Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH CLINICAL EXPOSURE

“Efek Perubahan Iklim pada Penyakit Menular”

Disusun oleh :

Joey Michelle Anwar (01071190175)

Maria Gabrielle Vanessa (01071190182)

Helena Padilah (01071190239)

Dibimbing oleh :

dr. Wendy Wiharja

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

2021
DAFTAR ISI

COVER.……….……………………………………………………………………………...1

DAFTAR ISI…………………………………………………..……………………………..2

BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………...……………….3

BAB 2 ISI…………………………………………...………………………………………...4

DAFTAR PUSTAKA……………...………………………..………………………………..9

2
BAB I

PENDAHULUAN

Perubahan iklim merupakan suatu kondisi perubahan variabilitas iklim yang meliputi
suhu, kelembapan, dan curah hujan. Perubahan iklim dapat diamati di wilayah yang luas dan
dalam jangka waktu yang lama. Penyebab perubahan iklim bisa berupa proses alami maupun
yang berasal dari kegiatan manusia. Walaupun manusia sebetulnya memiliki peran untuk
menjaga dan merawat lingkungan, akan tetapi manusia juga yang merusak lingkungan akibat
keserakahan dan ketidakacuhannya. Alhasil, manusia sendiri yang menanggung
konsekuensinya, salah satunya ditandai dengan munculnya berbagai jenis penyakit, misalnya
penyakit-penyakit menular.

Suhu, kelembapan, dan curah hujan akan meningkat ketika ada perubahan iklim dan
ketiga variabel ini memiliki pengaruh terhadap transmisi dari penyakit menular. Suhu
berpengaruh terhadap replikasi serta kematangan dari vektor. Masa inkubasi juga akan
dipercepat sehingga mampu memperluas penularan. Kelembapan udara memiliki pengaruh
terhadap masa hidup vektor nyamuk karena kelembapan yang tinggi membuat nyamuk lebih
sering melakukan gigitan. Curah hujan berpengaruh terhadap penyakit-penyakit yang
bersumber pada reservoir. Adanya curah hujan bisa meningkatkan tempat perkembangbiakan
nyamuk. Selain ketiga variabel iklim di atas, migrasi penduduk juga memegang peranan
penting dalam transmisi penyakit menular.

Dampak perubahan iklim yang dirasakan masyarakat bisa berbeda-beda. Hal ini bisa
terjadi karena adanya perbedaan iklim antara satu daerah dengan daerah lainnya. Faktor sosial-
ekonomi juga berpengaruh. Misalnya, masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah akan
lebih rentan untuk mengalami dampak yang berat.

Segala strategi dan kebijakan dikerahkan oleh berbagai pihak untuk menangani masalah
penyakit menular yang diakibatkan dari perubahan iklim ini. Walaupun sudah ada kerja sama
lintas sektor, akan tetapi masih ditemukan adanya ketidaksetaraan penanganan untuk daerah-
daerah terpencil. Pelayanan Kesehatan primer di setiap daerah harus ditingkatkan lagi karena
peran petugas kesehatan sangat penting di daerah-daerah ini.

3
BAB II

ISI

Perubahan iklim merupakan suatu kondisi perubahan variabilitas iklim yang meliputi
suhu, kelembapan, dan curah hujan. Perubahan iklim dapat diamati di wilayah yang luas dan
dalam jangka waktu yang lama.¹Penyebab perubahan iklim bisa berupa proses alami
(perubahan intensitas matahari, perlambatan orbit bumi dalam mengelilingi matahari,
perubahan dalam sirkulasi air laut), maupun kegiatan manusia (pembakaran bahan bakar fosil,
penggundulan hutan, reboisasi, urbanisasi, penggurunan, dan sebagainya).² Sesungguhnya
manusia adalah satu-satunya makhluk di bumi yang mampu menjaga, merawat lingkungan,
serta melakukan perencanaan pembangunan dengan bijaksana dan hati-hati. Akan tetapi,
manusia pula yang mampu merusak lingkungan akibat keserakahan dan ketidakacuhannya.³
Manusia menggunakan energi yang berasal dari alam demi memenuhi kebutuhan
hidupnya dan seringkali penggunaan energi tersebut menimbulkan “sampah” yang bisa
membahayakan lingkungan sekitar, bahkan bisa mengancam kelangsungan hidup manusia di
bumi. Sebenarnya kegiatan manusia telah memengaruhi lingkungan sejak dulu walaupun
kerusakan lingkungan yang dihasilkan minim. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman
kerusakan lingkungan yang ditimbulkan semakin bertambah.³
Hal lain yang memegang peranan penting ialah adanya pertambahan penduduk yang
meningkat pesat sehingga secara tidak langsung juga menambah beban bagi lingkungan.
Teknologi yang semakin maju memudahkan manusia untuk melakukan berbagai aktivitas dan
seringkali penggunaannya dapat merusak lingkungan. Kerusakan lingkungan yang sudah
dimulai sejak revolusi industri saat ini telah sampai pada tahap yang memprihatinkan dan
apabila tidak ada perbaikan untuk kedepannya, maka pemanasan global akan semakin dahsyat.³
Pemanasan global dapat terjadi karena adanya akumulasi gas rumah kaca di atmosfer
bumi. Gas-gas rumah kaca yang paling utama adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4),
dinitrogen oksida (N2O), klorofluorokarbon (CFCs), halon (CBrF3) dan ozon (O3).Salah satu
efek rumah kaca adalah suhu bumi yang menjadi lebih panas. Panas matahari yang memancar
dapat menembus atmosfer, yang kemudian sampai ke bumi, lalu akan dipantulkan kembali ke
atmosfer. Akibat dari akumulasi gas rumah kaca di atmosfer adalah pemantulan kembali ke
bumi sehingga bumi menjadi semakin panas.³
Masing-masing gas rumah kaca memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap
pemanasan global. Sumbangan ini tergantung kepada konsentrasi, durasi hidup (lifetime), dan

4
juga panjang gelombang radiasi yang dapat diserapnya. Gas rumah kaca yang jumlahnya paling
banyak di atmosfer bumi adalah karbon dioksida. Hal ini mendapat perhatian khusus dari para
ahli lingkungan, walaupun faktanya klorofluorokarbon (CFC) memiliki daya perusak pada
lapisan ozon di atmosfer 10.000 kali lebih kuat dari karbon dioksida.³

Dampak perubahan iklim bisa bersifat langsung seperti perubahan suhu udara,
peningkatan radiasi ultraviolet, dan polusi udara. Dampak yang dirasakan bisa juga bersifat
tidak langsung seperti ketersediaan pangan serta peningkatan kejadian penyakit yang menular
dan tidak menular, serta perpindahan penduduk. Hal ini memicu terjadinya perpindahan
penduduk dari satu tempat ke tempat yang lebih aman (misalnya dari desa ke kota ataupun dari
suatu kota ke kota lainnya), alhasil memudahkan penyebaran penyakit.³

Dampak perubahan iklim tidak dirasakan merata oleh semua penduduk. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan iklim antara daerah satu dengan daerah lainnya. Misalnya,
peristiwa heat stress akan terasa lebih berat apabila dialami oleh daerah yang sudah terbiasa
dengan kondisi curah hujan tinggi, begitupula sebaliknya. Faktor lain, kerentanan tiap individu
untuk mengalami gangguan kesehatan akibat perubahan iklim juga berbeda-beda. Pemahaman
mengenai hal ini sangat berguna dalam rangka menyusun urutan prioritas penanganan masalah.²

Selain perbedaan iklim antar daerah, dampak yang dirasakan akibat perubahan iklim
juga dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya faktor sosial-ekonomi.³Penduduk dengan ekonomi
menengah ke bawah serta tingkat pendidikan yang rendah akan lebih rentan untuk mengalami
dampak yang berat, apabila dibandingkan dengan penduduk yang wawasan akan kesehatan
serta penghasilannya lebih tinggi.²

Organisasi WHO (World Health Organization) menginformasikan bahwa ada beberapa


penyakit menular yang perlu diperhatikan di dalam sistem peringatan dini oleh suatu negara.
Penyakit-penyakit tersebut adalah : kolera, malaria, meningitis mengiokokal, dengue atau
demam berdarah, ensefalitis (Japanese dan St. Louis), rift valley fever, leismaniasis,
tripanosomiasis, west nile virus, murray valley encephalitis, ross river virus, dan influenza.
Khusus untuk Indonesia, penyakit kolera, malaria, meningitis mengiokokal, demam berdarah,
dan influenza perlu mendapat perhatian serius. Selain itu, penyakit-penyakit virus yang baru
seperti flu burung (avian influenza), SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), dan flu babi
(influenza A-H1N1) juga perlu mendapatkan perhatian.³

5
Terdapat dua mekanisme yang memengaruhi perubahan iklim terhadap penyakit
menular. Mekanisme yang pertama ialah dengan mengubah ekologi vektor penyebab penyakit
dan pelaksanaannya dilakukan di daerah tropis maupun subtropis. Kedua, perubahan iklim juga
bisa mengubah faktor risiko pada manusia seperti ketersediaan air minum, air untuk memasak,
sanitasi, dan irigasi.³

Iklim beserta variabel-variabelnya yaitu suhu, kelembapan, dan curah hujan merupakan
bagian penting dalam penularan penyakit yang berbasis vektor. Ketiga variabel tersebut akan
meningkat ketika ada perubahan iklim.¹
Variabel pertama yaitu suhu, berpengaruh terhadap replikasi serta kematangan dari
vektor.¹ Vektor nyamuk mampu memproduksi telur lebih banyak dan membutuhkan darah
manusia lebih banyak pada suhu lingkungan yang meningkat.³ Masa inkubasi juga akan
dipercepat sehingga mampu memperluas penularan. Contohnya pada vektor DBD (demam
berdarah dengue) yaitu nyamuk Aedes aegypti yang berkembang mulai dari fase telur, larva,
dan pupa. Proses perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh suhu sekitar.¹

Kelembapan udara memiliki peranan dalam memengaruhi masa hidup vektor nyamuk.
Hal ini dapat terjadi karena kelembapan yang tinggi akan membuat nyamuk aktif dan lebih
sering melakukan gigitan. Selain itu, vektor nyamuk juga sensitif terhadap kelembapan.¹

Curah hujan sangat berpengaruh terhadap penyakit-penyakit yang bersumber pada


reservoir, misalnya pada penyakit malaria dan DBD. Curah hujan bisa meningkatkan tempat
perkembangbiakan nyamuk. Curah hujan dengan intensitas tinggi dan lama bisa berpengaruh
menghilangkan tempat perkembangbiakan dari Aedes aegypti, sedangkan curah hujan yang
intensitasnya rendah dan terjadi dalam kurun waktu yang lama justru akan menambah jumlah
tempat perkembangbiakan dari nyamuk tersebut.¹

Selain variabel-variabel iklim, faktor lain yang harus diperhatikan adalah migrasi
penduduk yang memungkinkan membawa malaria dari daerah endemis ke daerah yang baru.
Sebenarnya, dengan pengendalian vektor yang sesuai, penularan dari malaria dan DBD bisa
dicegah. Masalahannya adalah sekarang banyak nyamuk yang kebal terhadap insektisida dan
pemerintah menggunakan biaya yang tersedia untuk keperluan yang lebih penting seperti
penanggulangan bencana alam, kurang gizi dan penyakit infeksi lainnya, yang mengakibatkan
kekurangan biaya untuk mengembangkan sistem pengendalian vektor.³

Faktor lingkungan yang dapat memengaruhi daya hidup dari vektor penyakit
diklasifikasikan menjadi 2 komponen yaitu abiotik (benda-benda mati) dan biotik (makhluk-

6
makhluk hidup). Contoh-contoh dari abiotik adalah suhu, pengendapan, kelembapan relatif,
angin, radiasi dari matahari, letak (topografi), kolam air tawar, sungai dan danau. Contoh-
contoh dari biotik adalah vegetasi, host (mamalia, reptil, burung), predator, parasit dan penyakit
vektor.³

Selain vector-borne disease, penyakit non-vector-borne disease juga mengalami


peningkatan karena akses terhadap air bersih di Indonesia masih rendah (50%). Non-vector-
borne disease dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu water-based disease (air berperan sebagai
habitat vektor penyakit), water-borne disease (air berperan sebagai habitat dan pembawa bibit
penyakit) dan water-washed disease (penyakit yang dapat dihindari dengan protokol
kesehatan). Contoh-contoh dari water-borne disease yang penting di Indonesia adalah diare
yang disebabkan oleh bakteri (Escherichia coli, Vibrio cholerae, Salmonella), virus ( hepatitis
A dan poliomyelitis), serta parasit (giardiasis dan disentri amoeba).³

Water-washed disease disebabkan karena air yang bersih akan digunakan untuk
memasak dan minum daripada untuk mencuci tangan karena alasan ekonomi. Akibatnya,
tangan yang kotor dapat menyebabkan penularan penyakit seperti kolera, disentri basiler,
cacing gelang, cacing cambuk, dan cacing kremi. Penyakit-penyakit tersebut banyak ditemui di
lokasi yang sanitasinya jelek.Penyakit cacing juga dapat ditularkan melalui tanah. Suhu dan
kelembapan di dalam tanah meningkat akibat perubahan iklim global, sehingga telur cacing
mudah menetas dan dapat bertahan lama di dalam tanah. Hal ini memudahkan proses penularan
ke manusia.³

Adapula peningkatan penyakit yang ditularkan melalui udara (airborne disease)


misalnya penyakit radang paru-paru. Bersamaan dengan terjadinya kepadatan penduduk,
kurang gizi, sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan, dan urbanisasi yang tidak terkendali,
maka perubahan iklim global dengan seluruh akibatnya akan meningkatkan munculnya
penyakit TBC, lepra, penyakit kulit, dan sebagainya.³

Seperti yang kita ketahui, perubahan iklim berdampak tak hanya terhadap lingkungan
tetapi juga kesehatan manusia. Badan-badan di tingkat regional, nasional, ataupun internasional
telah memberi penilaian terkait hal ini. Berbagai informasi mengenai perubahan iklim mesti
diperhatikan. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa
kenaikan rata-rata suhu pada abad ke-21 ini berkisar dari 1,4°C sampai 5,8°C. Perubahan suhu
yang ditimbulkan diperkirakan akan jauh lebih besar setelah abad ke-21. Perubahan iklim yang

7
lebih besar juga diperkirakan terjadi di lintang yang lebih tinggi pada kedua belahan bumi,
ditandai dengan peningkatan resiko terjadinya gelombang panas (heat wave), banjir, dan
kekeringan, serta penyebaran penyakit-penyakit menular.⁴

Segala strategi dan kebijakan yang diterapkan oleh otoritas kesehatan untuk merespon
dampak dari perubahan iklim mesti dievaluasi lebih lanjut dan memberi perhatian khusus
mengenai masalah kesehatan. Diharapkan penanganannya kelak akan lebih baik dan bisa
mengurangi dampak-dampak buruk, baik terhadap lingkungan maupun kesehatan masyarakat.
Contoh kebijakan yang justru menimbulkan efek negatif adalah sebagai berikut : pada kasus
dimana penyimpanan air bersih direkomendasikan, justru bisa berdampak pada
perkembangbiakan dari vektor dan transmisi dari penyakit demam berdarah.⁴

Pendekatan yang dilakukan kepada masyarakat untuk isu-isu mengenai perubahan iklim
ditempatkan pada langkah-langkah mitigasi dan adaptasi. Langkah-langkah yang dilakukan
misalnya dengan promosi kesehatan, relokasi penduduk, pengawasan, pencegahan, dan
persiapan untuk pengendalian penyakit menular serta pelatihan tenaga kesehatan. Semua
praktik tersebut saling bergantung satu sama lain, mulai dari pendekatan preventif hingga
kuratif.⁵

Prinsip kesehatan masyarakat harus dikembangkan agar lebih efektif. Proses ini
membutuhkan kolaborasi lintas sektor, dimana kolaborasi ini mempunyai peranan penting
dalam mitigasi dan adaptasi. Dalam lintas sektoral, dibutuhkan kerja sama dari semua sektor,
departemen, organisasi pemerintah dan non-pemerintah, universitas, elemen masyarakat dan
badan internasional. Akan tetapi, dalam penanganan komunitas pulau yang terpencil, rentan,
dan kecil pasti akan ditemukan beberapa masalah etika, hak asasi manusia, dan
ketidaksetaraan.⁵

Pelayanan kesehatan primer di setiap daerah harus ditingkatkan lagi. Peran petugas
kesehatan sangat penting terutama untuk masyarakat yang tinggal di daerah terpencil karena
akses menuju rumah sakit besar lumayan jauh dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Jadi,
setiap daerah terpencil wajib memiliki pelayanan kesehatan.⁵

Efek dari perubahan iklim akan bervariasi, tergantung pada wilayah dan populasi
kelompok. Masing-masing wilayah mempunyai cara pendekatan yang berbeda dan efek yang
dihasilkan dari tingkat pendekatan tergantung pada kualitas tata kelola dan kepemimpinan yang
menangani masalah ini.⁵

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Sulistyawati. 2015. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA PENYAKIT MENULAR :


SEBUAH KAJIAN LITERATUR. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT. 08(01) :
342-347.

2. Iwan M. Ramdan. 2012. PERUBAHAN IKLIM, DAMPAK TERHADAP KESEHATAN


MASYARAKAT DAN METODE PENGUKURANNYA. Husada Mahakam : Jurnal
Kesehatan. 3(3) : 3,6.

3. Yulia Lanti Retno Dewi. 2012. PERUBAHAN IKLIM DAN POTENSI GANGGUAN
KESEHATAN DI INDONESIA. Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya
dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Bangsa. 9(1) : 1-6.

4. Budi Haryanto. 2009. Climate Change and Public Health in Indonesia Impacts and
Adaptation. Austral Policy Forum. 09(05S) : 8-9.

5. Ady Wirawan. 2010. Public Health Responses to Climate Change Health Impacts in
Indonesia. Asia-Pacific Journal of Public Health. 22(01) : 7.

Anda mungkin juga menyukai