Anda di halaman 1dari 13

Pemisahan Pangea dan

Terbentuknya Pulau di Indonesia

Kelompok 3
Alra Fidriyatur Rachma (170210103079)
Dyah Ayu Wijayanti (170210103098)
Maratus Solikah (170210103083)
PEMISAHAN PANGEA DAN TEORI
TERBENTUKNYA KEPULAUAN INDONESIA

Teori Pemisahan Pangea


Kawasan kepulauan yang merupakan kawasan Indonesia
mempunyai sejarah geologi yang panjang dan merupakan bagian dari
seluruh proses pembentukan kawasan modern saat ini. Secara geologis,
wilayah ini tersusun dari tiga bagian yaitu lempeng eurasia, lempeng
sahul dan lempeng lautan. Pada awalnya, semua benua yang saat ini
kita kenal pada awal era mesozoikum semuanya saling berhubungan
dan membentuk satu massa daratan yang luas yang disebut sebagai
Pangea (Leksono, 2012). Ilmuwan yang berpendapat bahwa semua
pernah bersatu dalam satu daratan dan kemudian berpisah adalah
Alfred Wegener pada tahun 1912 (Pellegrini, 2019). Pangea ini mulai
terpisah mulai zaman trias membentuk dua kawasan yang besar,
Laurasia di sebelah utara dan Gondwana di belahan selatan. Super
benua Laurasia pada awalnya terdiri dari massa daratan yang kelak
membentuk Asia, Eropa dan Amerika Utara, sedangkan super benua
Gondwana adalah cikal bakal bagi Amerika Selatan, Afrika, Arab,
India dan Australia. Sepanjang sejarahnya, apungan-apungan lempeng
kontinental ini terus bergerak sampai terbentuknya dunia pada posisi
modern saat ini (Leksono, 2012).
Seratus tahun lalu pada tahun 1915 Alfred Wegener
menerbitkan sebuah buku ‘Die Entstehung der Kontinente und Ozeane’
yang menjadi salah satu karya geologi yang paling kontroversial di
paruh pertama abad ke-20. Wegener adalah orang pertama yang
menggabungkan bukti geologis yang variatif dalam kesatuan yang
padu (Romano et al., 2016). Alfred Wegener mengungkapkan teori
continental drift atau pergeseran benua yang mendukung terhadap
adanya pemisahan Pangea, dimana semua kontinen awalnya satu
kesatuan dan kemudian pergerakannya benua tersebut menjadi
beberapa bagian yang kemudian bermigrasi ke posisi seperti saat ini
(Noverma, 2017). Teori ini sebagian diterima beberapa ilmuwan
namun banyak yang menolak dengan teori Wegener ini. Banyak
ilmuwan yang tidak percaya dengan teori ini karena bukti yang kurang
cukup (Pellegrini, 2019). Teori continental drift memiliki kelemahan
tidak mampu menjelaskan penyebab dari adanya pergerakan lempeng
atau benua tersebut sehingga dapat berpisah (Sarsito et al., 2019).
Teori lain yang mendukung atas teori yang dikemukakan
Wegener adalah teori Seafloor Spreading. Teori ini mengutamakan
terhadap gerak mendatar yang terjadi pada kulit bumi (litosfer),
sedangkan jika ada gerak vertikal sebagai akibat sekunder dari gerak
mendatar tersebut (Hardjono, 2006). Seafloor Spreading atau dikenal
dengan persebaran dasar laut dikemukakan oleh ilmuwan bernama
Harry Hess pada tahun 1960. Teori ini adalah hipotesa yang
menganggap bahwa bagian kulit bumi yang ada di dasar samudra
Atlantik mengalami pemekaran yang diakibatkan oleh gaya tarikan
yang digerakkan oleh adanya arus konveksi di bagian mantel bumi.
Arus konveksi ini yang menggerakkan kerak samudra yang berfungsi
sebagai ban berjalan (Noverma, 2017).

Ilmuwan lain yaitu Ampferer menjelaskan pola pergerakan


gunung terlipat karena adanya penyebaran dasar laut. Lipatan dan
dorongan di permukaan bumi mencerminkan adanya gerakan
substratum magmatik yang lebih dalam. Ia mengatakan bahwa
substratum ini yang akan mengarah pada pembentukan cekungan
samudera dan gunung-gunung tinggi di tepi sungai benua (Polat,
2019).
Tahun 1940 hipotesis dari Wegener hampir tiada, namun pada
tahun berikutnya pasca perang akibat kemajuan dalam oseanografi
teori ini kembali dikaji (Afolayan dan Kehinde, 2019). Tahun 1960
terdapat bukti baru yang disajikan dari paleomagnetisme bumi
(Pellegrini, 2019). Serta kemajuan teknologi tehadap pemetaan dasar
laut membuktikan secara kuantitatif pergerakan lempeng. Bukti baru
ini memperkuat teori Wegener hingga akhirnya para ahli geologi
menerima teori continental drift dari Alfred Wegener (Afolayan dan
Kehinde, 2019). Pada tahun ini berkembang teori lanjutan yang
menjelaskan tentang penyebab atau gaya penyebab terjadinya
pergerakan suatu lempeng yaitu Plate Tektonik (Lempeng Tektonik)
(Sarsito et al., 2019). Teori ini diusulkan oleh Harry Hess (Afolayan
dan Kehinde, 2019). Teori lempeng tektonik dapat menjelaskan
kejadian yang masih sering kita rasakan sekarang yaitu gempa tektonik
yang disebabkan oleh benturan antar pelat-pelat tektonik yang ada pada
lapisan luar bumi. Berdasarkan teori pelat tektonik, lapisan terluar dari
bumi terdiri atas pelat-pelat batuan yang saling bergerak relatif satu
dengan lainnya (Salim dan Siswanto, 2018).

Mekanisme Terbentuknya Pangea dan Pulau-Pulau di Indonesia

a. Pemisahan Benua Pangea


Pemisahan benua pangea terjadi pada kurun mesozoikum yaitu
dengan ditandai oleh aktivitas tektonik. Benua-benua secara perlahan
mengalami pergeseran yaitu benua pangea memisahkan diri menjadi
daratan Gondwana dan Laurasia. Pemisahan dan pergeseran ini
berlangsung hingga kurun kenozoikum yaitu pada zaman tersier hingga
kuarter. Pada zaman trias, benua pangea bagian barat telah menyatu
dan pangea bagian timur mulai bersatu dari daratan yang ada di laut
Paleo-tethys. Pada akhir zaman trias, setelah pembentukan benua
pangea selesai, superbenua mulai pecah dan pembentukan palung
(rifting) berkembang diantara Amerika Utara, Afrika dan Amerika
Selatan (Noor, 2014).
Pada awal zaman jura, benua pangea terpecah menjadi
beberapa benua modern, Amerika Utara, Afrika dan Amerika Selatan.
Pada pertengahan zaman jura, palung yang terbentuk akibat
terpecahnya benua pangea membuka lautan Atlantik Tengah dan
terbentuknya Teluk Mexico. Pada zaman kapur terjadi pembentukan
palung akibat terpisahnya benua pangea. Amerika Selatan dan Afrika
terpisah secara perlahan-lahan dari selatan ke utara yang kemudian
menjadi lautan Atlantik Selatan, sedangkan antara India dan
Madagaskar terjadi rifting, keduanya bergeser saling menjauh dari tepi
bagian barat Australia dan Antartika yang kemudian menjadi Lautan
India (Noor, 2014).
Pada awal kurun kenozoikum, Greenland mulai memisahkan
diri dari Eropa, Antartika dari Australia, serta Afrika dan India juga
memisahkan diri. Lautan Atlantik mengalami pemekaran melalui suatu
lembah yang sempit yang dikenal sebagai punggung tengah samudra.
India bergerak melewati samudra India dan bertabrakan dengan benua
Asia membentuk pegunungan Himalaya. Zaman tersier merupakan
tahap terakhir dari fase pemecahan benua pangea yang diikuti dengan
terjadinya tumbukan beberapa benua. Benua Amerika Utara dan
Greenland terpisah satu dengan lainnnya dari benua Eropa, sedangkan
Jazirah Arab memisahkan diri menjauhi benua Afrika. Pergeseran
benua tersebut juga membentuk Teluk Mexico, African Rift Valley,
dan Laut Merah di Jazirah Arab. Banyaknya tumbukan benua yang
mengakibatkan munculnya pegunungan-pegunungan yang tinggi
menyebabkan muka air laut turun diseluruh dunia, serta terjadinya
pergeseran iklim pada zaman tersier (Noor, 2014).

b. Terbentuknya Pulau-Pulau di Indonesia


Kepulauan Indonesia dianggap sebagai jalur yang lebar, yang
merupakan pertemuan dari 3 lempeng besar yaitu lempeng samudera
Hindia-Australia yang bergerak ke utara, lempeng pasifik yang
bergegrak ke barat, dan lempeng Asia Tenggara (Sunda) yang bergerak
ke utara. Pergerakan dari lempeng ini yang kemudian menyebabkan
terbentuknya kepulauan Indonesia (Hardjono, 2006).
Pada masa zaman Glasial, wilayah Indonesia bagian barat
menjadi satu dengan daratan Asia dan wilayah Indonesia bagian timur
menjadi satu dengan daratan Australia. Kawasan bagian barat
Indonesia, yaitu Pulau Sumatra, Kälimantan, Jawa dan Bali dan pulau-
pulau kecil disekitarnya merupakan bagian dari Lempeng Eurasia
(Lempeng Sunda) dari super benua Laurasia yang telah mengalami
evolusi geologis yang terpisah dan berbeda dengan kawasan lain dalam
wilayah Indonesia. Daerah ini secara geologis selamanya dipisahkan
dari daratan Irian dan Australia oleh lautan yang dalam dan dangkal.
Irian bersama-sama dengan Australia adalah bagian dari super benua
Gondwana. Lempeng sangat besar ini terdiri atas Antartika, Australia,
India, Amerika Selatan, Selandia Baru dan Kaledonia Baru (Leksono,
2012).
Sekitar seratus juta tahun yang lalu, benua ini bergeser dan dan
melepaskan diri dari posisinya. Benua tersebut bergerak ke arah
ekuator dan membentuk lempeng Australia. Daratan Irian seperti
sekarang ini, menjadi pulau yang terpisah akibat naiknya permukaan
laut yang menutupi lempeng dangkal (Lempeng Australia). Pulau-
pulau diantara Lempeng Sunda dan Lempeng Australia, yaitu
Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku semuanya dahulu merupakan
bagian dari Lempeng Lautan. Lempeng ini adalah hasil dari aktifitas
vulkanik (Leksono, 2012).
Lempeng tektonik Eurasia dengan lempeng Indo-Australia di
bagian selatan pulau jawa berbenturan dengan lempeng tektonik pasifik
di bagian timur sehingga membentuk rangkaian Kepulauan Indonesia
yang diapit oleh dua benua, yaitu Benua Asia dan benua Australia serta
dua Samudera India dan pasifik (Salim, 2019).
Tektonik pada bagian timur Indonesia terbentuk akibat
tumbukan Lempeng IndoAustralia, Pasifik dan Eurasia (Naryanto,
2017). Pulau Sulawesi terbentuk akibat pertemuan lempeng Filipina,
IndoAustralia, Eurasia dan lempeng mikro lain di daerah tersebut.
Cekungan Lempeng Laut Filipina yang terus berotasi menghasilkan
Filipina Timur, Laut Sulawesi, Selat Makassar. Kalimantan berputar ke
arah utara, lempeng belakang Filipina berotasi sebagai akibat dari
gerakan patahan. Rotasi sangat berperan dalam pembentukan Papua
yang bergerak dari selatan ke Sulawesi. Pulau Kalimantan berhenti
berputar, dan selanjutnya terbentuk Pulau Buru, serta Ambon mulai
terbentuk diikuti Papua yang terus bergerak menuju ke Pulau Sulawesi
yang telah terpisah dari benua Australia. Terbentuknya pulau-pulau
kecil di Indonesia terjadi lebih sederhana, yaitu terbentuk dari endapan
pecahan kerang, koral, serta binatang laut lainnya.
Situasi pada masa Glasial tersebut menyebabkan persamaan
flora dan fauna di daerah-daerah yang pernah menjadi satu. Perubahan
alam pada masa lalu kemudian mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap perkembangan kehidupan awal di Kepulauan Indonesia.
Selain kondisi yang terjadi karena suhu bumi yang naik turun harus
dihadapi oleh makhluk hidup masa itu adalah adanya proses
terbentuknya bumi, seperti letusan gunung berapi, pergeseran kulit
bumi, terjadinya sungai, dan timbulnya danau baru (Sardiman, 2007).
Daftar Pustaka
Afolayan, A. D., dan Kehinde, O. 2019. A Philosophical Analysis of
The Rise of Wegener’s Theory of Mobilism. Journal of
Multidisciplinary Engineering Science and Technology. 6(11):
11003-11007.

Hardjono, I. 2006. Hirarki Gempa Bumi dan Tsunami (Aceh, Nias,


Bantul, Pangandaran, dan Selat Sunda). Forum Geografi.
20(2): 135-141.

Leksono, Amin Setyo. 2012. Sejarah Kehidupan: Perspektif Evolusi


dan Kreasi. Malang: UB Press.

Naryanto, H. S. 2017. Potensi Gempa dan Tsunami di Kabupaten


Banggai Laut, Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Sains dan
Teknologi Mitigasi Bencana. 12(2): 46-60.

Noor, D. 2014. Pengantar Geologi. Yogyakarta: Deepublish.

Noverma. 2017. Bahan Ajar: Oseanografi Geologi. Surabaya:


Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya

Pellegrini, P. A. 2019. Styles of Thought on the Continental Drift


Debate. Journal for General Philosophy of Science. 50(!): 85-
102.

Polat, A. 2019. Ali mehmet celâl Şengör: A geologist who unravels the
histories of continents and oceans. Canadian Journal Of Earth
Sciences. 56(12): v-viii.

Romano, M., Console, F., Pantaloni, M., dan Frobisch, J. 2016. One
hundred years of continental drift: the early Italian reaction to
Wegener’s ‘visionary’ theory. Historical Biology. 29(2): 1-22.
Salim, E. 2019. Membangun Kalimantan Secara Berkelanjutan.
Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah. 4(1):
1-6.

Salim, M. A., dan Siswanto, A. B. 2018. Rekayasa Gempa.


Yogyakarta: K-Media.

Sardiman. 2007. Sejarah SMA Kelas X. Jakarta: Yudhistira.

Sarsito, D. A., Susilo., Pradipta, D., dan Andreas, H. 2019. Kontribusi


Pengamatan Geodesi Modern Dalam Memahami Dinamika
Tektonik Di Indonesia: Estimasi Kutub Euler Lempeng Minor
Sunda. Bulletin of Geology. 3(1): 320-327.

Anda mungkin juga menyukai