Anda di halaman 1dari 31

Makalah

ASUHAN KEPERAWATAN HALUSINASI

OLEH
KELOMPOK 4 :
RIDZKY SALSABILAH MA’RUF (841418039)
NURLINDA SHAFITRI R PARIS (841418047)
WAHYUNISYAH R YUSUF (841418054)
LISNAWATY HARUN (841418059)
INTAN PATRIA ABDJUL (841418069)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu dipanjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya, makalah ini dapat dibuat. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa II. Tidak lupa diucapkan rasa terima kasih
kepada teman-teman dan keluarga yang selalu mendukung dalam menyelesaikan makalah.
Kami menyadari bahwa dalam proses pembuatan dan hasil dari makalah ini terdapat
banyak kekurangan dan kesalahan. Sehingga bagi siapapun yang ingin memberikan kritik dan
saran yang membangun. Kami berharap dengan selesainnya makalah ini dengan judul “Asuhan
Keperawatan Pasien Halusinasi” dapat bermanfaat.

Gorontalo, 30 Januari 2020

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Halusinasi adalaha salah satu gejala ganggu sensori persepsi yang dialami oleh pasien
gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan,
atau penghidupan tanpa stimulus yang nyata Keliat, (2011) dalam Zelika, (2015). Sedangkan
menurut WHO, kesehatan jiwa bukan hanya tidak ada gangguan jiwa, melainkan
mengandung berbagai karakteristik yang positif yang menggambarkan keselarasan dan
keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya.
Data dari Departemen Kesehatan tahun 2009, jumlah penderita gangguan jiwa di
Indonesia saat ini mencapai lebih dari 28 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa rimgan
11,6 persen dan 0,46 persen menderita gangguan jiwa berat. Hasil penelitian WHO di Jawa
Tengah tahun 2009 menyebutkan dari setiap 1.000 warga Jawa Tengah terdapat 3 orang yang
mengalami gangguan jiwa. Sementara 19 orang dari setiap 1.000 warga Jawa Tengah
mengalami stress Depkes RI, (2009) dalam Zelika (2015). Data kunjungan rawat inap Rumah
Sakit Jiwa Daerah Surakarta pada bulan Januari-April 2013 didapat 785 orang.
Pasien dengan halusinasi menempati urutan pertama dengan angka kejadian 44 persen
atau berjumlah 345 orang, pasien isolasi sosial menempati urutan kedua dengan angka
kejadian 22 persen atau berjumlah pasien 173 orang, pasien dengan resiko perilaku kekerasan
menempati urutan ketiga dengan angka kejadian 18 persen atau berjumlah 141 orang pasien,
pasien dengan harga diri rendah menempati urutan ke empat dengan angka kejadian 12
persen atau berjumlah 94 orang, sedangkan pasien dengan waham, deficit perawatan diri 4
persen atau 32 orang (Zelika, 2015)
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dan sebagai tugas untuk memahami
keperawatan jiwa yang harus dikuasai, utamanya halusinasi, maka kelompok diberikan tugas
untuk membahas masalah gangguan jiwa dengan halusinasi.

3
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaiamana konsep medis pasien halusinasi
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien halusinasi

1.3 tujuan
1. Mengetahui konsep medis pasien halusinasi
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien halusinasi

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Medis Halusinasi
2.1.1 Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh pasien
gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan tanpa
stimulus yang nyata (Keliat, 2011) dalam (Zelika,2015). Halusinasi adalah persepsi sensori yang
salah atau pengalaman pesepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan (Darmaja, 2014).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien member persepsi atau pendapat
tentang lingkungan tanpa objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mendengarkan
suara suara tetapi pada kenyataannya tidak ada orang yang berbicara (Abdul Muhith, 2015)
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca Indra tanpa adanya rangsang
(stimulus) eksternal (Surya, 2011). Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Halusinasi adalah suatu gangguan pesepsi panca indra tanpa disertai dengan adanya
rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana pada saat kesadaran
individu itu penuh dan baik (Abdul Muhith, 2015).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan
persepsi sensori merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, dan perabaan
(Abdul Muhith,2015)
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan halusinasi adalah
gangguan persepsi seensori dimana klien mempersepsikan sesuatu melalui panca indra tanpa ada
stimulus eksternal. Halusinasi berbeda dengan ilusi, dimana klien mengalami persepsi yang salah
terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi,
stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata ada oleh klien.

2.1.2 Faktor – Faktor yang mempengaruhi


Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam Pambayun (2015) Halusinasi merupakan salah
satu gejala dalam menentukan diagnosis lain yang mengalami psikotik. Khususnya skizofrenia.
Halusinasi dipengaruhi oleh faktor dibawah ini antara lain:
a. Faktor Predisposisi
Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun

5
keluarganya, mengenai faktor pengembangan sosiokultural, biokimia, psikologis, dan
genetic. Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon
neurobiologist. Seperti pada halusinasi antara lain:
1) Faktor Genetik
Telah diketahui bahwa secara genetic skizofrenia diturunkan melalui kromosom
kromosom tertentu. Namun demikian, kromosom yang keberapa yang menjadi faktor
penentu gagguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar
identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50%. Jika salah
satunya mengalami skizofrenia, sementara dyzygote peluangnya sebesar 15%.
Seorang anaka yang salah satunya orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang
15% mengalami skizofrenia, sementara bila orangtua nya skizofrenia maka
peluangnya menjadi 35%
2) Faktor perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
3) Faktor neurobiologis
Ditemukan bahwa korteks Pre Frontal dan korteks limbic pada klien dengan
skizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Di temukan juga pada klien skizofrenia
terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal. Neurotransmitter juga tidak
dimukan tidak normal, khusunya dopamine, serotonin, dan glutamate.
4) Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang
berlebihan yang dialami seseorang, maka tubuh akan menghasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofennon dan Dimetytransferase
(DMP)
5) Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh
kesepian terhadap lingkungan tempat klien dibersarkan.
6) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia, antara lain
anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi, dan dingin dan
tidak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya. Sementara
itu hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang
bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan
kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.
b. Faktor Presipitasi
Yaitu suatu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagi tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energy ekstra untuk koping. Danya rangsangan
lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama
diajak komunikasi dan suasan sepi/isolasi sering sebagi pencetus terjadinya halusinasi

6
karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik.

2.1.3 Jenis Halusinasi


Menurut Stuart (2007) dalam Yusalia (2015), jenis halusinasi antara lain:

1. Halusinasi pendengaran (auditorik)


Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, terutama suara-suara orang.
Biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan (visual)
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,
gambaran geometric, gambar kartun dan atau panorama yang luas dan kompleks.
Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi penciuman (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan
seperti darah, urine, atau feses. Kadang-kadang tercium bau harum. Biasanya
berhubungan dengan stroke, tumor, kejang, dan dementia.
4. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus
yang terlihat. Contoh: merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang
lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis, dan
menjijikan. Merasa mengecap rasa seperti darah, urine, atau feses.
6. Halusinasi chenesthetic
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
7. Halusinasi kinaesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

7
2.1.4 Fase Halusinasi

Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan keparahannya Stuart dan
Sundeen (2006) dalam Bagus (2014), membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat
ansietas yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase
halusinasi, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.

Fase Halusinasi Karakteristik Perilaku Pasien


1 2 3
Fase I: Comforting-ansietas Klien mengalami keadaan Menyeringai atau tertawa
Tingkat sedang, secara umum emosi seperti ansietas, yang tidak sesuai,
halusinasi bersifat kesepian, rasa bersalah, dan menggerakkan bibir tanpa
menyenangkan. takut serta mencoba untuk menimbulkan suara,
berfokus pada penenangan pergerakan mata yang cepat,
pikiran untuk mengurangi respon verbal yang labat,
ansietas. Individu mengetahui diam dan dipenuhi oleh
bahwa pikiran dan sesuatu yang mengasyikkan.
pengalaman sensori yang
dialaminya tersebut dapat
dikendalikan jika ansietasnya
bisa diatasi.
(Non psikotik)
Fase II: Condemning-ansietas Pengalaman sensori bersifat Peningkatan sistem syaraf
Tingkat berat, secara umum menjijikan dan menakutkan, otonom yang menunjukkan
halusinasi menjadi klien mulai lepas kendali dan ansietas, seperti peningkatan
menjijikan. mungkin mencoba untuk nadi, pernafasan, dan tekanan
menjauhkan dirinya dengan darah, penyempitan
sumber yang dipersepsikan. kemampuan konsentrasi,
Klien mungkin merasa malu dipenuhi dengan pengalaman
karena pengalaman sensori dan kehilangan
sensorinya dan menarik diri kemampuan membedakan

8
dari orang lain. antara halusinasi dengan
(Psikotik ringan) realita.
Fase III: Controlling-ansietas Klien berhenti melakukan Cenderung mengikuti
Tingkat berat, pengalaman perlawanan terhadap petunjuk yang diberikan
sensori menjadi berkuasa halusinasi dan menyerah pada halusinasinya daripada
halusinasi tersebut. Isi menolaknya, kesukaran
halusinaasi menjadi menarik, berhubungan dengan orang
dapat berupa permohonan. lain, rentang perhatian hanya
Klien mungkin mengalami beberapa detik atau menit,
kesepian jika pengalaman adanya tandaa-tanda fisik
sensori tersebut berakhir. ansietas berat: berkeringat,
(Psikotik) tremor, tidak mampu
mengikuti petunjuk.
Fase IV: Conquering Panik Pengalaman sensori menjadi Perilaku menyerang-teror
Umumnya halusinasi menjadi mengancam dan menakutkan seperti panik, berpotensi kuat
lebih rumit, melebar dalam jika klien tidak mengikuti melakukan bunuh diri atau
halusinasinya perintah. Halusinasi bisa membuhuh orang lain.
berlangsung dalam beberapa Aktivitas visik yang
jam atau hari jika tidak ada merefleksikan isi halusinasi
intervensi terapeutik. seperti amuk, agitasi, menarik
(Psikotik berat) diri, atau katatonia, tidak
mampu berespon terhadap
perintah yang kompleks,
tidak mampu berespon
terhadap lebih dari satu
orang.

2.1.5 Rentang Respon Halusinasi


Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptive individual yang berbeda rentang
respon neurobiology (Stuart dan Laraia, 2005) dalam Yusalia 2015. Ini merupakan persepsi
maladaptive. Jika klien yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasikan dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera

9
(pendengaran, pengelihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan) klien halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun stimulus tersebut tidak ada. Diantara
kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena mengalami kelainan persensif yaitu
salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi. Klien mengalami
jika interpresentasi yang dilakukan terhadap stimulus panca indera tidak sesuai stimulus yang
diterimanya, rentang respon tersebut sebagai berikut :

Respon Adaptif Respon Maladaptive

- Pikiran Logis  Kadang- kadang  Waham


 Persepsi akurat proses berpikir  Halusinasi
 Emosi konsisten terganggu (distorsi  Sulit berespons
dengan pengalaman pikiran)  Perilaku disorganisasi
 Perilaku sesuai  Ilusi  Isolasi sosial
 Hubungan sosial  Menarik diri
harmonis  Reaksi emosi (>/<)
 Perilaku tidak biasa

2.1.6 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap klien serta ungkapan
klien. Adapun tanda dan gejala klien halusinasi adalah :

a. Data Subjektif
Berdasarkan data subjektif, klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi
mengatakan bahwa klien :
1) Mendengan suara-suara atau kegaduhan
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau monster

10
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan
6) Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses
7) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya

b. Data Objektif
Berdasarkan data objektif, klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi
melakukan hal-hal berikut :
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah-marah tanpa sebab
3) Mengarahkan telinga ke arah tertentu
4) Menutup telinga
5) Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas

2.1.7 Mekanisme Koping

Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi meliputi :

a. Regresi

Regresi berhubungan dengan proses informasi dan upaya yang digunakan untuk
menaggulangi ansietas. Energy yang tersisa untuk aktivitas sehari-hari tinggal sedikit,
sehingga klien menjadi malas beraktivitas sehari-hari.

b. Proteksi

Dalam hal ini, klien mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan


mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau suatu benda.

c. Menarik diri
Klien sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.

d. Keluarga mengingkari malasah yang dialami oleh klien

11
2.1.8 Penata Laksanaan Medis

Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), tindakan keperawatan untuk


membantu klien mengatasu halusinasinya dimulai dengan membina hubungan saling
percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalani sebelum
mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk merasa
nyaman menceritakan pengalaman aneh halusinasinya agar informasi tentang halusinasi
yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara komprehensif. Untuk itu perawat harus
memperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa keberadaan perawat
adalah betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga harus sabar, memperlihatkan
penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan klien saat menceritakan
halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau menertawakan klien walaupun
pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh dan menggelikan bagi perawat. Perawat
harus bisa mengendalikan diri agar tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan selanjutnya
adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi halusinasi, waktu, frekuensi
terjadinya halusinasi, situasi yang mneyebabkan muculnya halusinasi, dan perasaan klien
saat halusinasi muncul). Setelah klien menyadari bahwa halusinasi yang dialaminya
adalah masalah yang harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih bagaimana cara
yang bisa dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses ini dimulai dengan
menkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa usaha yang klien
lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan efektifitas cara
tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan, sementara jika cara yang
dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu dengan cara-cara baru.
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), ada beberapa cara yang bisa
dilatihkan kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :
1. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien harus
berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga. Klien
dilatih unuk mengatakan, “tidak mau dengar…, tidak mau lihat”. Ini
dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu pasien

12
mengenali halusinasi, ajarkan klien mengontrol halusinasi dengan cara
pertama yaitu menghardik halusinasi :
2. Menggunaka obat
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat ketidakseimbangan
neurotransmitter di syaraf (dopamine, serotonin). Untuk itu, klien perlu diberi
penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatai halusiansi, serta bagaimana
mengonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara
optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi yang benar
dalam pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan secara
tuntas dan teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien
yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini
penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah sistem diman
klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangan menentukan kesehatan
jiwa klien. Klien mungkin sudah mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika
tidak didukung secara kuat, klien bisa mengalamikeggagalan, dan halusinasi
bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis
bisa berlangsung lama (kronis), sekalipun klien pulang kerumah, mungkin
masih mengalami halusinasi. Dengan mendidik keluarga tentang cara
penanganan halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien
kembali kerumah. Latih pasien menggunakan obat secara teratur.
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah :
a. Chlorpromazine (CPZ, Largactile), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala-gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-gejala lain yang
biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik, depresi, gangguan
personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian:
Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan intramuskuler.
Dosis pemulaan adalah 25-100 mg dan diikuti peningkatan dosis hingga

13
mencapai 300 mg pethari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu.
Pemberian dapat dilakukan satu kali pada malam hari atau dapat diberikan
tiga kali sehari. Bila gejala psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan
secara perlahan-lahan sampai 600-900 mg perhari.
Kontraindikasi:
Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma, keracunan
alcohol, barbiturate, atau narkotika, dan penderita hipersensitif terhadap
derifat fenothiazine.
Efek samping :
Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,
mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya
untuk penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan gejala
penurunan kesadaran karena depresi susunan syaraf pusat, hipotensi,
ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran irama EKG.
Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.
b. Haloperidol (Haldol, Serenace), Warna : Putih bisar
Indikasi :
Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma giles de la torette
pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat
pada anak-anak.
Cara pemberian :
Dosis oral pada dewasa 1-6 mh sehari yang terbagi menjadi 6-15 mg untuk
keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2-5 mg intramuskuler setiap
1-8 jam, tergantung kebutuhan.
Kontraindikasi :
Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit Parkinson,
hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping :
Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesuh, letih, gelisah, gejala
ekstrapiramidal atau pseudoparkinson, efek samping yang jarang adalah

14
nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan
otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi
hematologis,. Intoksikaasinya adalah bila klien memakai dalam dosis
melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau kekakuan,
tremor, hipotesa, sedasi, koma, depresi pernapasan.
c. Trihexyphenidyl ( THP, Artane, Tremin), Warna : putih kecil
Indikasi :
Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala skizofrenia.
Cara pemakaian :
Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah (12,5 mg)
diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis ditingkatkan
25mg dan interval pemberian diperpanjang 3-6 mg setiap kali suntikkan,
tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali
suntikan sebaiknya peningkatan perlahan-lahan.
Kontraindikasi :
Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensistif terhadap
fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi
biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek samping yang hebat.
Pengobatan overdosis ; hentikan obat berikan terapi simtomatis dan
suportif, atasi hipotensi degan levarteronol hindari menggunakan
ephineprine ISO.

3. Berineraksi dengan orang lain.


Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya. Dengan
meningkatkan intesitas interaksi sosialnya, klien akan dapat memvalidasi
persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami peningkatan stimulus
eksternal jika berhubungan dengan orang lain. Dua hal ini akan mengurangi
fokus perhatian klien terhadap stimulus internal yang manjadi sumber
halusinasinya. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua yaitu
bercakap-cakap dengan orang lain.

15
4. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian. Kebanyakan
halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak dimanfaatkan
dengan bak oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan halusinasinya, untuk itu,
klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan dari pagi sejak bangun pagi
sampai malam menjelang tidur dengan kegiatan yang bermanfaat. Perawat
harus selalu memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga klien betul-
betul tidak ada wkatu lagi untuk melamun tak terarah. Latih pasien
mengontrol halusinasi dengan cara ketiga, yaitu melaksanakan aktivitas
terjadwal/

2.2 Asuhan Keperawatan Klien dengan Halusinasi

1. Pengkajian

1. Identitas Klien
Identitas ditulis lengkap meliputi nama, usia dalam tahun, alamat, pendidikan, agama,
status perkwinan, pekerjaan, jenis kelamin, Nomor rekam medis dan diagnose medisnya
2. Alasan Masuk
Menanyakan kepada klien/ keluarga/ pihak yang berkaitan dan tulis hasilnya, apa yang
menyebabkan klien datang ke rumah sakit, apa yang sudah dilakukan oleh klien/ keluarga
sebelumnya atau dirumah untuk mengatasi masalah ini dan bagaimana hasilnya. Klien
dengan halusinasi biasanya dilaporkan oleh keluarga bahwa klien sering melamun,
menyendiri dan terlihat berbicara sendiri, tertawa sendiri.
3. Riwaya Penyakit Sekarang
Menanyakan riwayat timbulnya gejala gangguan jiwa saat ini, penyebab munculnya
gejala, supaya yang dilakukan keluarga untuk mengatasi dan bagaimana hasilnya.
4. Faktor predisposisi
Menanyakan apa klien pernah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu, pengobatan yang
pernah dilakukan sebelumnya, adanya trauma masa lalu, faktor genetic dan silsilah orang
tuanya dan pengalaman masalalu yang tidak menyenangkan.
5. Pemeriksaan Fisik
Mengkaji keadaan umum klien, tanda-tanda vital, tinggi badan/berat badan, ada/tidak
keluhan fisik seperti nyeri dan lain-lain.

16
6. Pengkajian Psikososial
a. Konsep Diri
1. Citra tubuh, bagaimana persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuhnya yang
paling/tidak disukai.
2. Identitas diri, bagaimana persepsi tentang status dengan posisi klien sebelum
dirawat, kepuasan klien terhadap suatu/posisi tersebut, kepuasan klien sebagai
laki-laki atau perempuan.
3. Peran, bagaimana harapan klien terhadap tubuhnya, posisi, status, tugas/peran
yang harapannya dalam keluarga, kelompok, masyarakat dan bagaimana
kemampuan klien dalam melaksanakan tugas/peran tersebut.
4. Ideal diri, bagaiman harapan klien terhadap tubuhnya, posisi, status, tugas/peran
dan harapan klien terhadap lingkungan.
5. Harga diri, bagaimana persepsi klien terhadap dirinya dalam hubungannya dengan
orang lain sesuai dengan kondisi dan bagaimna penilaian/penghagaan orang lain
terhadap diri dan lingkungan klien.
b. Hubungan sosial
Mengkaji siapa orang yang berate/terdekat dengan klien, bagaimana peran serta
dalam kegiatan dalam kelompok masyarakat serta ada/tidak hambatan dalam
berhubungan dengan orang lain.
c. Spiritual
Apa agama/keyakinan klien. Bagaimana persepsi, nilai, norma, pandangan dan
keyakianan diri klien, keluarga dan masyarakat setempat tentang gangguan jiwa
sesuai dengan norma budaya dan agama yang dianut.
d. Status mental
1. Penampilan
Obsevasi penampilan umum klien yaitu penampilan usia, cara berpakaian,
kebersihan, sikap tubuh, cara berjalan, ekspresi wajah, kontak mata.
2. Pembicaraan
Bagaimana pembicaraan yang didapatkan pada klien, apakah cepat, keras, gagap,
inkoheren, apatis, lambat, membius dan lain-lain.
3. Aktivitas motorik (psikomotor)

17
Aktivitas motorik berkenan dengan gerakan fisik perlu dicacat dalam hal tingkat
aktivitas (latergik, tegang, gelisa, agitasi), jenis (TIK, tremor) dan isayarat tubuh
yang tidak wajar.
4. Afek dan emosi
Afek merupakan nada perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan
yang menyertai status pikiran dan belangsung relatif lama dan dengan sedikit
komponen fisiologis/fisik serta bangga, kecewa. Emosi merupakan manefestasi
afek yang ditampilkan/dideskrpisikan keluar, disertai banyak komponen fisiologis
dan berlangsung relatif lebih singkat dan spontan seperti sedih, ketakutan, putus
asa, khawatir, atau gembira berlebihan.
5. Interaksi selama wawancara
Bagaiman respon klien pada saat wawancara, kooperatif/tidak, bagaiamana
kontak mata dengan perawat dan lain-lain.
6. Persepsi sensorik
Memberikan pertanyaan pada klien seperti “apakah anda sering mendengar suara
saat tidak ada orang?” apa anda mendengar suara yang tidak dapat anda lihat?
Apa yang anda lakukan oleh suara itu. Memeriksa ada/ tidak halusinasi, ilusi.
7. Proses pikir
Bagaiman proses pikir klien, bagimana alur pikirannya (koheren/inkoheren),
bagaimana isi pikirannya raealitas/tidak.
8. Kesadaran
Bagimana tingkat kesdaran klien menurun atau mininggi.
9. Orientasi
Bagaimana orientasi klien terhadap waktu, tempat, dan orang.
10. Memori
Apakah klien mengalami gangguan daya ingat seperti, efek samping dan obat dan
dari psikologis
11. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Apakah klien mengalami kesulitan saat berkonsentrasi bagaimana kemampuan
berhitung klien, seperti disaat ditanya apakah klien menjawab pertanyaan sesuai
dengan yang ditanyakan oleh observer.

18
Analisa Data

Data Masalah Keperawatan


DS: Gangguan persepsi sensori
- Klien mengatakan mendengar suara
bisikan atau melihat bayangan
- Klien mengatakan merasakan sesuatu
melalui indera perabaan, penciuman,
atau pengecapan.
- Klien menyatakan kesal
DO:
- Distorsi sensori
- Respons tidak sesuai
- Bersikap seolah melihat, mendengar,
mengecap, meraba, atau mencium
sesuatu
- Menyendiri
- Melamun
- Konsentrasi buruk
- Disorientasi waktu, tempat, orang,
atau situasi
- Curiga
- Melihat ke satu arah
- Mondar-mandir
- Bicara sendiri

Pohon Masalah
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan

19
Gangguan persepsi sensori

Gangguan konsep diri

Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori (D.0085)

20
No. DIAGNOSA KEPERAWATAN SLKI SIKI RASIONAL
Gangguan Persepsi Sensori Persepsi Sensori Manajemen Halusinasi
(D. 0085)
Kategori : Psikologis Definisi : Persepsi realitas Definisi : Mengidentifikasi
Sub-kategori : Interitas Ego
terhadap stimulus baik dan mengelola peningkatan
Definisi : Perubahan persepsi
internal maupun eksternal keamanan, kenyaman dan
terhadap stimulus baik internal
orientasi realita
maupun eksternal yang disertai
Setelah dilakukan tindakan
dengan respon yang berkurang,
Tindakan :
keperawatan selama 3x24
berlebihan atau distorsi.
Observasi
jam maka persepsi sensori
Penyebab :
1. Monitor perilaku yang
1. Gangguan penglihatan pasien dapat meningkat,
2. Gangguan pendengaran mengindikasi
dengan:
3. Gangguan penghiduan halusinasi
4. Gangguan perabaan
Kriteria hasil : 2. Monitor dan
5. Hipoksia cerebral 1. Verbalisasi mendengar
6. Penyalahgunaan zat sesuaikan tingkat
bisikan menurun (5)
7. Usia lanjut 2. Verbalisasi melihat aktivitas dan stimulasi
8. Pemajanan toksin lingkungan bayangan menurun (5) lingkungan
Gejala dan tanda mayor 3. Verbalisasi merasakan 3. Monitor isi halusinasi
Subjektif sesuatu melalui indera
perabaan menurun (5) (mis. Kekerasan atau
1. Mendengar suara bisikan atau
melihat bayangan 4. Verbalisasi merasakan membahayakan diri)
2. Merasakan sesuatu melalui sesuatu melalui indera
indera perabaan, penciuman penciuman menurun (5)
Terapeutik
atau pengecapan 5. Verbalisasi merasakan
sesuatu melalui indera 4. Pertahankan
Objektif pengecepan menurun lingkungan yang
1. Distorsi sensori (5) aman
2. Respon tidak sesuai 6. Distorsi sensori
3. Bersikap seolah melihat, 5. Lakukan tindakan
menurun (5)
mendengar, mengecap, 7. Perilaku halusinasi keselamatan ketika
meraba, atau mencium sesuatu menurun (5) tidakdapat
8. Menarik diri menurun
Gejala dan tanda minor mengontrol perilaku
Subjektif (5)
9. Melamun menurun (5) (mis. Limit setting,
1. Menyatakan kesal
10. Curiga menurun (5) pembatasan wilayah,
Objektif 11. Mondar-mandir
1. Menyendiri pengekangan fisik,
menurun (5)
2. Melamun seklusi)
3. Konsentrasi buruk 6. Diskusikan perasaan
4. Diorientasi waktu, tempat,
dan respon terhadap
orang atau situasi
5. Curiga halusinasi
6. Melihat ke satu arah 7. Hindari perdebatan
7. Mondar-mandir
tentang validitas
8. Bicara sendiri
halusinasi
Kondisi klinis terkait
1. Glaucoma Edukasi
2. Katarak 8. Anjurkan memonitas
3. Gangguan refraksi (myopia, sendiri situasi terjadi
hyperopia, astigmatisma,
halusinasi
presbyopia)
4. Trauma okuler 9. Anjurkan bicara pada
5. Trauma pada saraf kranialis II, orang yang dipercaya
III, IV, dan VI akibat stroke,
aneurisma, intracranial, untuk memberi
trauma/tumor otak dukungan dan umpan
6. Infeksi okuler
balik korektif
7. Presbikusis
8. Malfungsi alat bantu dengar terhadap halusinasi
9. Derilium 10. Anjurkan melakukan
10. Demensia
distraksi (mis.
11. Gangguan amnestic
12. Penyakit terminal Mendengarkan music,
13. Gangguan psikotik melakukan aktivitas
dan teknik relaksasi)
11. Ajarkan pasien dan
keluarga cara
mengontrol halusinasi
Kolaborasi
12. Pemberian obat anti-
psikotik dan anti-
ansietas, jika perlu.

3. Tindakan Keperawatan

SP1 Pasien : Assesmen Halusinasi


1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik, memperkenalkan diri, panggil pasien sesuai nama panggilan yang disukai
b) Menjelaskan tujuan interaksi
2) Membuat kontrak (inform consent) dua kali pertemuan latihan pengendalian halusinasi
3) Bantu pasien mengenal halusinasi
a) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya
b) Bantu pasien mengenal penyebab halusinasi
c) Bantu pasien mengenal halusinansinya dengan (isi, situasi, frekuensi, durasi dan respon)
d) Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor fakto yang berpengaruh terhadap
e) Diskusikan tentang masalah yang dihadapi klien tanpa memintanya untuk menyimpulkan
f) Identifikasi persepsi klien yang tidak tepat, penyimpangan dan pendapatnya yang tidak rasional
4) Bantu klien untuk mengontrol halusinansinya

SP2 Pasien :

1) Mengevaluasi masalah dan latuhan sebelumnya


2) Melatih cara mengontrol halusinasi dengan berbincang dengan orang lain
3) Membimbing klien memasukan jadwal kegiatan harian

SP3 Pasien :

1) Mengavaluasi masalah dan latihan sebelumnya


2) Melatih klien cara mengontrol halusinasi dengan kegiatan (yang bisa dilakukan)
3) Membimbing klien memsukkan jadwal kegiatan harian.

SP4 Pasien :

1) Mengavaluasi masalah dan latihan sebelumnya


2) Melatih klien cara mengontrol halusinasi dengan teratur minum obat (prinsip 6 benar minum obat)
3) Membimbing klien memasukkan jadwal kegiatan.

SP1 Keluarga :

1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien


2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, halusinasi yang dialami klien beserta proses terjadinya.
3) Menjelaskan cara-cara merawat klien halusinasi.

SP2 Keluarga

1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat klien dengan halusinasi


2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien halusinasi

SP3 Keluarga

1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat (discharge planning)
2) Menjelaskan follow up klien setelah pulang
TERAPI YOGA SEBAGAI TERAPI KOMPLEMENTER PASIEN HALUSINASI

Indirawaty, dkk (2018) dalam The Indonesian Journal of Health Science berjudul
STUDI KOMPARASI TERAPI KOMPLEMENTER YOGA DAN TERAPI MODALITAS
AKTIVITAS KELOMPOK TERHADAP KEMAMPUAN MENGENDALIKAN
HALUSINASI PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT KHUSUS PROVINSI SULAWESI
SELAWATAN melakukan penelitian dengan subjek 60 responden menggunakan teknik non
probability sampling dengan pendekatan consecutive. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan mengendalikan halusinasi setelah diberikan intervensi yoga terjadi kenaikan
minimum dari 7 menjadi 16, maksimum dari 14 menjadi 26, dan medianya dari 9 menjadi 30,
yang berarti ada kemajuan klien dalam mengendalikan halusinasi setelah komplementer Yoga.
Hal ini sejalan dengan hasil review yang dilakukan terhadap 16 responden yang dilakukan
menunjukkan bahwa jika melakukan Yoga secara efektif memiliki efek positif bagi orang-orang
dengan keluhan depresi dan susah tidur. Begitu juga dengan orang-orang yang menderita
skizofrenia dan ADHD.

Penelitian ini juga sejalan dengan jurnal berjudul Yoga for Schizophrenia: Patients
perspective yang dilakukan oleh Shivarama, dkk (2015) dimana penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi kesediaan pasien untuk berpartisipasi dalam program terapi yoga tambahan pada
pasien rawat jalan. Dimana penelitian ini dilakukan pada 100 pasien skizofrenia yang menghadiri
layanan rawat jalan psikiatri di rumah sakit. Sebanyak 100 pasien skizofrenia (Pria:Wanita =
57:43) yang menghadiri layanan rawat jalan psikiatri dari rumah sakit neuropsikiatri tersier yang
diberikan kuisioner survey. Dimana setelah dilakukan penelitian didapatkan hasil bahwa sekitar
46% sadar bahwa yoga juga merupakan salah satu terapi komplementer yang berguna dalam
skizofrenia. Dimana sekitar 46% lainnya pernah mencoba yoga di masa lalu karena beberapa
alasan, tetapi hanya 31% dari mereka yang melanjutkan yoga. Alasan paling umum untuk tidak
melanjutkannya adalah kurangnya motivasi.

Terdapat sebuah penelitian lain yang berjudul PENGARUH SENAM YOGA


TERHADAP DEPRESI PADA LANSIA DI UPT PELAYANAN SOSIAL PASURUAN,
LAMONGAN yang dilakukan oleh Ninik Murtiyani dkk (2018) dimana penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi dan menganalisis senam yoga terhadap depresi terhadap lansia. Dimana
hasil penalitian pengaruh senam yoga terhadap depresi pada lansia menunjukkan pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol terjadi perubahan nilai skor depresi, namun penurunan nilai
skor depresi pada kelompok perlakuan lebih besar daripada kelompok kontrol. Hal ini
dikarenakan pada kelompok kontrol lebih kecil terjadinya perbedaan perubahan nilai skor
depresi. Dengan dilakukannya senam yoga yang sering rutin akan berpengaruh besar terhadap
nilai skor depresi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarlan uraian diatas mengenai halusinasi dan pelaksanaan asuhan keperawatan


terhadap pasien halusinasi, maka diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut :

1. Saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi ditemukan adanya
perilaku menarik diri sehingga perlu dilakukan pendekatan secara terus menerus,
membina hubungan saling percaya yang dapat menciptakan suasana terapeutik dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan.
2. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien khususnya dengan halusinasi,
pasien saat membutuhkan kehadiran keluarga sebagai sistem pendukung yang mengerti
keadaan dan permasalahan dirinya. Disamping itu perawat atau petugas kesehatan juga
membutuhkan keluarga dalam memberikan data yang diperlukan dan membina kerjasama
dalam member perawatan pada pasien.

3.2 Saran

Pemakalah menyadari banyak terdapat kesalahan, kejanggalan, dan kekurangan dalam


penulisan makalah ini, darai kesederhanaan makalah ini, maka kami sebagai penyedia makalah
ini membuka tangan guna meneria kritikan dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Pan. 2014. Konsep Halusinasi Dan Strategi Pelaksanaan Halusinasi.

Darmaja, I Kade. 2014. Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Tn. “S” Dengan
Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Diruang Kenari Rsj Dr. Radjiman
Wedioningrat Lawang Malang. Program Studi Profesi (Ners) Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi

Indirawaty, dkk. 2018. STUDI KOMPARASI TERAPI KOMPLEMENTER YOGA DAN


TERAPI MODALITAS AKTIVITAS KELOMPOK TERHADAP KEMAMPUAN
MENGENDALIKAN HALUSINASI PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT KHUSUS
PROVINSI SULAWESI SELATAN. The Indonesian Journal of Health Science.

Keliat, B. A. 2011. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC

Muhith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta: Andi

Ninik, dkk. 2018. PENGARUH SENAM YOGA TERHADAP DEPRESI PADA LANSIA DI
UPT PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA PASURUAN, LAMONGAN. Jurnal
Keperawatan.

Pambayun, Ahlul H. 2015. Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. S Dengan Gangguan Persepsi
Sensori Halusinasi Pendengaran Ruang 11 (Larasati) RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Semarang. Asuhan Keperawatan Psikiatri Akademi Keperawatan Widya Husada
Semarang.

Shivarama, dkk. 2015. Yoga for schizophrenia: Patients perspective. International Journal of
Yoga

Stuart, G.W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa.

Surya, Direja. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta : Nuha Medika
Yusalia, Refiazka. 2015. Laporan Pendahuluan Dan Strategi Pelaksanaan Halusinasi.

Zelika, Alkhosiyah A. Dermawan, Deden. 2015. Kajian Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Pendengaran Pada Sdr. D Di Ruang Nakula Rsjd Surakarta. Jurnal Poltekkes Bhakti
Mulia.

Anda mungkin juga menyukai