Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Upaya Penyelesaian Konflik di Lombok

Melalui Kearifan Lokal Sasak

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah dan Kearifan Lokal

Yang dibina oleh Ibu Dra. Yuliati, M. Hum.

Oleh :

Kelompok 5 :

Feby Sri Dewi

Hernanda Ade Apriansyah

Suci Indah Susanti

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS ILMU SOSIAL

PRODI S1 PENDIDIKAN SEJARAH 2021

MALANG

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di negara Indonesia memiliki banyak keanekaragaman budaya yang tersebar dari
Sabang sampai Marauke. Masing-masing daerah tersebut memiliki budaya yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Budaya tersebut menghasilkan sikap dan tingkah laku
yang tercermin di dalam kehidupan sehari-hari (Mansur, 2018). Perbedaan yang terjadi
dalam sebuah masyarakat dengan perbedaan etnis, agama, adat istiadat, dan kedaerahan dapat
berujung pada terjadinya sebuah konflik. Sehingga upaya yang dilakukan untuk menanggulangi
dalam penyelesaian konflik tersebut melalui penggunaan kearifan lokal.
Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang
berasal dari luar/bangsa lai menjadi watak dan kemampuan sendiri Wibowo (2015:17).
Identitas dan kepribadian tersebut tentunya menyesuaikan dengan pandangan hidup
masyarakat sekitar agar tidak terjadi pergesaran nilai-nilai. Kearifan lokal merupakan
salah satu sarana dalam mengolah kebudayaan dan mempertahankan diri dari kebudayaan
asing yang tidak baik.
Selain itu, kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal)
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya. Kearifan lokal banyak dimiliki oleh berbagai suku di Indonesia,
salah satunya yaitu masyarakat suku Sasak. Nilai kearifan lokal suku Sasak merupakan
objek non-materiil yang sulit diukur dengan tolak ukur yang bersifat materil. Namun,
sesungguhnya nilai kearifan lokal itu dapat dirasakan sebagai pedoman setiap orang
secara naluriah, intuitif, dan akurat terhadap sebuah kebajikan. Oleh sebab itu, maka nilai-
nilai kearifan lokal akan meningkatkan kualitas seseorang apabila diamalkan dan
ditegakkan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Berkaitan dengan penyelesaian konflik, pada masyarakat suku Sasak dikenal adanya
prinsip-prinsip pokok penyelesaian sengketa, sebab dalam masyarakat hukum adat Sasak
tidak menghendaki adanya sebuah keputusan kalah menang dalam penyelesaian suatu
sengketa. Sengketa yang terjadi harus diarahkan kepada perdamaian yang diselesaikan
dengan musyawarah mufakat. Dalam upaya penyelesaian itu, kedua pihak bisa saling
menjaga perasaan masing-masing (tao saling undur pasang) (Asmara & Maladi, 2010: 1).
Dengan demikian, makalah ini disusun untuk membahas kearifan lokal suku Sasak.

2
1.2 Masalah atau Topik Bahasan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan penulis rumuskan adalah
sebagai berikut :
1.1.1 Bagaimana konflik yang terjadi pada masyarakat Lombok?
1.1.2 Apa saja bentuk-bentuk dan prinsip kearifan lokal suku Sasak?
1.1.3 Bagaimanakearifan lokal suku Sasak pada konflik yang terjadi di
masyarakat Lombok?

1.3 Tujuan
Pada penyusunan makalah dalam memenuhi tugas mata kuliah Dinamika Pemikiran
Revolusi, maka penulis memiliki tujuan yakni sebagai berikut :
1.1.1 Menambah wawasan tentang konflik yang terjadi pada masyarakat
Lombok.
1.1.2 Memberikan pemahaman tentang bentuk-bentuk dan prinsip kearifan
lokal suku Sasak.
1.1.3 Menambah pengetahuan tentang kearifan lokal suku Sasak pada
konflik yang terjadi di masyarakat Lombok.

3
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Konflik yang Terjadi Pada Masyarakat Lombok

Suku Sasak merupakan suku yang berada di Pulau Lombok, provinsi Nusa Tenggara
Barat. Sebenarnya Suku Sasak merupakan salah satu dari banyak suku yang mendiami
provinsi Nusa Tenggara Barat. Pulau Lombok memang merupakan tempat tinggal dari
banyak suku, agama, budaya, dan ras yang berbeda satu sama lain. Dengan adanya
perbedaan-perbedaan yang cukup variatif di Pulau Lombok, dapat bernilai positif bagi
pengembangan komunitas-komunitas yang tinggal di Pulau Lombok. Namun tentu saja
perbedaan-perbedaan tersebut juga berpotensi menimbulkan suatu dampak negatif, seperti
menjadi dasar munculnya konflik-konflik. Tentu saja kemajemukan dan perbedaan
merupakan suatu tantangan sendiri bagi masyarakat lokal. Jika masyarakat tidak mampu
mengatasi tantangan tersebut maka sudah pasti konflik-konflik dengan berlatarbelakang
perbedaan akan muncul dan berpotensi memecah integritas daerah dan nasional.

Selama ini Lombok menjadi pulau yang terbilang aman dan nyaman sehingga
menjadi destinasi wisata bagi wisatawan nasional maupun internasional. Namun dalam
dua dekade terakhir harmoni integritas persatuan Bangsa Indonesia mulai terganggu
dengan munculnya konflik-konflik di berbagai daerah, termasuk juga terjadi di daerah
Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tentu saja konflik-konflik yang terjadi
menimbulkan kerugian baik materiil dan idiil. Selain banyak korban yang berjatuhan,
konflik juga berakibat pada ketidakseimbangan sistem sosial dalam suatu masyarakat
tertentu. Untuk konflik yang terjadi di Nusa Tenggara Barat juga sudah banyak terjadi
dalam berbagai bentuk, baik konflik horizontal yang melibatkan antar warga, konflik
suatu golongan yang melibatkan agama dan masyarakat, dan yang masih tersimpan di
ingatan masyarakat adalah apa yang terjadi di pesantren Umar bin Khattab (UBK) di
Bima (Zuhdi, 2008:66). Bahkan benih-benih paham radikal juga turut berkembang di
Pulau Lombok. Hal inilah yang mengundang sentimen-sentimen negatif masyarakat
terhadap komunitas atau golongan agama tertentu. Bentuk konflik yang mengusung
paham radikal ini pernah terjadi, yaitu konflik Monjok melawan Karang Taliwang.

Pada dasarnya konflik-konflik yang terjadi di Lombok berlatarbelakangdari


berbagai aspek, tetapi aspek radikalisme agama menjadi suatu pemicu utama terjadinya

4
konflik-konflik di masyarakat Lombok. Memang gerakan-gerakan kelompok-kelompok
radikal tersebut jika dilihat secara permukaannya saja cukup tenang dan diplomatis.
Namun jika ditinjau lebih jauh lagi maka motif-motif dari kelompok radikal tersebut tentu
saja ingin melakukan upaya-upaya doktrin kepada masyarakat Lombok agar mereka
mengikuti keinginan dan tujuan dari organisasi mereka. Hal inilah yang berbahaya bagi
tingkat nasionalisme masyarakat Lombok. Gerakan-gerakan seperti ini tidak mudak
diketahui karena mereka melakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun ketika motif dari
gerakan atau organisasi radikal tersebut diketahui masyarakat setempat, maka
konsekuensi logisnya adalah mereka harus mendapatkan perlawanan masyarakat
Lombok.

Konflik-konflik tersebut tentu saja membutuhkan upaya-upaya penyelesaian yang


disruptif agar tidak terulang kembali konflik-konflik yang terjadi di masyarakat Lombok,
khususnya Suku Sasak. Salah satu langkah yang cukup efektif untuk menumpas akar-akar
konflik yang ada di Lombok adalah dengan memanfaatkan kearifan lokal masyarakat
setempat. Seperti yang dijelaskan di pendahuluan, kearifan lokal menjadi solusi yang
ampuh karena dalam kearifan lokal tersebut memuat nilai-nilai lokal yang mulia dan
memiliki posisi yang sentral dan sakral dalam prespektif masyarakat lokal.

1.2 Bentuk-bentuk dan Prinsip Kearifan Lokal Suku Sasak di Lombok


Sejak zaman dahulu, masyarakat Sasak telah mengenal wadah yang menjadi induk
dalam kehidupan bermasyarakat mereka yang mengatur tentang pedoman hidup warga
masyarakat, dan juga menjadi tempat mereka mencari referensi untuk menentukan sanksi
atas pelanggaran dalam sistem sosial masyarakat. Konsep ini sejak dahulu diwujudkan
atau dideskripsikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak, sehingga
implementasi konsep budaya ini telah menjelma menjadi berbagai unsur atau unsur yang
tidak dapat dipisahkan.

Secara umum, terdapat tiga kategori bentuk kearifan lokal suku Sasak Lombok, yaitu:

a. Bidang politik, sosial, kemasyarakatan, tercermin dari sebelas macam “saling”


sebagai pengikat tali silaturrahmi masyarakat Sasak, yaitu: (1) saling jot/perasak (sama-
sama saling memberi atau mengantarkan makanan); (2) saling pesilaq (sama-sama saling
undang untuk suatu hajatan keluarga); (3) saling belangarin (sma-sama saling layat jika
ada kerabat/sahabat yang meninggal); (4) saling ayoin (sama- sama saling mengunjungi);
(5) saling ajinan (sama-sama saling menghormati atau saling menghargai terhadap

5
pebedaan, menghargai adanya kelebihan dan kekurangan yang dimilki oleh seseorang
atau kelompok tertentu); (6) saling jangoq (sama-sama saling silaturrahmi, menjenguk
jika ada di antara sahabat sedang mendapat atau mengalami musibah); (7) saling bait
(sama-sama saling ambil-ambilan dalam adat perkawinan); (8) saling wales/bales (sama-
sama saling balas silaturrahmi, kunjungan atau semu budi /kebaikan yang pernah terjadi
karena kedekatan-persahabatan); (9) saling tembung/sapak (sama-sama saling tegur sapa
jika bertemu atau bertatap muka antar seorang dengan orang lain dengan tidak
membedakan suku atau agama); (10) saling saduq (sama-sama saling mempercayai dalam
pergaulan dan persahabatan) terutama membangun peranakan Sasak Jati (persaudaraan
Sasak sejati) di antara sesama sanak (saudara) Sasak dan antar orang Sasak dengan batur
luah (non- Sasak); dan (11) saling ilingan/peringet (sama-sama saling mengingatkan satu
sama lain antara seseorang (kerabat/ sahabat) dengan setulus hati demi kebaikan dalam
menjamin persaudaraan/silaturahmi.

b. Bidang ekonomi perdagangan, tercermin dari tiga macam saling sebagai praktik
kearifan lokal, yaitu: saling peliwat (suatu bentuk menolong seseorang yang sedang pailit
atau jatuh rugi dalam usaha dagangannya, saling liliq/gentiq (suatu bentuk menolong
kawan dengan membantu membayar hutang tanggungan sahabat atau kawan, dengan
tidak memberatkannya dalam bentuk bunga atau ikatan lainnya yang mengikat), dan
saling sangkul/sangkol/sangkon (saling menolong dengan memberikan bantuan material
terhadap kawan yang sedang menerima musibah dalam usaha perdagangan).

c. Bidang adat budaya, tercermin dari saling tulung (bentuk tolong menolong dalam
membajak menggaru sawah ladang para petani); saling sero (saling tolong dalam
menanami sawah ladang); saling saur alap (saling tolong dalam mengolah sawah ladang,
seperti dalam hal ngekiskis/membersihkan rerumputan dengan alat potong kikis atau
ngoma/ngome/ mencabuti rumput; dan besesiru/besiru, yaitu nilai kearifan lokal ini juga
hampir sama dengan saling saur alap, yaitu pekerjaan gotong royong bekerja di sawah
dari menanam bibit sampai panen.

Selain bentuk-bentuk kearifan suku Sasak yang telah dijelaskan diatas, masyarakat
suku Sasak juga memiliki prinsip-prinsip dalam menyelesaikan konflik, yaitu bisa dilihat
dalam penyelesaian sengketa, kearifan lokal suku Sasak tidak menghendaki putusan kalah
menang, akan tetapi harus mengarah kepada perdamaian yang diselesaikan dengan

6
musyawarah mufakat. Dalam upaya penyelesaian itu, kedua belah pihak bisa saling
menjaga perasaan masing- masing (tao saling undur pasang).

Dalam konteks upaya penyelesaian konflik ini, nilai kearifan lokal suku Sasak
tercermin dalam ungkapan- ungkapan antara lain: “empaq bau, aiq meneng, tunjung
tilah”, artinya “ikan tertangkap, air tetap jernih, bunga teratai tidak rusak, tetap utuh”.
Maksudnya, dalam penyelesaian konflik harus diorientasikan untuk menghasilkan
kepuasan kedua belah pihak, kedua belah pihak merasa menang dan tidak ada yang
merasa kalah; “adeq ta tao jauk aiq”, artinya “supaya kita bisa membawa air”.
Maksudnya, dalam suatu perselisihan, pertengkaran atau konflik yang memanas, kita
mampu menjadi pendingin; “sifat anak empaq tao pesopoq diriq”, artinya “sifat anak ikan
bisa menyatukan diri”. Maknanya adalah mengandung nasihat untuk selalu menghindari
berbantahan satu sama lain; “sikut tangkong leq awak mesaq”, artinya “ukur baju pada
badan sendiri”. Ungkapan ini mengandung makna bahwa segala perbuatan seseorang
kepada orang lain, hendaknya diukur dengan ukuran pada diri sendiri.

Beberapa prinsip nilai kearifan budaya lokal suku Sasak inilah yang perlu
direvitalisasi dan dieksplorasi secara komprehensif dan holistik, sehingga terbentuk pola
pemahaman tentang kearifan lokal yang terpadu, bersinergi, dan harmoni yang dimiliki
masyarakat Sasak dalam hidup bermasyarakat sebagai model dalam mengelola konflik
yang melibatkan semua elemen masyarakat dan stakeholder dalam masyarakat. Oleh
karena itu, dalam konteks revitalisasi kearifan local, dibutuhkan sebuah dialog yang tidak
hanya memunculkan kelebihan masing-masing sambil merendahkan nilai yang lain, tetapi
sebuah dialog yang sanggup menciptakan ruang heteroglosia, bersuara majemuk. Dialog
bukan hanya percakapan atau pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan
bersama, tetapi komitmen bersama yang tujuannya agar setiap partisipan dapat belajar
dari yang lain, sehingga dapat berubah dan berkembang. Dengan demikian, paradigma
dan sistem nilai sawa adalah menyangkut cara manusia melakukan perjumpaan dengan
dan memahami diri sendiri dan dunia lain (the others) pada tingkat terdalam (from
within), membuka kemungkinan- kemungkinan untuk menggali dan menggapai selaksa
makna fundamental secara individual dan kolektif dengan berbagai dimensinya
(Baidhawy, 2001).

7
1.3 Kearifan Lokal Suku Sasak sebagai Penyelesai Konflik Masyarakat Lombok
Pada masyarakat Lombok yaitu suku Sasak, kearifan lokal merupakan hal yang tidak
dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Sebab kehidupan yang ada pada suku
Sasak memerlukan cara-cara yang baik terutama pada sikap. Etika dan sopan santun yang
melekat pada masyarakat Sasak diturunkan dari petuah para orang tua melalui ungkapan.
Ungkapan tersebut yakni sebagai berikut ini :Solah mum gaweq, solah eam daet, bayoq
mum gaweq bayoq eam daet, piliq buku ngawan, semet bulu mauq banteng, empak bau,
aik meneng, tunjung tilah(baik yang dikerjakan maka akan mendapat kebaikan dan buruk
yang dikerjakan maka akan mendapatkan keburukan). Masyarakat memahami bahwa
seluruh alam raya diciptakan untuk digunakan oleh manusia dalam melanjutkan
evolusinya hingga mencapai tujuan penciptaan. Kehidupan mahluk-mahluk Tuhan saling
terkait. Bila terjadi gangguan yang luar biasa terhadap salah satunya, mahluk yang berada
dalam lingkungan hidup akan ikut terganggu pula (Zuhdi, 2018:73)
Terdapat pula budaya tradisional pada masyarakat Sasak yang mana dalam hal ini
terbagi menjadi 3 dasar yang antara lain yaitu: pertama, "epe-aik" sebagai pemilik yang
maha kuasa atas segala asal kejadian alam dan manusia. Kedua "gumi-paer" sebagai
tanah tempat berpijak di situ langit dijunjung. Hal ini memiliki makna bahwa masyarakat
Sasak dilahirkan, diberi kehidupan dan selanjutnya diwafatkan. Ketiga "budi-kaye" yang
berarti kekayaan pribadi dari kesadaran akan menurunkan akal budi pada setiap diri
manusia untuk mendapatkan kemuliaan hidup yang akan dibawa sampai meninggal
dunia. Ketiga hal tersebutlah yang akan mewarnai setiap pandangan, ucapan, dan
perbuatan masyarakat Sasak menjadi adab budaya yang tidak hanya diukur dengan hasil
karya secara material, namun yang lebih penting adalah nilai-nilai yang diperoleh selama
hidup yang tercermin dari pelaksanaan adat istiadat mereka (Sarjana, 2004).
Tradisi dan kearifan lokal yang masih ada dan berlaku di masyarakat Lombok (suku
Sasak) berpotensi untuk dapat mendorong keinginan hidup rukun dan damai. Hal itu
disebabkan karena kearifan tradisi lokal pada dasarnya mengajarkan perdamaian dengan
sesamanya, lingkungan, dan Tuhan. Pendekatan kearifan lokal suku Sasak sangat tepat
dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Lombok karena selama ini di samping sudah
membudaya dalam masyarakat, kearifan lokal juga masih memiliki nilai sakral dan tidak
hanya berorientasi pada duniawi semata. Dengan adanya kearifan lokal tersebut,
diharapkan resolusi konflik bisa selesai dan diterima secara damai oleh semua kelompok
dalam waktu lama.

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Suku Sasak merupakan suku yang berada di Pulau Lombok, provinsi Nusa Tenggara
Barat. Pulau Lombok merupakan tempat tinggal dari banyak suku, agama, budaya, dan
ras yang berbeda satu sama lain. Pada masyarakat Sasak, kearifan lokal merupakan hal
yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Karenanya, denyut nadi
kehidupan masyarakat Sasak memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana. Tradisi dan
kearifan lokal yang masih ada dan berlaku di masyarakat Lombok (suku Sasak)
berpotensi untuk dapat mendorong keinginan hidup rukun dan damai. Tradisi-tradisi
tersebut hingga kini masih dipraktikan di komunitas Sasak, terutama di daerah pedesaan.
Hampir keseluruhan tradisi ini mengarah pada upaya menjaga harmoni sosial,
Dalam hal ini tradisi dan kearifan lokal pada dasarnya mengajarkan perdamaian
dengan sesamanya, lingkungan, dan Tuhan. Pendekatan kearifan lokal suku Sasak sangat
tepat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Lombok karena selama ini di samping
sudah membudaya dalam masyarakat, kearifan lokal juga masih memiliki nilai sakral dan
tidak hanya berorientasi pada duniawi semata. Dengan adanya kearifan lokal tersebut,
diharapkan resolusi konflik bisa selesai dan diterima secara damai oleh semua kelompok
dalam waktu lama.

3.2 Saran

Dari pemaparan diatas tentunya penulis berharap pembaca dapat menerima dan
memahami pembahasan materi yang disampaikan. Kami sebagai penulis menyadari
bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan.
Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang
dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas

9
DAFTAR PUSTAKA

Asmara, G., & Maladi, Y. 2010. Penyelesaian Konflik Pertanahan Berbasis Nilai-nilai
Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Barat. Yogyakarta: Jurnal
Mimbar Hukum UGM.

Mansur, S. 2018. Kearifan Lokal Kemalik Suku Sasak untuk Menjaga Kelestarian
Lingkungan Hidup Dusun Sade. Sikka: Universitas Nusa Nipa.

Sarjana, Agus. 2004. Otokritik Islam dan Budaya Sasak yang Mandul Mencegah Kekerasan
dalam Diskusi Publik "Peran Agama Dalam Mencari Solusi
Kekerasan. Praya, 16 Februari 2004.

Wibowo,dkk. 2015.Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Di Sekolah


(konsep,strategi, dan implementasi). Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.

Baidhawy, Zakiyuddin. 2001.. Membangun Sikap Multikulturalis perspektif


Teologi Islam”. Makalah pada Halqah Tarjih:
Menuju Muslim Berwawasan Multikultural
Zuhdi, M. Harfin. 2018. Kearifan Lokal Suku Sasak sebagai Model Pengelolaan Konflik di
Masyarakat Lombok". Mataram: UIN Mataram.

10

Anda mungkin juga menyukai