Anda di halaman 1dari 21

KESELAMATAN PASIEN DAN

K3 DALAM KEPERAWATAN

DISUSUN OLEH:
Kelompok 2
1. Ulpah
2. Dinanti lestari
3. Pathiah
4. Pipit pratika airin
5. Muthmainnah
6. Karimatannisa
7. Zulia desnita
8. Suhelvi citri
Capaian pembelajaran 1

Membedakan berbagai risiko dan hazard K3 pada pasien dan perawat dalam setiap tahap
pemberian asuhan keperawatan

Pokok Bahasan

1. Prinsip dan konsep keselamatan pasien

Patient safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk : assesment resiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insident dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
dilakukan (DepKes RI, 2006).

Standar I. Hak pasien

Standar:

Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan
hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
Kriteria:

1.1.            Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.

1.2.            Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.

1.3.            Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan
benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau
prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya insiden.

Standar II. Mendidik pasien dan keluarga

Standar:

Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab
pasien dalam asuhan pasien.

Kriteria:

Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang
merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di rumah sakit harus ada sistem dan
mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien
dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat:

1. Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.

2. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.

3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.

4. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.

5. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.

6. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.

7. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.


Standar III. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan

Standar:

Rumah Sakit menjamin keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.

Kriteria:

3.1.            Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk,
pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien
keluar dari rumah sakit

3.2.            Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan
transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.

3.3.            Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk


memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan
rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.

3.4.            Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat
tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.

Standar IV.    Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan


evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien

Standar:

Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan
melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

Kriteria:

4.1.      Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik, mengacu
pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah
klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi
pasien sesuai dengan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.

4.2.      Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait
dengan: pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.

4.3.      Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua insiden, dan
secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi.

4.4.      Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk
menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.

Standar V.     Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

Standar:

1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan  pasien secara


terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien
Rumah Sakit “.

2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko


keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi insiden.

3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan
individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.

4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan
meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien.

5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja


rumah sakit dan keselamatan pasien.

Kriteria:

5.1.      Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.

5.2.      Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program
meminimalkan insiden.
5.3.      Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit
terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.

5.4.      Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang
terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan
jelas untuk keperluan analisis.

5.5.      Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden termasuk
penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang Analisis Akar Masalah “Kejadian Nyaris
Cedera” (Near miss) dan “Kejadian Sentinel’ pada saat program keselamatan pasien mulai
dilaksanakan.

5.6.      Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden, misalnya menangani
“Kejadian Sentinel” (Sentinel Event) atau kegiatan proaktif untuk memperkecil risiko, termasuk
mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan “Kejadian Sentinel”.

5.7.      Terdapat kolaboratoriumorasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar
pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan pendekatan antar disiplin.

5.8.      Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan perbaikan
kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap
kecukupan sumber daya tersebut.

5.9.      Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif untuk
mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana
tindak lanjut dan implementasinya.

Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

Standar:

1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan
mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.

2. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk


meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisipliner
dalam pelayanan pasien.
Kriteria:

6.1.      Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf
baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masing-masing.

6.2.      Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap
kegiatan in-service training  dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.

6.3. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok
(teamwork) guna mendukung pendekatan interdisipliner dan kolaboratoriumoratif dalam rangka
melayani pasien.

Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staff untuk mencapai keselamatan pasien

Standar:

1. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan


pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.

2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Kriteria:

7.1.      Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk
memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.

7.2.      Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi
manajemen informasi yang ada.
Capaian pembelajaran 2

Pengaruh faktor lingkungan dan manusia pada keselamatan pasien

Pokok bahasan

A. Lingkungan fisik dan akreditasi rumah sakit

Lingkungan fisik rumah sakit yaitu ukuran rumah sakit dan status akreditasi sakit juga
merupakan faktor yang mempengaruhi penerapan budaya pasien.Rumah sakit kecil mencetak
frekuensi pelaporan insiden keselamatan pasien lebih tinggi disbanding RS besar, serta memiliki
persepsi tinggi mengenai keselamatan pasien. Rumah sakit besar biasanya selalu menghadapi
tantangan yang datang terutama untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih berkualitas, akibat
birokrasi yang ada. Sebaliknya rumah sakit kecil memiliki budaya yang lebih homogen di mana
anggotanya lebih mungkin dan mudah untuk membagi nilai-nilai yang sama terutama mengenai
keselamatan pasien. Rumah sakit yang terakreditasi dikatakan memiliki anggota dengan persepsi
dan frekuensi pelaporan insiden keselamatan pasien lebih tinggi dibandingkan rumah sakit non-
akreditasi (Jardali et al, 2011).

B.

Karakteristik perawat pelaksana

Kinerja atau performance dalam suatu organisasi kesehatan tergantung pada pengetahuan,
keterampilan, dan motivasi pekerja kesehatan itu sendiri (Negussie,).Karakteristik perawat
merupakan ciri-ciri individu yang melekat pada dirinya yang memengaruhi performance.

1) Usia

Kemampuan dan keterampilan seseorang seringkali dihubungkan dengan usia, sehingga


semakin lama usia seseorang maka pemahaman terhadap masalah akan lebih dewasa dalam
bertindak, dan berpengaruh terhadap produktivitas dalam bekerja (Depkes RI, 2002 dalam
Hasmoko, 2008). Penelitan oleh Setiowati (2010) menyatakan usia perawat pelaksana
berhubungan positif dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Hal tersebut didukung oleh
penelitian oleh Nurmalia (2012) yang menyatakan usia dewasa muda dianggap lebih mudah
menerima perubahan sehingga mempengaruhi dalam mempersepsikan budaya keselamatan pasien.

2) Tingkat pendidikan perawat

Pendidikan merupakan suatu metode pengembangan organisasi dimana staf mendapatkan


pengetahuan dan keterampilan untuk tujuan positif dan staf mendapat pengetahuan yang penting
untuk penampilan kinerjanya dalam hal kognitif, psikomotor, dan sikap.Pendidikan adalah
indikator yang menunjukkan kemampuan individu untuk menyelesaikan pekerjan yang menjadi
tanggung jawabnya (Hasibuan, 2008).Latar belakang pendidikan perawat berpengaruh terhadap
penerapan keselamatan pasien. Survey berdasarkan evidence based di New Zealand, Amerika
Serikat, dan Thailand menyebutkan ada kenaikan insidensi faktor penyebab kematian pasien di RS
pada tenaga perawat dengan latar belakang pendidikan campuran dan terdapat penurunan pada
ketenagaan yang sudah teregistrasi (Ridley, 2008).

3) Masa kerja

Masa kerja adalah jangka waktu yang dibutuhkan seseorang dalam bekerja sejak mulai
masuk dalam lapangan pekerjaan, semakin lama seseorang bekerja semakin terampil dan
berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya (Siagian, 2000 dalam Zakiyah, 2012). Masa
kerja akan memberikan pengalaman kerja yang lebih banyak pada seseorang. Pengalaman kerja
berhubungan dengan kinerja seseorang.Hasil penelitian oleh Setiowati (2012) menunjukkan ada
hubungan positif antara masa kerja dengan penerapan budaya keselamatan pasien.

Capaian pembelajaran 3

Cara untuk meningkatkan keselamatan pasien dengan menggunakan metode peningkatan


kualitas

Pokok bahasan

Standar keselamatan pasien menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Pasal 7 ayat (2) meliputi:

1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

Selanjutnya Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan tersebut diatas mewajibkan setiap Rumah
Sakit untuk mengupayakan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien yang meliputi tercapainya 6
(enam) hal sebagai berikut:

1. Ketepatan identifikasi pasien


2. Peningkatan komunikasi yang efektif
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai
4. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi
5. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
6. Pengurangan risiko pasien jatuh.

Dalam rangka menerapkan Standar Keselamatan Pasien, menurut Pasal 9 Peraturan


Menteri Kesehatan tersebut diatas, Rumah Sakit melaksanakan Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang terdiri dari:

1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien


2. Memimpin dan mendukung staf
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Mengembangkan sistem pelaporan
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.

Asosiasi perumahsakitan dan organisasi profesi kesehatan menurut Pasal 10 Peraturan


Menteri Kesehatan tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, wajib berperan serta dalam
persiapan penyelenggaraan Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Pasal 6


mewajibkan setiap Rumah Sakit membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS)
yang ditetapkan oleh Kepala Rumah Sakit sebagai pelaksana kegiatan keselamatan pasien.
TKPRS bertanggung jawab kepada Kepala Rumah Sakit.
Keanggotaan TKPRS terdiri dari manajemen Rumah Sakit dan unsur dari profesi kesehatan di
Rumah Sakit.
Tugas TPKRS adalah :

1. Mengembangkan program keselamatan pasien Rumah Sakit sesuai dengan kekhususan


Rumah Sakit tersebut
2. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan pasien Rumah
Sakit
3. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi, pemantauan
(monitoring) dan penilaian (evaluasi) tentang terapan (implementasi) program keselamatan
pasien Rumah Sakit
4. Bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan Rumah Sakit untuk melakukan
pelatihan internal keselamatan pasien Rumah Sakit
5. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta mengembangkan solusi
untuk pembelajaran
6. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada Kepala Rumah Sakit dalam rangka
pengambilan kebijakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit
7. Membuat laporan kegiatan kepada Kepala Rumah Sakit.

Capaian pembelajaran 4

Budaya dalam lingkup kerja perawat dalam peningkatan keselamatan pasien

Pokok bahasan

A. Definisi Budaya Keselamatan Pasien

Menurut Blegen (2006)dalam Hamdani (2007), budaya keselamatan pasien adalah


persepsi yang dibagikan diantara anggota organisasi ditujukan untuk melindungi pasien
dari kesalahan tata laksana maupun cidera akibat intervensi. Persepsi ini meliputi
kumpulan norma, standar profesi, kebijakan, komunikasi dan tanggung jawab dalam
keselamatan pasien. Budaya ini kemudian mempengaruhi keyakinan dan tindakan
individu dalam memberikan pelayanan.Budaya keselamatan pasien merupakan bagian
penting dalam keseluruhan budaya organisasi yang diperlukan dalam istitusi kesehatan.
Budaya keselamatan didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan, norma, perilaku,
peran, dan praktek sosial maupun teknis dalam

meminimalkan pajanan yang membahayakan atau mencelakakan karyawan,

manajemen, pasien, atau anggota masyarakat lainnya.


B. Manfaat budaya keselamatan pasien
Menurut Bird (2005) dalam Hamdani (2007) manfaat budaya keselamatan pasien
antara lain:
1. Organisasi lebih tahu jika adakesalahan yang akan terjadi atau jika kesalahan
telah terjadi
2. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang
terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian sama yang berulang kembali
dan keparahan dari keselamatan pasien.
3. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error
dan melaporkan jika ada kesalahan.
4. Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena
kesalahan yang telah diperbuat
5. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang mengalami insiden
umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan dan pengobatan
yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien.
6. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi.
7. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan dalam menangani keluhan
pasien.
C. Komponen budaya keselamatan pasien

Menurut Reson (1997) dalam Hamdani (2007) budaya keselamatan terdiri


dari empat komponen (subculture) yaitu:

1. Informed culture. Budaya dimana pihak yang mengatur dan mengoperasikan


sistem memiliki pengetahuan terkini tentang faktor-faktor yang menjelaskan
keselamatan dalam suatu sistem.‟
2. Reporting culture. Budaya dimana anggota di dalamnya siap untuk melaporkan
kesalahan atau near miss. Pada budaya ini organisasi dapat belajar dari
pengalaman sebelumnya. Konsekuensinya makin baik reporting culture maka
laporan kejadian akan semakin meningkat,
3. Just culture. Budaya membawa atmofer trust sehingga anggota bersedia dan
memiliki motivasi untuk memberikan data dan informasi serta sensitif
terhadap perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Termasuk di
dalamnya lingkungan non punitive (no blame culture) bila staf melakukan
kesalahan. Penting bagi setiap level di organisasi untuk bersikap jujur dan
terbuka.
4. Learning culture. Budaya dimana setiap anggota mampu dan bersedia untuk
menggali pengetahuan dari pengalaman dan data yang diperoleh serta
kesediaan untuk mengimplementasikan perubahan dan perbaikan yang
berkesinambungan (continous improvement). Learning culture merupakan budaya
belajar dari insiden dan near miss.

Capaian pembelajaran 5

Penyebab terjadinya adverse event terkait prosedur invasive

Pokok bahasan

Adverse Event atau kejadian tidak diharapkan (KTD), merupakan suatu kejadian yang
mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission) dan bukan karena “underlying
disease” atau kondisi pasien. Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostic seperti
kesalahan atau keterlambatan diagnose, tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan
cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau
observasi. Sedangkan pada tahap pengobatan seperti kesalahan pada prosedur pengobatan,
pelaksanaan terapi, metode penggunaan obat dan keterlambatan merespon hasil pemeriksaan
asuhan yang tidak layak.

Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan


mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya adalah adverse event yang
ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak
dicatat, atau justru luput dari perhatian kita semua (Weiner et.all, 2007).

American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees mengidentifikasikan bahwa


keselamatan dan keamanan pasien (patient safety) merupakan sebuah prioritas yang strategis.
Mereka juga menetapkan capaian peningkatan yang terukur untuk medication safety sebagai target
utamanya. Tahun 2000, Institute of Medicine Amerika Serikat, dalam “TO ERR IS HUMAN,
Building a Safer Health System” Melaporkan bahwa dalam pelayanan pasien rawat inap di rumah
sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/Adverse Event).Menindaklanjuti
penemuan ini, tahun 2004, WHO mencanangkan World Alliance for Patient Safety, program
bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit.

Di Indonesia, telah dikeluarkan KepMen nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang pedoman


audit medis di rumah sakit, yang tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan medis
prima di rumah sakit yang jauh dari medical error dan memberikan keselamatan bagi pasien.

Capaian pembelajaran 6

K3 dalam keperawatan : pentingnya, tujuan, manfaat dan etika

Pokok bahasan

Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) adalah bidang yang terkait dengan kesehatan,
keselamatan, dan kesejahteraan manusia yang bekerja di sebuah institusi maupun lokasi
proyek.Tujuan K3 adalah untuk memelihara kesehatan dan keselamatan lingkungan kerja. K3 juga
melindungi rekan kerja, keluarga pekerja, konsumen, dan orang lain yang juga mungkin
terpengaruh kondisi lingkungan kerja.

Kesehatan dan keselamatan kerja cukup penting bagi moral, legalitas, dan finansial. Semua
organisasi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pekerja dan orang lain yang terlibat tetap
berada dalam kondisi aman sepanjang waktu.Praktek K3 (keselamatan kesehatan kerja) meliputi
pencegahan, pemberian sanksi, dan kompensasi, juga penyembuhan luka dan perawatan untuk
pekerja dan menyediakan perawatan kesehatan dan cuti sakit. K3 terkait dengan ilmu kesehatan
kerja, teknik keselamatan, teknik industri, kimia, fisika kesehatan, psikologi organisasi dan
industri, ergonomika, dan psikologi kesehatan kerja.

Tujuan

- Mewujudkan lingkungan kerja yang aman, nyaman dan selamat;

- Mewujudkan tenaga kerja yang sehat dan produktif;

- Mewujudkan laboratorium yang berkualitas dan terpercaya;

- Mewujudkan sistem informasi hiperkes dan keselamatan kerja.

Manfaat Prosedur Kerja K3

Manfaat prosedur kerja k3 ini tidak hanya berdampak pada karaywan akan tetapi juga berdapak
pada perusahaan itu sendiri.Berikut ini manfaat yang bisa diambil jika perusahaan itu menerapkan
prosedur kerja K3:

· Pekerjaan merasa aman melakukan pekerjaannya dan perusahaan juga diuntungkan karena.
tidak harus mengeluarkan biaya penyembuhan terhadap karyawan yang celakan akbit kerja.

· Hemat waktu – karena kawayan tidak harus berfikir panjang dan hanya mengikuti prosedur
yang telah diterapkan.

Etika

 Otonomi (Autonomi)

 Beneficence (Berbuat Baik)

 Justice (Keadilan)

 Non-maleficence (tidak merugikan)

 Veracity (Kejujuran)

 Fidelity (Menepati janji)

 Confidentiality (Kerahasiaan)
 Accountability (Akuntabilitasi)

Capaian pembelajaran 7

Ruang lingkup K3 dalam keperawatan

Pokok bahasan

Ruang lingkup hyperkes dapat dijelaskan sebagai berikut (Rachman, 1990) :

A. Kesehatan dan keselamatan kerja diterapkan di semua tempat kerja yang di dalamnya
melibatkan aspek manusia sebagai tenaga kerja, bahaya akibat kerja dan usaha yang
dikerjakan.
B. Aspek perlindungan dalam hyperkes meliputi :
1. Tenaga kerja dari semua jenis dan jenjang keahlian
2. Peralatan dan bahan yang dipergunakan
3. Faktor-faktor lingkungan fisik, biologi, kimiawi, maupun sosial.
4. Proses produksi
5. Karakteristik dan sifat pekerjaan
6. Teknologi dan metodologi kerja
C. Penerapan Hyperkes dilaksanakan secara holistik sejak perencanaan hingga perolehan hasil
dari kegiatan industri barang maupun jasa.
D. Semua pihak yang terlibat dalam proses industri/ perusahaan ikut bertanggung jawab atas
keberhasilan usaha .

Capaian pembelajaran 8

Kebijakan K3 yang berkaitan dengan keperawatan di Indonesia

Pokok bahasan

Kebijakan K3 Nasional

Visi, Misi, Kebijakan Kerja Keselamatan dan  Kerja (K3) Nasional 2007 – 2010.

Visi

Terwujudnya budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia

Misi

1. Meningkatkan koordinasi yang sinergis antar pengandil (stakeholders) bidang K3

2. Meningkatkan kemandirian dunia usaha dalam menerapkan K3

3. Meningkatkan kompetensi dan daya saing tenaga kerja di bidang K3

Kebijakan

1. Peningkatan koordinasi berdasarkan kemitraan yang saling mendukung.

2. Pemberdayaan pengusaha, tenaga kerja dan pemerintah agar mampu menerapkan dan
meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja.

3. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan regulator.

4. Penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) sebagai bagian


yang tidak terpisahkan dari manajemen perusahaan.
5. Pemahaman dan penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja yang berkelanjutan.

Relevansi kebijakan K3 Nasional dengan tugas perawat :

1) pemberi Asuhan Keperawatan

2) penyuluh dan konselor bagi Klien

3) pengelola Pelayanan Keperawatan

4) peneliti Keperawatan

5) pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang

6) pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.

Capaian pembelajaran 9

Konsep dasar K3 : sehat, kesehatan kerja, risiko & hazard dalam pemberian asuhan
keperawatan (somatic, perilaku, lingkungan, ergonomic, pengorganisasian pekerja, budaya
kerja)

Pokok bahasan

Konsep Kebijakan K3

Organisasi buruh internasinal ILO mengeluarkan guidline untuk pelaksanaan OHS managemen


mulai dari tingkat nasional sampai pada tingkat perusahaan. Menurut ILO-OSH guidline ini,
kebijakan K3 tingkat nasional menekankan hal-hal berikut [ILO-OSH 2001]:
1. Manajemen K3 harus merupakan bagian integral dari keseluruhan manajemen organisasi.
2. Memfasiltasi kegiatan K3 baik tingkat nasional dan organisasi.
3. Keterlibatan pekerja atau perwakilan pekerja pada tingkat organisasi.
4. Melaksanakan perbaikan terus menerus terhadap biroksrasi, administrasi dan biaya.
5. Kerjasama antar instansi terkait dalam kerangka manajemen K3
6. Melakukan evaluasi berkala terhadap efektifitas kebijakan K3 nasional.
7. Mempublikasikan manajemen K3
8. Memastikan manajemen K3 diberlakukan sama terhadap kontraktor, pekerja kontrak dan
pekerja tetap.
Capaian pembelajaran 10

Risiko & hazard dalam pengkajian asuhan keperawatan

Pokok bahasan

1. Pelecehan verbal saat berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya


2. Kekerasan fisik pada perawat ketika melakukan pengkajian
3. Pasien dan keluarga acuh tak acuh dengan pertanyaan yang diajukan perawat
4. Resiko tertular penyakit dengan kontak fisik maupun udara saat pemeriksaan fisik
5. Perawat menjadi terlalu empati dengan keadaan pasien dan keluarganya
Capaian pembelajaran 11

Risiko & hazard dalam perencanaan asuhan keperawatan

Pokok bahasan

1. Perencanaan tindakan asuhan keperawatan tidak sesuai dengan apa yang harus diberikan
kepada pasien
2. Perawat tidak mengetahui rencana tindakan apa yang harus diberikan kepada pasien

Capaian pembelajaran 12

Risiko & hazard dalam implementasi asuhan keperawatan

Pokok bahasan

1. Perawat tidak kompeten dalam memberikan tindakan asuhan keperawatan


2. Perawat beresiko terhadap tindakan yang di lakukan tidak menggunakan standar oprasional
prosedur
3. Perawat gagal dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan
4. Tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan rencana tindakan

Capaian pembelajaran 13

Risiko & hazard dalam evaluasi asuhan keperawatan


Pokok bahasan

1. Perawat tidak mampu mengumpulkan data-data pasien , dan pasien berisiko terlalu lama
dirumah sakit.
2. Risiko pasien terlalu lama dirumah sakit pasien tertular berbagai macam penyakit yang ada
dalam ruangan maupun ruangan luar .
3. Tidak ada peningkatan pada hasil evaluasi asuhan keperawatan

Anda mungkin juga menyukai