OLEH
KELOMPOK 4 :
RIDZKY SALSABILAH MA’RUF (841418039)
NURLINDA SHAFITRI R PARIS (841418047)
WAHYUNISYAH R YUSUF (841418054)
LISNAWATY HARUN (841418059)
INTAN PATRIA ABDJUL (841418069)
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur selalu dipanjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya, makalah ini dapat dibuat. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa II. Tidak lupa diucapkan rasa terima kasih
kepada teman-teman dan keluarga yang selalu mendukung dalam menyelesaikan makalah.
Kami menyadari bahwa dalam proses pembuatan dan hasil dari makalah ini terdapat
banyak kekurangan dan kesalahan. Sehingga bagi siapapun yang ingin memberikan kritik dan
saran yang membangun. Kami berharap dengan selesainnya makalah ini dengan judul “Asuhan
Keperawatan Pasien Halusinasi” dapat bermanfaat.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaiamana konsep medis pasien halusinasi
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien halusinasi
1.3 tujuan
1. Mengetahui konsep medis pasien halusinasi
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien halusinasi
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Medis Halusinasi
2.1.1 Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh pasien
gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan tanpa
stimulus yang nyata (Keliat, 2011) dalam (Zelika,2015). Halusinasi adalah persepsi sensori yang
salah atau pengalaman pesepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan (Darmaja, 2014).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien member persepsi atau pendapat
tentang lingkungan tanpa objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mendengarkan
suara suara tetapi pada kenyataannya tidak ada orang yang berbicara (Abdul Muhith, 2015)
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca Indra tanpa adanya rangsang
(stimulus) eksternal (Surya, 2011). Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Halusinasi adalah suatu gangguan pesepsi panca indra tanpa disertai dengan adanya
rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana pada saat kesadaran
individu itu penuh dan baik (Abdul Muhith, 2015).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan
persepsi sensori merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, dan perabaan
(Abdul Muhith,2015)
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan halusinasi adalah
gangguan persepsi seensori dimana klien mempersepsikan sesuatu melalui panca indra tanpa ada
stimulus eksternal. Halusinasi berbeda dengan ilusi, dimana klien mengalami persepsi yang salah
terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi,
stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata ada oleh klien.
5
keluarganya, mengenai faktor pengembangan sosiokultural, biokimia, psikologis, dan
genetic. Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon
neurobiologist. Seperti pada halusinasi antara lain:
1) Faktor Genetik
Telah diketahui bahwa secara genetic skizofrenia diturunkan melalui kromosom
kromosom tertentu. Namun demikian, kromosom yang keberapa yang menjadi faktor
penentu gagguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar
identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50%. Jika salah
satunya mengalami skizofrenia, sementara dyzygote peluangnya sebesar 15%.
Seorang anaka yang salah satunya orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang
15% mengalami skizofrenia, sementara bila orangtua nya skizofrenia maka
peluangnya menjadi 35%
2) Faktor perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
3) Faktor neurobiologis
Ditemukan bahwa korteks Pre Frontal dan korteks limbic pada klien dengan
skizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Di temukan juga pada klien skizofrenia
terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal. Neurotransmitter juga tidak
dimukan tidak normal, khusunya dopamine, serotonin, dan glutamate.
4) Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang
berlebihan yang dialami seseorang, maka tubuh akan menghasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofennon dan Dimetytransferase
(DMP)
5) Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh
kesepian terhadap lingkungan tempat klien dibersarkan.
6) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia, antara lain
anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi, dan dingin dan
tidak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya. Sementara
itu hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang
bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan
kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.
b. Faktor Presipitasi
Yaitu suatu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagi tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energy ekstra untuk koping. Danya rangsangan
lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama
diajak komunikasi dan suasan sepi/isolasi sering sebagi pencetus terjadinya halusinasi
6
karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik.
7
2.1.4 Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan keparahannya Stuart dan
Sundeen (2006) dalam Bagus (2014), membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat
ansietas yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase
halusinasi, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.
8
dari orang lain. antara halusinasi dengan
(Psikotik ringan) realita.
Fase III: Controlling-ansietas Klien berhenti melakukan Cenderung mengikuti
Tingkat berat, pengalaman perlawanan terhadap petunjuk yang diberikan
sensori menjadi berkuasa halusinasi dan menyerah pada halusinasinya daripada
halusinasi tersebut. Isi menolaknya, kesukaran
halusinaasi menjadi menarik, berhubungan dengan orang
dapat berupa permohonan. lain, rentang perhatian hanya
Klien mungkin mengalami beberapa detik atau menit,
kesepian jika pengalaman adanya tandaa-tanda fisik
sensori tersebut berakhir. ansietas berat: berkeringat,
(Psikotik) tremor, tidak mampu
mengikuti petunjuk.
Fase IV: Conquering Panik Pengalaman sensori menjadi Perilaku menyerang-teror
Umumnya halusinasi menjadi mengancam dan menakutkan seperti panik, berpotensi kuat
lebih rumit, melebar dalam jika klien tidak mengikuti melakukan bunuh diri atau
halusinasinya perintah. Halusinasi bisa membuhuh orang lain.
berlangsung dalam beberapa Aktivitas visik yang
jam atau hari jika tidak ada merefleksikan isi halusinasi
intervensi terapeutik. seperti amuk, agitasi, menarik
(Psikotik berat) diri, atau katatonia, tidak
mampu berespon terhadap
perintah yang kompleks,
tidak mampu berespon
terhadap lebih dari satu
orang.
9
(pendengaran, pengelihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan) klien halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun stimulus tersebut tidak ada. Diantara
kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena mengalami kelainan persensif yaitu
salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi. Klien mengalami
jika interpresentasi yang dilakukan terhadap stimulus panca indera tidak sesuai stimulus yang
diterimanya, rentang respon tersebut sebagai berikut :
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap klien serta ungkapan
klien. Adapun tanda dan gejala klien halusinasi adalah :
a. Data Subjektif
Berdasarkan data subjektif, klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi
mengatakan bahwa klien :
1) Mendengan suara-suara atau kegaduhan
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau monster
10
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan
6) Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses
7) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya
b. Data Objektif
Berdasarkan data objektif, klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi
melakukan hal-hal berikut :
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah-marah tanpa sebab
3) Mengarahkan telinga ke arah tertentu
4) Menutup telinga
5) Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
a. Regresi
Regresi berhubungan dengan proses informasi dan upaya yang digunakan untuk
menaggulangi ansietas. Energy yang tersisa untuk aktivitas sehari-hari tinggal sedikit,
sehingga klien menjadi malas beraktivitas sehari-hari.
b. Proteksi
c. Menarik diri
Klien sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.
11
2.1.8 Penata Laksanaan Medis
12
mengenali halusinasi, ajarkan klien mengontrol halusinasi dengan cara
pertama yaitu menghardik halusinasi :
2. Menggunaka obat
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat ketidakseimbangan
neurotransmitter di syaraf (dopamine, serotonin). Untuk itu, klien perlu diberi
penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatai halusiansi, serta bagaimana
mengonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara
optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi yang benar
dalam pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan secara
tuntas dan teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien
yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini
penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah sistem diman
klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangan menentukan kesehatan
jiwa klien. Klien mungkin sudah mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika
tidak didukung secara kuat, klien bisa mengalamikeggagalan, dan halusinasi
bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis
bisa berlangsung lama (kronis), sekalipun klien pulang kerumah, mungkin
masih mengalami halusinasi. Dengan mendidik keluarga tentang cara
penanganan halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien
kembali kerumah. Latih pasien menggunakan obat secara teratur.
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah :
a. Chlorpromazine (CPZ, Largactile), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala-gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-gejala lain yang
biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik, depresi, gangguan
personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian:
Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan intramuskuler.
Dosis pemulaan adalah 25-100 mg dan diikuti peningkatan dosis hingga
13
mencapai 300 mg pethari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu.
Pemberian dapat dilakukan satu kali pada malam hari atau dapat diberikan
tiga kali sehari. Bila gejala psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan
secara perlahan-lahan sampai 600-900 mg perhari.
Kontraindikasi:
Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma, keracunan
alcohol, barbiturate, atau narkotika, dan penderita hipersensitif terhadap
derifat fenothiazine.
Efek samping :
Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,
mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya
untuk penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan gejala
penurunan kesadaran karena depresi susunan syaraf pusat, hipotensi,
ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran irama EKG.
Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.
b. Haloperidol (Haldol, Serenace), Warna : Putih bisar
Indikasi :
Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma giles de la torette
pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat
pada anak-anak.
Cara pemberian :
Dosis oral pada dewasa 1-6 mh sehari yang terbagi menjadi 6-15 mg untuk
keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2-5 mg intramuskuler setiap
1-8 jam, tergantung kebutuhan.
Kontraindikasi :
Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit Parkinson,
hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping :
Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesuh, letih, gelisah, gejala
ekstrapiramidal atau pseudoparkinson, efek samping yang jarang adalah
14
nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan
otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi
hematologis,. Intoksikaasinya adalah bila klien memakai dalam dosis
melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau kekakuan,
tremor, hipotesa, sedasi, koma, depresi pernapasan.
c. Trihexyphenidyl ( THP, Artane, Tremin), Warna : putih kecil
Indikasi :
Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala skizofrenia.
Cara pemakaian :
Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah (12,5 mg)
diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis ditingkatkan
25mg dan interval pemberian diperpanjang 3-6 mg setiap kali suntikkan,
tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali
suntikan sebaiknya peningkatan perlahan-lahan.
Kontraindikasi :
Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensistif terhadap
fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi
biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek samping yang hebat.
Pengobatan overdosis ; hentikan obat berikan terapi simtomatis dan
suportif, atasi hipotensi degan levarteronol hindari menggunakan
ephineprine ISO.
15
4. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian. Kebanyakan
halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak dimanfaatkan
dengan bak oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan halusinasinya, untuk itu,
klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan dari pagi sejak bangun pagi
sampai malam menjelang tidur dengan kegiatan yang bermanfaat. Perawat
harus selalu memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga klien betul-
betul tidak ada wkatu lagi untuk melamun tak terarah. Latih pasien
mengontrol halusinasi dengan cara ketiga, yaitu melaksanakan aktivitas
terjadwal/
1. Pengkajian
1. Identitas Klien
Identitas ditulis lengkap meliputi nama, usia dalam tahun, alamat, pendidikan, agama,
status perkwinan, pekerjaan, jenis kelamin, Nomor rekam medis dan diagnose medisnya
2. Alasan Masuk
Menanyakan kepada klien/ keluarga/ pihak yang berkaitan dan tulis hasilnya, apa yang
menyebabkan klien datang ke rumah sakit, apa yang sudah dilakukan oleh klien/ keluarga
sebelumnya atau dirumah untuk mengatasi masalah ini dan bagaimana hasilnya. Klien
dengan halusinasi biasanya dilaporkan oleh keluarga bahwa klien sering melamun,
menyendiri dan terlihat berbicara sendiri, tertawa sendiri.
3. Riwaya Penyakit Sekarang
Menanyakan riwayat timbulnya gejala gangguan jiwa saat ini, penyebab munculnya
gejala, supaya yang dilakukan keluarga untuk mengatasi dan bagaimana hasilnya.
4. Faktor predisposisi
Menanyakan apa klien pernah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu, pengobatan yang
pernah dilakukan sebelumnya, adanya trauma masa lalu, faktor genetic dan silsilah orang
tuanya dan pengalaman masalalu yang tidak menyenangkan.
5. Pemeriksaan Fisik
Mengkaji keadaan umum klien, tanda-tanda vital, tinggi badan/berat badan, ada/tidak
keluhan fisik seperti nyeri dan lain-lain.
16
6. Pengkajian Psikososial
a. Konsep Diri
1. Citra tubuh, bagaimana persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuhnya yang
paling/tidak disukai.
2. Identitas diri, bagaimana persepsi tentang status dengan posisi klien sebelum
dirawat, kepuasan klien terhadap suatu/posisi tersebut, kepuasan klien sebagai
laki-laki atau perempuan.
3. Peran, bagaimana harapan klien terhadap tubuhnya, posisi, status, tugas/peran
yang harapannya dalam keluarga, kelompok, masyarakat dan bagaimana
kemampuan klien dalam melaksanakan tugas/peran tersebut.
4. Ideal diri, bagaiman harapan klien terhadap tubuhnya, posisi, status, tugas/peran
dan harapan klien terhadap lingkungan.
5. Harga diri, bagaimana persepsi klien terhadap dirinya dalam hubungannya dengan
orang lain sesuai dengan kondisi dan bagaimna penilaian/penghagaan orang lain
terhadap diri dan lingkungan klien.
b. Hubungan sosial
Mengkaji siapa orang yang berate/terdekat dengan klien, bagaimana peran serta
dalam kegiatan dalam kelompok masyarakat serta ada/tidak hambatan dalam
berhubungan dengan orang lain.
c. Spiritual
Apa agama/keyakinan klien. Bagaimana persepsi, nilai, norma, pandangan dan
keyakianan diri klien, keluarga dan masyarakat setempat tentang gangguan jiwa
sesuai dengan norma budaya dan agama yang dianut.
d. Status mental
1. Penampilan
Obsevasi penampilan umum klien yaitu penampilan usia, cara berpakaian,
kebersihan, sikap tubuh, cara berjalan, ekspresi wajah, kontak mata.
2. Pembicaraan
Bagaimana pembicaraan yang didapatkan pada klien, apakah cepat, keras, gagap,
inkoheren, apatis, lambat, membius dan lain-lain.
3. Aktivitas motorik (psikomotor)
17
Aktivitas motorik berkenan dengan gerakan fisik perlu dicacat dalam hal tingkat
aktivitas (latergik, tegang, gelisa, agitasi), jenis (TIK, tremor) dan isayarat tubuh
yang tidak wajar.
4. Afek dan emosi
Afek merupakan nada perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan
yang menyertai status pikiran dan belangsung relatif lama dan dengan sedikit
komponen fisiologis/fisik serta bangga, kecewa. Emosi merupakan manefestasi
afek yang ditampilkan/dideskrpisikan keluar, disertai banyak komponen fisiologis
dan berlangsung relatif lebih singkat dan spontan seperti sedih, ketakutan, putus
asa, khawatir, atau gembira berlebihan.
5. Interaksi selama wawancara
Bagaiman respon klien pada saat wawancara, kooperatif/tidak, bagaiamana
kontak mata dengan perawat dan lain-lain.
6. Persepsi sensorik
Memberikan pertanyaan pada klien seperti “apakah anda sering mendengar suara
saat tidak ada orang?” apa anda mendengar suara yang tidak dapat anda lihat?
Apa yang anda lakukan oleh suara itu. Memeriksa ada/ tidak halusinasi, ilusi.
7. Proses pikir
Bagaiman proses pikir klien, bagimana alur pikirannya (koheren/inkoheren),
bagaimana isi pikirannya raealitas/tidak.
8. Kesadaran
Bagimana tingkat kesdaran klien menurun atau mininggi.
9. Orientasi
Bagaimana orientasi klien terhadap waktu, tempat, dan orang.
10. Memori
Apakah klien mengalami gangguan daya ingat seperti, efek samping dan obat dan
dari psikologis
11. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Apakah klien mengalami kesulitan saat berkonsentrasi bagaimana kemampuan
berhitung klien, seperti disaat ditanya apakah klien menjawab pertanyaan sesuai
dengan yang ditanyakan oleh observer.
18
Analisa Data
Pohon Masalah
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
19
Gangguan persepsi sensori
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori (D.0085)
20
No. DIAGNOSA KEPERAWATAN SLKI SIKI RASIONAL
Gangguan Persepsi Sensori Persepsi Sensori Manajemen Halusinasi
(D. 0085)
Kategori : Psikologis Definisi : Persepsi realitas Definisi : Mengidentifikasi
Sub-kategori : Interitas Ego
terhadap stimulus baik dan mengelola peningkatan
Definisi : Perubahan persepsi
internal maupun eksternal keamanan, kenyaman dan
terhadap stimulus baik internal
orientasi realita
maupun eksternal yang disertai
Setelah dilakukan tindakan
dengan respon yang berkurang,
Tindakan :
keperawatan selama 3x24
berlebihan atau distorsi.
Observasi
jam maka persepsi sensori
Penyebab :
1. Monitor perilaku yang
1. Gangguan penglihatan pasien dapat meningkat,
2. Gangguan pendengaran mengindikasi
dengan:
3. Gangguan penghiduan halusinasi
4. Gangguan perabaan
Kriteria hasil : 2. Monitor dan
5. Hipoksia cerebral 1. Verbalisasi mendengar
6. Penyalahgunaan zat sesuaikan tingkat
bisikan menurun (5)
7. Usia lanjut 2. Verbalisasi melihat aktivitas dan stimulasi
8. Pemajanan toksin lingkungan bayangan menurun (5) lingkungan
Gejala dan tanda mayor 3. Verbalisasi merasakan 3. Monitor isi halusinasi
Subjektif sesuatu melalui indera
perabaan menurun (5) (mis. Kekerasan atau
1. Mendengar suara bisikan atau
melihat bayangan 4. Verbalisasi merasakan membahayakan diri)
2. Merasakan sesuatu melalui sesuatu melalui indera
indera perabaan, penciuman penciuman menurun (5)
Terapeutik
atau pengecapan 5. Verbalisasi merasakan
sesuatu melalui indera 4. Pertahankan
Objektif pengecepan menurun lingkungan yang
1. Distorsi sensori (5) aman
2. Respon tidak sesuai 6. Distorsi sensori
3. Bersikap seolah melihat, 5. Lakukan tindakan
menurun (5)
mendengar, mengecap, 7. Perilaku halusinasi keselamatan ketika
meraba, atau mencium sesuatu menurun (5) tidakdapat
8. Menarik diri menurun
Gejala dan tanda minor mengontrol perilaku
Subjektif (5)
9. Melamun menurun (5) (mis. Limit setting,
1. Menyatakan kesal
10. Curiga menurun (5) pembatasan wilayah,
Objektif 11. Mondar-mandir
1. Menyendiri pengekangan fisik,
menurun (5)
2. Melamun seklusi)
3. Konsentrasi buruk 6. Diskusikan perasaan
4. Diorientasi waktu, tempat,
dan respon terhadap
orang atau situasi
5. Curiga halusinasi
6. Melihat ke satu arah 7. Hindari perdebatan
7. Mondar-mandir
tentang validitas
8. Bicara sendiri
halusinasi
Kondisi klinis terkait
1. Glaucoma Edukasi
2. Katarak 8. Anjurkan memonitas
3. Gangguan refraksi (myopia, sendiri situasi terjadi
hyperopia, astigmatisma,
halusinasi
presbyopia)
4. Trauma okuler 9. Anjurkan bicara pada
5. Trauma pada saraf kranialis II, orang yang dipercaya
III, IV, dan VI akibat stroke,
aneurisma, intracranial, untuk memberi
trauma/tumor otak dukungan dan umpan
6. Infeksi okuler
balik korektif
7. Presbikusis
8. Malfungsi alat bantu dengar terhadap halusinasi
9. Derilium 10. Anjurkan melakukan
10. Demensia
distraksi (mis.
11. Gangguan amnestic
12. Penyakit terminal Mendengarkan music,
13. Gangguan psikotik melakukan aktivitas
dan teknik relaksasi)
11. Ajarkan pasien dan
keluarga cara
mengontrol halusinasi
Kolaborasi
12. Pemberian obat anti-
psikotik dan anti-
ansietas, jika perlu.
3. Tindakan Keperawatan
SP2 Pasien :
SP3 Pasien :
SP4 Pasien :
SP1 Keluarga :
SP2 Keluarga
SP3 Keluarga
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat (discharge planning)
2) Menjelaskan follow up klien setelah pulang
TERAPI YOGA SEBAGAI TERAPI KOMPLEMENTER PASIEN HALUSINASI
Indirawaty, dkk (2018) dalam The Indonesian Journal of Health Science berjudul
STUDI KOMPARASI TERAPI KOMPLEMENTER YOGA DAN TERAPI MODALITAS
AKTIVITAS KELOMPOK TERHADAP KEMAMPUAN MENGENDALIKAN
HALUSINASI PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT KHUSUS PROVINSI SULAWESI
SELAWATAN melakukan penelitian dengan subjek 60 responden menggunakan teknik non
probability sampling dengan pendekatan consecutive. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan mengendalikan halusinasi setelah diberikan intervensi yoga terjadi kenaikan
minimum dari 7 menjadi 16, maksimum dari 14 menjadi 26, dan medianya dari 9 menjadi 30,
yang berarti ada kemajuan klien dalam mengendalikan halusinasi setelah komplementer Yoga.
Hal ini sejalan dengan hasil review yang dilakukan terhadap 16 responden yang dilakukan
menunjukkan bahwa jika melakukan Yoga secara efektif memiliki efek positif bagi orang-orang
dengan keluhan depresi dan susah tidur. Begitu juga dengan orang-orang yang menderita
skizofrenia dan ADHD.
Penelitian ini juga sejalan dengan jurnal berjudul Yoga for Schizophrenia: Patients
perspective yang dilakukan oleh Shivarama, dkk (2015) dimana penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi kesediaan pasien untuk berpartisipasi dalam program terapi yoga tambahan pada
pasien rawat jalan. Dimana penelitian ini dilakukan pada 100 pasien skizofrenia yang menghadiri
layanan rawat jalan psikiatri di rumah sakit. Sebanyak 100 pasien skizofrenia (Pria:Wanita =
57:43) yang menghadiri layanan rawat jalan psikiatri dari rumah sakit neuropsikiatri tersier yang
diberikan kuisioner survey. Dimana setelah dilakukan penelitian didapatkan hasil bahwa sekitar
46% sadar bahwa yoga juga merupakan salah satu terapi komplementer yang berguna dalam
skizofrenia. Dimana sekitar 46% lainnya pernah mencoba yoga di masa lalu karena beberapa
alasan, tetapi hanya 31% dari mereka yang melanjutkan yoga. Alasan paling umum untuk tidak
melanjutkannya adalah kurangnya motivasi.
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi ditemukan adanya
perilaku menarik diri sehingga perlu dilakukan pendekatan secara terus menerus,
membina hubungan saling percaya yang dapat menciptakan suasana terapeutik dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan.
2. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien khususnya dengan halusinasi,
pasien saat membutuhkan kehadiran keluarga sebagai sistem pendukung yang mengerti
keadaan dan permasalahan dirinya. Disamping itu perawat atau petugas kesehatan juga
membutuhkan keluarga dalam memberikan data yang diperlukan dan membina kerjasama
dalam member perawatan pada pasien.
3.2 Saran
Darmaja, I Kade. 2014. Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Tn. “S” Dengan
Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Diruang Kenari Rsj Dr. Radjiman
Wedioningrat Lawang Malang. Program Studi Profesi (Ners) Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi
Ninik, dkk. 2018. PENGARUH SENAM YOGA TERHADAP DEPRESI PADA LANSIA DI
UPT PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA PASURUAN, LAMONGAN. Jurnal
Keperawatan.
Pambayun, Ahlul H. 2015. Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. S Dengan Gangguan Persepsi
Sensori Halusinasi Pendengaran Ruang 11 (Larasati) RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Semarang. Asuhan Keperawatan Psikiatri Akademi Keperawatan Widya Husada
Semarang.
Shivarama, dkk. 2015. Yoga for schizophrenia: Patients perspective. International Journal of
Yoga
Surya, Direja. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta : Nuha Medika
Yusalia, Refiazka. 2015. Laporan Pendahuluan Dan Strategi Pelaksanaan Halusinasi.
Zelika, Alkhosiyah A. Dermawan, Deden. 2015. Kajian Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Pendengaran Pada Sdr. D Di Ruang Nakula Rsjd Surakarta. Jurnal Poltekkes Bhakti
Mulia.