Anda di halaman 1dari 17

Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Journal Reading

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Peradangan jantung pada COVID-19 : Pelajaran dari gagal


jantung

Oleh
Silvanus Giovanny Bunga Allo
2010017016

Pembimbing
dr. M. Furqon, Sp.JP

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2021
Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Journal Reading
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Peradangan jantung pada COVID-19 : Pelajaran dari gagal


jantung

Oleh
Silvanus Giovanny Bunga Allo
2010017016

Pembimbing
dr. M. Furqon, Sp.JP

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2013
Peradangan jantung pada COVID-19 : Pelajaran dari gagal jantung

Abstrak

Penyakit kardiovaskular adalah komorbiditas paling umum yang berhubungan dengan


COVID-19 dan tingkat kematian pada pasien COVID-19 dengan penyakit kardiovaskular
lebih tinggi dibandingkan penyakit penyerta lainnya, seperti hipertensi dan diabetes. Data
sebelumnya menunjukkan bahwa COVID-19 dapat menyebabkan atau memperburuk cidera
jantung pada pasien yang terinfeksi dengan berbagai mekanisme seperti ‘badai sitokin’,
endoteliosis, thrombosis, limfositopenia, dan lain-lain. Otopsi pada pasien COVID-19
mengungkapkan infiltrasi sel mononuklear di miokardium, mengkonfirmasi peran sistem
imun dalam memediasi kerusakan kardiovaskular dalam merespon infeksi COVID-19 dan
juga menunjukkan mekanisme penyabab potensial untuk perkembangan patologi jantung dan
atau eksaserbasi penyakit kardiovaskular yang mendasari pada pasien yang terinfeksi. Dalam
ulasan ini, membahas potensi mekanisme molekuler yang mendasari yang mendorong
kerusakan jantung yang dimediasi COVID-19, serta efek kardiovaskular jangka pendek dan
jangka panjang yang diakibatkan infeksi COVID-19.

Pengantar

Corona Virus Disease-2019 (COVID-19) adalah pandemi yang sedang berlangsung


yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARSCov-2)
yang berawal dari provinsi Wuhan di Cina. Penyakit ini sangat menular dan telah menyerang
lebih dari 187 negarar di seluruh dunia, menginfeksi sekitar 32 juta orang dan mengakibatkan
kematian lebih dari 966.000 orang. Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 6,9 juta orang
terinfeksi dan sekitar 200.00 kematian, dan jumlah ini terus meningkat setiap hari. Untuk
mengontrol penyebarannya, tindakan karantina yang ketat telah dilakukan diseluruh dunia
dan telah ada dorongan kuat untuk mengembangkan diagnostic yang cepat,terapi dan vaksin.

Kebanyakan pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 tidak menunjukkan gejala, atau dengan
gejala ringan sampai sedang dan segera pulih dalam 1 – 2 minggu. Gejala yang paling umum
dari COVID-19 adalah sesak napas, demam ringan, dan batuk. Namun pada beberapa pasien
dapat berkembang hingga terjadi pneumonia dan dyspnea parah, dan akhirnya masuk ke unit
perawatan intensif dan membutuhkan intubasi. Tingkat keparahan yang bervariasi ini masih
belum dapat dijelaskan penyebabnya, sejauh ini yang dapat diketahui adalah COVID-19
menyerang sistem pernapasan dengan kerusakan alveolar difus serta Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) sebagai gejala khas infeksi COVID-19 yang parah. Selain
menyerang paru, juga ditemukan bukti bahwa SARS-CoV-2 juga mempengaruhi organ-organ
lainnya, termasuk jantung, otak, usus besar, ginjal dan limpa.
Pada penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa hiper-inflamasi sistemik yang mengarah ke
Cytokine Release Sydrome (CRS, atau cytokine storm) dianggap sebagai salah satu
mekanisme penyebab utama untuk komplikasi serius dan tingkat kematian yang tinggi pada
infeksi COVID-19. Peradangan awalnya dipicu di jaringan parenkim paru karena SARS-
CoV-2 menginduksi kerusakan sel epitel alveolar, dan menimbulkan infiltrasi sel imun yang
luas. Walaupun demikian, respon inflamasi local ini juga menginduksi pelepasan sitokin pro-
inflamasi sistemik, mengakibatkan hiper-inflamasi pada beberapa organ, dan menyebabkan
kerusakan jaringan lainnya, dan berkahir pada kematian pasien. Cytokine storm diketahui
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasien COVID-19, berbagai
mekanisme patofisiologis seperti endoteliosis, disregulasi sistem Renin-Angiotensin-
Aldosteron, thrombosis, lomfositopenia, anergi sel-T mungkin juga berkontribusi pada
tingkat morbiditas pasien COVID-19.

Selain hiper-inflamasi, beberapa penelitian juga melaporkan adanya penyakin komorbid juga
meningkatkan prognosis yang buruk pada pasien COVID-19. Sekitar, 94% dari semua pasien
COVID-19 memiliki satu atau lebih penyakit yang menyertainya, penyakit penyerta yang
paling umum antara lain, hipertensi, Penyakit Paru Obsturkis Kronis (PPOK), diabetes,
penyakit kardiovaskular, dan penyakit serebrovaskular. Walaupun hipertensi merupakan
komorbiditas paling banyak pada pasien COVID-19, namun pasien COVID-19 yang
memiliki penyakit kardiovaskular memiliki angka kematian yang tertinggi.

Data klinis, dari pasien COVID-19 menunjukan peningkatan biomarker cedera jantung
seperti Nterminal, pro-B-type natriuretic peptide (NT-proBNP), troponin I (hs-Tnl) jantung,
dan C-reactive protein (CRP). Pada otopsi awal dari pasien dengan infeksi COVID-19 yang
parah menunjukkanadanya dilatasi ventrikel kanan yang parah, jantung nekrosis, dan
infiltrasi sel imun ke dalam miokardium.

Inflamasi berperan penting dalam pathogenesis COVID-19, dan peradangan ini juga
mendorong respon patologis jantung terhadap stress, antara lain infark miokard (MI) dan
gagal jantung (HF). Pada gagal jantung iskemik dan non-iskemik, sel imun menyusup ke
miokardium dan melepaskan sitokun proinflamasi yang menyebabkan maladaptive cardiac
remodeling. Studi terbaru pada hewan dan manusia telah meningkatkan pemahaman kita
tentang mekanisme molekuler yang mendorong terjadinya peradangan pada jantung ini.
Dalam ulasan kali ini, kita akan membahas pathogenesis SARS-CoV-2, mekanisme yang
berperan dalam kerusakan jantung pada COVID-19 dan mekanisme inflamasi umum yang
memediasi gagal jantung antara COVID-19 dan penyakit jantung iskemik atau non-iskemik.

Pathogenesis SARS-CoV-2

SARS-CoV-2, merukapan bagian dalam keluarga Coronavirus, yang termasuk dalan jenis
enveloped positive single-stranded RNA virus, dan merupakan turunan dari novel strain Beta
coronavirus. Secara historis, coronavirus yang menginfeksi manusia termasuk strain seperti
hCOV-OC43, HKU, dan 229E, yang menyebabkan gejala ringan seperti flu biasa. Namun,
sejak tahun 2000, setidaknya ada 2 straun coronavirus yang sangat pathogen dan merusak
telah muncul, termasuk SARS-CoV pada 2002-2003 dan Middle East Respiratory Syndrome
Coronavirus (MERS-CoV) pada tahun 2012. SARS-CoV berasal dari Cina dan dengan cepat
menyebar ke lima dari tujuh benua, dan tercatat 8.098 kasus dengan angka kematian 10%.
Sedangkan MERS berasal dari Jazirah Arab dan mencatatkan 2.492 kasus yang terkonfirmasi
dengan tingkat kematian yang lebih tinggi, yaitu 35%.

Masuknya virus kedalam sel inangnya bergantung pada seberapa efisien pengikatan virus ke
reseptor sel inangnya. Tingkat keparahan virulensi ini juga dipengaruhi oleh sistem
kekebalam tubuh. Antibody spesifik yang dimiliki oleh host secara definitive dapat
menurunkan viral load dan infektivitas dari virus yang telah teridentifikasi.

SARS-CoV-2 memiliki kesamaan structural dan genetik signifikan dengan SARS-CoV yang
asli. Kedua virus ini berbentuk bulat dan memiliki beberapa transmembrane spike
glycoproteins yang tertanam di virion amplop yang membentuk homotrimers. Dalam kedua
kasus tersebut, infeksi pada manusia dimediasi oleh pengikatan protein spike pada permukaan
virus dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE-2) yang selanjutnya akan
terjadi pembelahan yang diaktivasi oleh transmembrane serine 2 (TMPRSS2) atau cathepsin
yang disekresikan oleh inangnya. S1 menyimpan domain pengikat reseptor yang berikatan
dengan reseptor seluler ACE2, sedangkan unit transmembran S2 memfasilitasi fusi
membrane virus dengan membrane sel inangnya. Fusi membrane difaslitasi oleh pembelahan
protein spike oleh protease sel inang seperti TMPPRSS2 atau cathepsin pada S1 dan S2, yang
akan mengaktivasi protein spike. Pembelahan protein spike ini yang membuat jalur
masuknya virus kedalam sel inang merupakan penentu tingkat infektivitas dan petogenesis
virus.

Selain itu, protein spike SARS-CoV-2 juga mengandung polybasic cleavage site, yang
memungkinkannya juga diproses oleh protease mirip furin, kemampuan yang dimiliki oleh
virus flu burung yang sangat pathogen. Laporan terbaru menunjukkan bahwa furin membelah
precursor dari protein spike SARS-CoV-2 untuk menghasilkan ArgArg-Ala-Arg (RRAR)
polibasa yang merupakan C-terminal pada protein S1, yang meningkatkan hubungan virus
dengan neuropilin-1 (NPR-1), reseptor sel banyak diekspresikan dalam epitel pernafasan dan
penciuman. Pada eksperimen in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa pengikatan SARS-
CoV-2 ke reseptor NPR-1 ini meningkatkan infeksi SARS-CoV-2 dalam kultur sel dan
mungkin merupakan factor yang berkontribusi signifikan untuk meningkatkan tropisme dan
infektibilitas SARS-CoV-2 pada manusia, dibandingkan dengan coronavirus sebelumnya,
kombinasi tingkat afinitas reseptor ACE2 yang tinggi dan meningkatnya tropisme karena
adanya situs pembelahan polibasa di porotein spike, meningkatkan kemampuan SARS-CoV-
2 untuk menginfeksi banyak organ, termasuk jantung.

Furin sendiri adalah protein transmembrane yang diekspresikan dimana-mana dan fungsinya
telah dikarakterisasi dengan baik pada jantung. Dalam kasus COVID-19, pembuatan profil
RNA sel tunggal (pscRNA) yang tahan protein dan diteliti efek infeksi pada ekspresi ACE2,
TMPSS2 atau furin di dalam hepar, menunjukkan bahwa kardiomiosit adalah target kritis
untuk infeksi oleh SARS-CoV-2, yang sebelumnya diketahui menyerang sel alveolar paru
tipe II (AT2) dan makrofag. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat
memasuki membrane sel dan bereplikasi dalam kardiomiosit yang diinduksi oleh pluripotent
stem cell-drived cardiomyocytes (hiPSC-CMs). Penelitian mikroskopis dan imunoflouresensi
menunjukkan bahwa virus terlokalisasi pada area perinuclear dan menginduksi apoptosis
pada hiPSC-CMs yang terinfeksi, hal tersebut memenunjukkan hasil yang buruk pada
jaringan jantung yang merespon infeksi COVID-19.

3. COVID-19 dan penyakit kardiovaskular

Kerusakan jaringan jantung telah dilaporkan sebelumnya sebagai efek dari wabah
coronavirus. Sekitar 8% dari seluruh pasien SARS memiliki komorbiditas CVD dan adanya
CVD atau diabeles mellitus pada pasien yang terinfeksi SARS menyebabkan setidaknya 12
kali lipat peningkatan angka kematian. CVD (30%) dan hipertensi (50%) adalah komorbiditas
yang secara signifikan terkain dengan MERS. Laporan terbaru dari wuhan, Italia dan
Amerika Serikat menunjukkan bahwa CVD adalah salah satu penyerta paling umum terkain
dengan COVID-19. Selain itu, pasien COVID-19 dengan CVD memiliki tingkat kematian
yang lebih tinggi (sekitar 10,5%) sebagai perbandingan dengan penyakit penyerta lainnya
seperti hipertensi (6%), diabetes (7,3%), atau penyakit pernapasan kronis (6,3%). Dalam
sebuah penelitian, dari 416 pasien rawat inap dengan COVID-19 yang terkonfirmasi, sekitar
20% memiliki peningkatan kadar hs-Tnl, yang merupakan penanda adanya peningkatan
respon patologis pada jantung. Pasien dengan biomarker cedera jantung yang meningkat ini
juga memiliki tingkat kematian yang jauh lebih tinggi (50%), dibandingkan dengan pasien
yang tidak mengalami cedera jantung (4,5%) temuan serupa juga dilaporkan pada penelitian
yang terpisah, di mana angka kematian di antara pasien dengan peningkatan Troponin T
(TnT) adalah sekitar 60%, sedangkan angka kematian pada pasien dengan tingkat TnT
normal adalah sekitar 9%. Pemeriksaan tambahan biomarker jantung seperti CRP dan NT-
proBNP, semuanya secara konsisten mengarah ke kesimpulan yang sama.

Meskipun terdapat peningkatan pada beberapa biomarker jantung, manifestasi


fisiologis dan patologis dari infeksi COVID-19 pada jantung mencakup spektrum yang luas.
Pada kasus yang parah, cedera miokardial akut ditandai dengan hipertrofi ventrikel kiri
konsentris dengan dilatasi, ventrikel kanan hipokinetik berat dan amyloidosis jantung.
Gangguan irama jantung juga telah diteliti pada pasien dengan COVID-19. Guo dkk,
melaporkan bahwa tingkat kejadian ventrikel takikarida (VT) atau fibrilasi ventrikel (VF)
adalah 7% dari pasien COVID-19 yang di rawat inap. Namun dalam uji klinis dengan sampel
lebih besar yang melibatkan 700 pasien positif COVID-19, hanya 1,3% dari pasien
mengalami henti jantung 3,6% mengalami fibrilasi atrium, 1,3% bradikardia dan 1,4%
memiliki nonsustained VT. Komplikasi penyakit vascular dari COVID-19 yang telah
dilaporkan antara lain stroke, lesi pada kulit jari kaki, dan Kawasaki disease yang menyerupai
vasculitis sistemik pada anak dengan infeksi COVID-19 yang parah. Pada penelitian otopsi
dan biopsy endokardium sebelumnya menunjukkan paradangan miokardial ringan yang
dibuktikan dengan adanya infiltrasi limfosit T dan makrofag CD68+ pada jantung. Selain itu,
bukti partikel virus dalam sel endotel vascular dan menyebar ke sel endotel vascular yang
rusak di paru, jantung dan organ lainnya juga telah dilaporkan.
Selain menjadi kormobiditas prognostic, CVD juga dapat disebabkan oleh COVID-19
pada pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya. Secara spesifik pada
penelitian kasus pasien tanpa riwayat penyakit kardiovaskular sebelumnya, ditemukan bahwa
adanya peningkatan kadar biomarker jantung seperti troponin T dan NT-proBNP,
mioperikarditis akut dengan penebalan dinding jatung dan disfungsi ventrikel kiri dilaporkan
satu minggu setelah gejala pernapasan benar-benar teratasi. Meskipun mekanisme penyakit
yang mendasari tidak dipahami dengan baik, temuan ini menunjukkan keterlinatan jantung
yang signifikan dalam COVID-19.

3.1 mekanisme infeksi COVID-19 menginduksi kardiovaskular disfungsi

Mekanisme yang mempengaruhi secara langsung, selain reseptor ACE-2 yang berfungsi
sebagai titik jangkar utama untuk SES-CoV-2, protease seluler seperti serine protease
TMPRSS2 dan cathepsin (cathepsin B dan cathepsin L) memiliki peran penting dalam
masuknya virus dengan membantu fusi virus dengan sel inang. Pada manusia, ekspresi
reseptor ACE-2 paling banyak pada saluran pencernaan, lalu ginjal, testis, jantung dan paru.
Pada penelitian tangkat ekspresi ACE-2 pada jantung mengungkapkan bahwa ACE-2 paling
tinggi diekspresikan dalam pericytes, yang melapisi mikrovaskulatur, lalu pada sel otot polos
vaskuler, fibroblast dan kardiomiosit. Selain itu penelitian tentang protease TMPRSS2 dan
cathepsin L sebagai tempat masuknya virus mengungkapkan bahwa TMPRSS2 diekspresikan
di semua jenis sel jantung, sementara CTSL memiliki tingkat ekspresi yang rendah pada
makrofag, adiposity dan kardiomiosit. Artikel terbaru melaporkan keberadaan SARS-CoV-2
partikel virus pada jaringan jantung, termasuk kardiomiosit, sel endotel, sel mesenkim, dan
sel – sel mediator inflamasi

Mekanisme yang mempengaruhi secara tidak langsung,selain potensi infeksi langsung pada
miokardium oleh SARS-CoV-2, kerusakan jantung juga dapat dipicu oleh beberapa
mekanisme tidak langsung pada pasien COVID-19. Hiperinflamasi sistemik dipicu oleh
infeksi SARS-CoV-2 pada paru, cytokine storm secara tidak langsung menvebabkan
kerusakan jantung.

Terapi Medis Optimal

Tujuan dan Pertimbangan untuk terapi medis optimal.

Pada pasien dengan angina stabil, tujuan terapi medis optimal adalah untuk
menurunkan resiko mortalitas dan kejadian kardiovaskuler di masa depan, meningkatkan
kapasitas latihan, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi gejala. Berbagai intervensi
yang direkomendasikan sebagai bagian dari OMT dan termasuk modifikasi gaya hidup dan
farmakologi pencegahan sekunder. Intervensi gaya hidup termasuk aktivitas latihan fisik
reguler, penghentian komplit menggunakan tembakau dan paparan asap tembakau, dan
modifikasi diet untuk mengubah terkanan darah, tingkat gula darah dan tingkat lipid serum,
bersama dengan kontrol diabetes dan manajemen berat badan.

Pengobatan farmakologi untuk mengurangi hasil klinis yang merugikan yaitu


pemakaian aspirin, statin, dan ACEI, dan/atau ARB yang meringankan fungsi ventrikel kiri.
Prognosis – Modifikasi agen yang dapat digunakan bersama dengan obat spesifik untuk
gejala angina stabil yaitu termasuk nitrat, beta bloker, CCB, dan ranoliazine, mungkin dapat
diresepkan sebagai monotherapi atau berbagai kombinasi.

Efek samping dan keterbatasan dari pengobatan anti angina tercantum pada tabel 1.
Pedoman terbaru dari European Society of Cardiology merekomendasikan pertimbangan
batas bawah untuk menerapkan terapi untuk hipertensi (130/85) pada pasien CAD, termasuk
mereka yang angina. Pasien dengan diabetes harus diobati dnegan target tekanan darah <
130/80 mmHg. Sebagai tambahan, diabetes merupakan faktor resiko untuk penyakit jantung,
glikemik, kontrol merupakan hal yang sangat penting. Namun target spesifik untuk HbA1C
tetap tidak jelas, dari data terbaru nilai rendah dari hemoglobin terglikasi menguntungkan
untuk penyakit makrovaskular. Sebagai contoh, hasil percobaan dari ACCORD (Action to
Control Cardiovascular Risk in Diabetes) menunjukkan tidak ada penurunan yang signifikan
dalam komplikasi makrovaskular pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang menerima terapi
intensif (traget HbA1C < 6%) dibandingkan dengan terapi standart ( Target HbA1C 7-7,9%).
Sebagai tambahan, pasien yang menerima terapi intensif mengalami peningkatan mortalitas
dan resiko tinggi hipoglikemia dibandingkan pasien yang menerima terapi standart.
Keputusan untuk menerima manajemen glukosa intensif pada pasien harus memperhatikan
durasi diabetes, adanya riwayat penyakit makrovaskular atau komorbiditas signifikan dan
ketidaksadaran hipoglikemia.

Tabel 1. Efek samping, perhatian dan kontraindikasi dari obat anti angina.

Beta bloker Nitrat CCB Ranolazine


Efek Samping Hipotensi Hipotensi Hipotensi Dizziness
Sinkop Sinkop Flushing Nyeri Kepala
Disfungsi Nyeri kepala Diziness Konstipasi
seksual
Fatiq Toleransi Edema Nausea
Depresi Fatiq
Peringatan / Bradikardia Obstruksi Bradikarfi Penggunaan dengan obat
Kontraindikasi aliran keluar a yang menyebabkan
traktus perpanjangan QT
Ventrikel
sinistra
Masalah Disfungsi Masalah Penyakit liver signifikan
konduksi ereksi konduksi
AV AV
Penyakit Penyakit Kontraindikasi dengan
sindrom sinus CYP3A6 inhibitor kuat
sinus sindrom (ketokonazol, klaritomisin
atau nolfinavir) dan
penginduksi CYP3A
(rifampisin dan
fenorbarbital)
Penyakit Gagal
vaskuler jantung
perifer
PPOK Disfungsi
Ventrikel
kiri

Hasil dari Terapi Medis Optimal

Selama 40 tahun terakhir, revaskularisasi arteri koroner termasuk PCI dengan stents
atau perkutan transluminal coronary angioplasty (PTCA), telah dibandingkan dengan
intervensi farmakologi untuk pengobatan angina stabil. Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa revaskularisasi lebih efektif daripada terapi obat anti angina. Namun, terapi medis
untuk pasien angina stabil telah berubah, dan sekarang beta bloker, agen anti platelet, ACEI,
dan terapi penurun lipid tersedia dan rutin digunakan. Percobaan random dengan yang
membandingkan PCI dan CABG dengan terapi medis konservatif juga telah menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara 2 strategi pengobatan dalam hal kematian,
kematian jantung, fatal atau nonfatal infark miokard. Percobaan terbaru mendukung
manajemen awal dari angina stabil menggunakan OMT. Percobaan COURAGE dirancang
untuk menilai apakah PCI yang dikombinasikan dengan terapi medis intensif dan manajemen
gaya hidup lebih unggul daripada monoterapi OMT dalam menurunkan resiko kejadian
kardiovaskular.

Percobaan pada 50 pusat medis di kanada dan AS terdaftar 2287 pasien dengan bukti
iskemia miokard dan signifikan CAD. Hasil dari COURAGE yang diterbitkan tahun 2007,
menetapkan bahwa, sebagai strategi manajemen awal, terapi kombinasi PCI dan OMT tidak
menurunkan resiko kematian dan nonfatal MI dibandingkan dengan monoterapi OMT selama
2,5-7 tahun. Tingkat revaskularisasi berikutnya secara signifikan lebih rendah pada kelompok
PCI dibanding dengan monoterapi OMT. Namun, ada pengurangan substansi angina pada
kedua kelompok dengan 74% dan 72 % dari pasien dengan PCI dan kelompok OMT, masing-
masing menjadi angina-free 5 tahun.

Di tahun 2009, studi BARI2D (Bypass Angioplasty Revascularization Investigation 2


Diabetes) dinilai optimal pada pengobatan pasien dengan komorbiditas diabetes (rata-rata
durasi 10,4 y) dan angina stabil. Dalam BARI2D, 2368 pasien yang ditugaskan untuk
menjalani revaskularisasi (PCI atau CABG) dikombinasikan dengan OMT sendiri, atau OMT
bersama dengan obat sensitisasi insulin atau terapi insulin. Pada 5 tahun, tidak ada perbedaan
signifikan antara revaskularisasi + OMT (88%) dengan kelompok monoterapi OMT.

Berdasarkan hasil prospektif besar, percobaan random dan data pengamatan lain,
ACC dan pedoman AHA pada manajemen pasien dengan angina stabil kronik menekankan
penggunaan terapi medis awal. Namun, ada tantangan bahwa banyak pasien dengan CAD
stabil sering menjalani PCI sebelum uji coba OMT, meskipun pedoman mendukung
penggunaan terapi medis dan studi menunjukan sedikit manfaat klinis tambahan dari
PCI/CABG awal sebelum OMT.

Nitrat dalam Terapi Medis Optimal.


Manfaat terapi nitrat
Nitrogliserin memiliki beberapa efek kardiovaskular yang menguntungkan, termasuk
vasodilatasi koroner epikardial, penurunan resistensi pembuluh darah koroner, meningkatkan
aliran kolateral koroner, penurunan kemungkinan coronary steal, peningkatan kapasitas vena,
dan menurunkan preload, dan agregasi, menghasilkan turunnya konsumsi oksigen miokard
dan meningkatkan kapasitas latihan. Nitrat merupakan komponen penting dari OMT dan
pengganti atau menambah agen antiangina lain. Efek antianginal dari nitrigliserin telah
dikenal sejak 1879. Selama lebih dari 3 dekade , penelitian telah menunjukkan efikasi dari
profilaksis penggunaan nitrat untuk meningkatkan toleransi latihan pada pasien dengan CAD.

Penggunaan Nitrat jangka pendek dan jangka panjang

Nitrat dapat berupa jangka pendek dan panjang dan dapat diberikan berupa tablet
sublingual, kapsul, semprotan, patch, atau salep (tabel 2). Pertimbangan klinis yang
mempengaruhi penggunaan berbagai preparat yaitu temasuk waktu onset kerja, durasi
aktivitasnya, stabilisasi/potensi, pelega gejala dan profilaksis, potensi perlawanan,
perkembangan, kenyamanan, kepatuhan, harga dan keinginan pasien, dan obat-obatan yang
digunakan secara bersamaan. Nitrat short-acting sering diberikan untuk meringankan nyeri
angina akut dan bisa digunakan sebagai profilaksis untuk meningkatkan toleransi latihan dan
mencegah latihan yang menginduksi iskemia.

Dalam studi pada pasien angina kronik stabil, terapi profilaksis dengan nitrogliserin
sublingual semprot menghasilkan peningkatan terkait dosis saat onset angina, depresi segmen
ST, dan durasi latihan. Pendekatan untuk pengobatan ini sangat cocok untuk pasien angina
yang dipicu oleh aktivitas atau aktivitas spesifik. Pasien dengan suspek CAD yang
dikeluarkan dari departemen emergensi atau mereka yang pulih setelah rawat inap juga harus
dipertimbangkan untuk pengobatan angina dengan nitrat kerja pendek. Nitrat kerja pendek
juga digunakan untuk melengkapi nitrat kerja panjang ketika pasien mengalami serangan
akut. Nitrat kerja panjang baik sebagai monoterapi atau kombinasi dengan beta bloker atau
CCB sering diggunakan untuk mencegah atau mengurangi frekuensi angina pada pasien
dengan CAD. Agen kerja panjang ini dapat digunakan untuk memperpanjang durasi kerja
dari bentuk kerja pendek.

Tabel 2. Bentuk dari penggunaan terapi angina


Isi preparat Dosis penggunaan) Onset durasi
kerja,
menit
Nitrogliserin
Sublingual 0,3-0,6 mg – 1,5 mg sesuai keperluan 2-5 10-30
menit
Semprot/aeros 0,4 mg, 1-2 kali semprot sesuai 2-5 10-30
ol kebutuhan – 3 dosis minimal 5 menit menit
Salep 2% 7,5-40 mg (6 x 6 in,atau 15 x 15 cm) 20-60 3-6 jam
Transdermal 0,2-0,8 mg/jam / hari; tidak digunakan 60- 8-12
patch pada malam hari 12 jam 120 jam
Isosorbid Oral 5-80 mg, 2-3 x/hari 30-60 8 jam
dinitrat
Isosorbid Oral 20 mg 2 x sehari 30-60 12-14
mononitrat jam
Isosorbit Oral 120-240 mg per hari, diberi 1 x sehari 30-60 12 jam
mononitrat SR

Toleransi Nitrat dan keterkaitan angina


Toleransi dan toleransi silang dengan nitrat telah diketahui, dan toleransi dapat
berkembang cepat, biasanya 12-24 jam. Karena itu periode bebas nitrat adalah 10-12 jam per
hari atau nitrat tingkat rendah pada malam hari umumnya direkomendasikan. Perlu dicatat
bahwa pendekatan ini membawa resiko peningkatan frekuensi angina selama periode bebas
nitrat,membatasi kemampuan efek terapi. Selain itu, peningkatan angina saat istirahat telah
diamati selama periode bebas nitrat dengan formulasi nitrat transdermal. Penurunan durasi
latihan sebelum diobati kembali (sering disebut sebagai efek waktu nol). Namun, peningkatan
angina nokturnal(malam hari) ataupun efek waktu nol telah diamati dengan pemberian nitrat
kerja panjang.
Mekanisme yang tepat yang mendasari perkembangan toleransi tidak sepenuhnya
diketahui. Studi in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa kelompok sulfhydryl habis
mengikuti terapi nitrat jangka panjang. Selain itu, gangguan biokonversi nitrogliserin,
menurunkan bioavaibilitas dari nitrit oksida dan produksi guanosin fosfat, aktivasi
vasokonstriktor sistem RAA dan sistem saraf simpatis berespon pada vasodilatasi yang
disebabkan nitrat, dan peningkatan radikal bebas oksigen juga telah terlibat pada
perkembangan toleransi nitrat. Namun penggunaan bersama dengan donor sulfhidril, ACEI,
ARB, diuretik arginin, carvedilol, dan pengambil radikal bebas oksigen belum menunjukkan
bukti kuat untuk mencegah perkembangan toleransi. Oleh karena itu, penerapan periode
bebas nitrat atau rendah nitrat pada malam hari mungkin ditawarkan sebagai cara yang paling
dapat diandalkan untuk mempertahankan efektivitas.

Kontraindikasi penggunaan Nitrat


Penggunaan formulasi nitrat jangka pendek dan jangka panjang merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan reaksi alergi nitrat organik. Penggunaan bersamaan
dengan fosfodiesterase inhibitor untuk disfungsi ereksi-sildenafil, tadalafil, dan vardenafil
merupakan kontraindikasi, karena meghasilkan potensi vasodilatasi yang mengakibatkan
hipotensi. Semua bentuk nitrogliserin harus digunakan dengan hati-hati selama hari hari awal
serangan akut infark miokard.

Pengobatan dimulai sebelum kondisi ini, perhatian kusus harus diberikan pada
monitoring hemodinamika dan status klinis. Nitrat kerja panjang harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien dengan CHF(congestive heart failure).
Seperti obat-obat dengan efek vasodilatasi, walau dosis kecil nitrat kerja pendek dan panjang
dapat menyebabkan terjadinya pusing atau hipotensi, terutama ketika pasien dalam kondisi
tegak.
Resiko ini menjadi besar pada pasien usia lanjut karena penurunan alami pengaturan
sistem saraf otonom. Pada pasien dengan deplesi volume (contoh : terapi diuretik), atau pada
pasien yang memiliki tekanan sistol rendah ( < 90 mmHg).
Nitrogliserin memicu hipotensi juga dapat disertasi dengan bradikardia paradoksal
dan peningkatan angina pektoris. Yang paling penting adalah nitrat dapat memperburuk
angina dati kardiomiopati hipertrofi. Ini berlaku untuk penggunaan nitrat jangka panjang pada
orang tua.

Hambatan Penggunaan Nitrat


Banyak dokter menggunakan nitrogliserin sub lingual semata-mata untuk pelega kerja
pendek pada angina. Dokter-dokter memperhatikan tentang perkembangan toleransi dan
takipilaksis dan perhatian terkait pasien tidak memiliki manfaat meneruskan manfaat dari
nitrogliserin. Akhirnya, dengan meningkatnya ketersediaan intervensi perkutan, dokter
cenderung melihat terapi medis kurang efektif dibandingkan prosedur invasif. Pasien juga
mungkin enggan untuk mengambil nitrat yang diresepkan. Akibatnya mereka sering memilih
untuk mengatur penurunan akitivitas atau tenaga untuk menghindari angina daripada
menggunakan nitrogliserin sebagai pencegahan untuk mengurangi angina. Dalam kasus lain,
pasien tidak mengerti ahwa nitrat dapat digunakan untuk gejala profilaksis.

Rehabilitasi jantung
Pencegahan sekunder merupakan komponen penting dari manajemen CAD dan
termasuk aneka segi strategi intervemsi yang dimaksudkan untuk mengurangi faktor resiko
yang dapat dimodifikasi untuk penyakit kardiovaskular. Tujuan dari rehabilitasi jantung
adalah untuk menstabilkan, memperlambat, atau membalikkan perkembangan dari CAD,
meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakit melalui edukasi, mempromosikan
kebiasaan diet melalui konseling gizi dan meningkatkan kualitas hidup.

Rekomendasi dan Manfaat dari Rehabilitasi Jantung


Program rehabilitasi jantung termasuk latihan aerobik dan pelatihan resistensi,
konseling diet dan gizi, kontrol berat badan, manajemen lipid, pemantauan terkanan darah,
manajemen diabetes, dan berhenti merokok, sebagai edukasi medis. Pertautan intervensi ini
dengan rekomendasi intervensi sebagai bagian dari OMT. Pedoman ACC dan AHA untuk
pengelolaan pasien dengan angina stabil kronik mengidentifikasi terapi latihan sebagai unsur
inti dari rehabilitasi jantung.
30 hingga 60 menit intensitas aktivitas aerobik sedang (misalnya jalan cepat) sangat
dianjurkan minimal 5 hari (idealnya 7 hari) per minggu. Latihan ini harus dilengkapi dengan
peningkatan kegiatan harian, seperti berjalan santai selama bekerja atau berkebun.
Memperluas aktivitas fisik untuk memasukkan pelatihan resistensi masuk akal dikerjakan 2
hari per minggu.
Pengawasan medis rehabilitasi jantung dianjurkan untuk pasien yang beresiko seperti
mereka yang pernah mengalami sindrom akhir koroner akut, revaskularisasi, atau angina
stabil. Hal ini penting untuk menilai resiko dengan riwayat aktivitas fisik dan untuk
melakukan test latihan untuk memandu rekomendasi latihan.
Untuk lebih menemukan efek latihan berbasis rehabilitasi jantung pada pasien dengan
penyakit jantung koroner, review sistematik dan metanalisis acak, uji klinis terkontrol telah
dilakukan. Pada metanalisis, total 48 percobaan terdaftar 8940 pasien ditemukan dan
dibandingkan dengan perawatan biasa, rehabilitasi jantung memperlihatkan penurunan semua
penyebab kematian dan kematian karena jantung. Tetapi tidak ada perbedaan dalam tingkat
dari MI non fatal dan revaskularisasi. Tabel 3 membandingkan efek rehabilitasi jantung pada
titik akhir studi.
Dalam sebuah penelitian prospektif yang dirancang untuk membandingkan latihan
teratur dengan PCI pada pasien yang CAD stabil, 101 pasien pria dipilih secara acak untuk 12
bulan latihan (20 menit latihan perhari) atau PCI. Pelatihan menghasilkan peningkatan yang
signifikan lebih tinggi dan penyerapan oksigen maksimal gambar 1. Perbaikan dalam
kelangsungan hidup bebas dan peningkatan kapasitas latihan menghasilkan biaya yang lebih
rendah karena penurunan rawat inap kembali dan pengulangan revaskularisasi.

Tabel 3. Efek Latihan berdasarkan Rehabilitasi Jantung pada Studi End Point
Hasil Rata rata 95% CI Nilai p
perbedaan %
Mortalitas total -20 -7% sampai 0,005
-32%
Mortalitas -26 -10% sampai 0,002
jantung -29%
MI Non fatal -21 -43% sampai 0,150
-9%
CABG -13 -35% sampai 0,400
16%
PTCA -19 -51% sampai 0,400
34%
CABG = Coronary artery bypass grafting; CI = Confidence Interval; PTCA = Percutaneous
transluminal coronary angioplasty

Pasien dengan resiko Follow up (bulan)


Grup PCI 50 41 35
Latihan 51 48 45
Grup training
Gambar 1. Kejadian kelangsungan hidup 12 bulan, kelompok latihan : kelompok PCI. Kejadian :
Kematian akibat jantung, stroke, resusitasi setelah cardiac arrest, CABG, atau angina yang memburuk.

Faktor yang mempengaruhi partisipasi pasien di rehabilitasi jantung.


Faktor psikologi dan sosial yang mempengaruhi kesehatan mental secara negatif
relatif umum pada pasien yang menerima rehabilitasi jantung. Faktor-faktor ini termasuk
depresi, kemarahan, kecemasan dan isolasi sosial yang berhubungan dengan kondisi mereka.
Depresi dan dukungan sosial yang dirasakan rendah setelah MI berhubungan dengan
meningkatnya morbiditas dan mortalitas. ENRICHD (Enhanced Recovery in Coronary Hear
Disease Patients) melakukan uji coba random menilai apakah kematian dan infark berulang
menurun dengan pengobatan depresi dan LPSS dengan terapi perilaku kognifif ditambah
dengan terapi antidepresan bila diindikasikan.
Terapi perilaku kognitif dimulai pada median 17 hari setelah MI dengan rata-rata 11
orang sepanjang 6 bulan, ditambah kelompok terapi saat tersebut. Pasien pada percobaan
ENRICHD yang menerima intervensi ini mencapai perbaikan yang signifikan dalam depresi
dan LPSS, namun mereka tidak menunjukkan manfaat yang signifikan dalam hal kematian
dan infark berulang.
Meskipun bukti menunjukkan bahwa latihan untuk pasien dengan CAD meningkatkan
kapasitas latihan, menurunkan iskemia dan menunda atau menghilangkan gejala angina,
latiha kurang dimanfaatkan. Bukti menunjukkan bahwa hanya sekitar 20% dari pasien yang
memenuhi syarat dapat disebut program rehabilitasi jantung. Sejumlah faktor yang terlibat ini
termasuk persepsi perawatan kesehatan bahwa latihan memiliki sedikit manfaat klinis,
pelatihan operator yang lemah dalam pelatihan terapi, miskinnya keuangan penggantian
untuk penyedia dan tidak adanya pendukung untuk latihan.

Peran nitrogliserin pada toleransi latihan


Studi Random few relatif, double blind, kontro plasebo membahas efektifitas dari
penggunaan profilaksis nitrogliserin dalam meningkatkan atau meningkatkan toleransi
latihan, dan studi sejauh ini terbatasi pada formulasi semprot. Kimchi dkk mempelajari
efektivitas nitrogliserin oral semprot pada 20 pasien dengan angina secara acak, percobaan
cross over pada test treadmill.
Nitrogliserin semprot menunda munculnya angina selama latihan pada 13 pasien
(<0,001) dan mencegah nyeri pada 7 pasien. Latihan memicu penundaan atau hilangnya
depresi ST segmen (P < 0.001), dan latihan maksimal memicu depresi segmen ST juga
menurun (p < 0,001). Sebagai tambahan nitrogliserin semprot meningkatkan kejadian dari
lamanya onset gejala angina selama test treadmill 31 % (p<0,001), mengindikasikan bahwa
nitrogliserin semprot adalah agen profilaksis efektif untuk latihan yang memicu angina.
Penelitian double blind, random, kontrol plasebo pada penelitian crossover dari 3
dosis (0,2 mg, 0,4 mg, 0,8 mg) dari nitrogliserin lingual semprot diberikan pada 20 pasien
kronis, stabil, latihan menginduksi angina. Pasien yang telah menyelesaikan test latihan
inisial mengikuti 3 test latihan ≥ 90 menit. Setelah test inisial, tetapi sebelumnya pasien
menerima dosis nitrogliserin semprot dan memulai test latihan 5 menit setelah medikasi
diberikan. Setiap dosis dari nitrogliserin meningkatkan waktu untuk terjadinya onset angina
dan waktu untuk perkembangan dari angina moderet selama latihan. Peneliti menyimpulkan
bahwa nitrogliserin semprot efektif untuk diberikan sebagai nitrat profilaksis untuk angina
yang diinduksi latihan.
Terakhir, penelitian crossover double blind, random, kontrol plasebo didapatkan
efektif pada pasien dengan latihan menginduksi angina, 51 pasien menerima 0,2 mg, 0,4 mg
dan 1,6 mg dosis tunggal dari nitrogliserin semprot sublingual atau plasebo. Waktu untuk
onset dari angina sedang secara signifikan tertunda pada semua kelompok aktif pengobatan
(0,2 mg, 0,4 mg, 0,8 mg, dan 1,6 mg nitrogliserin semprot ) dibandingkan dengan plasebo
(Gambar 2, tabel 4). Sebagai tambahan, dosis linear terkait peningkatan waktu onset dari
angina telah diamati. Secara garis besar, penemuan ini mengindikasikan nitrat sublingual
profilaksis sebagai bagian dari rehabilitasi jantung, mungkin diterima pasien dengan angina
untuk latihan untuk kapasitas fungsional yang lebih besar daripada terapi tanpa nitrat.

Gambar 2. Disesuaikan rata-rata perubahan waktu timbulnya angina. Investagional ETT –


Control ETT : nitrogliserin semprot sublingual dibandingkan dengan placebo. ETT : exercise
tolerance time (latihan toleransi waktu). GTN : gliseril trinitrat. *p<0,05. **p<0,001

Tabel 4 . Waktu toleransi latihan pada pemberian gliseril trinitrat semprot pada saat onset
angina (menit)
b= p<0,05. c=p<0,001

Pertimbangan tambahan
Masih ada perdebatan mengenai penggunaan klinis terbaik dari nitrat kerja pendek
dibandingkan dengan nitrat kerja panjang. Beberapa dokter menyarankan nitrat kerja pendek
bila angina terjadi beberapa kali seminggu dan nitrat kerja panjang bila angina sering
muncul. Pada pasien dengan latihan, nitrat jangka panjang terkadang dipilih untuk mencegah
gejala. Namun secara umum diketahui bahwa pengobatan secara terus menerus nitrat organik
dapat menyebabkan perkembangan toleransi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan
hilangnya efikasi klinis. Oleh karena ini tidak layak secara klinis untuk memberikan
profilaksis anti angina secara terus menerus dengan obat nitrat jangka panjang yang tersedia.
Sebaliknya, nitrat kerja pendek efektif digunakan untuk mencegah gejala sebelum
aktivitas yang menyebabkan timbulnya angina, tetapi pasien harus ingat untuk memnawa
obat yang diperlukan sebagai profilaksis. Nitrogliserin jangka pendek tersedia dalam bentuk
tablet atau semprot. Meskipun tablet lebih murah, semprotan lebih nyaman dan lebih mudah
digunakan dan masa panggunaannya lebih lama.
Ada kebutuhan penting untuk mendidik dokter dan pasien terkait penggunaan nitrat
dan rehabilitasi jantung sebagai pencegahan sekunder pada pasien CAD. Pelayan kesehatan
profesional harus mempertimbangkan dan memanfaatkan nitrat sebagai bagian dari
pengobatan profilaksis dari peresepan latihan. Nitrat juga harus dipertimbangkan sebagai
bagian program pengobatan dengan tujuan menurunkan rasio sakit kembali atau kematian.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, serangan angina berulang melemahkan klinis dan
meningkatkan baik secara langsung maupun tidak langsung biaya kesehatan. Dengan
demikian, pembicaraan antara dokter dan pasien sangat penting. Pasien membutuhkan
keyakinan bahwa mereka dapat kembali ke aktivitas sehari-hati tanpa takut nyeri angina atau
penekanan terhadap kualitas kehidupan. Persoalan kebijakan kesehatan masyarakat, ukuran
kinerja harus dilaksanakan untuk melacak prospektif dampak penggunaan nitrat dan
rehabilitasi jantung pada pasien jangka panjang.
Dari catatan, literatur terbaru memperkenalkan istilah penyakit jantung iskemik stabil
(SIHD= Stable Ischemik Heart Disease ). Deskripsi ini meliputi pasien dengan angina stabil
serta mereka dengan CAD stabil, dengan gejala atau tanpa gejala. Berdasarkan penggunaan
terminologi ini dan komite SIHD terkait dengan ACC dan AHA, memungkinkan
rekomendasi masa depan dan percobaan termasuk pasien dengan angina stabil yang akan
jatuh dibawah spektrum manajemen SIHD.
Intervensi Nonfarmakologi untuk Angina Refrakter.
Sebagai pertimbangan akhir, pedoman ACC dan AHA merekomendasikan beberapa
terapi alternatif untuk mengelola angina refrakter pada pasien jantung untuk revaskularisasi
jantung bukan sebagai pilihan. Sebagai contoh, setelah ditingkatkan counterpulsasi eksternal,
peningkatan waktu latihan yang memicu iskemi dan peningkatan gejala telah diamati.
Revaskularisasi laser transmiokardial, teknik emergensi untuk mengobati angina refrakter,
bisa meningkatkan revaskularisasi miokard melalui penciptaan kanal endomiokardial
revaskularisasi.Stimulasi saraf spinal telah sebagai analgesik. Namun, penelitian tindak lanjut
tambahan menunjukkan perlunya manfaat jangka panjang dari teknik ini.

Kesimpulan
Terapi medis optimal untuk pasien dengan angina stabil terdiri dari agen penyakit
yang dapat dimodifikasi dan pengobatan gejala untuk angina. Meskipun pengobatan dengan
nitrat cepat dan jangka pendek sering kurang dihargai sebagai terapi oleh dokter, obat-obat ini
merupakan komponen penting dari OMT dan harus diintegrasikan ke dalam langkah-langkah
pencegahan sekunder. Terapi latihan, sebagai bagian dari program rehabilitasi jantung, juga
harus dianggap sebagai komponen pusat pencegahan sekunder pada pasien dengan angina
stabil kronik. Disini, pemberian nitrat akut dapat memenuhi peran kunci pencapaian outcome
pasien, memberikan gambaran peningkatan toleransi latihan dengan menggunakan
profilaksis. Pasien yang sabar dan dokter yang mengerti tentang OMT, peran dari terapi nitrat
kerja pendek, dan dampak dari olahraga teratur dapat secara kolektif meningkatkan outcome
gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien CAD stabil.

Ucapan Terimakasih
Asisten penulisan dan editorial oleh David Shristiansen, PhD dan Sabrina L. Maurer,
PharmD, dari Fishawack Komunikasi dan didanai oleh Farmatikal Arbor.

Anda mungkin juga menyukai