Kejang Demam
Disusun oleh
Laras Rimadhani
20090310160
Diajukan Kepada :
dr. Anik Dwiani, Sp.A.
Disusun oleh :
Telah dipresentasikan
Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan kejang yang paling sering dijumpai di bidang neurologi
khususnya anak. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak di Amerika Serikat, Amerika
Selatan, Amerika Selatan, dan Eropa Barat, sedangkan kejadian di Asia dilaporkan lebih
tinggi, yakni sekitar 80%. Hampir 90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam
sederhana. Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi bangkitan kejang demam
tidak sama. Pendapat para ahli terbanyak, kejang demam terjadi pada waktu anak berusia
antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun dengan insidensi tertinggi pada usia 18 bulan. Sekitar
6-15% terjadi pada usia >4 tahun. Kejang demam sedikit lebih sering pada anak laki-laki.
(Waruiru & Appleton, 2008).
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
lebih dari 38o C) disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak
usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hipertermia yang
timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus (Soetomenggolo, 2004).
Penyebab demam bisa karena berbagai hal salah satunya akibat penyakit
rhinofaringitis. Rhinofaringitis merupakan salah satu IRA-atas yang banyak terjadi pada
anak. Faringitis dapat disebabkan bakteri atau virus. Streptokokus beta hemolitikus A adalah
bakteri penyebab terbanyak rhinofaringitis akut (15-30%). Virus yang dapat menyebabkan
rhinofaringitis akut adalah Adenovirus, Rhinovirus, virus epstein Barr, virus Parainfluenza
Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosis serta tatalaksana
kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi atau
sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak berumur
berapa.Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal.
Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain
yang menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau
kemunduran kepandaian.
4
Penanganan awal kejang sangat penting, yaitu dengan menghentikan segera menggunakan
diazepam, sedangkan penanganan untuk RFA (Rhinofaringitis Akut) yaitu dengan
meningkatkan daya tahan tubuh dan mengobati kausa.
5
BAB II
Status Pasien
A. Kasus
1. Identitas
Nama : An. M
BB : 14 kg
2. Anamnesis
a. Keluhan utama
Seorang anak perempuan datang ke IGD Rumah Sakit bersama orangtuanya, datang
dengan demam, 2 jam sebelum masuk rumah sakit anak mengalami demam dengan
durasi <5 menit disertai batuk dan pilek. Batuk (+), pilek (+) mual (-) mutah (-), sesak
(-), gusi berdarah (-), BAB (+) BAK (+) cair (-) lendir (-) darah (-), nafsu makan (-).
Ibu pasien mengatakan pasien pernah menderita kejang demam dengan diare cair akut
6
Riwayat ginjal : disangkal
3. Pemeriksaan
Status Gizi: Berat badan berbanding usia -1SD baik (-2 SD sampai -1SD)
Kepala:
7
Leher : Pembesaran limfonodi -.
Thorax :
Jantung
2. Palpasi : iktus kordis teraba pada sela iga ke 4 linea midklavikula sinistra
Paru-paru
Abdomen :
2. Palpasi : turgor baik, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Pemeriksaan Neurologis
8
4. pemeriksaan penunjang
Darah lengkap
Hitung Jenis
Eosinofil 0 2–4 %
Basofil 0 0–1 %
Batang 0 2–5 %
Segmen 79 51 – 67 %
Limfosit 10 20 – 35 %
Monosit 11 4–8 %
Kimia Klinik
Diabetes
GDS 85 80 – 200 mg/dl
Elektrolit
9
Pemeriksaan Morfologi Darah Tepi
vakuolisasi netrofil
Trombosit : kesan jumlah normal, penyebaran merata, tidak ada trombosit besar
5. Follow Up
demam Pasien baru datang dari IGD dengan keluhan - D5% 8 tpm
kaku seluruh badan. Nyeri telan (+). Batuk - Lasal syrup 3 x ¾ cth
O - Diazepam 2 mg (k/p)
kali/menit
10
Kulit: turgor kulit kembali cepat
Thorax:
whezzing -/-
Abdomen
Pemeriksaan Neurologis
11
Akut
29/09/2014 Nyeri telan (+). Batuk berdahak putih jernih - D5% 8 tpm
O - Cefotaxim 3 x 500 mg
kali/menit syr
Thorax:
whezzing -/-
Abdomen
12
- Auskultasi: bising usus (+)
Pemeriksaan Neurologis
30/09/2014 Nyeri telan (+). Batuk berdahak putih jernih, - D5% 8 tpm
pilek (-), BAB (+), BAK (+), muntah (-), mual Injeksi
O - Cefotaxim 3 x 500 mg
kali/menit syr
Thorax:
13
- Auskultasi: vesikuler +/+, ronkhi -/-,
whezzing -/-
Abdomen
Pemeriksaan Neurologis
akut
01/10/2014 Nyeri telan (-), batuk berdahak putih jernih, pilek - D5% 8 tpm
(-) BAB (+), BAK (+), muntah (-), mual (-). Injeksi
O - Ampicillin 3 x 500 mg
14
Kulit: turgor kulit kembali cepat - Paracetamol 3 x 1 ¼
Thorax:
whezzing -/-
Abdomen
Pemeriksaan Neurologis
15
akut
02/10/2014 Nyeri telan (-), batuk berdahak putih jernih - D5% 8 tpm
O - Cefotaxim 3 x 500 mg
kali/menit syr
Thorax: BLPL
whezzing -/-
Abdomen
16
hepatomegali (-), splenomegali (-)
Pemeriksaan Neurologis
akut
6. Diagnosis Kerja
Rhinofaringitis akut
7. Diagnosis Banding
1. Kelainan Intrakranium
o Meningitis
o Encephalitis
o Abses otak
2. Gangguan metabolik
o Hipoglikemi
o Gangguan elektrolit
17
o Sinkop
3. EpilepsiEpilepsi Triggered by Fever (ETOF)
Oleh karena cukup banyaknya diagnosis banding, sangat sulit bagi kita untuk
menentukanpenyakit atau kelainan yang menyebabkan terjadinya bangkitan kejang
tersebut.
18
1. Kejang Demam
Definisi Kejang Demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rectal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam adalah kejang yang terjadi pada anak umur enam bulan sampai lima tahun
dengan suhu lebih dari 38C yang tidak disebabkan karena infeksi sistem syaraf
pusat atau gangguan metabolisme dan tidak memiliki riwayat kejang tanpa demam.
Etiologi Kejang Demam
Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui. Demamnya sering
disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, pneumonia,
bronkopneumonia, bronkhitis, tonsilitis, dan infeksi saluran kemih (Staff Pengajar
IKA FKUI, 2005).
Konvulsi jauh lebih sering terjadi dalam 2 tahun pertama dibanding masa
kehidupan lainnya.Cedera intrakranial saat lahir termasuk pengaruh anoksia dan
perdarahan serta cacat kongenital pada otak, merupakan penyebab tersering pada
bayi kecil.Pada masa bayi lanjut dan awal masa kanak-kanak, penyebab tersering
adalah infeksi akut.Penyebab yang lebih jarang pada bayi adalah tetani, epilepsi
idiopatik, hipoglikemia, tumor otak, asfiksia, perdarahan intrakranial spontan serta
trauma postnatal (Soetomenggolo, 2004).
19
Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna) 22
Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi 44
Bronkitis (radang saiuran nafas) 17
Bronkopeneumonia (radang paru dan 38
salurannafas)
12
Morbili (campak)
1
Varisela (cacar air)
1
Dengue (demam berdarah)
66
Tidak diketahui
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya
akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa
gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
20
1. Kejang lama > 15 menit.
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Faktor Resiko Terjadinya Kejang Demam
Faktor-faktor yang terjadinya kejang demam menurut Friedman (2006), yaitu:
Pengalaman demam yang sering
Kejang yang terjadi pada suhu yang relatif rendah
Gangguan tumbuh kembang
Suhu tubuh lebih dari 39C
Demam yang terjadi kurang dari dua jam
Riwayat kejang pada keluarga terdekat (orang tua dan saudara kandung)
Usia anak kurang dari dua tahun
Riwayat asfiksia
Diagnosis Kejang Demam
Langkah diagnostik untuk kejang demam adalah (Pusponegoro, Widodo,
Ismael, 2006):
Anamnesis
a. Adanya kejang, sifat kejang, bentuk kejang, kesadaran selama dan setelah
kejang, durasi kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, interval antara 2
serangan kejang, penyebab demam di luar susunan saraf pusat.
b. Riwayat demam sebelumnya (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan,
menetap atau naik turun).
c. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai
demam atau epilepsi).
d. Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi).
e. Riwayat trauma kepala.
f. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.
g. Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, dan
lain-lain).
h. Singkirkan penyebab kejang lainnya.
21
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah:
a. Tingkat kesadaran
b. Tanda rangsang meningeal
Umumnya pada kejang demam tidak dijumpai adanya kelainan neurologis.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah tepi lengkap, gula darah, elektrolit, kalsium serum,
urinalisis, biakan darah, urin atau feses.
b. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk
menyingkirkan meningitis, terutama pada pasien kejang demam pertama.
Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas, sehingga pungsi
lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan
dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Berdasarkan penelitian,
cairan serebrospinal yang abnormal umumnya diperoleh pada anak dengan
kejang demam yang:
- Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh: kaku kuduk)
- Mengalami komplex partial seizure
- Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48
jam sebelumnya)
- Kejang saat tiba di IGD
22
- Keadaan post ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga
sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
- Kejang pertama setelah usia 3 tahun.
Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika
tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan
kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang
telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat
tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu lumbal pungsi sangat dianjurkan
untuk dilakukan (American Academy of Pediatrics, 1999).
Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
c. EEG dipertimbangkan pada kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang
demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam
fokal.
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan
otak. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam
yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit neurologis (American Academy
of Pediatrics, 1999). Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG
yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan
23
setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa
yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang
abnormal setalah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif
terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi (Hendarto,
2002).
EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang
yang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Perlambatan
ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang
dan ditemukan pada 33% pasien bila EEG dilakukan tiga sampai tujuh
hari setelah serangan kejang. Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan
untuk pasien kejang demam sederhana (Hendarto, 2002).
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi
pada pasien kejang demam. Oleh karenanya, tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang
tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6
tahun atau kejang demam fokal (Hendarto, 2002).
d. Pencitraan
Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography Scan (CT-
scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan,
tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti :
Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
Kemungkinan lesi struktural otak (mikrocephal, spastik)
Paresis nervus VI
Papil edema
Riwayat atau tanda klinis trauma
Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston yang
telah dimodifikasi, yang merupakan pedoman yang dipakai oleh Sub Bagian
Saraf Anak IKA FKUI-RSCM Jakarta, yaitu:
24
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu setelah suhu normal
tidak menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
Penatalaksanaan
Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu:
pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab dan pengobatan profilaksis
terhadap berulangnya kejang demam (Tumbelaka, 2005).
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan
adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat –
obatan antipiretik sangat diperlukan. Obat – obatan yang dapat digunakan sebagai
antipiretik adalah asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam atau
ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam (American Academy of Pediatrics,
1999).
25
berlangsung, bawa pasien ke klinik atau rumah sakit terdekat.
2. Di Rumah Sakit
Saat tiba di klinik atau rumah sakit, bila belum terpasang cairan
intravena, dapat diberikan diazepam per rektal ulangan 1 kali, sambil
mencari akses vena. Sebelum dipasang cairan intravena, sebaiknya
dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan darah tepi, elektrolit,
dan gula darah sesuai indikasi.
Pengobatan Profilaksis
27
menerus hanya diberikan jika kejang demam mempunyai ciri sebagai berikut
(salah satu / lebih)
Pasien kejang demam dirawat di rumah sakit pada keadaan berikut (Pedoman
Pelayanan Medis, IDAI, 2010):
Komplikasi
28
Walaupun kejang demam dapat menyebabkan kekhawatiran dan mengambil
perhatian yang besar dari orang tua, sebagian besar kejang demam tidak
menimbulkan efek yang menetap.Kejang demam jika diterapi dengan tepat, tidak
menyebabkan kerusakan otak, retardasi mental, gangguan belajar, atau epilepsi
dikemudian hari.
Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik
dan tidak menyebabkan kematian.Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya
kejang berkisar antara 25%-50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang
demam tergantung dari faktor:
Rhinitis
29
Rhinitis atau dikenal juga sebagai Common cold, Coryza, Cold atau salesma adalah
salah satu dari penyakit IRA-atas tersering pada anak. Anak-anak lebih sering
mengalami rinitis daripada dewasa. Rata-rata mereka mengalami 6-8 kali rinitis
pertahun, sedangkan orang mengalami 6-8 kali kali pertahun, sedangkan orang
dewasa 2-4 kali pertahun. Rinitis adalah infeksi virus akut yang sangat menular.
Rinitis ditandai dengan pilek, bersin, hidung tersumbat, iritasi tenggorokan, serta
dapat disertai dengan atau tanpa demam. Hampir semua rinitis disebabkan oleh
virus.
Definisi
Rinitis merupakan istilah konvensional untuk infeksi saluran pernafasan atas ringan
dengan gejala utama hidung buntu, adanya sekret hidung, bersin, nyeri tenggorok,
dan batuk. Infeksi ini terjadi secara akut, dapat sembuh spontan, dan merupakan
penyakit yang paling sering diderita manusia.
Etiologi
Kategori Mikroorganisme
Penyebab rinitis terbanyak Rhinovirus
Virus Parainfluenza
RSV
Coronavirus
Dapat menyebabkan rinitas Adenovirus
Enterovirus
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Reovirus
Mycoplasma pneumonia
Jarang menyebabkan rinitis Coccidiodes immitis
Histoplasma Capsulatum
Bordatella Pertusis
Chlamydia psitacci
Coxiella Burnetti
30
Sumber: Herendeen EN, Szilagy GP. Infection of the upper respiratory tract.
Dalam: Behrman ER, Kliegman MR, Jenson HB, penyunting. Edisi ke-16.
Textbook of pediatrics. Philadelphia.
Gejala Klinis
Gejala rinitis timbul setelah masa inkubasi yang sangat bervariasi antar virus.
Gejala klinis pada infeksi Rhinovirus terjadi 10-12 jam setelah inokulasi intranasal,
sedangkan masa inkubasi virus Influenza adalah 1-7 hari. Secara umum, keparahan
gejala meningkat secara cepat, mencapai puncak dalam 2-3 hari, dan setelah itu
membaik. Rata-rata lama terjadinya rinitis adalah 7-14 hari, tetapi pada beberapa
pasien gejala dapat menetap hingga tiga minggu. Sekret di hidung dan demam
merupakan gejala yang sering ditemukan selama tiga hari pertama. Secret hidung
yang semula encer dan jernih akan berubah menjadi kental dan purulen. Sekret
yang purulen tersebut tidak selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, tetapi
berhubungan dengan peningkatan jumlah sel PMN. Secret berwarna putih atau
kuning berhubungan dengan adanya sel PMN, sedangkan sekret berwarna
kehijauan disebabkan oleh aktivitas enzim sel PMN
Gejala lain meliputi nyeri tenggorok, batuk, rewel, gangguan tidur, dan
penurunan nafsu makan. Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda yang khas, tetapi
dapat dijumpai edema dan eritema mukosa hidung serta limfadenopatiservikalis
anterior.
Diagnosis
31
kadang sulit dibedakan dengan gejala pada faringitis karena Streptokokus. Akan
tetapi, hidung buntu dan nasal discharge yang merupakan gejala utama rinitis tidak
dijumpai pada faringitis karena Streptokokus.
Tatalaksana
Faringitis
Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis
sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus
merupakan etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak 3 tahun
(prasekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus,
dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis tetapi disertai dengan
gejala infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan limfadenopati generalisata.
Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak, Cytomegalovirus (CMV), virus
Rubella, dan berbagai virus lainnya juga dapat menunjukkan gejala faringitis akut.
32
Streptococcus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak
faringitis akut. Bateri tersebut mencakup 15-30% (diluar kejadian endemik) dari
penyebab faringitis akut pada anak, sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10%
kasus. Streptokokkus Grup A biasanya bukan merupakan penyebab yang umum
pada anak usia prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi outbreak di tempat
penitipan anak (day care).
Patogenesis
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang
kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi
mukosa faring sekunder akibat sekrei nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan
nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi
dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga
menyebabkan eritema faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptoccous ditandai
dengan invasi lokal serta pengelapasan toksi ekstaseluler dan protease. Transmisi
dari virus yang khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan
sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa
inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam.
Manifestasi klinis
Pada pemeriksaan fisis tidak, tidak semua pasien faringitis akut Streptokokus
menunjukan tanda infeksi Streptokokus, yaitu eritema pada tonsil dan faring yang
disertai dengan pemebesaran tonsil. Faringitis Streptokokus sangat mungkin jika
dijumpai gejala dan tanda berikut:
33
awitan akut, disertai mual dan muntah
Faring hiperemis
demam
nyeri tenggorokan
tonsil bengkak dengan eksudasi
Kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
uvula bengkak dan merah
eksoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
ruam skarlatina
petekie palatum mole
Sedangkan bila dijumpai gejala dan tanda berikut ini, maka kemungkinan
besar bukan faringitis streptokokus:
Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris, mudah berdarah, dan
berwarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meluas dari batas anterior
tonsil hingga ke palatum mole dan/ \atau ke uvula.
Tanda faringitis virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole dan
dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan
eksudat pada faringitis Streptokokus. Gejala yang timbul dapat menghilang dalam
24 jam, berlangsung 4-10 hari, jarang ditemukan komplikasi, dan memiliki
prognosis yang baik.
Diagnosis
34
Sulit untuk membedakan antara faringitis Stretokokus dan faringitis virus
hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Baku emas penegakan
diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari
apusan tenggorok.
Tatalaksana
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan
mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat
cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif yang dapat
diberika. Selain itu, pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap),
pada anak yang cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila
terdapat nyeri yang berlebih atau demam, dapat diberikan paracetamol atau
ibuprofen.
Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan pada gejala klinis dan
hasil kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorok. Akan tetapi, hingga saat
ini masih terdapat pemberian antibiotik yang tidak rasional untuk kasus faringitis
akut. Salah satu penyebabnya adalah terdapat overdiagnosis faringitis menjadi
faringitis akut Streptokokus, dan memberikan antibiotik karena khawatir dengan
salah satu komplikasinya, berupa demam reumatik.
Komplikasi
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Beberapa kasus
dapat berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri dan
virus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang cukup luas. Komplikasi
faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara hematogen. Akibat
perluasan langsung, faringitis dapat berlanjut menjadi rinosinusitis, otitis media,
mastoiditis, adenitis servikal, abses retrofaringeal atau parafaringeal, atau
mengakibatkan meningitis, osteomielitis, atau artritis septik, sedangkan komplikasi
nonsupuratif berupa demam reumatik dan glomerulonefritis.
35
36
Daftar Pustaka
1. Abdoerrahman. (2002). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UI
2. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediatric II : Kejang Pada
Anak. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002.
3. Baumann RJ. Technical Report: Treatment of The Child with Simple Febrile
Seizures. 2004. http://www.pediatric.org/egi/content/full/103/e86.
4. Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta. EGC
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2004. Kejang Demam. Dalam : Standar Pelayanan
Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI : 209.
6. Ikatan Dokter Indonesia. 2013. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. IDI
7. Kundu, G.K., Rabin, F., Nandi, E., Sheikh, N., Akhtar, S. (2010). Etiology and risk
factor febrile seizure – an update. G.K. Bangladesh J. Child Health, 34, 103-112
8. Paul, S; Blaikley, S.; Chintapalli, R. (2012). Clinical update : febrile convulsion in
childhood. Community Practicioner. Swindon, 85(7), 36-38
9. Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., Setyanto, D.B. (2008). Buku Ajar Respirologi Anak.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI
10.
37