Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

KAIDAH FIQH (AL-QAWA’ID Al-FIQHIYYAH)

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2
IBNU HAJAR
MUHAMMAD SAIFUDDIN
MUHAMMAD ZAHARI
YUSLAINI

DOSEN PENGAMPU :
M. Elsa Tomisa, SE.I., M.E.Sy

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) SYARIAH
BENGKALIS
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

dengan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Fiqh Muamalah.

Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi

kami berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Kami

mengucapkan terimakasih kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah

memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan

karya makalah ini. Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada

mahasiswa dari hasil penulisan dan pemaparan makalah ini. Karena itu kami

berharap semoga makalah yang kami susun ini dapat menjadi sesuatu yang

berguna bagi kita bersama.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga

makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada

umumnya.

Bengkalis, 16 Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
....................................................................................................................................
i

Daftar Isi
....................................................................................................................................
ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
..........................................................................................................................
1
B. Rumusan Masalah
..........................................................................................................................
1
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
..........................................................................................................................
2

BAB II : PEMBAHASAN
A. Definisi Kaidah Fiqh
..........................................................................................................................
3
B. Pola Hubungan dan Dasar Perumusan Kaidah Fiqh
..........................................................................................................................
6
C. Urgensi Kaidah Fiqh
..........................................................................................................................
6
D. Sejarah Pertumbuhan Kaidah Fiqh
..........................................................................................................................
7
E. Lima Kaidah Utama

iii
..........................................................................................................................
10

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan
..........................................................................................................................
22

Daftar Pustaka
....................................................................................................................................
24

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sebagaimana kita ketahui bahwa kewajiban kita sebagai generasi baru


dalam zaman pembangunan masyarakat ini adalah berusaha untuk menegakkan
negara dan masyarakat yang diridhai Allah dengan cara menyebarkan fiqh Islam
keseluruh bagian tanah air kita. Karena tidak dapat di pungkiri bahwa
kemunduran fiqh islam berarti kerusakan dan kebinasaan masyarakat Islam.
Salah satu  penyebaran fiqh islam tersebut dengan cara menguasai kaidah-
kaidah fiqh yang menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih dan lebih arif
dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda kasus, keadaan,
dan adat kebiasaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya  dan lebih mudah di
dalam memberi solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan
berkembang dengan tetap berpegang kepada kemaslahatan, keadilan, kerahmatan
dan hikmah yang terkandung di dalam fiqh.
Hal ini tdak lain karena kaidah fiqh sebagai hasil dari cara berfikir induktif,
dengan meneliti materi-materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya yang tersebar di
dalam ribuan kitab fiqh.
Dan dengan tersebarnya fiqh islam di seluruh lapisan masyarakat serta
dengan berlakunya segala hukum-hukum dalam pergaulan kehidupan itulah salah
satu dari syarat tegak dan berdirinya masyarakat islam.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
a. Definisi Kaidah Fiqh
b. Pola Hubungan dan Dasar Perumusan Kaidah Fiqh
c. Urgensi Kaidah Fiqh
d. Sejarah Pertumbuhan Kaidah Fiqh
e. Lima Kaidah Utama

1
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Adapun tujuan penulis menulis makalah ini adalah agar pembaca dapat
mengetahui tentang :
a. Definisi Kaidah Fiqh
b. Pola Hubungan dan Dasar Perumusan Kaidah Fiqh
c. Urgensi Kaidah Fiqh
d. Sejarah Pertumbuhan Kaidah Fiqh
e. Lima Kaidah Utama

Sedangkan manfaat yang penulis harapkan setelah membaca makalah


ini adalah pembaca tentunya dapat memiliki pengetahuan lebih kaidah fiqh

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI KAIDAH FIQH


Al-qawaid adalah bentuk jamak dari kata Qaidah (kaidah). Para
ulama mengartikan qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa
istilahan). Secara bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau pondasi. baik
dalam arti yang kongkrit maupu arti yang abstrak, seperti kata qawaid al-
bait, artinya fondasi rumah, qawaid al-din, artinya dasar-dasar agama,
qawaid al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti qawaid ini digunakan dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :

‫سما َ ِع ْي ُل‬ ِ ‫َوإِ ْذ ي َرفَ ُع إِ ْبراَ ِه ْي َم القَواَ ِع َد ِمنَ ا ْلبَ ْي‬


ْ ِ‫ت َوإ‬

Artinya : “dan ingatlah ketika ibrahim meninggikan dasar-dasar


Baitullah bersama ismail”. (QS. Al-Baqarah : 127)

ِ ‫فَأَت َى هللاُ بُ ْنياَنَ ُه ْم ِمنَ ا ْلقَ َو‬


‫اع ِد‬

Artinya : “Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-


fondasinya.” (QS. An-Nahl: 26).

Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar,
asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.1
Al- Qawaid al-fiqhiyqh (kaidah-kaidah fikih) secara etimologis adalah
dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau
jenis-jenis fikih.2

Para Ulama memang berbeda dalam mendefinisikan kaidah fiqih


secara istilah. Ada yang meliaskannya ada yang mempersempitnya. Akan

1
Ali Ahmad Al-Nadw, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, Beirut: Dar al-Qalam, 1420 H / 2000 M,
cet. V.
2
Asymuni A.Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta: Bulan bintang, 1976, cet. 1.

3
tetapi, substansinya tetap sama. Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah
Mendefinisikan kaidah dengan :
َ ‫اح ٍد يَ ْج َم ُعها‬
ِ ‫س َو‬ ِ َ ‫ع األَ ْحكا َ ْم ال ُمتَشَابِها‬
ٍ َ ‫ت الَّتِي ت َْر ِج ُع إِل َى قِيا‬ ُ ‫َم ْج ُم ْو‬

“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada


qiyas/analogi yang mengumpulkannya”.3
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fiqih dengan :

َ ‫ضيَةٌ ُكلِّيَّةٌ ُم ْنطَبِقَةٌ َعلَى َج ِم ْي ِع ُج ْزئِيَّاتِها‬


ِ َ‫ق‬

“Ketetapan yang kuli (menyeruruh, general) yang mencakup seluruh


bagian-bagiannya”.4

Imam Tajjuddin al-Subki (w.771H) mendefinisikan kaidah dengan :

‫ق َعلَ ْي ِه ُج ْز ئِيَّاتٌ َكثِ ْي َرةٌ يُ ْف َه ُم أَ ْح َكا ُم َها ِم ْن َها‬ ْ ‫اَأْل َ ْم ُر ا ْل ُكلِّ ْي الَّ ِذ‬
ُ ِ‫ي يَ ْنطَب‬

“Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang
banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”.
5

Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w.


970H) dalam kitab al-asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan
bahwa kaidah itu adalah :

‫اع ِد الَّتِي ت َُر ُّدإِلَ ْي ِه َوفَ َّرع ُْوا األَ ْح َكام َعلَ ْي َها‬
ِ ‫َم ْع ِرفَةُ ا ْلقَ َو‬

“Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci daripadanya


hukum”.6

3
Muhammad Abu Zahrah, Ushulul Fiqh, Dar Al-Fikir Al-Arabi, halm.10.
4
Al-Jurjuni, Kitab Al-Ta’rifat, Dar Al-kutub Al-ilmiyah, 1430 H/1983 M, halm. 171.
5
Al-Imam Tajuddin Abd Al-Wahab bin Ali bin Abd Al-kafi Al-Subki, Al-Asybah wa Al-
Nazhair, Beirut: Dar al-kutub al-Islamiyah, juz 1, halm. 11.
6
Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair, Damaskus: Dar Al-fikr, 1430H/1983M, cet 1,
halm. 10.

4
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybah wa
nazhair, mendefinisikan kaidah dengan :

ُ ِ‫ُح ْك ُم ُكلِّ ٌّي يَ ْنطَب‬


‫ق َعلَي ُج ْز ئِيَّاتِ ِه‬

“ Hukum kulli (menyeluruh,general) yang meliputi bagian-bagiannya”.7

Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat


menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan
kepada juz ‘iyat nya (bagian-bagiannya).
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah :

1. Kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab


ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari
sumbernya. Al-Qur’an ataupun Al-Hadits.
2. Kaidah-kaidah fiqh, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara
general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk
menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak
jelas hukumya di dalam nash.
Oleh karena itu, baik kaidah-kaidah ushul fiqh maupun kaidah-kaidah
fiqh bisa di sebut sebagai metodologi hukum Islam, hanya saja kaidah-
kaidah ushulul fiqh sering digunakan di dalam takhrij al-ahkam yaitu
mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Qur’an dan Al-Hadis).
Sedangkan kaidah-kaidah fiqh sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam
yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang
kehidupan manusia.
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari
dalil-dalil yang tafsili (terperinci).
7
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, a-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa furu’ Fiqh
al-Syafi’i. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1399 H/1979 M. cet 1, halm.5.

5
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul
fiqhiyah adalah :

”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua


bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu”.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah
telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
B. POLA HUBUNGAN DAN DASAR PERUMUSAN KAIDAH FIQH
Kaidah fiqh adalah bagian dari ilmu fiqh. Ia memiliki hubungan erat dengan
Al-Qur’an, Al-Hadis, akidah dan akhlak. 8 Sebab, kaidah-kaidah yang sudah
mapan, sudah dikiritisi oleh ulama dan di uji serta diukur dengan banyak ayat dan
hadis nabi, terutama tentang kesesuaian dan substansinya. Apabila kaidah fiqh
tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Qur’an ataupun Al-Hadis yang bersifat
dalil kulli (general) maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan. Oleh karena
itu, menggunakan kaidah-kaidah fiqh yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk
kepada A-Qur’an dan Al-Hadis, setidaknya kepada semangat dan kearifan Al-
Qur’an dan A-Hadis juga.
Dasar-dasar perumusan kaidah fiqh ini disebabkan karena para muhaqiqin
telah mengembalikan segala masalah fiqh kepada kaidah-kaidah kulliyah. Tiap-
tiap dari kaidah itu, menjadi dhabith dan pengumpul bagi banyak masalah.9
Kaidah-kaidah tersebut diterima segala pihak, diikhtibarkan dan dijadikan dalil
untuk menetapkan masalah. Memahami kaidah-kaidah itu, menyebabkan kita
merasa tertarik kepada masalah itu dan menjadi wasilah untuk menetapkan
masalah-masalah itu di dalam zihin.

C. URGENSI KAIDAH FIQH


Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :

8
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh kaidah-kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah praktis, Jakarta: Kencana, 2006. Cet 1. Halm 5.
9
Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.
Pustaka Rizki putra, 1997 M, cet 1.

6
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk
memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami
beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu
persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan
yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan
sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang
belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.

Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya berkata bahwa nash-nash tasyrik
telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik
mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna
dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-
qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya
kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-
masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-
kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan
hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di
bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk
mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana
menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis
bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah
fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak
pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah
fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh
pengikutnya.

D. SEJARAH PERTUMBUHAN KAIDAH FIQH

7
Sejarah perkembangan dan penyusunan kaidah fiqih diklarifikasikan
menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi fase
sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman, yaitu :

a. Zaman Nabi muhammad SAW


Berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H),
dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250
tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap
sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri
maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari
(310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan,
kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yang
dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan
maknanya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama
menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat
dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah
fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
b. Zaman Sahabat
Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta
membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh
karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW
dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang
wahyu turun berkenaan dengan mereka.
c. Zaman Tabi’in dan Tabi’ tabi’in selama 250 tahun.
Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi
tabi’in:
 Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182)

8
Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang
disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris
diserahkan ke Bait al-mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul
Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima
harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia
tidak memiliki ahli waris.

 Imam Asy-Syafi’i
Pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu
kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yang dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak
diperbolehkan ketika tidak terpaksa”

 Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H)


Diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal,
yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk
dihibahkan dan digadaikan”

2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi


Dalam sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid.
Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan)
pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah
fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan
ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi
kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat.

3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan


Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun
demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada

9
zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H
adalah
“Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin
dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih
menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“Seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin.
perusahaan. 

E. LIMA KAIDAH UTAMA


1. Kaidah Asasi Pertama

ِ َ ‫اَأْل ُ ُموْ ُر بِ َمقا‬


َ ‫ص ِدها‬

“Segala perkataan terantung pada niat”.10

Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan


bermaksud melakukan sesuatu disertai pelaksanaannya.

‫ار ُن لِ ْلفِع ِْل‬


ِ َ‫والقَصْ ُد ْال ُمق‬
ْ َ‫قَصْ ُد ال َّش ْي ِء ُم ْقتَ َرنا ً بِفِ ْعلِ ِه أ‬

“Di dalam sholat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah


bermaksud didalam hati dan wajib niat disertai takbirat al-ihram”.11

Di kalangan mahzab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat


ada dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat
dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad di dalam
hatinya, itu pun sudah cukup, dan ajib niat didahulukan dari perbuatan.
Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram di dalam
shalat, agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :

10
Prof. H. A. Djazuli, Op. cit., hlm.34.
11
Abu Ishak al-Syirazi, al-Muhadzabah, Dar el-Fikr, juz 1, hlm.70.

10
 Untuk membedakan antar ibadah dan adat kebiasaan.
 Untuk membedakan kualitas perbuatan baik kebaikan maupun
kejahatan.
 Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu
serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.

Secara lebih mendalam lagi para fuqaha merinci masalah niat ini
baik dalam ibadah mahdoh seperti thoharoh, wudhu, tayamum, mandi
junub, sholat qhasar, sholat jama, sholat wajib, sholat sunnat, zakat,
haji, saum atau pun didalah ibadah ghair mahdoh seperti pernikahan,
thalaq, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa-menyewa, hutang piutang
dan akad-akad lainnya.

2. Kaidah Asasi Kedua

‫الَيقِي ُْن الَيُزَا ُل بِاال َّشك‬

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”.12

Di dalam kaidah-kaidah fiqih banyak di bicarakan tentang hal yang


berhubungan dengan keyakinan dan kerguan misalnya orang yang
sudah yakin suci dari hadast kemudian dia ragu, apakah sudah batal
wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalm keadaan suci. Hanya saja
untuk kehati-hatian yang lebih utama adalah memperbaharui wudhunya.

Dari kaidah asasi tersebut kemuduan muncul kaidah-kaidah yang


lebih sempit ruang lingkupnya. Misalnya:

a. ‫الَيقِي ُْن الَيُزَا ُل بِ ْاليَقِ ْي ِن ِم ْثلِ ِه‬

“Apa yang diyakini bisa hilang karna adanya bukti lain yang
meyakinkan pula”

12
Prof. H. A. Djazuli, Op. cit., hlm.42.

11
Contohnya kita yakin sudah berwudhu tetapi kemudian kita yakin pula
telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.

b. ‫أ َّن ما َ ثَبَتَ بِيَقِ ٍن الَيُرْ تَفَ ُع إِالَّبِيَقِ ْي ٍن‬

“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali
dengan keyakinan lagi”.

Contohnya thowaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan


yaitu dengan tujuh putaran kemudian dalam keadaan thowaf seseorang
ragu apakah yang dilakukannya puteran ke enam atau kelima. Maka
yang menyakinkan adalah jumlah kelima, karna putaran yang kelima
adalah yang menyakinkan.

c. ‫‌اَألَصْ ُل بَ َرا َءةُ ال ِذ َّم ِة‬

“Hukum asal adalah bebasnya seorang dari tanggung jawab”

Contohnya anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban


sampai adanya waktu balig. Makan dan minum asalnya di bolehkan
sampai adanya dalil yang melarang makan-makanan dam minum-
minuman yang di haramkan.

d. ُ‫األَصْ ُل بَقَا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكانَ َمالَ ْم يَ ُك ْن َما يُ َغيِّ ُره‬

“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal
yang mengubahnya.”

Contohnya manusia bebas lagi dari tanggung jawab karna adanya


kematian. Kewajiban suami istri hilang lagi karna ada talaq.

e. ‫ض ِة ال َع َد ُم‬
َ ‫ار‬
ِ ‫ت ال َع‬ ِ ‫األَصْ ُل فِي‬
ِ ‫الصفَا‬

12
“Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adah tidak ada”.

Contohnya apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli


tentang aib baarah yang dijual belikan, maka yang dianggap adalah
perkataan sipenjual. Karena pada asalnya cacat itu tidak ada.

f. ِ ‫ث تَ ْق ِد ْي ُرهُ بِأ َ ْق َر‬


‫ب َز َمنِ ِه‬ ٍ ‫األَصْ ُل فِي ُكلِّ حا َ ِد‬

“Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang
paling dekat kepadanya”

Contohnya seorang wanita yang sedang mengandung ada yang


memukul perutnya kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan
sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu meninggal. Maka meninggalnya
si bayi tidak disandarkan kepada pemukulan yang terjadi kepada waktu
yang telah lama tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang
paling dekat kepada kematiannya.

g. ِ ‫األَصْ ُل فِي األَ ْشيَا ِء‬


‫اإلبا َ َحةُ َحتَّى يَ ُد َّل ال َّدلِ ْي ُل َعلَى التَحْ ِري ِْم‬

“Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil
yang menunjukkan keharamannya”

Contohnya apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas
tentang keharamannya maka hukumnya boleh dimakan.

h. ُ‫األَصْ ُل فِي ال َكالَ ِم ال َحقِ ْيقَة‬

“Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti sebenarnya”.

Contohnya apabila seseorang berkata : “saya mau mewakakan harta


saya kepada anak kiyai Ahmad maka anak dalam kalimat tersebut

13
adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula
cucu.

i. ْ َ‫اَل ِع ْب َرةَ بِالظَنِّ الَّ ِذي ي‬


ُ‫ظهَ ُر َخطَا ُءه‬

“Tidak dianggap (diakui) persangkaan yang jelas salahnya”

Contohnya apabila seorag debitor telah membayar hutangnya kepada


kreditor, kemudian wakil debitor membayar lagi hutang debitor atas
sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor maka waikil debitor
berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya karena
pembayaranya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas salahnya
yaitu menyangka bahwa utang belum dibayar oleh debitor.

3. Kaidah Asasi Ketiga

‫الم َشقَّةُ تَجْ لِبُ التَ ْي ِس ْي ُر‬

“Kesulitan mendatangkan kemudahan”

Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya


menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukhalaf, maka syariah
meringankannya. Sehingga mukhalaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.

Dari kaidah tersebut dimunculkan kaidah-kaidah lain seperti:

a. ‫ق األَ ْم ُر إِتَّ َس َع‬ َ ‫إِّ َذا‬


َ ‫ضا‬

“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas”.

14
Contohnya boleh berbuka puasa pada bulan ramadhan karna sakit atau
berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu
kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.

b. ‫إِ َذاتَ َع ّذ َر األَصْ ُل يُصا َ ُر إِلَى البَ َد ِل‬

“Apabila yang asli suka dikerjakan maka berpindah kepada


penggantinya”.

Contohnya tayamum sebagai pengganti wudhu.

c. ُ‫َماالَيُ ْم ِك ْن التَحْ ر ُْز ِم ْنهُ َم ْعفُو َع ْنه‬

“Apa yang tidak mungkin menjaganya atau menghindarkannya maka


hal itu dimaafkan”

Contohnya pada waktu sedang saum kita berkumur-kumur maka tidak


mungkin terhindar dari rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa.
Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan, misalnya orang
yang berpergian dengan tujuan melakukan maksiat. misalnya,
membunuh maka orang semacam ini tidak boleh meggunakan
keringanan di dalam hukum islam.

d. ‫از‬ َ ‫الحقِ ْيقَةُ ي‬


ِ ‫ُصا ُر إلَى ال َم َج‬ َ ‫ت‬ ْ ‫إِ َذاتَ َع ّذ َر‬

“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya


maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”.

Contohnya seseorang berkata saya wakafkan tanah saya ini kepada anak
kiyai Ahmad. Padahal semua tahu bahwa anak kiayi tersebut sudah
lama meninggal, maka yang ada hanyalah cucunya. maka dalam hal ini,
kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya bukan kata

15
sesungguhnya sebab tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang
yang sudah meninggal.

e. ‫إِ َذاتَ َع ّذ َر إِ ْع َما ُل ال َكالَ ِم يُ ْه َم ُل‬

“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan maka perkataan tersebut


ditinggalkan”.

Contohnya apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa


dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti
dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal
yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka, Perkataan orang tersebut
ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.

f. ‫يُ ْغتَفَ ُر فِي ال َّد َو ِام َماالَ يُ ْغتَفَ ُر فِي ا ِإل ْبتِ َد ِء‬

“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan


pada permulaannya”

Contohnya orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar


uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu
penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewaannya dalam arti
melanjutkan sewaannya maka dia tidak perlu membayar uang muka
lagi.

g. ‫يُ ْغتَفَ ُر فِي ا ِإل ْبتِ َد ِء َماالَ يُ ْغتَفَ ُر فِي ال َّد َو ِام‬

“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada


kelanjutannya”

Contohnya seseorang yang baru masuk islam minum-minuman keras


karena kebiasaanya sebelum masuk islam dan tidak tahu bahwa minum-
minuman tersebut dilarang. Maka orang tersebut dimaafkan untuk

16
permulaannya karena ketidak tahuannya. Selanjutnya setelah dia tahu
bahwa perbuatan tersebut adalah haram maka dia harus menghentikan
perbuatan tersebut

h. ‫يُ ْغتَفَ ُر فِي الت ََوابِ ِع َماالَ يُ ْغتَفَ ُر فِي َغي ِْرهَا‬

“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada
hal yang lainnya”.

Contohnya penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras


karana karunag mengikuti kepada beras yang dijual.

4. Kaidah Asasi Keempat

‫ض َر ُريُزَا ُل‬
َ ‫ال‬

“Kemadharatan harus dihilangkan”

Contohnya larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok


masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemadharatan
bagi rakyat.

Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah di atas diantaranya:

ِ ‫ات تُبِ ْي ُح ال َم ْخظُو َرا‬


a. ‫ت‬ ُ ‫الضرُوْ َر‬
َ

“Kemadharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”

Contohnya boleh menangkap dan menghukum pelaku pornografi dan


pornoaksi untuk menyelamatkan keturunan.

ِ ‫ات تُقَ ِّد ُربِقَد‬


b. ‫َرهَا‬ ُ ‫الضرُوْ َر‬
َ

17
“Keadaan darurat, ukurannya ditentukan kadar kedaruratannya”.

Contohnya seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang


diobatinya sekedar yang diperlukan untuk pengobatan, itu pun apabila
tidak ada dokter wanita.

c. ‫اإل ْم َكا ِن‬


ِ ‫َر‬ِ ‫الض َر ُريُزَا ُل بِقَد‬
َ

“Kemadharatan harus ditolak dalam batas-batas yang


memungkinkan”.

Contohnya usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak kelaparan.

َ ‫ض َر ُر الَ يُزَا ُل بِال‬


d. ‫ض َر ِر‬ َ ‫ال‬

“Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan lagi”.

Contohnya orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang


orang lain yang juga sedang kelaparan.

َ ‫اص أِل َجْ ِل ال‬


e. ‫ض َر ِر ال َع ِام‬ ِ ‫ض َر ُر ال َخ‬
َ ‫يُحْ تَ َم ُل ال‬

“Kemadharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak


kemadharatan yang bersifat umum”.

Contohnya boleh melarang tindakan hukum seseorang yang


membahayakan kepentingan umum, misalnya mempailitkan suatu
perusahaan demi menyelamatkan para nasabah.

f. ُّ ‫ض َر ِر األَخ‬
‫َف‬ َ ‫الض َر ُر األَ َش ُّد يُزَا ُل بِال‬
َ

“Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan


yang lebih ringan.”

18
Contohnya apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama,
mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis dan ilmu yang berdasarkan
agama kecuali di gaji, maka boleh menggajinya.

َ ‫ضرُو َر ِةعَا َمةً¨ َكانَ أَوْ خَا‬


g. ً‫صة‬ َ ‫الحا َجةُ تَ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ ال‬
َ

“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum


maupun khusus”

Contohnya dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi,
demi untuk kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum
berwujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada.

h. ‫الحا َج ِة لَ ْم تُ ْستَبَحْ قَ ْب َل ُوجُو ِدهَا‬


َ ‫ضرُو َر ِة َو‬ ْ ‫ص ٍة أَبِ ْي َح‬
َ ‫ت لل‬ َ ‫ُكلُّ ر ُْخ‬

“Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-


hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat
atau al-hajah”.

Contohnya memakan makanan yang haram, baru dilaksanakan setelah


terjadinya kondisi darurat. Misalnya tidak ada makanan lain yang halal.

َ ‫ف َج َّر فَ َسادًا أَو َد ْف َع‬


i. ُ‫صالَحًا َمن ِهي َع ْنه‬ َ ‫ُكلُّ ت‬
ٍ ُّ‫َصر‬

“Setiap tindakan yang membawa kemafsadatan atau menolak


kemaslahatan adalah dilarang”.

Contohnya menghambur-hamburkan harta atau boros tanpa ada


manfaatnya.

5. Kaidah Asasi Kelima

19
ُ‫ال َعادَة ُم َح َّك َمة‬

“Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”

Contohnya sebelum Nabi Muhammad di utus, adat kebiasaan sudah


berlaku di masyarakat baik di dunia arab maupun di bagian lain
termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan tersebut di bangun atas dasar
nilai-nilai yang di anggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut
diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran
masyarakat tersebut.

Diantara cabang dari kaidah ini adalah:

a. ‫اس ُح َّجةٌ يَ ِجبُ ال َع َم ُل بِهَا‬


ِ َّ‫إِ ْستِ ْع َما ُل الن‬

“Apa yang di perbuat orang banyak adalah alasan/argumen yang


wajib diamalkan”.

Contohnya menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi


kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menajhitkan
adalah tukang jahit.

ْ َ‫َت أوْ َغلَب‬


b. ‫ت‬ ْ ‫إِنَّ َما تُ ْعتَبَ ُر ال َعا َدةُ إ َذااضْ طَ َرد‬

“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat


yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”.

Contohnya apabila seseorang berlangganan majalah, maka majalah itu


diantar ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan
majalah, maka ia bisa komplain dan menuntut kepada agen majalah
tersebut.

20
ِ ِ‫العب َْرةُ لِ ْلغَال‬
c. ‫ب ال َّشائِ ِع الَللِنَا ِد ِر‬ ِ

“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang terkenal oleh
manusia bukan dengan jarang terjadi”.

Contohnya para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil


terpanjang tidak akan melebihi satu tahun.

d. ‫ف عُرْ فًا َكالم ْشرُوْ ِط شَرْ طًا‬


ُ ْ‫ال َم ْعرُو‬

“Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang di syaratkan


suatu syarat”.

Contohnya apabila orang bergotong- royong membangun rumah yatim


piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan orang-orang yang bergotong
royong itu tidak di bayar.

e. ‫ار َكالم ْشرُوْ ِط بَ ْينَهُم‬


ِ ‫ف بَ ْينَ التُّ َج‬
ُ ْ‫ال َم ْعرُو‬

“Sesuatu yang tidak dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat


diantara mereka”.

f. ‫ف َكا التَ ْعيِي ِن بِالنَّص‬


ُ ْ‫ين بِال َم ْعرُو‬
ُ ِ‫التَ ْعي‬

“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”

Contohnya apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa


menjelaskan siapa yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut.
Maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah
bentuk kecuali dengan izin orang yang menyewakan.

g. ً‫ال ُم ْمتَنَ ُع عَا َدةً َكا ال ُم ْمتَن َِع َحقِ ْيقَة‬

21
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarka adat kebiasaan seperti yang
tidak berlaku dalam kenyataan”.

Contohnya seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain
adalah miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan darimana asal harta
tersebut.

ُ ‫الحقِ ْيقَةُ تُ ْت َر‬


h. ‫ك بِدَاللَ ِة ال َعا َد ِة‬ َ

“Arti hakiki di tinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”.

Contohnya yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan


penerimaan barang oleh si pembeli serta sekaligus penyerahan barang
dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi apabila si pembeli
sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad
jual beli itu telah terjadi. Dan penjual tidak bisa membatalkan jual
belinya meskipun harga barang naik.

i. ‫ا ِإل َذ ُن العُرْ فِى َكا ِإل ْذ ِن اللَ ْف ِطى‬

“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan


pemberian izin menurut ucapan”.

22
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Secara bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau pondasi. baik dalam arti
yang kongkrit maupu arti yang abstrak. Para Ulama memang berbeda dalam
mendefinisikan kaidah fiqih secara istilah. Ada yang meluaskannya ada yang
mempersempitnya. Akan tetapi, substansinya tetap sama. kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz
‘iyat nya (bagian-bagiannya).

Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :

1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam
untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan
mendalami beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial
dalam satu persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan
yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan
sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang
belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.

Sejarah perkembangan dan penyusunan kaidah fiqih diklarifikasikan


menjadi 3 fase, yaitu :

1. Fase pertumbuhan dan pembentukan


a. Zaman Nabi muhammad SAW
b. Zaman Sahabat
c. Zaman Tabi’in dan tabi’ tabi’in
2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi

23
3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan

Lima kaidah utama:

ِ َ ‫اَأْل ُ ُموْ ُر بِ َمقا‬


1. َ ‫ص ِدها‬
“Segala perkataan tergantung pada niat”

2. ‫الَيقِي ُْن الَيُزَا ُل بِاال َّشك‬


“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”

3. ‫الم َشقَّةُ تَجْ لِبُ التَ ْي ِس ْي ُر‬


“Kesulitan mendatangkan kemudahan”

4. ‫ض َر ُريُزَا ُل‬
َ ‫ال‬
“Kemadharatan harus dihilangkan”

5. ُ‫ال َعادَم َح َّك َمة‬


“Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”

24
DAFTAR PUSTAKA

A.Rahman, Asymuni. Qaidah-Qaidah Fiqh. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang.


1976.
Abd Al-Wahab bin Ali bin Abd Al-kafi Al-Subki, Al-Imam Tajuddin. juz 1.
Al-Asybah wa Al-Nazhair. Beirut: Dar Al-kutub al-Islamiyah.
Abu Zahrah, Muhammad. Ushulul Fiqh.Dar Al-Fikir Al-Arabi.
Al-Jurjuni. Kitab Al-Ta’rifat. Dar Al-kutub Al-ilmiyah. 1430 H/1983 M.
Al-Nadw, Ali Ahmad. Al-Qawaid Al-Fiqhiyah. cet .V. Beirut: Dar al-
Qalam.1420H/2000M.
Al-Syirazi, Abu Ishak. al-Muhadzabah. juz 1. Dar el-Fikr.
Hasbi Ash-shiddqy, Teungku Muhammad. Pengantar Hukum Islam. cet 1.
Semarang: PT. Pustaka Rizki putra. 1997 M.
Ibnu Nuzaim. Al-Asybah wa al-Nazhair. cet 1. Damaskus: Dar Al-fikr.
1430H/1983M.
Jalaluddin Abd al-Rahman, Al-Suyuthi. a-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid
wa furu’ Fiqh al-Syafi’i. cet 1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1399 H/1979 M.
Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqh kaidah-kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah praktis. Cet 1. Jakarta: Kencana. 2006.
http://chikalku.blogspot.com/2011/07/kaidah-kaidah-fiqh.html

25

Anda mungkin juga menyukai