Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Oleh
Silvanus Giovanny Bunga Allo
2010017016
Pembimbing
dr. M. Furqon, Sp.JP
Oleh
Silvanus Giovanny Bunga Allo
2010017016
Pembimbing
dr. M. Furqon, Sp.JP
Abstrak
Pengantar
Kebanyakan pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 tidak menunjukkan gejala, atau dengan
gejala ringan sampai sedang dan segera pulih dalam 1 – 2 minggu. Gejala yang paling umum
dari COVID-19 adalah sesak napas, demam ringan, dan batuk. Namun pada beberapa pasien
dapat berkembang hingga terjadi pneumonia dan dyspnea parah, dan akhirnya masuk ke unit
perawatan intensif dan membutuhkan intubasi. Tingkat keparahan yang bervariasi ini masih
belum dapat dijelaskan penyebabnya, sejauh ini yang dapat diketahui adalah COVID-19
menyerang sistem pernapasan dengan kerusakan alveolar difus serta Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) sebagai gejala khas infeksi COVID-19 yang parah. Selain
menyerang paru, juga ditemukan bukti bahwa SARS-CoV-2 juga mempengaruhi organ-organ
lainnya, termasuk jantung, otak, usus besar, ginjal dan limpa.
Pada penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa hiper-inflamasi sistemik yang mengarah ke
Cytokine Release Sydrome (CRS, atau cytokine storm) dianggap sebagai salah satu
mekanisme penyebab utama untuk komplikasi serius dan tingkat kematian yang tinggi pada
infeksi COVID-19. Peradangan awalnya dipicu di jaringan parenkim paru karena SARS-
CoV-2 menginduksi kerusakan sel epitel alveolar, dan menimbulkan infiltrasi sel imun yang
luas. Walaupun demikian, respon inflamasi local ini juga menginduksi pelepasan sitokin pro-
inflamasi sistemik, mengakibatkan hiper-inflamasi pada beberapa organ, dan menyebabkan
kerusakan jaringan lainnya, dan berkahir pada kematian pasien. Cytokine storm diketahui
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasien COVID-19, berbagai
mekanisme patofisiologis seperti endoteliosis, disregulasi sistem Renin-Angiotensin-
Aldosteron, thrombosis, lomfositopenia, anergi sel-T mungkin juga berkontribusi pada
tingkat morbiditas pasien COVID-19.
Selain hiper-inflamasi, beberapa penelitian juga melaporkan adanya penyakin komorbid juga
meningkatkan prognosis yang buruk pada pasien COVID-19. Sekitar, 94% dari semua pasien
COVID-19 memiliki satu atau lebih penyakit yang menyertainya, penyakit penyerta yang
paling umum antara lain, hipertensi, Penyakit Paru Obsturkis Kronis (PPOK), diabetes,
penyakit kardiovaskular, dan penyakit serebrovaskular. Walaupun hipertensi merupakan
komorbiditas paling banyak pada pasien COVID-19, namun pasien COVID-19 yang
memiliki penyakit kardiovaskular memiliki angka kematian yang tertinggi.
Data klinis, dari pasien COVID-19 menunjukan peningkatan biomarker cedera jantung
seperti Nterminal, pro-B-type natriuretic peptide (NT-proBNP), troponin I (hs-Tnl) jantung,
dan C-reactive protein (CRP). Pada otopsi awal dari pasien dengan infeksi COVID-19 yang
parah menunjukkanadanya dilatasi ventrikel kanan yang parah, jantung nekrosis, dan
infiltrasi sel imun ke dalam miokardium.
Inflamasi berperan penting dalam pathogenesis COVID-19, dan peradangan ini juga
mendorong respon patologis jantung terhadap stress, antara lain infark miokard (MI) dan
gagal jantung (HF). Pada gagal jantung iskemik dan non-iskemik, sel imun menyusup ke
miokardium dan melepaskan sitokun proinflamasi yang menyebabkan maladaptive cardiac
remodeling. Studi terbaru pada hewan dan manusia telah meningkatkan pemahaman kita
tentang mekanisme molekuler yang mendorong terjadinya peradangan pada jantung ini.
Dalam ulasan kali ini, kita akan membahas pathogenesis SARS-CoV-2, mekanisme yang
berperan dalam kerusakan jantung pada COVID-19 dan mekanisme inflamasi umum yang
memediasi gagal jantung antara COVID-19 dan penyakit jantung iskemik atau non-iskemik.
Pathogenesis SARS-CoV-2
SARS-CoV-2, merukapan bagian dalam keluarga Coronavirus, yang termasuk dalan jenis
enveloped positive single-stranded RNA virus, dan merupakan turunan dari novel strain Beta
coronavirus. Secara historis, coronavirus yang menginfeksi manusia termasuk strain seperti
hCOV-OC43, HKU, dan 229E, yang menyebabkan gejala ringan seperti flu biasa. Namun,
sejak tahun 2000, setidaknya ada 2 straun coronavirus yang sangat pathogen dan merusak
telah muncul, termasuk SARS-CoV pada 2002-2003 dan Middle East Respiratory Syndrome
Coronavirus (MERS-CoV) pada tahun 2012. SARS-CoV berasal dari Cina dan dengan cepat
menyebar ke lima dari tujuh benua, dan tercatat 8.098 kasus dengan angka kematian 10%.
Sedangkan MERS berasal dari Jazirah Arab dan mencatatkan 2.492 kasus yang terkonfirmasi
dengan tingkat kematian yang lebih tinggi, yaitu 35%.
Masuknya virus kedalam sel inangnya bergantung pada seberapa efisien pengikatan virus ke
reseptor sel inangnya. Tingkat keparahan virulensi ini juga dipengaruhi oleh sistem
kekebalam tubuh. Antibody spesifik yang dimiliki oleh host secara definitive dapat
menurunkan viral load dan infektivitas dari virus yang telah teridentifikasi.
SARS-CoV-2 memiliki kesamaan structural dan genetik signifikan dengan SARS-CoV yang
asli. Kedua virus ini berbentuk bulat dan memiliki beberapa transmembrane spike
glycoproteins yang tertanam di virion amplop yang membentuk homotrimers. Dalam kedua
kasus tersebut, infeksi pada manusia dimediasi oleh pengikatan protein spike pada permukaan
virus dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE-2) yang selanjutnya akan
terjadi pembelahan yang diaktivasi oleh transmembrane serine 2 (TMPRSS2) atau cathepsin
yang disekresikan oleh inangnya. S1 menyimpan domain pengikat reseptor yang berikatan
dengan reseptor seluler ACE2, sedangkan unit transmembran S2 memfasilitasi fusi
membrane virus dengan membrane sel inangnya. Fusi membrane difaslitasi oleh pembelahan
protein spike oleh protease sel inang seperti TMPPRSS2 atau cathepsin pada S1 dan S2, yang
akan mengaktivasi protein spike. Pembelahan protein spike ini yang membuat jalur
masuknya virus kedalam sel inang merupakan penentu tingkat infektivitas dan petogenesis
virus.
Selain itu, protein spike SARS-CoV-2 juga mengandung polybasic cleavage site, yang
memungkinkannya juga diproses oleh protease mirip furin, kemampuan yang dimiliki oleh
virus flu burung yang sangat pathogen. Laporan terbaru menunjukkan bahwa furin membelah
precursor dari protein spike SARS-CoV-2 untuk menghasilkan ArgArg-Ala-Arg (RRAR)
polibasa yang merupakan C-terminal pada protein S1, yang meningkatkan hubungan virus
dengan neuropilin-1 (NPR-1), reseptor sel banyak diekspresikan dalam epitel pernafasan dan
penciuman. Pada eksperimen in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa pengikatan SARS-
CoV-2 ke reseptor NPR-1 ini meningkatkan infeksi SARS-CoV-2 dalam kultur sel dan
mungkin merupakan factor yang berkontribusi signifikan untuk meningkatkan tropisme dan
infektibilitas SARS-CoV-2 pada manusia, dibandingkan dengan coronavirus sebelumnya,
kombinasi tingkat afinitas reseptor ACE2 yang tinggi dan meningkatnya tropisme karena
adanya situs pembelahan polibasa di porotein spike, meningkatkan kemampuan SARS-CoV-
2 untuk menginfeksi banyak organ, termasuk jantung.
Furin sendiri adalah protein transmembrane yang diekspresikan dimana-mana dan fungsinya
telah dikarakterisasi dengan baik pada jantung. Dalam kasus COVID-19, pembuatan profil
RNA sel tunggal (pscRNA) yang tahan protein dan diteliti efek infeksi pada ekspresi ACE2,
TMPSS2 atau furin di dalam hepar, menunjukkan bahwa kardiomiosit adalah target kritis
untuk infeksi oleh SARS-CoV-2, yang sebelumnya diketahui menyerang sel alveolar paru
tipe II (AT2) dan makrofag. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat
memasuki membrane sel dan bereplikasi dalam kardiomiosit yang diinduksi oleh pluripotent
stem cell-drived cardiomyocytes (hiPSC-CMs). Penelitian mikroskopis dan imunoflouresensi
menunjukkan bahwa virus terlokalisasi pada area perinuclear dan menginduksi apoptosis
pada hiPSC-CMs yang terinfeksi, hal tersebut memenunjukkan hasil yang buruk pada
jaringan jantung yang merespon infeksi COVID-19.
Kerusakan jaringan jantung telah dilaporkan sebelumnya sebagai efek dari wabah
coronavirus. Sekitar 8% dari seluruh pasien SARS memiliki komorbiditas CVD dan adanya
CVD atau diabeles mellitus pada pasien yang terinfeksi SARS menyebabkan setidaknya 12
kali lipat peningkatan angka kematian. CVD (30%) dan hipertensi (50%) adalah komorbiditas
yang secara signifikan terkain dengan MERS. Laporan terbaru dari wuhan, Italia dan
Amerika Serikat menunjukkan bahwa CVD adalah salah satu penyerta paling umum terkain
dengan COVID-19. Selain itu, pasien COVID-19 dengan CVD memiliki tingkat kematian
yang lebih tinggi (sekitar 10,5%) sebagai perbandingan dengan penyakit penyerta lainnya
seperti hipertensi (6%), diabetes (7,3%), atau penyakit pernapasan kronis (6,3%). Dalam
sebuah penelitian, dari 416 pasien rawat inap dengan COVID-19 yang terkonfirmasi, sekitar
20% memiliki peningkatan kadar hs-Tnl, yang merupakan penanda adanya peningkatan
respon patologis pada jantung. Pasien dengan biomarker cedera jantung yang meningkat ini
juga memiliki tingkat kematian yang jauh lebih tinggi (50%), dibandingkan dengan pasien
yang tidak mengalami cedera jantung (4,5%) temuan serupa juga dilaporkan pada penelitian
yang terpisah, di mana angka kematian di antara pasien dengan peningkatan Troponin T
(TnT) adalah sekitar 60%, sedangkan angka kematian pada pasien dengan tingkat TnT
normal adalah sekitar 9%. Pemeriksaan tambahan biomarker jantung seperti CRP dan NT-
proBNP, semuanya secara konsisten mengarah ke kesimpulan yang sama.
Mekanisme yang mempengaruhi secara langsung, selain reseptor ACE-2 yang berfungsi
sebagai titik jangkar utama untuk SES-CoV-2, protease seluler seperti serine protease
TMPRSS2 dan cathepsin (cathepsin B dan cathepsin L) memiliki peran penting dalam
masuknya virus dengan membantu fusi virus dengan sel inang. Pada manusia, ekspresi
reseptor ACE-2 paling banyak pada saluran pencernaan, lalu ginjal, testis, jantung dan paru.
Pada penelitian tangkat ekspresi ACE-2 pada jantung mengungkapkan bahwa ACE-2 paling
tinggi diekspresikan dalam pericytes, yang melapisi mikrovaskulatur, lalu pada sel otot polos
vaskuler, fibroblast dan kardiomiosit. Selain itu penelitian tentang protease TMPRSS2 dan
cathepsin L sebagai tempat masuknya virus mengungkapkan bahwa TMPRSS2 diekspresikan
di semua jenis sel jantung, sementara CTSL memiliki tingkat ekspresi yang rendah pada
makrofag, adiposity dan kardiomiosit. Artikel terbaru melaporkan keberadaan SARS-CoV-2
partikel virus pada jaringan jantung, termasuk kardiomiosit, sel endotel, sel mesenkim, dan
sel – sel mediator inflamasi
Mekanisme yang mempengaruhi secara tidak langsung,selain potensi infeksi langsung pada
miokardium oleh SARS-CoV-2, kerusakan jantung juga dapat dipicu oleh beberapa
mekanisme tidak langsung pada pasien COVID-19. Hiperinflamasi sistemik dipicu oleh
infeksi SARS-CoV-2 pada paru, cytokine storm secara tidak langsung menvebabkan
kerusakan jantung.
Pada pasien dengan angina stabil, tujuan terapi medis optimal adalah untuk
menurunkan resiko mortalitas dan kejadian kardiovaskuler di masa depan, meningkatkan
kapasitas latihan, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi gejala. Berbagai intervensi
yang direkomendasikan sebagai bagian dari OMT dan termasuk modifikasi gaya hidup dan
farmakologi pencegahan sekunder. Intervensi gaya hidup termasuk aktivitas latihan fisik
reguler, penghentian komplit menggunakan tembakau dan paparan asap tembakau, dan
modifikasi diet untuk mengubah terkanan darah, tingkat gula darah dan tingkat lipid serum,
bersama dengan kontrol diabetes dan manajemen berat badan.
Efek samping dan keterbatasan dari pengobatan anti angina tercantum pada tabel 1.
Pedoman terbaru dari European Society of Cardiology merekomendasikan pertimbangan
batas bawah untuk menerapkan terapi untuk hipertensi (130/85) pada pasien CAD, termasuk
mereka yang angina. Pasien dengan diabetes harus diobati dnegan target tekanan darah <
130/80 mmHg. Sebagai tambahan, diabetes merupakan faktor resiko untuk penyakit jantung,
glikemik, kontrol merupakan hal yang sangat penting. Namun target spesifik untuk HbA1C
tetap tidak jelas, dari data terbaru nilai rendah dari hemoglobin terglikasi menguntungkan
untuk penyakit makrovaskular. Sebagai contoh, hasil percobaan dari ACCORD (Action to
Control Cardiovascular Risk in Diabetes) menunjukkan tidak ada penurunan yang signifikan
dalam komplikasi makrovaskular pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang menerima terapi
intensif (traget HbA1C < 6%) dibandingkan dengan terapi standart ( Target HbA1C 7-7,9%).
Sebagai tambahan, pasien yang menerima terapi intensif mengalami peningkatan mortalitas
dan resiko tinggi hipoglikemia dibandingkan pasien yang menerima terapi standart.
Keputusan untuk menerima manajemen glukosa intensif pada pasien harus memperhatikan
durasi diabetes, adanya riwayat penyakit makrovaskular atau komorbiditas signifikan dan
ketidaksadaran hipoglikemia.
Tabel 1. Efek samping, perhatian dan kontraindikasi dari obat anti angina.
Selama 40 tahun terakhir, revaskularisasi arteri koroner termasuk PCI dengan stents
atau perkutan transluminal coronary angioplasty (PTCA), telah dibandingkan dengan
intervensi farmakologi untuk pengobatan angina stabil. Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa revaskularisasi lebih efektif daripada terapi obat anti angina. Namun, terapi medis
untuk pasien angina stabil telah berubah, dan sekarang beta bloker, agen anti platelet, ACEI,
dan terapi penurun lipid tersedia dan rutin digunakan. Percobaan random dengan yang
membandingkan PCI dan CABG dengan terapi medis konservatif juga telah menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara 2 strategi pengobatan dalam hal kematian,
kematian jantung, fatal atau nonfatal infark miokard. Percobaan terbaru mendukung
manajemen awal dari angina stabil menggunakan OMT. Percobaan COURAGE dirancang
untuk menilai apakah PCI yang dikombinasikan dengan terapi medis intensif dan manajemen
gaya hidup lebih unggul daripada monoterapi OMT dalam menurunkan resiko kejadian
kardiovaskular.
Percobaan pada 50 pusat medis di kanada dan AS terdaftar 2287 pasien dengan bukti
iskemia miokard dan signifikan CAD. Hasil dari COURAGE yang diterbitkan tahun 2007,
menetapkan bahwa, sebagai strategi manajemen awal, terapi kombinasi PCI dan OMT tidak
menurunkan resiko kematian dan nonfatal MI dibandingkan dengan monoterapi OMT selama
2,5-7 tahun. Tingkat revaskularisasi berikutnya secara signifikan lebih rendah pada kelompok
PCI dibanding dengan monoterapi OMT. Namun, ada pengurangan substansi angina pada
kedua kelompok dengan 74% dan 72 % dari pasien dengan PCI dan kelompok OMT, masing-
masing menjadi angina-free 5 tahun.
Berdasarkan hasil prospektif besar, percobaan random dan data pengamatan lain,
ACC dan pedoman AHA pada manajemen pasien dengan angina stabil kronik menekankan
penggunaan terapi medis awal. Namun, ada tantangan bahwa banyak pasien dengan CAD
stabil sering menjalani PCI sebelum uji coba OMT, meskipun pedoman mendukung
penggunaan terapi medis dan studi menunjukan sedikit manfaat klinis tambahan dari
PCI/CABG awal sebelum OMT.
Nitrat dapat berupa jangka pendek dan panjang dan dapat diberikan berupa tablet
sublingual, kapsul, semprotan, patch, atau salep (tabel 2). Pertimbangan klinis yang
mempengaruhi penggunaan berbagai preparat yaitu temasuk waktu onset kerja, durasi
aktivitasnya, stabilisasi/potensi, pelega gejala dan profilaksis, potensi perlawanan,
perkembangan, kenyamanan, kepatuhan, harga dan keinginan pasien, dan obat-obatan yang
digunakan secara bersamaan. Nitrat short-acting sering diberikan untuk meringankan nyeri
angina akut dan bisa digunakan sebagai profilaksis untuk meningkatkan toleransi latihan dan
mencegah latihan yang menginduksi iskemia.
Dalam studi pada pasien angina kronik stabil, terapi profilaksis dengan nitrogliserin
sublingual semprot menghasilkan peningkatan terkait dosis saat onset angina, depresi segmen
ST, dan durasi latihan. Pendekatan untuk pengobatan ini sangat cocok untuk pasien angina
yang dipicu oleh aktivitas atau aktivitas spesifik. Pasien dengan suspek CAD yang
dikeluarkan dari departemen emergensi atau mereka yang pulih setelah rawat inap juga harus
dipertimbangkan untuk pengobatan angina dengan nitrat kerja pendek. Nitrat kerja pendek
juga digunakan untuk melengkapi nitrat kerja panjang ketika pasien mengalami serangan
akut. Nitrat kerja panjang baik sebagai monoterapi atau kombinasi dengan beta bloker atau
CCB sering diggunakan untuk mencegah atau mengurangi frekuensi angina pada pasien
dengan CAD. Agen kerja panjang ini dapat digunakan untuk memperpanjang durasi kerja
dari bentuk kerja pendek.
Pengobatan dimulai sebelum kondisi ini, perhatian kusus harus diberikan pada
monitoring hemodinamika dan status klinis. Nitrat kerja panjang harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien dengan CHF(congestive heart failure).
Seperti obat-obat dengan efek vasodilatasi, walau dosis kecil nitrat kerja pendek dan panjang
dapat menyebabkan terjadinya pusing atau hipotensi, terutama ketika pasien dalam kondisi
tegak.
Resiko ini menjadi besar pada pasien usia lanjut karena penurunan alami pengaturan
sistem saraf otonom. Pada pasien dengan deplesi volume (contoh : terapi diuretik), atau pada
pasien yang memiliki tekanan sistol rendah ( < 90 mmHg).
Nitrogliserin memicu hipotensi juga dapat disertasi dengan bradikardia paradoksal
dan peningkatan angina pektoris. Yang paling penting adalah nitrat dapat memperburuk
angina dati kardiomiopati hipertrofi. Ini berlaku untuk penggunaan nitrat jangka panjang pada
orang tua.
Rehabilitasi jantung
Pencegahan sekunder merupakan komponen penting dari manajemen CAD dan
termasuk aneka segi strategi intervemsi yang dimaksudkan untuk mengurangi faktor resiko
yang dapat dimodifikasi untuk penyakit kardiovaskular. Tujuan dari rehabilitasi jantung
adalah untuk menstabilkan, memperlambat, atau membalikkan perkembangan dari CAD,
meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakit melalui edukasi, mempromosikan
kebiasaan diet melalui konseling gizi dan meningkatkan kualitas hidup.
Tabel 3. Efek Latihan berdasarkan Rehabilitasi Jantung pada Studi End Point
Hasil Rata rata 95% CI Nilai p
perbedaan %
Mortalitas total -20 -7% sampai 0,005
-32%
Mortalitas -26 -10% sampai 0,002
jantung -29%
MI Non fatal -21 -43% sampai 0,150
-9%
CABG -13 -35% sampai 0,400
16%
PTCA -19 -51% sampai 0,400
34%
CABG = Coronary artery bypass grafting; CI = Confidence Interval; PTCA = Percutaneous
transluminal coronary angioplasty
Tabel 4 . Waktu toleransi latihan pada pemberian gliseril trinitrat semprot pada saat onset
angina (menit)
b= p<0,05. c=p<0,001
Pertimbangan tambahan
Masih ada perdebatan mengenai penggunaan klinis terbaik dari nitrat kerja pendek
dibandingkan dengan nitrat kerja panjang. Beberapa dokter menyarankan nitrat kerja pendek
bila angina terjadi beberapa kali seminggu dan nitrat kerja panjang bila angina sering
muncul. Pada pasien dengan latihan, nitrat jangka panjang terkadang dipilih untuk mencegah
gejala. Namun secara umum diketahui bahwa pengobatan secara terus menerus nitrat organik
dapat menyebabkan perkembangan toleransi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan
hilangnya efikasi klinis. Oleh karena ini tidak layak secara klinis untuk memberikan
profilaksis anti angina secara terus menerus dengan obat nitrat jangka panjang yang tersedia.
Sebaliknya, nitrat kerja pendek efektif digunakan untuk mencegah gejala sebelum
aktivitas yang menyebabkan timbulnya angina, tetapi pasien harus ingat untuk memnawa
obat yang diperlukan sebagai profilaksis. Nitrogliserin jangka pendek tersedia dalam bentuk
tablet atau semprot. Meskipun tablet lebih murah, semprotan lebih nyaman dan lebih mudah
digunakan dan masa panggunaannya lebih lama.
Ada kebutuhan penting untuk mendidik dokter dan pasien terkait penggunaan nitrat
dan rehabilitasi jantung sebagai pencegahan sekunder pada pasien CAD. Pelayan kesehatan
profesional harus mempertimbangkan dan memanfaatkan nitrat sebagai bagian dari
pengobatan profilaksis dari peresepan latihan. Nitrat juga harus dipertimbangkan sebagai
bagian program pengobatan dengan tujuan menurunkan rasio sakit kembali atau kematian.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, serangan angina berulang melemahkan klinis dan
meningkatkan baik secara langsung maupun tidak langsung biaya kesehatan. Dengan
demikian, pembicaraan antara dokter dan pasien sangat penting. Pasien membutuhkan
keyakinan bahwa mereka dapat kembali ke aktivitas sehari-hati tanpa takut nyeri angina atau
penekanan terhadap kualitas kehidupan. Persoalan kebijakan kesehatan masyarakat, ukuran
kinerja harus dilaksanakan untuk melacak prospektif dampak penggunaan nitrat dan
rehabilitasi jantung pada pasien jangka panjang.
Dari catatan, literatur terbaru memperkenalkan istilah penyakit jantung iskemik stabil
(SIHD= Stable Ischemik Heart Disease ). Deskripsi ini meliputi pasien dengan angina stabil
serta mereka dengan CAD stabil, dengan gejala atau tanpa gejala. Berdasarkan penggunaan
terminologi ini dan komite SIHD terkait dengan ACC dan AHA, memungkinkan
rekomendasi masa depan dan percobaan termasuk pasien dengan angina stabil yang akan
jatuh dibawah spektrum manajemen SIHD.
Intervensi Nonfarmakologi untuk Angina Refrakter.
Sebagai pertimbangan akhir, pedoman ACC dan AHA merekomendasikan beberapa
terapi alternatif untuk mengelola angina refrakter pada pasien jantung untuk revaskularisasi
jantung bukan sebagai pilihan. Sebagai contoh, setelah ditingkatkan counterpulsasi eksternal,
peningkatan waktu latihan yang memicu iskemi dan peningkatan gejala telah diamati.
Revaskularisasi laser transmiokardial, teknik emergensi untuk mengobati angina refrakter,
bisa meningkatkan revaskularisasi miokard melalui penciptaan kanal endomiokardial
revaskularisasi.Stimulasi saraf spinal telah sebagai analgesik. Namun, penelitian tindak lanjut
tambahan menunjukkan perlunya manfaat jangka panjang dari teknik ini.
Kesimpulan
Terapi medis optimal untuk pasien dengan angina stabil terdiri dari agen penyakit
yang dapat dimodifikasi dan pengobatan gejala untuk angina. Meskipun pengobatan dengan
nitrat cepat dan jangka pendek sering kurang dihargai sebagai terapi oleh dokter, obat-obat ini
merupakan komponen penting dari OMT dan harus diintegrasikan ke dalam langkah-langkah
pencegahan sekunder. Terapi latihan, sebagai bagian dari program rehabilitasi jantung, juga
harus dianggap sebagai komponen pusat pencegahan sekunder pada pasien dengan angina
stabil kronik. Disini, pemberian nitrat akut dapat memenuhi peran kunci pencapaian outcome
pasien, memberikan gambaran peningkatan toleransi latihan dengan menggunakan
profilaksis. Pasien yang sabar dan dokter yang mengerti tentang OMT, peran dari terapi nitrat
kerja pendek, dan dampak dari olahraga teratur dapat secara kolektif meningkatkan outcome
gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien CAD stabil.
Ucapan Terimakasih
Asisten penulisan dan editorial oleh David Shristiansen, PhD dan Sabrina L. Maurer,
PharmD, dari Fishawack Komunikasi dan didanai oleh Farmatikal Arbor.