Anda di halaman 1dari 37

TUGAS INDIVIDU MATA KULIAH JIWA

Disusun oleh:

Lailatus Siyamu N . 2014314201035

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI
2020
1. Bagaimana cara mempelajari kejiwaan seseorang?
Untuk menilai individu mengalami gangguan jiwa atau tidak maka lakukan observasi terlebih
dahulu terhadap keadaan pasien setelah dilakukan observasi lanjutkan ke pengkajian fisiknya apakah
klien mengalami gangguan jiwa disertai dengan gangguan fisik atau tidak.
Berikut adalah beberapa penyimpangan individu dari ciri-ciri sehat jiwa.
a. Perilaku Individu yang mengalami gangguan jiwa biasanya menunjukkan perilaku yang aneh
seperti berjalan mondar-mandir, tertawa sendiri, berbicara sendiri, marah berlebihan dengan masalah
yang sepele, menangis secara tiba-tiba, pergi tanpa tau tujuan yang jelas. Individu yang mengalami
gangguan jiwa biasanya juga tidak mau melakukan kegiatan apapun, jika diminta beraktivitas individu
tersebut bisa marah.
b. Emosi Biasanya individu yang mengalami gangguan jiwa memiliki emosi atau perasaan yang
mudah berubah-ubah. Perasaan tersebut bisa kita lihat melalui wajahnya, bisa menunjukkan tanpa
ekspresi dan bisa juga menunjukkan kesedihan maupun rasa takut.
c. Penampilan Individu yang mengalami gangguan jiwa akan menunjukkan kebersihan dari dirinya.
Mereka menganggap penampilan dan kebersihan diri itu tidaklah penting. Sering kita melihat di jalanan
orang yang mengalami gangguan jiwa tidak berpakaian dan mereka berkeliaran kemana-mana
d. Interaksi Jika kriteria sehat jiwa mampu berinteraksi dengan orang lain secara tolong menolong
dan saling memuaskan maka berbeda dengan individu yang mengalami gangguan jiwa. Mereka biasanya
lebih suka menyendiri mengurung diri di kamar dan enggan berinteraksi dengan orang lain. Selain itu
individu yang mengalami gangguan jiwa suka melamun
e. Ingatan Normalnya individu masih bisa berorientasi dengan ingatannya, bisa melakukan hal-hal
yang sederhana seperti mengingat teman, saudara, anak, istri, dan hal-hal yang sehari-hari bisa dia
lakukan seperti pekerjannya. Namun tidak dengan individu yang mengalami gangguan jiwa, seringkali
mereka menganggap bahwa orang-orang yang ada disekitarnya adalah orang baru dan asing baginya,
bisa jadi individu tersebut juga tidak mengingat nama-nama orang tersebut.
Selain itu cara menilai kejiwaan seseorang juga bisa menggunakan diagnosis multiaksial yang
terbagi menjadi 5 aksis yaitu :
a. Aksis I, meliputi gangguan klinis dan kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis
b. Aksis II, meliputi gangguan kepribadian dan retardasi mental
c. Aksis III, meliputi kondisi medik secara umum
d. Aksis IV, meliputi masalah psikososial dan lingkungan
e. Aksis V, meliputi penilaian fungsi secara global (menyeluruh) dalam fungsi psikologis, sosial,
dan okupasional. Aksis ini merupakan skala pengkajian fungsiglobal yang merupakan pengukuran
fungsi umum saat ini.

2. Sebutkan manifestasi Jiwa!


Menurut Kaplan dan Sadock (2004), tanda dan gejala penyakit psikiatri antara lain:
I. KESADARAN
A. Gangguan Kesadaran
1. Disorientasi : gangguan orientasi waktu, tempat, atau orang.
2. Pengaburan kesadaran : kejernihan ingatan yang tidak lengkap dengan gangguan persepsi
dan sikap.
3. Stupor : hilangnya reaksi dan ketidaksadaran terhadap lingkungan sekeliling.
4. Delirium : kebingungan, gelisah, konfusi, reaksi disorientasi yang disertai dengan rasa takut
dan halusinasi.
5. Koma : derajat ketidaksadaran yang berat
6. Koma vigil : koma dimana pasien tampak tertidur tetapi segera dapat dibangunkan (juga
dikenal sebagai mutisme akinetik).
7. Keadaan temaram (twilight state) : gangguan kesadaran dengan halusinasi.
8. Keadaan seperti mimpi (dreamlike state) : seringkali digunakan secara sinonim dengan
kejang parsial kompleks atau epilepsy psikomotor.
9. Somnolensi : mengantuk yang abnormal yang paling sering ditemukan pada proses
organik.

B. Gangguan atensi (perhatian) : atensi adalah usaha untuk memusatkan pada bagian tertentu
dari pengalaman, kemampuan untuk mempertahankan perhatian pada satu aktivitas, dan
kemampuan untuk berkonsentrasi.
1. Distraktibilitas : ketidakmampuan untuk memusatkan atensi, penarikan atensi kepada
stimuli eksternal yang tidak penting atau tidak relevan.
2. Inatensi selektif : hambatan hanya pada hal-hal yang menimbulkan kecemasan.
3. Hipervigilensi : atensi dan pemusatan yang berlebihan pada semua stimuli internal dan
eksternal, biasanya sekunder dari keadaan delusional atau paranoid.
4. Keadaan tak sadarkan diri (trance) : atensi yang terpusat dan kesadaran yang berubah,
biasanya terlihat pada hypnosis, gangguan disosiatif, dan pengalaman religius yang luar
biasa.

C. Gangguan Sugestibilitas : kepatuhan dan respon yang tidak kritis terhadap gagasan atau
pengaruh.
1. Folie a deux (folie a trois) : penyakit emosional yang berhubungan antara dua atau tiga
orang.
2. Hipnosis : modifikasi kesadaran yang diinduksi secara buatan yang ditandai dengan
peningkatan sugestibilitas.

II. EMOSI : suatu kompleks keadaan perasaan dengan komponen psikis, somatic, dan perilaku
yang berhubungan dengan afek dan mood.
A. Afek : ekspresi emosi yang terlihat; mungkin tidak konsisten dengan emosi yang dikatakan
pasien.
1. Afek yang sesuai : kondisi dimana irama emosional adalah harmonis dengan
gagasan, pikiran, atau pembicaraan yang menyertai.
2. Afek yang tidak sesuai : ketidakharmonisan antara irama perasaan emosional
dengan gagasan, pikiran, atau pembicaraan yang menyertainya.
3. Afek yang tumpul : gangguan pada afek yang dimanifestasikan oleh penurunan
berat pada intensitas irama perasaan yang diungkapkan ke luar.
4. Afek yang terbatas : penurunan intensitas irama perasaan yang kurang parah
daripada afek yang tumpul tetapi jelas menurun.
5. Afek yang datar : tidak adanya atau hampir tidak adanya tanda ekspresi afek;
suara yang monoton, wajah yang tidak bergerak.
6. Afek yang labil : perubahan irama perasaan yang cepat dan tiba-tiba, yang tidak
berhubungan dengan stimuli eksternal.

B. Mood : suatu emosi yang meresap dan dipertahankan, yang dialami secara subjektif dan
dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain.
1. Mood disforik : mood yang tidak menyenangkan.
2. Mood eutimik : mood dalam rentang normal, menyatakan tidak adanya mood yang
tertekan atau melambung.
3. Mood yang meluap-luap (expansive mood) : ekspresi perasaan seseorang tanpa
pembatasan, seringkali dengan penilaian yang berlebihan terhadap kepentingan atau
makna seseorang.
4. Mood yang iritabel : dengan mudah diganggu atau dibuat marah.
5. Pergeseran mood (mood yang labil) : mood yang berubah-ubah.
6. Mood yang meninggi (elevated mood) : suasana keyakinan dan kesenangan; suatu
mood yang lebih ceria dari biasanya.
7. Euforia : elasi yang kuat dengan perasaan kebesaran.
8. Ectasy : kegembiraan yang luar biasa.
9. Depresi : perasaan kesedihan yang psikopatologis.
10.Anhedonia : hilangnya minat terhadap dan menarik diri dari semua aktivitas rutin dan
menyenangkan, seringkali disertai dengan depresi.
11.Dukacita atau berkabung : kesedihan yang sesuai dengan kehilangan yang nyata.
12.Aleksitimia : ketidakmampuan atau kesulitan dalam menggambarkan atau menyadari
emosi atau mood seseorang.

C. Emosi yang lain


1. Kecemasan : perasaan ketakutan yang disebabkan oleh dugaan bahaya, yang mungkin
berasal dari dalam atau luar.
2. Kecemasan yang mengambang bebas : rasa takut yang meresap dan tidak terpusatkan
yang tidak berhubungan dengan suatu gagasan.
3. Ketakutan : kecemasan yang disebabkan oleh bahaya yang dikenali secara sadar dan
realistis.
4. Agitasi : kecemasan berat yang disertai dengan kegelisahan motoric.
5. Ketegangan : peningkatan aktivitas motoric dan psikologis yang tidak menyenangkan.
6. Panik : serangan kecemasan yang akut, episodic, dan kuat yang disertai dengan perasaan
ketakutan yang melanda dan pelepasan otonomik.
7. Apati : irama emosi yang tumpul yang disertai dengan ketidakacuhan.
8. Ambivalensi : terdapatnya secara bersama-sama dua impuls yang berlawanan terhadap
hal yang sama pada satu orang yang sama pada waktu yang sama.
9. Abreaksional : pelepasan atau pelimpahan emosional setelah mengingat pengalaman
yang menakutkan.
10.Rasa malu : kegagalan membangun pengharapan diri.
11.Rasa bersalah : emosi sekunder karena melakukan sesuatu yang dianggap salah.

D. Gangguan psikologis yang berhubungan dengan mood


1. Anoreksia : hilangnya atau menurunnya nafsu makan.
2. Hiferfagia : meningkatnya nafsu makan dan asupan makanan.
3. Insomnia : hilangnya atau menurunnya kemampuan untuk tidur.
4. Hipersomnia : tidur yang berlebihan.
5. Variansi diurnal : mood yang secara teratur terburuk pada pagi hari, segera setelah
terbangun, dan membaik dengan semakin siangnya hari.
6. Penurunan libido : penurunan minat, doronngan, dan daya seksual.
7. Konstipasi : ketidakmampuan atau kesulitan defekasi.

III. PERILAKU MOTORIC (KONASI)


1. Ekopraksia : peniruan pergerakan yang patologis eseorang pada orang lain.
2. Katatonia : kelainan motoric dalam gangguan nonorganic (sebagai lawan dari gangguan
kesadaran dan aktivitas motoric sekunder dari patologi organic.
a. Katalepsi : istilah umum untuk suatu posisi yang tidak bergerak yang dipertahankan
terus-menerus.
b. Luapan katatonik : aktivitas motoric yang teragitasi, tidak bertujuan, dan tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal.
c. Stupor katatonik : penurunan aktivitas motoric yang nyata, seringkali sampai titik
imobilitas dan tampaknya tidak menyadari sekeliling.
d. Rigiditas katatonik : penerimaan postur yang kaku yang disadari, menentang usaha
untuk digerakkan.
e. Posturing katatonik : penerimaan postur yang tidak sesuai atau kaku yang disadari,
biasanya dipertahankan dalam waktu yang lama.
f. Cerea flexibilitas (fleksibilitas lilin) : seseorang dapat diatur dalam suatu posisi yang
kemudian dipertahankannya.
3. Negativisme : tahanan tanpa motivasi terhadap semua usaha untuk menggerakkan atau terhadap
semua instruksi.
4. Katapleksi : hilangnya tonus otot dan kelemahan secara sementara yang dicetuskan oleh
berbagai keadaan emosional.
5. Stereotipik : pola tindakan fisik atau bicara yang terfikasi dan berulang.
6. Mannerisme : pergerakan tidak disadari yang mendarah daging dan kebiasaan.
7. Otomatisme : tindakan yang otomatis yang biasanya mewakili suatu aktivitas simbolik yang tidak
disadari.
8. Otomatisme perintah : otomatisme mengikuti sugesti (juga disebut kepatuhan otomatik).
9. Mutisme : tidak bersuara tanpa kelainan structural.
10. Overaktivitas :
• Agitasi psikomotor : overaktivitas motoric dan kognitif yang berlebihan, biasanya tidak
produktif dan sebagai respon dari ketegangan dalam.
• Hiperaktivitas (hiperkinesis) : kegelisahan, agresif, aktivitas destruktif, seringkali disertai
dengan patologi otak dasar.
• Tik : pergerakan motoric yang spasmodic dan tidak disadari.
• Tidur berjalan (sleepwalking) (somnambulisme) : aktivitas motoric saat tertidur.
• Akathisia : perasaan subjektif tentang tegangan motoric sekunder dari medikasi antipsikotik
atau medikasi lain, yang dapat menyebabkan kegelisahan, melangkah bolak-balik, duduk dan
berdiri berulang-ulang.
• Kompulsi : impuls yang tidak terkontrol untuk melakukan suatu tindakan secara berulang.
- Dipsomania : kompulsi untuk minum alcohol.
- Kleptomania : kompulsi untuk mencuri.
- Nimfomania : kebutuhan untuk koitus yang kuat dan kompulsif pada seorang wanita.
- Satiriasis : kebutuhan untuk koitus yang kuat dan kompulsif pada seorang laki-laki.
- Trikotilomania : kompulsi untuk mencabut rambut.
- Ritual : aktivitas kompulsif otomatis dalam sifat, menurunkan kecemasan yang orisinil.
• Ataksia : kegagalan koordinasi otot; iregularitas gerakan otot.
• Polifagia : makan berlebihan yang patologis.
11. Hipoaktivitas (hipokinesis) : penurunan aktivitas motoric dan kognitif, seperti pada retardasi
psikomotor; perlambatan pikiran, bicara, dan pergerakan yang dapat terlihat.
12. Mimikri : aktivitas motoric tiruan dan sederhana pada anak-anak.
13. Agresi : tindakan yang kuat dan diarahkan tujuan yang mungkin verbal atau fisik, bagian
motoric dari afek kekasaran, kemarahan, atau permusuhan.
14. Memerankan (acting out) : ekspresi langsung dari suatu harapan atau impuls yang tidak
disadari dalam bentuk gerakan; fantasi yang tidak disadari dihidupkan secara impulsive
dalam perilaku.
15. Abulia : penurunan impuls untuk bertindak dan berpikir, disertai dengan ketidakacuhan
tentang akibat tindakan, disertai dengan deficit neurologis.

IV. BERPIKIR
A. Gangguan umum dalam bentuk atau proses berpikir
1. Gangguan mental : sindroma perilaku atau psikologis yang bermakna secara klinis, disertai
dengan penderitaan atau ketidakmampuan, tidak hanya suatu respon yang diperkirakan dari
peristiwa tertentu atau terbatas pada hubungan antara seseorang dan masyarakat.
2. Psikosis : ketidakmampuan untuk membedakan kenyataan dari fantasi.
3. Tes realitas : pemeriksaan dan pertimbangan objektif tentang dunia di luar diri.
4. Gangguan pikiran formal : berpikir ditandai dengan kekenderan asosiasi, neologisme, dan
kontruksi yang tidak logis, proses berpikir mengalami gangguan, dan orang didefinisikan sebagai
psikotik.
5. Berpikir tidak logis : berpikir mengandung kesimpulan yang salah.
6. Dereisme : aktivitas mental yang tidak sesuai dengan logika atau pengalaman.
7. Berpikir magis
8. Proses berpikir primer : tidak logis, magis, normalnya ditemukan pada mimpi, abnormal pada
psikosis.

B. Gangguan spesifik pada bentuk pikiran


1. Neologisme : kata baru yang diciptakan oleh pasien, seringkali dengen mengkombinasikan
suku kata dari kata-kata lain, untuk alasan keanehan psikologis.
2. Word salad (gado-gado kata) : campuran kata-kata dan fras yang membingungkan.
3. Sirkumstansialitas : bicara yang tidak langsung yang lambat dalam mencapai tujuan tetapi
akhirnya dari titik awal mencapai tujuan yang diharapkan.
4. Tangensialitas : ketidakmampuan untuk mempunyai asosiasi pikiran yang diarahkan oleh
tujuan.
5. Inkoherensi (pembicaraan yang tidak logis) : pikiran yang biasanya tidak dapat dimengerti,
berjalan bersama pikiran atau kata-kata dengan hubungan yang tidak logis atau tanpa tata
bahasa yang menyebabkan disorganisasi.
6. Perseverasi : respon terhadap stimulus sebelumnya yang menetap setelah stimulus baru
diberikan, sering disertai dengan gangguan kognitif.
7. Verbigerasi : pengulangan kata-kata atau frasa-frasa spesifik yang tidak mempunyai arti.
8. Ekolalia : pengulangan kata-kata atau frasa-frasa seseorang oleh seseorang lain secara
psikopatologis.
9. Kondensasi : penggabungan berbagai konsep menjadi satu konsep.
10. Jawaban yang tidak relevan : jawaban yang tidak harmonis dengan pertanyaan yang
ditanyakan.
11. Pengenduran asosiasi : aliran pikiran dimana gagasan-gagasan bergeser dari satu subjek ke
subjek lain dalam cara yang sama sekali tidak berhubungan.
12. Keluar dari jalur (derailment) : penyimpangan yang mendadak dalam urutan pikiran tanpa
penghambatan.
13. Flight of ideas : verbalisasi atau permainan kata-kata yang cepat dan terus-menerus yang
menghasilkan pergeseran terus-menerus dari satu ide ke ide lain.
14. Asosiasi bunyi (clang association) : asosiasi kata-kata yang mirip bunyinya tetapi berbeda
artinya.
15. Penghambatan (blocking) : terputusnya aliran berpikir secara tiba-tiba sebelum pikiran atau
gagasan diselesaikan.
16. Glossolalia : ekspresi pesan-pesan yang relevan melalui kata-kata yang tidak dapat dipahami.

C. Gangguan spesifik pada isi pikiran


1. Kemiskinan isi pikiran : pikiran yang memberikan sedikit informasi karena tidak ada
pengertian, pengulangan kosong, atau frasa yang tidak jelas.
2. Gagasan yang berlebihan : keyakinan palsu yang dipertahankan dan tidak beralasan yang
dipertahankan secara kurang kuat dibandingkan dengan suatu waham.
3. Waham : keyakinan palsu, didasarkan pada kesimpulan yang salah tentang kenyataan
eksternal, tidak sejalan dengan inteligensia pasien dan latar belakang kultural, yang tidak dapat
dikoreksi dengan suatu alasan.
a) Waham yang kacau (bizzare delusion) : keyakinan palsu yang aneh, mustahil, dan
sama sekali tidak masuk akal (sebagai contohnya, orang dari angkasa luar telah
menanamkan suatu elektroda pada pada otak pasien).
b) Waham tersistematisasi : keyakinan yang palsu yang digabungkan oleh suatu tema
atau peristiwa tunggal (sebagai contohnya, pasien dimata-matai oleh agen rahasia,
mafia, atau boss).
c) Waham yang sejalan dengan mood : waham dengan isi yang sesuai dengan mood
(sebagai contohnya, seorang pasien depresi percaya bahwa ia bertanggung jawab
untuk penghancuran dunia).
d) Waham yang tidak sejalan dengan mood : waham dengan isi yang tidak mempunyai
hubungan dengan mood atau merupakan mood-netral (sebagai contohnya, pasien
depresi mempunyai waham kontrol pikiran atau siar pikiran).
e) Waham nihilistic : perasaan palsu bahwa dirinya, orang lain, dan dunia adalah tidak
ada atau berakhir.
f) Waham kemiskinan : keyakinan palsu bahwa pasien kehilangan atau akan terampas
semua harta miliknya.
g) Waham somatic : keyakinan yang palsu menyangkut fungsi tubuh pasien (sebagai
contohnya, keyakinan bahwa otak pasien adalah berakar atau mencair).
h) Waham paranoid :
- Waham persekutorik : keyakinan palsu bahwa pasien sedang diganggu, ditipu, atau
disiksa; sering ditemukan pada seorang pasien yang senang menuntut yang
mempunyai kecenderungan patologis untuk mengambil tindakan hukum karena
penganiayaan yang dibayangkan.
- Waham kebesaran : gambaran kepentingan, kekuatan, atau identitas seseorang yang
berlebihan.
- Waham referensi : keyakinan palsu bahwa perilaku orang lain ditunjukkan pada
dirinya; bahwa peristiwa, benda-benda, atau orang lain mempunyai kepentingan
tertentu dan tidak biasanya, umumnya dalam bentuk negative, diturunkan dari idea
referensi, dimana seseorang secara salah merasa bahwa ia sedang dibicarakan oleh
orang lain (sebagai contohnya, percaya bahwa orang di televise atau radio berbicara
padanya atau membicarakan dirinya).
i) Waham menyalahkan diri sendiri : keyakinan yang palsu tentang penyesalan yang
dalam dan bersalah.
j) Waham pengendalian : perasaan palsu bahwa kemauan, pikiran, atau perasaan
pasien dikendalikan oleh tenaga dari luar.
- Penarikan pikiran (thought withdrawal) : waham bahwa pikiran pasien dihilangkan
dari ingatannya oleh orang lain atau tenaga lain.
- Penanaman pikiran (thought insertion) : waham bahwa pikiran ditanamkan dalam
pikiran pasien oleh orang atau tenaga lain.
- Siar pikiran (thought broadcasting) : waham bahwa pikiran pasien dapat didengar
oleh orang lain, seperti pikiran mereka sedang disiarkan ke udara.
- Pengendalian pikiran (thought control) : waham bahwa pikran pasien dikendalikan
oleh orang lain atau tenaga lain.
k) Waham ketidaksetiaan (waham cemburu) : keyakinan palsu yang didapatkan dari
kecemburuan patologis bahwa kekasih pasien adalah tidak jujur.
l) Erotomania : keyakinan waham, lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki,
bahwa seseorang dangat mencintai dirinya (juga dikenal sebagai kompleks
Clearambault-Kandinsky).
m) Pseudologia phantastica : suatu jenis kebohongan dimana seseorang tampaknya
percaya terhadap kenyataan fantasinya dan bertindak atas kenyataan, disertai
dengan sindroma Munchausen, berpura-pura sakit yang berulang.
4. Kecenderungan atau preokupasi pikiran : pemusatan isi pikiran pada ide tertentu, disertai
dengan irama afektif yang kuat, seperti kecenderungan paranoid atau preokupasi tentang
bunuh diri atau membunuh.
5. Egomania : preokupasi pada diri sendiri yang patologis.
6. Monomania : preokupasi dengan suatu objek tunggal.
7. Hipokodria : keprihatinan yang berlebihan tentang kesehatan pasien yang didasarkan bukan
pada patologi organic yang nyata, tetapi pada interpretasi yang tidak realistic terhadap tanda
atau sensasi fisik yang sebagai abnormal.
8. Obsesi : ketekunan yang patologis dari suatu pikran atau perasaan yang tidak dapat ditentang
yang tidak dapat dihilangkan dari kesadaran oleh usaha logika, yang disertai dengan kecemasan
(juga dikenal sebagai perenungan [rumination]).
9. Kompulsi : kebutuhan yang patologis untuk melakukan suatu impuls yang jika ditahan
menyebabkan kecemasan.
10. Kopronalia : pengungkapan secara kompulsif dari kata-kata yang cabul.
11. Fobia : rasa takut patologis yang persisten, irasional, berlebihan, dan selalu terjadi
terhadap suatu jenis stimulus atau situasi tertentu; menyebabkan keinginan yang
memaksa untuk menghindari stimulus yang ditakuti
a) Fobia sederhana : rasa takut yang jelas terhadap objek atau situasi yang jelas
(sebagai contohnya,rasa takut terhadap laba-laba atau ular).
b) Fobia social : rasa takut akan keramaian masyarakat, seperti rasa takut berbicara
dengan masyarakat, bekerja, atau makan dalam masyarakat.
c) Akrofobia : rasa takut terhadap tempat yang tinggi.
d) Agorafobia : rasa takut terhadap tempat yang terbuka.
e) Algofobia : rasa takut terhadap rasa nyeri.
f) Ailurofobia : rasa takut terhadap kucing.
g) Eritrofobia : rasa takut terhadap warna merah (merujuk terhadap rasa takut
terhadap berdarah).
h) Panfobia : rasa takut terhadap segala sesuatu.
i) Klaustrafobia : rasa takut terhadap tempat yang tertutup.
j) Xenofobia : rasa takut terhadap orang asing.
k) Zoofobia : rasa takut terhadap binatang.
12. Noesis : suatu wahyu dimana terjadi pencerahan yang besar sekali diserta dengan perasaan
bahwa pasien telah dipilih untuk memimpin dan merintah.
13. Unio mystica : suatu perasaan yang meluap, pasien secara mistik bersatu dengan kekuatan
yang tidak terbatas, tidak dianggap suatu gangguan dalam isi pikiran jika sejalan dengan
keyakinan pasien atau lingkungan kultural.

V. BICARA
A. Gangguan Bicara
1. Tekanan bicara : bicara cepat yaitu peningkatan jumlah dan kesulitan untuk memutus
pembicaraan.
2. Kesukaan bicara (logorrhea) : bicara yang banyak sekali, bertalian dan logis.
3. Kemiskinan bicara (poverty of speech): pembatasan jumlah bicara yang digunakan;
jawaban mungkin hanya satu suku kata (monosyllabic).
4. Bicara yang tidak spontan : respon verbal yang diberikan hanya jika ditanya atau
dibicarakan langsung; tidak ada bicara yang dimulai dari diri sendiri.
5. Kemiskinan isi bicara : bicara yang adekuat dalam jumlah tetapi memberikan sedikit
informasi karena ketidakjelasan, kekosongan, atau frasa yang stereoptik.
6. Disprosodi : hilangnya irama bicara yang normal (disebut prosodi).
7. Disartria : kesulitan dalam artikulasi, bukan dalam penemuan kata atau tata bahasa.
8. Bicara yang keras atau lemah secara berlebihan : hilangnya modulasi volume bicara
normal, dapat mencerminkan berbagai keadaan patologis mulai dari psikosis sampai
depresi sampai ketuliaan.
9. Gagap : pengulangan atau perpanjangan suara atau suku kata yang sering menyebabkan
gangguan kefasihan bicara yang jelas.
10. Kekacauan : bicara yang aneh dan disritmik, yang mengandung semburan yang cepat
dan menyentak.

B. Gangguan Afasik : gangguan dalam pengeluaran bahasa.


1. Afasia motoric : gangguan bicara yang disebabkan oleh gangguan kognitif dimana
pengertian adalah tetap tetapi kemampuan untuk bicara sangat terganggu,bicara
terhenti-henti, susah payah, dan tidak akurat (juga dikenal sebagai afasia broca, tidak
fasih, dan ekspresif).
2. Afasia sensoris : kehilangan kemampuan organic untuk mengerti arti kata, bicara lancar
dan spontan,tetapi membingungkan dan yang bukan-bukan (juga dikenal sebagai afasia
Wernicke, fasih, dan reseptif).
3. Afasia nominal : kesulitan untuk menemukan nama yang tepat untuk suatu benda (juga
dikenal sebagai afasia anomia dan amnestic).
4. Afasia sintatikal : ketidakmampuan untuk menyusun kata-kata dalam urutan yang tepat.
5. Afasia logat khusus : kata-kata yang dihasilkan seluruhnya neologistik, kata-kata yang
bukan-bukan diulangi dengan berbagai intonasi dan nada suara.
6. Afasia global : kombinasi afasia yang sangat tidak fasih dan afasia fasih yang berat.
IV. PERSEPSI
A. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi : persepsi sensoris yang palsu yang tidak disertai dengan stimuli eksternal yang
nyata.
a) Halusinasi hipnagogik: persepsi sensoris yang palsu yang terjadi saat akan tertidur, biasanya
dianggap sebagai fenomena yang nonpatologis.
b) Halusinasi hipnopompik : persepsi palsu yang terjadi saat terbangun dari tidur; biasanya
dianggap tidak patologis.
c) Halusinasi dengar (auditoris): persepsi bunyi yang palsu, biasanya suara tetapi juga bunyi-
bunyi lain, seperti musik.
d) Halusinasi visual : persepsu palsu tentang penglihatan yang berupa citra yang berbentuk
(sebagai contohnya, orang) dan citra yang tidak berbentuk (sebagai contohnya, kilatan
cahaya).
e) Halusinasi cium (oflaktoris): persepsi membau yang palsu.
f) Halusinasi kecap (gustatoris): persepsi tentang rasa kecap yang palsu; seperti rasa kecap yang
tidak menyenangkan yang disebabkan oleh kejang.
g) Halusinasi raba (taktil, haptic): persepsi palsu tentang perabaan atau sensasi permukaan,
seperti dari tungkai yang teramputasi (phantom limb), sensasi adanyan gerakan pada atau
dibawah kulit (kesemutan).
h) Halusinasi somatic : sensasi palsu tentang sesuatu hal yang terjadi di dalam atau terhadap
tubuh, paling sering berasal dari visceral (juga dikenal sebagai halusinasi kenestetik).
i) Halusinasi liliput : persepsi yang palsu dimana benda-benda tampak lebih kecil ukurannya
(juga dikenal sebagai mikropsia).
j) Halusinasi yang sejalan dengan mood: halusinasi dimana isi halusinasi konsisten dengan
mood yang tertekan atau manik (sebagai contohnya, pasien yang mengalami depresi
mendengar suara yang mengatakan bahwa pasien adalah orang yang jahat, seorang pasien
manik mendengar suara yang mengatakan bahwa pasien memiliki harga diri, kekuatan, dan
pengetahuan yang tinggi).
k) Halusinasi yang tidak sejalan dengan mood : sebagai contohnya, pada pasien depresi,
halusinasinya tidak melibatkan tema-tema tersebut seperti rasa bersalah, penghukuman
yang layak diterima, atau ketidakmampuan; pada mania, halusinasi tidak mengandung tema-
tema tersebut seperti harga diri atau kekuasaan yang tinggi.
l) Halusinosis: halusinasi, paling sering adalah halusinasi dengar, yang berhubungan dengan
penyalahgunaan alcohol kronis dan terjadi dalam sensorium yang jernih, berbeda dengan
delirium tremens (DTs) yaitu halusinasi yang terjadi dalam kotes sensorium yang berkabut.
m) Sinestesia : sensasi atau halusinasi yang disebabkan oleh sensasi lain (sebagai contohnya
suatu sensasi auditoris yang disertai atau dicetuskan oleh suatu sensasi visual; suatu bunyi
dialami sebagai dilihat atau suatu benda penglihatan dialami sebagai didengar).
n) Trailing phenomenon: kelainan persepsi yang berhubungan dengan obat-obat halusinogen
dimana benda yang bergerak dilihat sebagai sederetan citra yang terpisah dan tidak kontinu.

B. Gangguan yang berhubungan dengan gangguan kognitif : agnosia : ketidakmampuan untuk


mengenali dan menginterpretasikan kepentingan kesan sensoris.
1. Anosognosia : ketidaktahuan tentang penyakit; ketidakmampuan untuk mengenali
suatu defek neurologis yang terjadi pada dirinya.
2. Somatopagnosia : ketidaktahuan tentang tubub; ketidakmampuan untuk mengenali
suatu bagian tubuh sebagai milik tubuhnya sendiri (juga disebut autopagnosia).
3. Agnosia visual : ketidakmampuan untuk mengenali benda-benda atu orang.
4. Astereognosis: ketidakmampuan untuk mengenali benda melalui sentuhan.
5. Apraksia : ketidakmampuan untuk melakukan tugas tertentu.
6. Prosopagnosia : ketidakmampuan mengenali wajah.
7. Simultagnosia: ketidakmampuan untuk mengerti lebih dari satu elemen pandangan
visual pada suatu waktu atau untuk mengintegrasikan bagian-bagian menjadi
keseluruhan.
8. Adiadokokinesia : ketidakmampuan untuk melakukan pergerakan yang berubah dengan
cepat.

C. Gangguan yang berhubungan dengan fenomena konversi dan disosiatif


1. Anestesia histerikal : hilangnya modalitas sensoris yang disebabkan oleh konflik
emosional.
2. Makropsia : menyatakan bahwa benda-benda tampak lebih besar dari sesungguhnya.
3. Mikropsia : menyatakan bahwa benda-benda lebih kecil dari sesungguhnya.
4. Depersonalisasi : suatu perasaan subjektif merasa tidak nyata, aneh atau tidak mengenali
diri sendiri.
5. Derealisasi : suatu perasaan subjektif bahwa lingkungan aneh atau tidak nyata; suatu
perasaan tentang perubahan realitas.
6. Fuga (fugue) : mengambil identitas baru pada amnesia identitas yang lama; seringkali
termasuk berjalan-jalan atau berkelana ke lingkungan yang baru.
7. Kepribadian ganda : satu orang yang tampak pada waktu yang berbeda menjadi dua atau
lebih kepribadian dan karakter yang sama sekali berbeda.

VII. DAYA INGAT


A. Gangguan daya ingat
1. Amnesia : ketidakmampuan sebagian atau keseluruhan untuk mengingat pengalaman masa
lalu.
a. Anterograd : amnesia untuk peristiwa yang terjadi setelah suatu titik waktu.
b. Retrograd : amnesia sebelum suatu titik waktu.
2. Paramnesia : pemalsuan ingatan oleh distorsi pengingatan.
a. Fausse reconnaissance : pengenalan yang palsu.
b. Pemalsuan retrospektif : ingatan secara tidak diharapkan (tidak disadari) menjadi
terdistorsi saat disaring melalui keadaan emosional, kognitif, dan pengalaman pasien
sekarang.
c. Konfabulasi : pengisian kekosongan ingatan secara tidak disadari oleh pengalaman yang
dibayangkan atau tidak nyata yang dipercaya pasien tetapi tidak mempunyai dasar
kenyataan; paling sering berhubungan dengan patologi organic.
d. Déjà vu : ilusi pengenalan visual dimana situasi yang baru secara keliru dianggap sebagai
suatu pengulangan ingatan sebelumnya.
e. Deja entendu : ilusi pengenalan auditoris.
f. Deja pense : ilusi bahwa suatu pikiran yang sebelumnya telah dirasakan atau
diekspresikan.
g. Jamais vu : perasaan palsu tentang ketidakkenalan terhadap situasi nyata yang telah
dialami oleh seseorang.
3. Hipermnesia : peningkatan derajat penyimpanan dan pengingatan.
4. Eidetic image : ingatan visual tentang kejelasan halusinasi.
5. Screen memory : ingatan yang dapat ditoleransi secara sadar menutupi ingatan yang
menyakitkan.
6. Represi : suatu mekanisme pertahanan yang ditandai oleh pelupaan secara tidak disadari
terhadap gagasan atau impuls yang tidak dapat diterima.
7. Letologika : ketidakmampuan sementara untuk mengingat suatu nama atau suatu kata benda
yang tepat.

B. Tingkat daya ingat


1. Segera (immediate): reproduksi atau pengingatan hal-hal yang dirasakan dalam beberapa
detik sampai menit.
2. Baru saja (recent): pengingatan peristiwa yang telah lewat beberapa hari.
3. Agak lama (recent past): pengingatan peristiwa yang telah lewat selama beberapa bulan.
4. Jauh (remote): pengingatan peristiwa yang telah lama terjadi.

VIII INTELIGENSIA
A. Retardasi mental : kurangnya inteligensia sampai derajat dimana terdapat gangguan pada
kinerja social dan kejuruan: ringan (IQ 50 atau 55 sampai kira-kira 70), sedang (IQ 35 atau 40
sampai 50 atau 55), berat (IQ 20 atau 25 sampai 35 atau 40), atau sangat berat (IQ dibawah 20
atau 25).
B. Dimensia : pemburukan fungsi intelektual organic dan global tanpa pengaburan kesadaran.
a. Diskalkulia (alkalkulia): hilangnya kemampuan untuk melakukan perhitungan yang tidak
disebabkan oleh kecemasan atau gangguan konsentrasi.
b. Disgrafia (agrafia): hilangnya kemampuan untuk menulis dalam gayan yang kursif;
hilangnya struktur kata.
c. Aleksia : hilangnya kemampuan membaca yang sebelumnya dimiliki; tidak disebabkan
oleh gangguan ketajaman penglihatan.
C. Pseudodemensia : gambaran klinis yang menyerupai demensia yang tidak disebabkan oleh
suatu kondisi organic; paling sering disebabkan oleh depresi (sindroma demensia dari depresi).
D. Berpikir konkret : berpikir harafiah; penggunaan kiasan yang terbatas tanpa pengertian
nuansa arti, pikiran satu dimensional.
E. Berpikir abstrak : kemampuan untuk mengerti nuansa arti; berpikir multidimensional dengan
kemampuan menggunakan kiasan dan hipotesis dengan tepat.
IX. TILIKAN (INSIGHT) : kemampuan pasien untuk mengerti penyebab sebenarnya dan arti dari
suatu situasi.
A. Tilikan intelektual : mengerti kenyataan objektif tentang suatu keadaan tanpa
kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dalam cara yang berguna untuk
mengatasi situasi.
B. Tilikan sesungguhnya : mengerti kenyataan objektif tentang suatu situasi, dosertai
dengan daya pendorong (impetus) motivasi dan emosional untuk mengatasi situasi.
C. Tilikan yang terganggu : menghilangnya kemampuan untuk mengerti kenyaan objektif
dari suatu situasi.

X. PERTIMBANGAN (JUDGMENT: kemampuan untuk menilai situasi secara benar dan untuk
bertindak secara tepat dalam situasi tersebut.
A. Pertimbangan kritis : kemampuan untuk menilai, melihat, dan memilih berbagai pilihan
dalam suatu situasi.
B. Pertimbangan otomatis: kinerja reflex di dalam suatu tindakan.
C. Pertimbangan yang terganggu : menghilangnya kemampuan untuk mengerti suatu situasi
dengan benar dan bertindak secara tepat.

3. Jelaskan Kriteria Sehat Jiwa!


Kesehatan jiwa bagi manusia berarti terwujudnya keharmonisan fungsi jiwa dan sanggup
menghadapi problem, merasa bahagia dan mampu diri. Orang yang sehat jiwa berarti mempunyai
kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan.
Manusia terdiri dari bio, psiko, sosial, dan spiritual yang saling berinteraksi satu dengan yang lain
dan saling mempengaruhi. Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun
dapat kita rasakan dan diamati keadaannya. Orang ‘gemuk’ dianggap sehat dan orang yang
mempunyai keluhan dianggap tidak sehat. Faktor subjektifitas dan kultural mempengaruhi
pemahaman dan pengertian orang terhadap konsep sehat. World Health Organization (WHO)
merumuskan sehat dalam arti kata yang luas, yaitu keadaan yang sempurna baik fisik, mental
maupun social, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat. Kesehatan fisik telah
lama menjadi perhatian manusia, tetapi jangan dilupakan bahwa manusia adalah mahluk yang
holistic, terdiri tidak hanya fisik tapi juga mental dan social yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan
antara kesehatan fisik dengan mental dapat dibuktikan oleh Hall dan Goldberg tahun 1984
(Notosoedirjo, 2005), bahwa pasien yang sakit secara fisik menunjukkan adanya gangguan mental
seperti depresi, kecemasan, sindroma otak organik, dan lain-lain. Terdapat tiga kemungkinan
hubungan antara sakit secara fisik dan mental, pertama orang yang mengalami sakit mental
karena sakit fisiknya. Karena kondisi fisik tidak sehat, sehingga tertekan dan menimbulkan
gangguan mental. Kedua, sakit fisik yang diderita itu sebenarnya gejala dari adanya gangguan
mental. Ketiga, antara gangguan mental dan fisik saling menopang, artinya orang menderita
secara fisik menimbulkan gangguan secara mental, dan gangguan mental turut memperparah
sakit fisiknya.
Beberapa kriteria jiwa sehat yaitu
A. menurut (Notosoedirjo dan Latipun, 2005).:
• Sehat jiwa karena tidak mengalami gangguan jiwa Kalangan klinisi klasik menekankan bahwa
orang yang sehat jiwa adalah orang yang tahan terhadap sakit jiwa, dan terbebas dari gangguan
jiwa. Orang yang mengalami neurosa atau psikosa dianggap tidak sehat jiwa. Vaillant, 1976 dalam
Notosoedirjo, 2005 menyatakan bahwa sehat jiwa itu “ as the presence of successful adjustment or
the absence of psychopatology (dysfunction in psychological, emotional, behavioral, and social
spheres)”. Pengertian diatas bersifat dikotomis, bahwa orang itu dalam keadaan sehat jika tidak
ada sedikitpun gangguan psikis, dan sakit jika ada gangguan. Dengan kata lain, sehat dan sakit itu
bersifat nominal.
• Sehat jiwa jika tidak sakit akibat adanya stressor Clausen memberi batasan yang berbeda dengan
klinisi klasik. Orang yang sehat jiwa adalah orang yang dapat menahan diri untuk tidak jatuh akibat
stressor. Meskipun mengalami tekanan, orang tetap sehat. Pengertian ini menekankan pada
kemampuan individual merespon lingkungannya. Setiap orang mempunyai kerentanan
(susceptibility) yang berbeda terhadap stressor karena factor genetic, proses belajar, dan budaya.
Selain itu terdapat perbedaan intensitas stressor yang diterima seseorang, sehingga sangat sulit
menilai apakah dia tahan terhadap stressor atau tidak.
• Sehat jiwa jika sejalan dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungan Michael dan Kirk
Patrick memandang bahwa individu yang sehat jiwa jika terbebas dari gejala psikiatris dan berfungsi
optimal dalam lingkungan sosialnya. Seseorang yang sehat jiwanya jika sesuai dengan kapsitas diri
sendiri, dan dapat hidup selaras dengan lingkungannya.
• Sehat jiwa karena tumbuh dan berkembang secara positif Frank LK mengemukakan pengertian
kesehatan jiwa lebih komprehensif. Orang yang sehat jiwa mampu tumbuh, berkembang dan
matang dalam hidupnya, menerima tanggungjawab, menemukan penyesuaian dalam berpartisipasi
memelihara aturan social dan tindakan dalam budayanya.

B. Menurut WHO mempunyai ciri sebagai berikut:

1. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan

2. Memperoleh kepuasan dari usahanya

3. Merasa lebih puas memberi daripada menerima

4. Saling tolong menolong dan saling memuaskan

5. Menerima kekecewaan untuk pelajaran yang akan datang

6. Mengarahkan rasa bermusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif

7. Mempunyai kasih saying

C. Kriteria Sehat Jiwa menurut M. Jahoda:


1. Sikap positif terhadap diri Menerima diri apa adanya, sadar diri, obyektif, dan merasa berarti.
2. Tumbuh, kembang dan aktualisasi Berfungsi optimal dan adaptif
3. Integrasi Keseimbangan antara ekspresi dan represi, ego yang kuat (Stress dan koping) dan
mampu menyeimbangkan konflik dan dorongan.
4. Otonomi Tergantung dan mandiri seimbang, tanggung jawab terhadap diri sendiri, menghargai
otonomi oranglain, persepsi reality, mau berubah sesuai dengan pengetahuan baru, empati dan
menghargai sikap dan perasaan orang lain.
5. Environment Mastery Mampu untuk sukses, adaptif terhadap lingkungan, dan dapat mengatasi
kesepian, agresi dan frustasi.

D. Abraham Maslow mengkriteriakan seseorang yang sehat jiwa memiliki persepsi yang
akurat terhadap realitas, serta menerima diri sendiri, oranglain, dan lingkungan. Bersikap spontan,
sederhana dan wajar (Rasmun, 2001). Manifestasi jiwa yang sehat menurut Maslow dan Mittlement,
1963; Notosoedirjo, 2005, jika seseorang mampu self-actualization sebagai puncak kebutuhan dari
teori hierarki kebutuhan. Secara lengkap criteria sehat jiwa menurut Maslow sebagai berikut:
1. Adequate feeling of security Rasa aman yang memadai dalam hubungannya dengan pekerjaan,
social, dan keluarganya.
2. Adequate self-evaluation Kemampuan menilai diri sendiri yang cukup mencakup harga diri yang
memadai, memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang tidak diganggu rasa bersalah
berlebihan, dan mampu mengenal beberapa hal secara social dan personal dapat diterima oleh
masyarakat.
3. Adequate spontanity and emotionality Memiliki spontanitas dan perasaan yang cukup dengan
orang lain dengan membentuk ikatan emosional secara kuat, seperti persahabatan dan cinta,
kemampuan memberi ekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa kehilangan kontrol,
kemampuan memahami dan membagi rasa kepada oranglain, kemampuan menyenangi diri
sendiri dan tertawa.
4. Efficient contact with reality Mempunyai kontak yang efisien dengan realitas yang mencakup
tiga aspek yaitu dunia fisik, social, dan internal atau diri sendiri. Hal ini ditandai dengan tiadanya
fantasi yang berlebihan, mempunyai pandangan yang realities dan luas terhadap dunia, disertai
kemampuan menghadapi kesulitan hidup sehari-hari, dan kemampuan untuk berubah jika
situasi eksternal tidak dapat dimodifikasi.
5. Adequate bodily desire and ability to gratify them Keinginan jasmani yang cukup dan
kemampuan untuk memuaskan, yang ditandai dengan sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani,
kemampuan memperoleh kenikmatan kebahagiaan dari dunia fisik seperti makan, tidur, pulih
kembali dari kelelahan. Kehidupan seksual yang wajar tanpa rasa takut dan konflik, kemampuan
bekerja, dan tidak adanya kebutuhan yang berlebihan.
6. Adequate self-knowledge Mempunyai pengetahuan diri yang cukup tentag motif, keinginan,
tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, pembelaan, perasaan rendah diri, dan sebagainya.
Penilaian diri yang realities terhadap kelebihan dan kekurangan diri.
7. Integration and concistency of personality Memiliki kepribadian yang utuh dan konsisten seperti
cukup baik perkembangan, kepandaian berminat dalam beberapa aktifitas, memiliki moral dan
kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan kelompok, mampu berkonsentrasi, dan tidak adanya
konflikkonflik besar dalam kepribadiannya.
8. Adequate life goal Memiliki tujuan hidup yang sesuai dan dapat dicapai, mempunyai usaha yang
cukup dan tekun mencapai tujuan, serta tujuan itu bersifat baik untuk diri sendiri dan
masyarakat.
9. Ability to learn from experience Kemampuan untuk belajar dari pengalaman yang berkaitan
tidak hanya dengan pengetahuan dan ketrampilan saja, tetapi juga elastisitas dan kemauan
untuk menerima segala sesuatu yang menyenangkan maupun menyakitkan.
10.Ability to satisfaction the requirements of the group Kemampuan memuaskan tuntutan dari
kelompok dengan cara individu tidak terlalu menyerupai anggota kelompok lain yang dianggap
lebih penting, terinformasi dan menerima cara yang berlaku dalam kelompok, berkemauan dan
dapat menghambat dorongan yang dilarang oleh kelompok, dapat menunjukkan usaha yang
mendasar yang diharapkan oleh kelompok, seperti ambisi, ketepatan, persahabatan, rasa
tanggungjawab, kesetiaan dan sebagainya.
11.Adequate emancipation from the group or culture Mempunyai emansipasi yang memadai dari
kelompok atau budaya, seperti menganggap sesuatu itu baik dan yang lain jelek, bergantung
dari pandangan kelompok, tidak ada kebutuhan untuk membujuk, mendorong, atau menyetujui
kelompok, dan memiliki toleransi terhadap perbedaan budaya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan
kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu secara optimal, dan yang
selaras dengan perkembangan orang lain. Seseorang yang “sehat jiwa” mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:

1. Merasa senang terhadap dirinya serta


2. Mampu menghadapi situasi
3. Mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup
4. Puas dengan kehidupannya sehari-hari
5. Mempunyai harga diri yang wajar
6. Menilai dirinya secara realistis, tidak berlebihan dan tidak pula merendahkan
7. Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain serta
8. Mampu mencintai orang lain
9. Mempunyai hubungan pribadi yang tetap
10. Dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda
11. Merasa bagian dari suatu kelompok
12. Tidak "mengakali" orang lain dan juga tidak membiarkan orang lain "mengakali" dirinya
13. Mampu memenuhi tuntutan hidup serta
14. Menetapkan tujuan hidup yang realistis
15. Mampu mengambil keputusan
16. Mampu menerima tanggungjawab
17. Mampu merancang masa depan
18. Dapat menerima ide dan pengalaman baru
19. Puas dengan pekerjaannya
Untuk mencapai jiwa yang sehat diperlukan usaha dan waktu untuk mengembangkan dan
membinanya. Jiwa yang sehat dikembangkan sejak masa bayi hingga dewasa, dalam berbagai tahapan
perkembangan. Pengaruh lingkungan terutama keluarga sangat penting dalam membina jiwa yang sehat

4. Faktor apa yang menyebabkan gangguan Jiwa?


Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling mempengaruhi
(Yosep, 2007) yaitu:
1. Faktor-faktor somatic (somatogenik) atau organobiologis : mencakup neuroanatomi,
neurofisiologi, neurokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organic, dan faktor-
faktor pre dan peri-natal.
2. Faktor-faktor psikologik (psikogenik) atau psikoedukatif : dapat berupa interaksi ibu-
anak, peranan ayah, persaingan antara saudara kandung, intelegensi, hubungan dalam
keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat. Faktor psikologik lainnya adalah
kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa salah, konsep
diri, keterampilan, bakat dan kreativitas dan tingkat perkembangan emosi.
3. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik) atau sosiokultural : faktor-faktor sosio-budaya
yang dapat menyebabkan gangguan jiwa yaitu kestabilan keluarga, pola mengasuh anak,
tingkat ekonomi, dan lokasi perumahan (perkotaan lawan pedesaan).
Menurut Singgih dalam Yosep, 2007, penyebab gangguan mental dapat disebabkan oleh
beberapa hal yaitu prasangka orang tua yang menetap, penolakan atau shock yang dialami pada
masa anak, ketidaksanggupan memuaskan keinginan dasar dalam pengertian kelakuan yang
dapat diterima umum, kelelahan yang luar biasa, kecemasan, ansietas, kejemuan, masa-masa
perubahan fisiologis yang hebat, pubertas dan menopause, tekanan-tekanan yang timbul karena
keadaan ekonomi, politik, dan social yang terganggu, keadaan iklim yang mempengaruhi
exhaustion dan toxema, penyakit kronis, missal AIDS, trauma kepada dan vertebra, kontaminasi
zat toksik, dan shock emosional yang hebat.
1. Faktor Keturunan
Tabel Penelitian saudara kembar dan saudara kandung yang salah satunya menderita skizofrenia

Hubungan dengan pasien skizofrenia % yang menderita


skizofrenia

Kembar monozigot (satu telur) 86,2 %


Kembar heterozigot (dua telur) 14,5 %
Saudara kandung 14,2 %
Saudara tiri 7,1 %
Masyarakat umum 0,85%

(Coleman, J.C : Abnormal Psychology and Modern life. Taraporevala Sons & Co., Bombay, 1970.
hal. 121).

2. Faktor Konstitusi
Tabel : Faktor konstitusi dan perilaku abnormal
Faktor konstitusi Hubungan dengan perkembangan abnormal

Bentuk badan Tidak jelas peranannyua, tetapi disproporsi badaniah,


kelemahan dan penampakan yang jelek umpamanya
lebih sering berhubungan dengan gangguan jiwa
daripada bentuk badan yang baik dan menarik

Energi dan kegiatan Rupaya berhubungan dengan apakah individu


mengembangkan
reaksi yang agresif atau lebih menuju ke dalam
terhadap stres, jadi lebih berhubungan dengan jenis
gangguan jiwa yang timbul bila individu itu terganggu
jiwanya

Reaktivitas susunan Reaktivitas emosional yang tinggi mungkin sekali


syaraf vegetatif berhubungan dengan realisasi berlebihan terhadap
stres ringan dan pembentukan rasa takut yang tak
perlu; reaktivitas emosional yang kurang, dapat
mengakibatkan sosialisasi yang tidak sesual karena
reaksi yang terlalu sedikit.

Daya tahan badaniah Membantu menentukan toleransi stres biologik dan


psikologik dan sistem organ apakah yang paling mudah
terganggu. Ada individu yang sangat mudah terganggu
sistem badaniahnya karena fungsi otaknya

Sensitivitas (kepekaan) Menentukan sebagian dari jenis stres yang


terhadapnya anak itu paling peka dan menentukan
besarnya stres yang dapat ditahan tanpa gangguan
jiwa; mempengaruhi cara anak menanggapi dunia.

Kecerdasan dan bakat Mempengaruhi kesempatan anak untuk berhasil


lain dal;am pertandingan/ persaingan sehingga
mempengaruhi juga
kepercayaan pada diri sendiri berdasarkan
keberhasilan

(Coleman, J.C : Abnormal Psychology and Modern life. Taraporevala Sons & Co., Bombay, 1970.
hal. 126).
3. Cacat Kongenital
Cacat kongenital atau sejak lahir dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak, terlebih yang
berat, seperti retardasi mental yang berat. Akan tetapi pada umumnya pengaruh cacat ini pada
timbulnya gangguan jiwa terutama tergantung pada individu itu, bagaimana ia menilai dan
menyesuaikan diri terhadap keadaan hidupnya yang cacat atau berubah itu. Orang tua dapat
mempersukar penyesuaian ini dengan perlindungan yang berlebihan (proteksi berlebihan).
Penolakan atau tuntutan yang sudah di luar kemampuan anak. Singkatnya : kromosoma dan
“genes” yang defektif serta banyak faktor lingkungan sebelum, sewaktu dan sesudah lahir dapat
mengakibatkan gangguan badaniah. Cacat badaniah biasanya dapat dilihat dengan jelas,tetapi
gangguan sistim biokimiawi lebih halus dan sukar ditentukan. Gangguan badaniah dapat
mengganggu fungsi biologik atau psikologik secara langsung atau dapat mempengaruhi daya
tahan terahdap stres.
4. Perkembangan psikologik yang salah
- Ketidak matangan atau fixasi, yaitu inidvidual gagal berkembang lebih lanjut ke fase
berikutnya;
- “Tempat-tempat lemah” yang ditinggalkan oleh pengalaman yang traumatik sebagai
kepekaan terhadap jenis stres tertentu, atau
- Disorsi, yaitu bila inidvidu mengembangkan sikap atau pola reaksi yang tidak sesuai atau gagal
mencapai integrasi kepribadian yang normal.
5. Deprivasi dini
Deprivasi maternal atau kehilangan asuhan ibu di rumah sendiri, terpisah dengan ibu atau di
asrama, dapat menimbulkan perkembangan yang abnormal. Deprivasi rangsangan umum dari
lingkungan, bila sangat berat, ternyata berhubungan dengan retardasi mental. Kekurangan
protein dalam makanan, terutama dalam jangka waktu lama sebelum anak breumur 4 tahun,
dapat mengakibatkan retardasi mental. Deprivasi atau frustrasi dini dapat menimbulkan
“tempat-tempat yang lemah” pada jiwa, dapat mengakibatkan perkembangan yang salah
ataupun perkembangan yang berhenti. Untuk perkembangan psikologik rupanya ada “masa-
masa gawat”. Dalam masa ini rangsangan dan pengalaman belajar yang berhubungan
dengannya serta pemuasan berbagai kebutuhan sangat perlu bagi urut-urutan perkembangan
intelektual, emosional dan sosial yang normal.
6. Keluarga yang patogenik
Tabel Beberapa sikap orang tua dan pengaruhnya pada anak
1. Melindungi anak secara Hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya tidak
berlebihan karena menuntut saja, lekas berekcil hati, tidak tahan
memanjanya kekecewaan. Ingin menarik perhatian kepada
dirinya sendiri. Kurang rasa bertanggung
jawab. Cenderung menolak peraturan dan
minta dikecualikan.

2. Melindungi anak secara Kurang berani dalam pekerjaan, condong lekas


berlebihan karena sikap menyerah. Bersikap pasif dan bergantung
“berkuasa” dan “harus kepada orang lain. Ingin menjadi “anak emas”
tunduk saja” dan menerima saja segala perintah.
3. Penolakan Merasa gelisah dan diasingkan. Bersikap
(anak tidak disukai) melawan orang tua dan mencari bantuan
kepada orang lain. Tidak mampu memberi dan
menerima kasih-sayang.

4. Menentukan norma- Menilai dirinya dan hal lain juga dengan norma
norma etika dan moral yang terlalu keras dan tinggi. Sering kaku dan
yang terlalu tinggi keras dalam pergaulan. Cenderung menjadi
sempurna (“perfectionnism”) dengan cara yang
berlebihan. Lekas merasa bersalah, berdosa
dan tidak berarti.

5. Disiplin yang terlalu Menilai dan menuntut dari pada dirinya juga
keras secara terlalu keras. Agar dapat meneruskan
dan menyelesaikan sesuatu usaha dengan baik,
diperlukannya sikap menghargai yang tinggi
dari luar.

6. Disiplin yang tak teratur Sikap anak terhadap nilai dan normapun tak
atau yang bertentangan teratur. Kurang tetap dalam menghadapi
berbagai persoalan didorong kesana kemari
antara berbagai nilai yang bertentangan.

7. Faktor sosiologik dalam perkembangan yang salah


Alfin Toffler mengemukakan bahwa yang paling berbahaya di zaman modern, di negara-negara
dengan “super-industrialisasi”, ialah kecepatan perubahan dan pergantian yang makin cepat
dalam hal “ke-sementara-an” (“transience”), “ke-baru-an” (“novelty”) dan “ke-aneka-ragaman”
(“diversity”). Dengan demikian individu menerima rangsangan yang berlebihan sehingga
kemungkinan terjadinya kekacuan mental lebih besar. Karena hal ini lebih besar kemungkiannya
dalam masa depan, maka dinamakannya “shok masa depan” (“future shock”). Telah diketahui
bahwa seseorang yang mendadak berada di tengah-tengah kebudayaan asing dapat mengalami
gangguan jiwa karena pengaruh kebudayaan ini yang serba baru dan asing baginya. Hal ini
dinamakan “shock kebudayaan” (“culture shock”). Seperti seorang inidvidu, suatu masyarakat
secara keseluruhan dapat juga berkembang ke arah yang tidak baik. Hal ini dapat dipengaruhi
oleh lingkungan fisik (umpamanya daerah yang dahulu subur berubah menjadi tandus) ataupun
oleh keadaan sosial masyarakat itu sendiri (umpanya negara dengan pimpinan diktatorial,
diskriminasi rasial.religius yang hebat, ketidakadilan sosial, dan sebagainya). Hal-hal ini
merendahkan daya tahan frustasi seluruh masyarakat (kelompok) dan menciptakan suasana
sosial yang tidak baik sehingga para anggotanya secara perorangan dapat menjurus ke gangguan
mental. Faktor-faktor sosiokultural membentuk, baik macam sikap individu dan jenis reaksi yang
dikembangkannya, maupun jenis stres yang dihadapinya.
8. Genetika
Menurut Cloninger, 1989 gangguan jiwa; terutama gangguan persepsi sensori dan gangguan
psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan faktor genetik termasuk di dalamnya saudara
kembar, atau anak hasil adopsi. Individu yang memiliki anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa memiliki kecenderungan lebih tinggi dibanding dengan orang yang tidak memiliki
faktor herediter. Individu yang memiliki hubungan sebagai ayah, ibu, saudara atau anak dari
klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 10 %, sedangkan keponakan atau
cucu kejadiannya 2-4 %. Individu yang memiliki hubungan sebagai kembar identik dengan klien
yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 46-48 %, sedangkan kembar dizygot
memiliki kecenderungan 14-17 %. Faktor genetik tersebut sangat ditunjang dengan pola asuh
yang diwariskan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh anggota keluarga klien yang
mengalami gangguan jiwa.
9. Neurogiological
Menurut Konsep Neurobiological gangguan jiwa sangat berkaitan dengan keadaan struktur otak
sebagai berikut : “Abnormalities in the structure of the brain or in its activity in specific locations
can cause or contribute to psychiatric disorders. For example, a communication problem in one
small part of the brain can cause widespread dysfunction. It is also known that the following
network of nuclei that control cognitive, behavioral, and emotional functioning ae particularly
implicated in psychiatric disorders : The cerebral cortex, which is critical in decision making and
higher-order thinking, such as abstract reasoning. The limbic system, which is involved in
regulating emotional behavior, memory, and learning. The basal ganglia, some of which
coordinate movement. The hypothalamus, which regulates hormones through out the body and
behaviors such as eating, drinking, and sex. The locus ceruleus, which manufactures neurons,
which regulate sleep and are involved with behavior and mood. The substantia nigra, dopamine-
producing cells involved in the control of complex movement, thinking, and emotional responses.
Klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang khas terutama pada susunan
dan struktur syaraf pusat, biasanya klien mengalami pembesaran ventrikel ke III sebelah kirinya.
Ciri lainnya terutama adalah pada klien yang mengalami Schizofrenia memiliki lobus frontalis
yang lebih kecil dari rata-rata orang yang normal (Andreasen, 1991). Menurut Candel, Pada klien
yang mengalami gangguan jiwa dengan gejala takut serta paranoid (curiga) memiliki lesi pada
daerah Amigdala sedangkan pada klien Schizofrenia yang memiliki lesi pada area Wernick’s dan
area Brocha biasanya disertai dengan Aphasia serta disorganisasi dalam proses berbicara (Word
salad). Adanya Hiperaktivitas Dopamin pada klien dengan gangguan jiwa seringkali
menimbulkan gejala-gejala Schizofrenia. Menurut hasil penelitian, neurotransmitter tertentu
seperti Norepinephrine pada klien gangguan jiwa memegang peranan dalam proses learning,
Memory reiforcement, Siklus tidur dan bangun, kecemasan, pengaturan aliran darah dan
metabolisme. Neurotransmitter lain berfungsi sebagai penghambat aktivasi dopamin pada
proses pergerakan yaitu GABA (Gamma Amino Butiric Acid). Menurut Singgih gangguan mental
dan emosi juga bisa disebabkan oleh perkembangan jaringan otak yang tidak cocok (Aplasia).
Kadang-kadang seseorang dilahirkan dengan perkembangan cortex cerebry yang kurang sekali,
atau disebut sebagai otak yang rudimenter (Rudimentary Brain). Contoh gangguan tersebut
terlihat pada Microcephaly yang ditandai oleh kecilnya tempurung otak. Adanya trauma pada
waktu kelahiran, tumor, Infeksi otak seperti Enchepahlitis Letargica, gangguan kelenjar endokrin
seperti thyroid, keracunan CO (carbon Monoxide) serta perubahan-perubahan karena
degenerasi yang mempengaruhi sistem persyarafan pusat.
10. Neurobehavioral
Kerusakan pada bagian-bagian otak tertentu ternyata memegang peranan pada timbulnya
gejalagejala gangguan jiwa, misalnya: Kerusakan pada lobus frontalis: menyebabkan kesulitan
dalam proses pemecahan masalah dan perilaku yang mengarah pada tujuan, berfikir abstrak,
perhatian dengan manifestasi gangguan psikomotorik. Kerusakan pada Basal Gangglia dapat
menyebabkan distonia dan tremor Gangguan pada lobus temporal limbic akan meningkatkan
kewaspadaan, distractibility, gangguan memori (Short time).
11. Stres
Stress psikososial dan stress perkembangan yang terjadi secara terus menerus dengan koping
yang tidak efektif akan mendukung timbulnya gejala psikotik dengan manifestasi; kemiskinan,
kebodohan, pengangguran, isolasi sosial, dan perasaan kehilangan. Menurut Singgih
(1989:184), beberapa penyebab gangguan mental dapat ditimbulkan sebagai berikut :
- Prasangka orang tua yang menetap, penolakan atau shock yang dialami pada masa anak.
- Ketidak sanggupan memuasakan keinginan dasar dalam pengertian kelakuan yang dapat
diterima umum.
- Kelelahan yang luar biasa, kecemasan, anxietas, kejemuan
- Masa-masa perubahan fisiologis yang hebat : Pubertas dan menopause
- Tekanan-tekanan yang timbul karena keadaan ekonomi, politik dan sosial yang terganggu
- Keadaan iklim yang mempengaruhi Exhaustion dan Toxema
- Penyakit kronis misalnya; shifilis, AIDS
- Trauma kepala dan vertebra
- Kontaminasi zat toksik
- Shock emosional yang hebat : ketakutan, kematian tiba-tiba orang yang dicintai.

12. Penyalahgunaan obat-obatan


Koping yang maladaptif yang digunakan individu untuk menghadapi strsessor melalui obat-
obatan yang memiliki sifat adiksi (efek ketergantungan) seperti Cocaine, amphetamine
menyebabkan gangguan persepsi, gangguan proses berfikir, gangguan motorik dsb.
13. Sebab Psikologik
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami akan mewarnai sikap,
kebiasaan dan sifatnya dikemudian hari. Hidup seorang manusia dapat dibagi atas 7 masa dan
pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa.
• Masa bayi
Yang dimaksud masa bayi adalah menjelang usia 2 – 3 tahun, dasar perkembangan yang
dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi dan pada masa ini. Cinta dan kasih sayang ibu
akan memberikan rasa hangat/ aman bagi bayi dan dikemudian hari menyebabkan kepribadian
yang hangat, terbuka dan bersahabat. Sebaliknya, sikap ibu yang dingin acuh tak acuh bahkan
menolak dikemudian hari akan berkembang kepribadian yang bersifat menolak dan menentang
terhadap lingkungan. Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan memberi rasa
aman dan terlindungi, sebaliknya, pemberian yang kaku, keras dan tergesa-gesa akan
menimbulkan rasa cemas dan tekanan.
• Masa anak pra sekolah (2-7 tahun)
Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan telah tumbuh disiplin dan otoritas. Penolakan orang
tua pada masa ini, yang mendalam atau ringan, akan menimbulkan rasa tidak aman dan ia akan
mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia mungkin menurut, menarik diri atau malah
menentang dan memberontak. Anak yang tidak mendapat kasih sayang tidak dapat menghayati
disiplin tak ada panutan, pertengkaran dan keributan membingungkan dan menimbulkan rasa
cemas serta rasa tidak aman. hal-hal ini merupakan dasar yang kuat untuk timbulnya tuntutan
tingkah laku dan gangguan kepribadian pada anak dikemudian hari.
• Masa anak sekolah
Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmaniah dan intelektual yang pesat. Pada masa ini, anak
mulai memperluas lingkungan pergaulannya. Keluar dari batas-batas keluarga. Kekurangan atau
cacat jasmaniah dapat menimbulkan gangguan penyesuaian diri. Dalam hal ini sikap lingkungan
sangat berpengaruh, anak mungkin menjadi rendah diri atau sebaliknya melakukan kompensasi
yang positif atau kompensasi negatif.

• Masa remaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahan-perubahan yang penting yaitu timbulnya
tanda-tanda sekunder (ciri-ciri diri kewanitaan atau kelaki-lakian) Sedang secara kejiwaan, pada
masa ini terjadi pergolakan- pergolakan yang hebat. pada masa ini, seorang remaja mulai
dewasa mencoba kemampuannya, di suatu pihak ia merasa sudah dewasa (hak-hak seperti
orang dewasa), sedang di lain pihak belum sanggup dan belum ingin menerima tanggung jawab
atas semua perbuatannya. Egosentris bersifat menentang terhadap otoritas, senang
berkelompok, idealis adalah sifat-sifat yang sering terlihat. Suatu lingkungan yang baik dan
penuh pengertian akan sangat membantu proses kematangan kepribadian di usia remaja.
• Masa dewasa muda
Seorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan bahagia akan cukup memiliki
kesanggupan dan kepercayaan diri dan umumnya ia akan berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan
pada masa ini. Sebaliknya yang mengalami banyak gangguan pada masa sebelumnya, bila
mengalami masalah pada masa ini mungkin akan mengalami gangguan jiwa.
• Masa dewasa tua
Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan dan sosial seseorang sudah mantap.
Sebagian orang berpendapat perubahan ini sebagai masalah ringan seperti rendah diri. pesimis.
Keluhan psikomatik sampai berat seperti murung, kesedihan yang mendalam disertai
kegelisahan hebat dan mungkin usaha bunuh diri.
• Masa tua
Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada masa ini Berkurangnya daya tanggap,
daya ingat, berkurangnya daya belajar, kemampuan jasmaniah dan kemampuan social ekonomi
menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta sering mengakibatkan kesalah pahaman
orang tua terhadap orang di lingkungannya. Perasaan terasing karena kehilangan teman sebaya
keterbatasan gerak dapat menimbulkan kesulitan emosional yang cukup hebat.
14. Sebab sosio-kultural
Menurut Santrock (1999) Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut :
• Cara-cara membesarkan anak : Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter , hubungan
orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anakanak setelah dewasa mungkin bersifat
sangat agresif atau pendiam dan tidak suka bergaul atau justru menjadi penurut yang
berlebihan.
• Sistem Nilai : Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu dengan yang
lain, antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu
pula perbedaan moral yang diajarkan di rumah / sekolah dengan yang dipraktekkan di
masyarakat sehari-hari.
• Kepincangan antar keinginan dengan kenyataan yang ada : Iklan-iklan di radio, televisi. Surat
kabar, film dan lain-lain menimbulkan bayangan-bayangan yang menyilaukan tentang kehidupan
modern yang mungkin jauh dari kenyataan hidup seharihari. Akibat rasa kecewa yang timbul,
seseorang mencoba mengatasinya dengan khayalan atau melakukan sesuatu yang merugikan
masyarakat.
• Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi : Dalam masyarakat modern
kebutuhan dan persaingan makin meningkat dan makin ketat untuk meningkatkan ekonomi
hasil-hasil teknologi modern. Memacu orang untuk bekerja lebih keras agar dapat memilikinya.
Jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar dari kebutuhan sehingga pengangguran meningkat,
demikian pula urbanisasi meningkat, mengakibatkan upah menjadi rendah. Faktor-faktor gaji
yang rendah, perumahan yang buruk, waktu istirahat dan berkumpul dengan keluarga sangat
terbatas dan sebagainya merupakan sebagian mengakibatkan perkembangan kepribadian yang
abnormal.
• Perpindahan kesatuan keluarga : Khusus untuk anak yang sedang berkembang kepribadiannya,
perubahan-perubahan lingkungan (kebudayaan dan pergaulan), sangat cukup mengganggu.
• Masalah golongan minoritas : Tekanan-tekanan perasaan yang dialami golongan ini dari
lingkungan dapat mengakibatkan rasa pemberontakan yang selanjutnya akan tampil dalam
bentuk sikap acuh atau melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang banyak.

5. Sebutkan klasifikasi gangguan jiwa?


Klasifikasi yang paling populer digunakan orang adalah klasifikasi gangguan yang dikemukakan
oleh American Psychiatric association (APA) pada tahun 1952 yang akhirnya pada tahun 1992
telah berhasil melahirkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (DSM-IV),
setelah mengalami tiga kali revisi sejak tahun 1979. Di Indonesia, pemerintah telah berhasil
melahirkan klasifikasi gangguan kejiwaan yang memuat gangguan kejiwaan yang disebut PPDGJ
atau Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa, yang saat ini telah secara resmi
digunakan adalah PPDGJ.
Dalam DSM IV terdapat lima aksis gangguan. Dari lima aksis gangguan tersebut, terdapat dua
aksis yang penting bagi kalangan psikologi sebagai berikut:

A. Aksis I: Gangguan Klinis


Gangguan klinis merupakan pola perilaku abnormal (gangguan mental) yang meenyebabkan
hendaya fungsi dan perasaan tertekan pada individu. Kondisi lain yang mungkin menjadi fokus
perhatian: masalah lain yang menjadi fokus diagnosis atau pandangan tapi bukan gangguan
mental, seperti problem akademik, pekerjaan atau sosial, faktor psikologi yang mempengaruhi
kondisi medis. Berikut ini merupakan ringkasan dari PPDGJ III yang dikutip dari Buku Saku
Diagnosis Gangguan Jiwa yang diedit Dr.Rusdi Maslim:
A. F00-F09: Gangguan Mental Organik, termasuk Gangguan Mental Simtomatik
Gangguan Mental Organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit/gangguan
sistemik atau otak. Gangguan mental simtomatik adalah pengaruh terhadap otak merupakan
akibat sekunder penyakit/gangguuan sistemik di luar otak.
Gambaran utama:
• Gangguan fungsi kongnitif
• Gangguan sensorium – kesadaran, perhatian
• Sindrom dengan manifestasi yang menonjol dalam bidang persepsi (halusinasi), isi pikir
(waham), mood dan emosi.
B. F10-F19: Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Alkohol dan Zat
Psikoaktiflainnya.
C. F20-F29: Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham
Skizofrenia ditandai dengan penyimpangan fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepsi, serta oleh efek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran jernih dan kemampuan
intelektual tetap, walaupun kemunduran kognitif dapat berkembang kemudian.
D. F30-F39: Gangguan Suasana Perasaan (Mood)
Kelainan fundamental perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi
(dengan atau tanpa anxietas), atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). Perubahan
afek biasanya disertai perubahan keseluruhan tingkat aktivitas dan kebanyakan gejala lain
adalah sekunder terhadap perubahan itu.
E. F40-F49: Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform dan Gangguan Terkait Stres
F. F50-F59: Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan Gangguan Fisiologis dan Faktor Fisik.

B. Aksis II: Gangguan Kepribadian


Gangguan kepribadian mencakup pola perilaku maladaptif yang sangat kaku dan biasanya
merusak hubungan antar pribadi dan adaptasi sosial. Gangguan kepribadian, seperti gangguan
kepribadian paranoid, gangguan kepribadian skizoid, gangguan kepribadian skizotipal, gangguan
kepribadian antisosial, dll.
a. F60 Gangguan Kepribadian dan Perilaku Masa dewasa
Kondisi klinis bermakna dan pola perilaku cenderung menetap, dan merupakan ekspresi pola
hidup yang khas dari seseorang dan cara berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain.
Beberapa kondisi dan pola perilaku tersebut berkembang sejak dini dari masa pertumbuhan dan
perkembangan dirinya sebagai hasil interaksi faktor-faktor konstitusi dan pengalaman hidup,
sedangkan lainnya didapat pada masa kehidupan selanjutnya.
b. F70 Retardasi Mental
Keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh
terjadinya hendaya ketrampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada
tingkat kecerdasan secara menyeluruh. Dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau
gangguan fisik lain sehingga perilaku adaptif selalu ada.
c. F80 Gangguan Perkembangan Psikologis
Gambaran umum:
• Onset bervariasi selama masa bayi atau kanak-kanak
• Adanya hendaya atau keterlambatan perkembangan fungsi-fungsi yang berhubungan erat
dengan kematangan biologis susunan saraf pusat
• Berlangsung terus-menerus tanpa remisi dan kekambuhan yang khas bagi banyak
gangguan jiwa
Pada sebagian besar kasus, fungsi yang dipengaruhi termasuk bahasa, keterampilan visuo-
spasial, koordinasi motorik. Yang khas adalah hendayanya berkurang secara progresif
dengan bertambahnya usia.
d. F9 Gangguan Perilaku dan Emosional dengan Onset Biasanya Pada Masa Kanak dan Remaja

C. Aksis III: Kondisi Medik Umum


Kondisi medis umum dan kondisi medis yang mugkin penting bagi pemahaman atau
penyembuhan atau penanganan gangguan mental individu. Meliputi kondisi klinis yang diduga
menjadi penyebab atau bukan penyebab gangguan yang dialami individu.

D. Aksis IV: Masalah Psikososial dan Lingkungan


Masalah dengan keluarga, lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan, perumahan, ekonomi, akses
pelayanan kesehatan, hukum, psikososial. Masalah psikososial dan lingkungan. Mencakup
peristiwa hidup yang negatif maupun positif,dan kondisi lingkungan dan sosial yang tidak
menguntungkan, dll.

E. Aksis V: Penilaian Fungsi secara Global (Global Assesment of Functioning = GAF Scale)
Assessment fungsi secara global mencakup assessment menyeluruh tentang fungsi psikologis
sosial dan pekerjaan klien. Digunakan juga untuk mengindikasikan taraf keberfungsian tertinggi
yang mungkin dicapai selama beberapa bulan pada tahun sebelumnya.
100-91 : gejala tidak ada, berfungsi maksimal, tidak ada masalah yang tidak tertanggulangi
90-81 : gejala minimal, fungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalh harian biasa
80-71 : gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial
70-61 : beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum
baik
60-51 : gejala dan disabilitas sedang
50-41 : gejala dan disabilitas berat
40-31 : beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita dan komunikasi, disabilitas berat
dalam beberapa fungsi
30-21 : disabilitas berat dalam komunikasi dan daya nilai, tidak mampu berfungsi dalam
hampir semua bidang
20-11 : bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi
danmengurus diri
10-01 : persisten dan lebih serius
0 : informasi tidak adekuat
DAFTAR PUSTAKA

Stuart Sundeen, Psychiatric Nursing, Mosby year, 1995

Antai otong (1994) Psychiatric Nursing : Biological and Behavioral Concepts. Philadelpia: W B Saunders
Company

Lefley (1996). Family Caregiving in Mental Illness. London : SAGE Publication

Maccoby, E, 1980, Social Development, Psychological Growth and the Parent Child Relationship, Harcourt
Jovanovich, Newyork

Stuart GW Sundeen, 1995, Principle and practice of Psychiatric Nursing, Mosby Year Book, St. Louis

Hurlock, 1999, Psikologi Perkembangan, Erlangga, Jakarta

Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman penggolongan dan diagnosis
gangguan jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan; 1993.

Maslim R. 2001. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh Jaya.

Prof. Dr. Wiramihardja, Sutardjo A. 2004. Pengantar Psikologi

Anda mungkin juga menyukai