DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
IBNU HAJAR
MUHAMMAD SAIFUDDIN
MUHAMMAD ZAHARI
YUSLAINI
DOSEN PENGAMPU :
M. Elsa Tomisa, SE.I., M.E.Sy
Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi
karya makalah ini. Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada
mahasiswa dari hasil penulisan dan pemaparan makalah ini. Karena itu kami
berharap semoga makalah yang kami susun ini dapat menjadi sesuatu yang
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
....................................................................................................................................
i
Daftar Isi
....................................................................................................................................
ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
..........................................................................................................................
1
B. Rumusan Masalah
..........................................................................................................................
1
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
..........................................................................................................................
2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Definisi Kaidah Fiqh
..........................................................................................................................
3
B. Pola Hubungan dan Dasar Perumusan Kaidah Fiqh
..........................................................................................................................
6
C. Urgensi Kaidah Fiqh
..........................................................................................................................
6
D. Sejarah Pertumbuhan Kaidah Fiqh
..........................................................................................................................
7
E. Lima Kaidah Utama
iii
..........................................................................................................................
10
Daftar Pustaka
....................................................................................................................................
24
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
a. Definisi Kaidah Fiqh
b. Pola Hubungan dan Dasar Perumusan Kaidah Fiqh
c. Urgensi Kaidah Fiqh
d. Sejarah Pertumbuhan Kaidah Fiqh
e. Lima Kaidah Utama
1
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Adapun tujuan penulis menulis makalah ini adalah agar pembaca dapat
mengetahui tentang :
a. Definisi Kaidah Fiqh
b. Pola Hubungan dan Dasar Perumusan Kaidah Fiqh
c. Urgensi Kaidah Fiqh
d. Sejarah Pertumbuhan Kaidah Fiqh
e. Lima Kaidah Utama
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar,
asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.1
Al- Qawaid al-fiqhiyqh (kaidah-kaidah fikih) secara etimologis adalah
dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau
jenis-jenis fikih.2
1
Ali Ahmad Al-Nadw, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, Beirut: Dar al-Qalam, 1420 H / 2000 M,
cet. V.
2
Asymuni A.Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta: Bulan bintang, 1976, cet. 1.
3
tetapi, substansinya tetap sama. Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah
Mendefinisikan kaidah dengan :
َ اح ٍد يَ ْج َم ُعها
ِ س َو ِ َ ع األَ ْحكا َ ْم ال ُمتَشَابِها
ٍ َ ت الَّتِي ت َْر ِج ُع إِل َى قِيا ُ َم ْج ُم ْو
ق َعلَ ْي ِه ُج ْز ئِيَّاتٌ َكثِ ْي َرةٌ يُ ْف َه ُم أَ ْح َكا ُم َها ِم ْن َها ْ اَأْل َ ْم ُر ا ْل ُكلِّ ْي الَّ ِذ
ُ ِي يَ ْنطَب
“Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang
banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”.
5
اع ِد الَّتِي ت َُر ُّدإِلَ ْي ِه َوفَ َّرع ُْوا األَ ْح َكام َعلَ ْي َها
ِ َم ْع ِرفَةُ ا ْلقَ َو
3
Muhammad Abu Zahrah, Ushulul Fiqh, Dar Al-Fikir Al-Arabi, halm.10.
4
Al-Jurjuni, Kitab Al-Ta’rifat, Dar Al-kutub Al-ilmiyah, 1430 H/1983 M, halm. 171.
5
Al-Imam Tajuddin Abd Al-Wahab bin Ali bin Abd Al-kafi Al-Subki, Al-Asybah wa Al-
Nazhair, Beirut: Dar al-kutub al-Islamiyah, juz 1, halm. 11.
6
Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair, Damaskus: Dar Al-fikr, 1430H/1983M, cet 1,
halm. 10.
4
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybah wa
nazhair, mendefinisikan kaidah dengan :
5
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul
fiqhiyah adalah :
8
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh kaidah-kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah praktis, Jakarta: Kencana, 2006. Cet 1. Halm 5.
9
Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.
Pustaka Rizki putra, 1997 M, cet 1.
6
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk
memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami
beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu
persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan
yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan
sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang
belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya berkata bahwa nash-nash tasyrik
telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik
mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna
dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-
qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya
kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-
masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-
kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan
hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di
bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk
mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana
menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis
bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah
fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak
pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah
fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh
pengikutnya.
7
Sejarah perkembangan dan penyusunan kaidah fiqih diklarifikasikan
menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi fase
sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman, yaitu :
8
Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang
disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris
diserahkan ke Bait al-mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul
Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima
harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia
tidak memiliki ahli waris.
Imam Asy-Syafi’i
Pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu
kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yang dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak
diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
9
zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H
adalah
“Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin
dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih
menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“Seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin.
perusahaan.
10
Prof. H. A. Djazuli, Op. cit., hlm.34.
11
Abu Ishak al-Syirazi, al-Muhadzabah, Dar el-Fikr, juz 1, hlm.70.
10
Untuk membedakan antar ibadah dan adat kebiasaan.
Untuk membedakan kualitas perbuatan baik kebaikan maupun
kejahatan.
Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu
serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.
Secara lebih mendalam lagi para fuqaha merinci masalah niat ini
baik dalam ibadah mahdoh seperti thoharoh, wudhu, tayamum, mandi
junub, sholat qhasar, sholat jama, sholat wajib, sholat sunnat, zakat,
haji, saum atau pun didalah ibadah ghair mahdoh seperti pernikahan,
thalaq, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa-menyewa, hutang piutang
dan akad-akad lainnya.
“Apa yang diyakini bisa hilang karna adanya bukti lain yang
meyakinkan pula”
12
Prof. H. A. Djazuli, Op. cit., hlm.42.
11
Contohnya kita yakin sudah berwudhu tetapi kemudian kita yakin pula
telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.
“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali
dengan keyakinan lagi”.
d. ُاألَصْ ُل بَقَا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكانَ َمالَ ْم يَ ُك ْن َما يُ َغيِّ ُره
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal
yang mengubahnya.”
e. ض ِة ال َع َد ُم
َ ار
ِ ت ال َع ِ األَصْ ُل فِي
ِ الصفَا
12
“Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adah tidak ada”.
“Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang
paling dekat kepadanya”
“Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil
yang menunjukkan keharamannya”
Contohnya apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas
tentang keharamannya maka hukumnya boleh dimakan.
13
adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula
cucu.
14
Contohnya boleh berbuka puasa pada bulan ramadhan karna sakit atau
berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu
kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.
Contohnya seseorang berkata saya wakafkan tanah saya ini kepada anak
kiyai Ahmad. Padahal semua tahu bahwa anak kiayi tersebut sudah
lama meninggal, maka yang ada hanyalah cucunya. maka dalam hal ini,
kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya bukan kata
15
sesungguhnya sebab tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang
yang sudah meninggal.
f. يُ ْغتَفَ ُر فِي ال َّد َو ِام َماالَ يُ ْغتَفَ ُر فِي ا ِإل ْبتِ َد ِء
g. يُ ْغتَفَ ُر فِي ا ِإل ْبتِ َد ِء َماالَ يُ ْغتَفَ ُر فِي ال َّد َو ِام
16
permulaannya karena ketidak tahuannya. Selanjutnya setelah dia tahu
bahwa perbuatan tersebut adalah haram maka dia harus menghentikan
perbuatan tersebut
h. يُ ْغتَفَ ُر فِي الت ََوابِ ِع َماالَ يُ ْغتَفَ ُر فِي َغي ِْرهَا
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada
hal yang lainnya”.
ض َر ُريُزَا ُل
َ ال
17
“Keadaan darurat, ukurannya ditentukan kadar kedaruratannya”.
f. ُّ ض َر ِر األَخ
َف َ الض َر ُر األَ َش ُّد يُزَا ُل بِال
َ
18
Contohnya apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama,
mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis dan ilmu yang berdasarkan
agama kecuali di gaji, maka boleh menggajinya.
Contohnya dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi,
demi untuk kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum
berwujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada.
19
ُال َعادَة ُم َح َّك َمة
20
ِ ِالعب َْرةُ لِ ْلغَال
c. ب ال َّشائِ ِع الَللِنَا ِد ِر ِ
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang terkenal oleh
manusia bukan dengan jarang terjadi”.
21
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarka adat kebiasaan seperti yang
tidak berlaku dalam kenyataan”.
Contohnya seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain
adalah miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan darimana asal harta
tersebut.
22
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau pondasi. baik dalam arti
yang kongkrit maupu arti yang abstrak. Para Ulama memang berbeda dalam
mendefinisikan kaidah fiqih secara istilah. Ada yang meluaskannya ada yang
mempersempitnya. Akan tetapi, substansinya tetap sama. kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz
‘iyat nya (bagian-bagiannya).
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam
untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan
mendalami beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial
dalam satu persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan
yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan
sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang
belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
23
3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan
4. ض َر ُريُزَا ُل
َ ال
“Kemadharatan harus dihilangkan”
24
DAFTAR PUSTAKA
25