan apostolik. Gereja percaya akan kehendak Allah,
sebagaimana tertulis dalam Kitabsuci, bahwa orang-orang beriman kepada Kristus hendaknya
berhimpun menjadi Umat Allah (1Ptr 2:5-10) dan menjadi satu Tubuh (1Kor 12:12). Gereja
Katolik percaya bahwa kesatuan itu menjadi begitu kokoh dan kuat karena secara historis
bertolak dari penetapan Petrus sebagai penerima kunci Kerajaan Surga. Setelah Petrus
menyatakan pengakuannya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, maka
Yesuspun menyatakan akan mendirikan jemaat-Nya di atas batu karang yang alam maut tidak
akan menguasainya (Mt 16:16-19).
Demikianlah Petrus ditugaskan untuk menggembalakan domba-domba dengan cinta sehingga
St. Ignatius dari Antiokia menyebut Gereja Roma sebagai “pemimpin cinta kasih”. Memang
secara historis juga menjadi bagian dari kepercayaan bahwa para Paus merupakan pengganti
Petrus (Paus yang pertama), yang memimpin Gereja bersama semua Uskup seluruh dunia
secara kolegial disebut sebagai successio apostolica. Konsili Vatikan II menegaskan corak
kolegial tugas penggembalaan ini yang bertanggungjawab bagi pelakasanaan tugas-tugas
Gereja : memimpin/melayani, mengajar, dan menguduskan. Akhir-akhir ini dialog ekumenis
dengan Gereja-Gereja Angklikan, Ortodoks, dan Protestan menunjukkan semakin dirasakannya
kebutuhan membangun kesatuan dalam penghayatan iman dan kerjasama sebagai murid-murid
Kristus.
Ciri yang kedua dari Gereja adalah kekudusannya, Gereja itu kudus. Gereja Katolik meyakini diri
kudus bukan karena tiap anggotanya sudah kudus tetapi lebih-lebih karena dipanggil kepada
kekudusan oleh Tuhan, “Hendaklah kamu sempuran sebagaimana Bapamu di surga sempurna
adanya.” (Mat 5:48) Perlu diperhatikan juga bahwa kategori kudus yang dimaksud terutama
bukan dalam arti moral tetapi teologi, bukan soal baik atau buruknya tingkah laku melainkan
hubungannya dengan Allah. Ini tidak berarti hidup yang sesuai dengan kaidah moral tidak
penting. Namun kedekatan dengan yang Ilahi itu lebih penting, sebagaimana dinyatakan, “kamu
telah memperoleh urapan dari Yang Kudus, (1Yoh 2:20) yakni dari Roh Allah sendiri. (bdk. Kis
10:38) Diharapkan dari diri seorang yang telah terpanggil kepada kekudusan seperti itu juga
menanggapinya dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan kaidah-kaidah moral.
Ciri yang ketiga dari Gereja adalah Katolik (dari kata Latin: catholicus yang berarti universal atau
umum). Nama yang sudah dipakai sejak awal abad ke II M. pada masa St. Ignatius dari Antiokia
menjadi Uskup. Ciri ini juga sering berlaku untuk Gereja Angklikan dan Ortodoks. Ciri Katolik ini
mengandung arti Gereja yang utuh, lengkap, tidak hanya setengah atau sebagian dalam
mengetrapkan sistem yang berlaku dalam Gereja. Bersifat universal artinya Gereja Katolik itu
mencakup semua orang yang telah dibaptis secara Katolik di seluruh dunia dimana setiap orang
menerima pengajaran iman dan moral serta berbagai tata liturgi yang sama di manpun berada.
Kata universal juga sering dipakai untuk menegaskan tidak adanya sekte-sekte dalam Gereja
Katolik. Konstitusi Lumen Gentium Konsili Vatikan ke II menegaskan arti keKatolikan itu : “Satu
umat Allah itu hidup di tengah segala bangsa di dunia, karena memperoleh warganya dari
segala bangsa. Gereja nemajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat
istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik. Gereja yang Katolik secara tepat guna dan tiada
hentinya berusaha merangkum seganap umat manusia beserta segala harta kekayaannya di
bawah Kristus Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya” (LG. 13).
Ciri yang terakhir dari Gereja Katolik adalah apostolik. Dengan ciri ini mau ditegaskan adanya
kesadaran bahwa Gereja “dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus
sebagai batu penjuru” (Ef. 2:20). Gereja Katolik mementingkan hubungan historis, turun temurun,
antara para rasul dan pengganti mereka, yaitu para uskup. Dengan demikian juga menjadi jelas
mengapa Gereja Katolik tidak hanya mendasarkan diri dalam hal ajaran-ajaran dan
eksistensinya pada Kitabsuci melainkan juga kepada Tradisi Suci dan Magisterium Gereja
sepanjang masa.
Yang disebut Tradisi Suci adalah pengajaran yang bersumber pada ajaran lisan sejak zaman
Yesus dan para Rasul. Antara keduanya, Tradisi Suci dan Kitabsuci, tidak ada perbedaannya
bahkan saling melengkapi karena berasal dari sumber yang sama. Ini juga sesuai dengan yang
tertulis pada Injil Yohanes, “Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi
jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat
semua kitab yang harus ditulis itu” (Yoh 21:25). Sedangkan Magisterium Gereja artinya adalah
wewenang yang dimiliki sebagai warisan oleh Gereja untuk mengajar dan menafsirkan Kitabsuci.
Sebagaimana diketahui bahwa tak semua ayat pada Kitabsuci mudah untuk dimengerti maka
Gereja adalah pihak yang berwewenang untuk menafsirkannya agar umatnya tidak tersesat
(bdk. Kis 8:30-31). Wewenang Gereja mengajar juga adalah warisan sebagaimana Kristus telah
menyerahkan-Nya kepada Petrus dan para Rasul untuk mengajar atas nama-Nya (bdk. Mt.
16:13-20; Luk 10:16). Dalam praktiknya Gereja selalu dengan saksama menyelenggarakan
pengajaran iman atau penafsiran Kitabsuci itu dengan tenaga pengajar yang qualified dan
menggunakan buku-buku resmi yang dicetak seizin Uskup (imprimatur) dan sudah dinyatakan
isinya tanpa sesat (nihil obstat).
Demikianlah Gereja Katolik dalam meneruskan amanat yang diterima oleh Petrus, karena ia
mencintai Kristus maka Kristus berkata, “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh 21:15-17).

Anda mungkin juga menyukai