Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka tentang Tanah


A. Hukum Tanah Nasional
Kata tanah disini atau land memiliki definisi yang luas, jika
diterjamahkan secara harfiah, maka terdapat banyak definisi mengenai
tanah. Menurut Prof Boedi Harsono, tanah ialah permukaan bumi yang
penggunaannya meliputi Sebagian tubuh bumi yang berada
dibahawahnya dan Sebagian dari ruang yang ada diatasnya, dengan
pembatasan dalam Pasal 4 UUPA yang berisikan
Dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ini
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Maka dari itu penjelasan nya pun bermakna bahwa
kekuasaan yang diberikan kepada Negara atas bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu meletakkan kewajiban kepada
Negara untuk mengatur pemilikan dan untuk memimpin penggunanya,
hingga semua tanah yang ada diseluruh wilayah Negara Indonesia ini
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemakmuran
rakyat dapat tercapai apabila kebutuhan rakyat itu sendiri dapat terpenuhi,
kebutuhan yang dimaksud misalnya seperti :
 Wisma, merupakan tanah yang digunakan untuk tempat tinggal
 Karya, merupakan tanah tempat dimana manusia melakukan
kegiatan usahanya
 Marga, merupakan tanah sarana perhubungan
 Suka, merupakan penyediaan tanah untuk sarana rekreasi
 Penyempurna, merupakan tanah yang digunakan untuk pertanahan
dan keamanan, tempat peribadatan, sarana pendidikan, kesehatan
dan lain-lain.
Hak-hak penguasaan atas tanah menurut hukum tanah nasional ini
diatur didalam UUPA, yaitu sebagai berikut :
1. Hak Bangsa Indonesia
Hak Bangs Indonesia ini diatur didalam Pasal 1 angka 1 sampai
dengan angka 3 UUPA, hak bangsa Indonesia disini merupakan
hubungan hukum antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang
angkasa Indonesia termasuk pula kekayaan alam yang terkandung
didalamnya. Kaitannya dengan tanah, hak bangsa Indonesia dengan
tanah yang terdapat diseluruh wilayah Indonesia ini sifatnya abadi. Hal
tersebut ditegaskan dalam Penjelasan Umum UUPA huruf II, selama
rakyat Indonesia yang Bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan
selama bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia ini masih ada pula dalam
keadaan yang bagaimanapun, tidak ada suatu kekuasaan yang dapat
memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
Hak bangsa Indonesia ini termasuk hak penguasaan atas tanah
yang tertinggi dalam hukum tanah nasional, hak penguasaan atas tanah
yang lain secara langsung dan tidak langsung ini bersumber kepada hak
bangsa Indonesia. Hak bangsa ini mengandung dua unsur, yaitu unsur
kepunyaan dan unsur tugas kewenangan yang berfungsi untuk mengatur
dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang
dimilikinya. Hak bangsa atas tanah bersama ini bukan merupakan hak
kepemilikan dalam pengertian yuridis. Berhubungan dengan hal tersebut
dalam rangka hak bangsa dan hak milik perseorangan atas tanah. Tugas
kewenangan ini untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan
tanah bersama untuk pelaksanaanya dilimpahkan kepada Negara.
2. Hak Menguasai Negara
Hak Menguasai Negara ini diatur didalam Pasal 2 ayat (1) UUPA,
Negara disini memiliki kewenangan untuk mengatur dan menentukan
mengenai pemberian dan/ atau pemilikan hak-hak atas tanah tersebut
kepada pemegang hak atas tanah yang memnuhi persyaratan yang telah
ditentukan. Sesuai yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) dalam UUPA,
yaitu bahwa:
“Atas dasar hak Menguasai dari Negara sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Dalam ayat (2) menyatakan
sebagai berikut:
“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan,
demikian pula diatasnya sekedae diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan pentaan tanah itu dalam batas-batas
menurut undang-undang ini dan peraturan hukum yang lebih tinggi”
Dalam pengertian hak atas tanah ini pada pokoknya meliputi
permukaan bumi saja sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum
Angka II (1), kalaupun diperkenankan penggunaan ruang tersebut yang
mana meliputi tubuh bumi dan ruang udara, maka penambahan itu
merupakan kriteria pembatasan yang fleksibel dan adil, karena terlihat
dalam kata-kata “sekedar diperlukan dan sesuai dengan perturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Dan demikian, dapat disimpulkan bahwa Hak Menguasai dari
Negara ialah hubungan hukum yang konkrit antara Negara dengan tanah
yang terdapat diseluruh wilayah Indonesia yang mana meliputi tanah-
tanah yang tidak ataupun belum dan maupun yang sudah dihaki dengan
hak-hak perorangan. Tanah yang belum dihaki dengan hak-hak
perorangan oleh UUPA ini disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara. (Pasal 37,41,43,49 UUPA : untuk menyingkat pemkaian kata
dalam praktek administrasi disebut “Tanah Negara”. Akan tetapi
pengertian Tanah Negara ini tidak sama dengan pengertian landsdomein
yang mana dikenal sebelum UUPA). Tanah-tanah yang sudah dimiliki
dengan hak-hak atas tanah primer ini dapat disebut dengan tanah-tanah
hak, dengan sebatan haknya, yaitu tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
Seiring berkembangnya hukum tanah nasional ini, lingkup
pengertian tanah yang terdapat didalam UUPA ini disebut tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara, yang semula disebut dengan sebutan
tanah-tanah Negara itu, juga mengalami perkembangan. Awalnya
pengertiannya mencakup semua tanah yang dikuasai oleh Negara, diluar
apa yang disebut tanah-tanah hak.
Untuk saat ini, ditinjau dari segi kewenangan penguasaannya
kecenderungam nya lebih merinci kepada status tanah-tanah yang semula
tercakup dalam pengertian tanah-tanah Negara itu menjadi:
a. Tanah wakaf, merupakan tanah hak milik yang diwakafkan
b. Tanah hak pengelolaan, merupakan tanah yang dikuasai dengan hak
pengelolaannya yang mana merupakan perlimpahan dari pelaksanaan
sebagian kewenangan Hak Menguasai dari Negara kepada pemegang
haknya
c. Tanah kaum, merupakan tanah bersama masyarakat-masyarakat
hukum adat genealogis
d. Tanah ulayat, merupakan tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum
adat territorial dengan hak ulayatnya
e. Tanah Kawasan hutan, merupakan tanah yang dikuasai oleh
Departemen Kehutanan. Hak penguasaan tersebut merupakan
perlimpahan Sebagian kewenangan Hak Menguasai dari Negara.
f. Tanah sisanya, merupakan tanah yang dikuasai oleh Negara, yang
bukan merupakan tanah-tanah hak, bukan tanah wakaf, bukan tanah
hak pengelolaan, bukan tanah hak ulayat, bukan merupakan tanah
kaum, dan juga bukan merupakan tanah Kawasan hutan. Tanah
tersebut merupakan tanah yang benar-benar dikuasai oleh Negara,
yang mana penguasaanya juga dilakukan oleh Badan Pertanahan
Nasional.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hak ulayat ini merupakan serangkaian wewenang dan juga
merupakan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang mana
beruhubungan dengan tanah yanah terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Wewenang dan kewajiban nya pun termasuk dalam bidang hukum
perdata yaitu merupakan unsur kepunyaan bersama atas tanah tersebut
dan bidang hukum publik, tugas dan kewenangannya ini untuk mengelola,
mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan peruntukan dan
penggunaanya.
Hak ulayat ini sendiri dipertahankan dan dilaksanakan oleh
penguasa adat yang berasal dari masyarakat hukum adat yang terkait.
Orang-orang asing yang berniat untuk menggunakan tanah tersebut,
harus mendapatkan izin dari penguasa adatnya itu sendiri. Maka dari itu
orang asing yang berniat untuk menggunakan tanahnya tersebut wajib
memberi kepada penguasa adatnya berupa suatu barang, atau yang
dikenal dengan sebutan mengisi adat. (Mengingat ketentuan dalam Pasal
1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa dari
masyarakat hukum adat tu sendiri dan sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan Negara yang mana berdasar kepada persatuan Bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan lain
yang lebih tinggi).
Lalu selanjutnya terdapat di Pasal 3 UUPA dapat dilihat sendiri
bahwa Hak Ulayat ini keberadaanya pun diakui sepanjang dalam
kenyataanya hak tersebut masih ada, UUPA dan dan hukum anah
nasional kita tidak menghapus Hak Ulayat tersebut dan juga tidak
mengaturnya.

4. Hak Perorangan atas Tanah (Hak-hak Individual atas Tanah)


Sebagaimana dalam lingkup hak ulayat, dan dalam lingkup hak
bangsa pun dapat memungkinkan para warga Negara sebagai pihak yang
memiliki hak bersama atas tanah tersebut masing-masing dapat
menguasai dan menggunakan sebagian dari tanah bersama atas tanah
tersebut, yang mana masing-masing dapat menguasai dan dan
menggunakan sebgaian dari tanah bersama itu secara individual, dengan
hak-hak lain yang bersifat pribadi dan diatur didalam Pasal 4 UUPA.
Dalam Pasal 4 UUPA, tanah yang tadinya sudah diberikan dan
dimiliki oleh pemegang hak atas tanah terdiri dari:
1. Hak-Hak atas Tanah (Pasal 4 UUPA)
 Hak atas tanah primer, merupakan hak atas tanah yang
diberikan oleh Negara dan bersumber langsung kepada hak
bangsa Indonesia. Jenis-jenis dari ha katas tanah primer ini
meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai (Diatur didalam Pasal 16)
 Hak atas tanah sekunder, merupakan hak atas tanah yang
diberikan oleh pemilik tanah dan bersumber secara tidak
langsung pada hak bangsa Indonesia. Jenis-jenis hak atas
tanah sekunder ini meliputi Hak Guna Bangunan, Hak Sewa,
Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Gadai atas Tanah, dan Hak
Menumpang (Diatur didalam Pasal 37, 41, dan 55)
2. Wakaf (Diatur didalam Pasal 49 UUPA)
3. Hak Jaminan atas Tanah yaitu disebut Hak Tanggungan (Diatur
didalam Pasaln23, 33, 39, 51, dan Undang-Undang No 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan)

B. Tata Cara Perolehan Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional


Untuk memperoleh tanah di Indonesia ini ada beberapa asas-asas
yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Penguasaan dan penggunaan tanah yang dilakukan oleh siapapun dan
untuk keperluan apapun itu harus dilandasi oleh hak atas tanah yang
telah disediakan oleh Hukum Tanah Nasional
2. Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa adanya landasan haknya
atau illegal itu tidak dibenarkan, atau bahkan dapat diancam dengan
sanksi pidana
3. Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang
mana disediakan oleh Hukum Tanah Nasional ini dilindungi oleh
hukum untuk mengatasi gangguang-gangguan dari pihak manapun,
baik dari sesame anggota masyarakat ataupun dari pihak penguasa
sekalipun, dan jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya.
4. Oleh hukum pun disediakan berbagai sarana hukum, untuk dapat
menanggulangi gangguan yang ada, yaitu seoerti:
a. Gangguan dari sesame anggota masyarakat, seperti: gugatan
perdata melalui Pengadilan Negeri atau meminta perlindungan dari
Bupati/Walikotamadya menurut Undang-Undang Nomor 51 Prp
Tahun 1960
b. Gangguan dari penguasa, yaitu seoerti: gugatan melalui
Pengadilan Umum atau Pengadilan Tata Usaha Negara
5. Dalam keadaan biasapun, yang diperlukan oleh siapapun itu dan untuk
keperluan apapun itu (seperti proyek-proyek kepentingan umum)
perolehan tanah yang dihaki oleh seseorang ini harus melalui
musyawarah, guna mencapai kesepakatan baik dari penyerahan
tanahnya kepada pihak yang memerlukan hak pemegang hak atas
tanah yang terkait untuk menerimanya.
6. Dan sehubungan dengan apa yang diatur diatas, dalam keadaan
biasapun untuk memperoleh tanah yang diperlukan itu tidak
dibenarkan mengenai adanya paksaan dalam bentuk apapun itu dan
dari siapapun itu kepada pemegang haknya, guna menyerahkan tanah
kepunyaanya dan untuk menerima imbalan yang tidak disetujinya,
termasuk pula penggunaan dari lembaga “penawaran pembayaran
yang diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan negeri” yang mana
diatur sesuai dengan Pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
7. Dalam keadaan memaksa pun, apabila tanah yang bersangkutan ini
diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum, dan tidak
memungkinkan menggunakan tanah yang lain, dan musyawarah yang
diadakan pun tidak berhasil memperoleh kesepakatan, maka dapat
dilakukan pengambilan secara paksa, atau dalam artian tidak
memerlukan persetujuan dari pemegang haknya, dan menggunakan
acara “pencabutan hak” yang mana diatur didalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961.
8. Dalam perolehan atau pengambilan tanah tersebut, baik yang
didasarkann atas kesepakatan bersama ataupun melalui pencabutan
hak, pemegang haknya disini berhak memperoleh imbalan atau ganti
kerugian yang tidak hanya meliputi tanahnya, bangunan, dan tanaman
pemegang haknya, tetapi meliputi juga kerugian-kerugian lain yang
dideritanya dari akibat penyerahan tanah yang terkait.
9. Bentuk dan jumlah imbalan ataupun ganti ruginya tersebut, apabila jika
tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan
adanya pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa sampai dengan
bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduruan, baik dari sisi
bidang sosialnya ataupun tingkat ekonominya.

Didalam Hukum Tanah Nasional ini dikenal beberapa jenis


perolehan tanah, yaitu:
1. Primer:
a. Pembukaan hutan
b. Pemberian hak baru oleh Negara
2. Sekunder:
a. Pewarisan
b. Pemindahan hak
c. Pemberian hak baru oleh pemilik tanah
3. Perubahan hak
4. Hapusnya hak
a. Jangka waktu berakhir
b. Pelepasan/pembebasan hak
c. Pembatalan hak
d. Pencabutan hak
Untuk tata cara perolehan tanah yang disediakan oleh Hukum
Tanah Nasional ini, harus terlebih dahulu perhatikan beberapa hal nya,
seperti:
1. Proyeknya, yaitu seperti apa yang dikembangkan/dibangun diatas tanah
yang diperoleh. Tanah yang tersedia tersebut akan dipergunakan untuk
kegiatan usaha, keperluan pribadi, ataupun keperluan khusus lainnya.
2. Lokasinya, ini merupakan tempat proyek yang bersangkutan, maka dari itu
perlu diketahui terlebih dahulu Rencana Tata Ruang Wilayahnya. Untuk
keperluan bisnis/proyek tertentu ininperlu permohonan Ijin Prinsip dan Ijin
Lokasi (Diatur didalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 2
Tahun 1999 tentang Ijin Lokasi).
3. Tanah yang tersedia, yaitu dilihat dari segi fisik dan dari segi yuridisnya.
Data fisik dan data yuridis ini perlu dianalisis untuk bidang tanah
yang ditawarkan atau yang akan diperoleh berdasarkan dokumen
kepemilikannya, yaitu:
a. Dari segi fisik tanahnya, letak, batas-batas dan luasnyapun, apabila itu
bersertifikat, maka data fisiknya dapat dibaca pada surat ukur yang
mana memuat keterangan tentang data fisiknya tersebut.
b. Dari segi yuridisnya, seperti:
- Jenis haknya
- Pemegang haknya
- Hak-hak pihak ketiga, yang mana jika dibebani Hak
Tanggungan berarti untuk jaminan pelunasan kredit yang
diperoleh dari bank tertentu ataupun dibebani dengan hak atas
tanah Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau Hak Sewa yang
diberikan diatas tanah Hak Milik.
c. Terjadinya pewarisan disebebkan oleh hukum (dikuasai oleh para ahli
waris pemegang hak)
d. Perbuatan hukum yang terjadi, yang disebabkan dari jual beli, hibah,
tukar menukar, atau bentuk pemindahan hak lainnya. Data yurudisnya
dapat dibaca pada Salinan buku tanah, yang mana itu merupakan
bagian dari sertipikat.
4. Kesediaan terhadap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanahnya
5. Status hukum dari calon pemegang hak atas tanah.

Ada beberapa ijin-ijin yang berkaitan dengan perolehan tanah, yaitu:


1. Untuk diluar DKI Jakarta, seperti:
- Surat Persetujuan Prinsip Rencana Proyek (Ijin Prinsip). Yang
diperoleh dari Bupati (apabila lokasi tanahnya terletak di kabupaten
atau walikota).
- Ijin Lokasi tersebut diperoleh dari Bupato (apabila lokasi tanahnya
tersebut terdapat di kabupaten atau walikota, dan apabila lokasi
tanahnya di kota).
2. Untuk di DKI Jakarta, seperti:
- Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lahan (SP3L) yang
diperoleh daro Gubernur DKI Jakarta.
- Surat Ijin Persetujuan Prinsip Penunjukan Tanah dari Gubernur DKI
Jakarta.
C. Sistem Perolehan Tanah di Indonesia
1. Permohonan Hak Atas Tanah
Permohonan hak ini dilaksanakan, apabila tanah yang tersedia itu
merupakan tanah Negara. Melalui tata cara perolehan tersebut dapat
diperoleh tanah dengan hak-hak atas tanah yang primer, yaitu seperti Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
Pejabat yang terkait, berwenang memberikan persetujuan terhadap
permohonan hak ini ialah, berdasarkan Peraturan Kepala BPN Nomor 2
Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah:
- Kepala Badan Pertanahan Nasional
- Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di masing-masing
provinsi
- Kepala Kantor Pertanahan Badan Pertanahan Nasional di masing-
masing Kabupaten/Kota
Sunario Basuki mengatakan, bahwa ada beberapa urutan-urutan
untuk permohonan hak, sebagai
berikut:
a. Pemohon mengajukan permohon hak dengan cara mengisi formulir
Permohonan Hak yang tersedia, lalu dilampirkan dengan surat-
surat yang diperlukan yang berkaitan dengan permohonan dan surat-
surat tanah yang dimohonkan ha katas tanahnya. Surat permohonan
yang diajukan kepada pejabat yang berwenang untuk memberikan hak
yang sesuai dengan:
- Jenis hak yang dimohon
- Peruntukan tanahnya (termasuk tanah pertaniankah atau non
pertanian)
- dan luas tanah yang dimohon.
Untuk mengajukan permohonan hak, makan pemohon harus
melampirkan:
1. Bukti surat-surat perolehan tanahnya
2. Surat-surat terkait dengan pemohon (orang atau badan hukum)
3. Surat-surat mengenai prosedur, yaitu seperti biaya yang harus dibayar
terlebih dahulu.

b. Kegiatan Kantor Pertanahan


Kepala kantor pertanahan tersebut bertugas memeriksa surat-surat
dan kelengkapan datanya mengenai tanah yang dimohon dan
pemohonnya.
Untuk surat rekomendasi (dikabulkan atau ditolak) permohonan hak
tersebut yang bersangkutan harus disampaikan kepada Pejabat yang
berwenang dalam memberikan hak tersebut.
Lalu, penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) yang
dilakukan oleh pejabat yang berwenang.

c. Penerima Hak
Berdasarkan SKPH yang diterima tersebut, penerimaan hak
memenuhi kewajibannya dan sehubungan dengan pemberian hak,
sebagai berikut:
- Membayara Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB)
- Membayarkan yang pemasukan
- Mendaftarkan hak yang bersangkutan dalam hal tersebut di Kantor
Pertanahan (Kabupaten/Kota).
Dan sehubungan dengan penguasaan tanahnya, maka
penerima hak atas tanah ini berkewajiban untuk, sebagai berikut:
- Memelihara tanda-tanda batas
- Menggunakan tanahnya secara optimal
- Kewajiban yang tercantum dalam sertipikatnya
- Menggunakan tanah sesuai dengan kondisi lingkungan hidup
- dan mencegah kerusakan-kerusakan dan hilangnya kesuburan
tanah.
Dan apabila penerima hak tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka
Menteri dapat membatalkan haknya tersebut.
d. Proses Pendaftaran Hak yang Bersangkutan
Kepala Seksi Pendaftaran Tanah membukukan hak yang berkaitan
kedalam buku tanah dan juga mencantumkan nomor urut hak yang
bersangkutan di wilayah Kelurahan/Desa untuk letak tanahnya, dan
juga dilampirkan Surat Ukur pada buku tanah tersebut.
Surat ukur tersebut telah dibuat terlebih dahulu setelah bidang
tanah yang terkait telah ditetapkan batas-batasnya dan diukur juga
luasnya berdasarkan peta pendaftaran.

e. Pemegang Hak
Untuk pemegang hak akan diserahkan sertipikat (yang terdiri dari
Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur) untuk tanda bukti haknya. Hak
atas tanah yang diperoleh karena adanya pemberian hak yang mana
terjadi pada saat dibuatkan Buku Tanah Hak (pendaftaran pertama
kali), maka dicatat jenis haknya, dan nama pemegang haknya. Secara
yuridis untuk menetapkan tanggal lahirnya hak tersebut secara pasti,
maka dihitung tujuh hari kerja dan terhitung sejak surat-surat untuk
keperluan pendaftaran haknya dinyatakan lengkap.

2. Pembebanan Hak (pemberian hak baru diatas tanah hak milik)


Pemegang Hak Milik disini dapat membebankan hak atas tanah
miliknya untuk pihak lain dengan adanya sesuatu hak atas tanah (hak atas
tanah sekunder). Hak Milik ini dapat dibebani juga dengan Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa.
Pembebanan tanah Hak Milik ini dengan hak sekunder wajib
dibuktikan dengan adanya akta PPAT yang biasa disebut dengan Akta
Pemberian Hak Baru diatas Tanah Hak Milik. Didalam sertipikat itu tanah
Hak Milik diberi cacatan bahwa tanah hak milik tersebut dibebani oleh hak
sekundr. Sedangkan hak sekunder tersebut juga dibuatkan kedalam Buku
Tanah dan Sertipikat Hak Atas Tanah yang sekunder. Menurut hukum
ialah terjadinya hak baru pada saat ditandatangani nya Akta Pemberian
Hak Baru oleh para pihak tersebut.
3. Pemindahan Hak
Perbuatan hukum pemindahan hak ini, bertujuan untuk
memindahkan hak atas tanah tersebut kepada pihak yang lain untuk
selama-lamanya (untuk subyek hukumnya disini harus memenuhi syarat
sebagai pemegang hak atas tanah).
Ada beberapa macam cara yang digunakan untuk memindahkan
Hak Atas Tanah tersebut dari pemilik awal kepada pemilik barunya, yaitu
dengan cara:
- Jual beli
- Tukar Menukar
- Hibah atau Hibah Wasiat
- Penyertaan modal perusahaan (inberg)
Jual beli disini merupakan perbuatan hukum pemindahan hak untuk
selama-lamanya dari penjual kepada pembeli, yang mana disertai dengan
pembayaran sejumlah harga yang telah disepakati antara kedua belah
pihak yang mana dilakukan secara terang dan tunai.
Terang disini memiliki arti bahwa perbuatan hukum jual beli yang
dimaksud itu benar-benar dilaksanakan dihadapan pejabat yang
berwenang untuk membuat akta jual belinya, dan disaksikan pula oleh dua
orang saksi.
Untuk tunai sendiri ini memiliki arti yaitu adanya dua perbuatan yang
dilakukan secara bersamaan (serentak), yaitu sebagai berikut:
- Pemindahan hak (pemindahan penguasaan yuridis), dari pihak
penjual kepada pihak pembeli
- Pembayaran harga (baik sebagian ataupun seluruhnya), dari pihak
pembeli kepada pihak penjual.
Untuk Hak Atas Tanah yang dapat dipindah tangankan, ialah:
- Hak Milik
- Hak Guna Usaha
- Hak Guna Bangunan
- Hak Pakai
- Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
4. Pembebasan Hak (Pelepasan Hak)
Pembebeasan hak ini ,sering disebut juga pelepasan hak yang
memiliki arti bahwa pelepasan hubungan antara pemegang hak atas tanah
dengan tanah yang dikuasainya dan disertai dengan pemeberian ganti
kerugian (imbalan) dengan didasarkan oleh musyawarah.
Acara pembebasan hak ini dapat digunakan apabila pihak yang
memerlukan tanah tidak dapat memenuhi syarat sebagai subyek hak atas
tanah yang tersedia. Contohnya seperti apabila tanah yang tersedia ini
berstatus Hak Milik tetapi yang memerlukan tanahnya tersebut berstatus
Badan Hukum Indonesia (perseroan terbatas).
Dalam kasus diatas tersebut, maka diperlukannya musyawarah
untuk mencapai kesepakatan mengenai pemilih tanah yang bersedia
untuk melepaskan haknya dengan sukarela dan dilaksanakannya
pemberian imbalan yang sesuai dengam kesepakatannya. Lalu calon
pemilik tanah yang mengajukan permohonan hak baru tersebut yang
sesuai kepada Negara.
Ada beberapa bentuk-bentuk ganti kerugia, yaitu:
- Uang
- Tanah Pengganti
- Permukiman Kembali
- Kepemilikan Saham
- dan bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

5. Pemindahan Hak yang Didahului dengan Perubahan Hak


Pemindahan hak ini biasanya dilakukan apabila calon pemilik hak
atas tanah barunya ini tidak dapat memenuhi syarat yang ditentukan oleh
undang-undang sebagai pemegang hak atas tanah tertentu. Maka dalam
hal ini harus dilakukan terlebih dahulu perubahan status hak atas
tanahnya, agar si pemilik dapat menguasai tanahnya secara legal dan
sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Untuk langak-langkah pemindahan hak, harus didahului oleh
perubahan hak, yaitu:
a. Penguasaan tanah yang dilakukan oleh pengembang dan didahului
dengan pembayaran harga tanah yang telah disepakati oleh pemilik
tanah. Perbuatan tersebut dinyatakan dalam “Surat Pengikatan Akta
Jual Beli dan Pemberian Kuasa”
Isi dari pengikatan akan jual beli dan pemberian kuasa ini ialah:
- Pemilik tanah yang menyerahkan tanahnya kepada pihak
pengembang ataupun penyelenggara pembangunan.
- Pemilik tanah yang bersedia untuk mengajukan permohonan
kepada Negara agar haknya dapat diubah menjadi Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai, lalu menjualkan tanah Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai tersebut kepada pihak pengembang
ataupun penyelenggaraan pembangunan.
- Pemilik tanah tersebut memberikan kuasa kepada pihak ataupun
penyelenggara pembangunan guna dan atas nama pemilik tanah
yang mengajukan dan menandatangani surat permohonan
perubahan Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan ataupun Hak
Pakai.
- Apabila proses perubahan hak telah selesai dan tanahnya pun
telah terdaftar atas nama si pemilik tanah, maka pemilik tanah
dapat memberikan kuasa kepada pihak pengembang ataupun
penyelenggara pembangunan untuk dan atas nama pemilik tanah
yang menandatangani Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah.
- Pemilik tanah dapat juga memberikan kuasanya kepada pihak
pengembang ataupun penyelenggara pembangunan untuk dan
atas nama dalam melakukan perbuatan-perbuatan huykum lainnya
yang dianggap perlu, dan yang kesemuannya dalam rangka
pemindahan hak yang mana disertai dengan perubahan hak
tersebut.
b. Apabila permohonan perubahan hak tersebut disetujui, maka Kepala
Kantor Pertanahan dapat melakukan pencatatn pada Buku Tanah Hak
Milik dan Sertipikat Hak Milik.
c. Setelah proses perubhan hak di kantor pertanahan tersebut selesai,
maka barulah dapat dilakukan pemindahan atas hak (jual beli) yang
dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

6. Pencabutan Hak Atas Tanah


Menurut UUPA Pencabutan Hak Atas Tanah ini ialah pengambil
alihan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa, yang
mana mengakibatkan hak atas tanah nya ini menjadi terhapus, tanpa
pihak yang bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai
dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum.
Maka dari itu pencabutan hak atas tanah ini merupakan cara
terakhir yang dilakukan untuk memperoleh tanah hak yang diperlukan bagi
pemabangunan untuk kepentingan umum setelah berbagai cara yang
dilakukan dan melalui musyawarh pun tidak berhasil, dan dasar hukum
yang mengatur pencabutan hak atas tanah tersebut ialah Pasal 18 UUPA,
yang berisikan sebagai berikut:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat
dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut tata cara
yang diatur dengan undang-undang”.

D. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah


Pasal 6 UUPA menyatakan bahwa “semua hak tanah mempunya
fungsi sosial”. Hal tersebut mengandung arti bahwa semua hak atas tanah
dan apapun yang ada pada seseorang tidak boleh digunakan semata-
mata hanya untuk kepentingan pribadi saja, tetapi penggunaan tanah
tersebut diharuskan untuk memberikan kemanfaatan bagi kepentingan
masyarakat dan Negara.
Fungsi sosial hak atas tanah yang diatur didalam Pasal 6 UUPA ini
mengandung beberapa prinsip keutamaan, yaitu:
- Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah
yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau
kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut konsepsi hukum
tanah nasional.
- Tanah seseorang tidaak mempunyai fungsi sosial bagi yang punya
hak itu saja, tetapi juga bangsa Indonesia sebagai konsekuensinya
dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya
untuk kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi
juga kepentingan masyarakat.
- Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan hak untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan
keadaanya, maksudnya keadaan tanahnya, sifatnya dan tujuan
pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus
dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas, kesuburan serta kondisi
tanah sehingga dapat dinikmati tidak hanya pemilik tanah saja
tetapi masyarakat lainnya. Maka dari itu, kewajiban memelihara
tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya/ pemegang hak
yang bersangkutan, melainkan juga beban dari setiap orang, badan
hukum/instansi yang mempunyai suatu hubungan dengan tanah.
Tanah merupakan sarana yang dapat disebut dengan benda yang
memiliki keistimewaan. Satu sisi tanah merupakan sumber daya yang
tidak dapat memperbaharui diri menjadi banyak, namun disisi yang lain
tanah ini sangatlah dibutuhkan oleh setiap manusia, karena hampir
seluruh kegiatan yang dilakukan oleh manusia sendiri pasti berhubungan
dengan tanah, tanah yang terdapat di Indonesia ini dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan berdasarkan filosofi Fungsi
Sosial Hak Atas Tanah ini, ditetepakannya dasar pembentukan Undang-
Undang Pengadaan Tanah, yaitu menjamin ketersediaanya tanah untuk
penyelenggaraan pembangunan dengan mendasarkan pada
penghormatan hak rakyat atas tanah.
Sehubungan dengan Pasal 6 UUPA tersebut maka dinyatakan
bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”, didalam
Penjelasan Umum II angka (4) UUPA disebutkan bahwa hak atas tanah
apapun yang terdapat pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa
tanahnya tersbeut akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-
mata hanya untuk kepentingan pribadinya saja, apalagi semisalnya hal
tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah ini harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat
daripada haknya, sehingga bermanfaat kesejahteraan dan kebahagiaan
yang mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.
Meski demikian tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan tersebut
akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum. UUPA juga harus
memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan, dan
kepentingan masyakarat disini dan kepentingan perseorangan pun harus
untuk saling mengimbangi, sehingga akhirnya akan tercapainya tujuan
pokok:
- Kemakmuraan.
- Keadilan.
- Kebahagiaan bagi masyarakat seleuruhnya.

E. Pengertiaan Pengadaan tanah


Istilah pengadaan tanah dipergunakan pertama kali didalam
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang mana
didalam Pasal 1 angka 1, pengadaan tanah didefinisikan sebagai berikut:
“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan uang ganti rugi kepada yang berhak atas tanah
tesebut”.
Definisi pengadaan tanah ini kemudian dirubah kembali yang mana
diatur didalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun
2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum:
Pengadaan tanah ialah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan
cara memebrikan ganti rugi terhadap yang melepaskan atau menyerahkan
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah ataupun dengan pencabutan hak atas tanah.
Pengertian dari pengadaan tanah ini sempat dikritisi oleh publik,
dikarenakan telah menggabungkan konsep pengadaan tanah ini dengan
pencabutan hak, lalu selanjutnya pengertian dari pengadaan tanah ini
kemudian dirubah kembali dan dituangkan didalam Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden RI
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang mana dalam ketentuan
Pasal 1 angka 3 yang berisikan bahwa:
Pengadaan tanah ialah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah.
Pada tahun 2012 pemerintah pun memberlakukan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 mengenai Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, dan didalam Pasal 1 angka 2 ini berisikan
definisi tentang pengadaan tanah, yaitu sebagai berikut:
Pengadaan tanah disini merupakan kegiatan menyediakan tanah
dengan cara memberi ganti rugi kerugian yang layak dan juga adil kepada
pihak yang berhak menerimanya. Pengadaan tanah disini sangat banyak
dibutuhka dalam berbagai aspek, yaitu:
1. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Swasta
2. Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Pribadi
3. Pengadaan Tanah Untuk Kegiatan Bisnis/Usaha
4. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini sendiri dilakukan
untuk mecapai kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan Negara
pemerintah mengadakan serangkaian pembangunan, yaitu pengadaan
untuk fasilitas umu yang mana mengharuskan pemerintah untuk memiliki
lahan-lahan yang akan digunakan nantinya pada saat pembangunan
tersebut, kegiatan pembangunan dari waktu ke waktu ini semakin
mengahadapi tantangan terutama pada aspek penyediaan tanah untuk
kepentingan pembangunan tersebut.
Pengadaan tanah ini pada dasarrnya dilakukan untuk melakukan
pelaksanaan pembangunan tersebut, tetapi dalam pelaksanaanya
dibutuhkan tanah sehingga pada saat melakukan proses penyediaan
tanah pada saat pembangunan kepentingan umum ini terdapat berbagai
peraturan, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) yang mana didalam undang-undang ini,
terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan pengadaan tanah,
yaitu:
a. Pasal 14 ayat (1) dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 2
ayat (2) dan (3) , Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2)
Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu
rencana umum mengenai persediaan, peruntukka dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung didalmnya :
- Untuk keperluan Negara
- Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya,
sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
- Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat,
sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan
- Untuk keperluan memperkembangkan produksi
pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan
dengan itu
- Untuk keperluan mengembangkan industri, transmigasi
dan pertambangan.

b. Pasal 18 disini menyatakan untuk kepentingan umum, yaitu


termasuk kepentingan bangsa dan Negara dan kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah juga dapat dicabut,
dengan syarat yaitu memberikan ganti kerugian yang layak dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait.

2. Untuk mewujudkan pembangunan untuk kepentingan umum ini


diperlukan tanah yang pengadaannya tersebut dilaksanakan
dengan memperhatikan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil,
namun pemerintah sekarang telah mereformassi peraturan
perundang-undangan pengadaan tanah tersebut menjadi Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan beserta peraturan
pendukung lainnya yang dapat menjamin dan memudahkan
pelaksanaan pembangunan di Indonesia, yaitu:
- Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012
- Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014
- Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014
- Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015
- Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015
- Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 5
Tahun 2012
- Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 6
Tahun 2015
- Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 22
Tahun 2015
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2012
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.02/2013
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.02/2016
Undang-undang diatas tersebut diharapkan dapat mengatasi
berbagai persoalan yang timbul selama pengadaan tanah tersebut
dilaksanakan oleh pemerintah, karena Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 ini mempunyai prinsip dasar yaitu demokratis, adil, transparan,
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, serta mengendapkan asas
musyawarah sehingga dapat diharapkan peraturan-peraturan tersebut
dapat menjadi titik temu antara masyarakat pemilik tanah dengan
pemerintah yang memerlukan tanah, dan akhirnya terdapat partisipasi
masyarakat dalam mendukung proses pembangunan tersebut untuk
kepentingan umum yang dilakukan oleh Pemerintah. Dalam pengadaan
tanah ini perlunya penegasan terhadap kepentingan umum, karena agar
tidak menimbulkan multitafsir.
Berdasarkan pasal yang terdapat di atas, pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum ini hanya sah apabila memenuhi
syarat sebagai berikut:
1. Untuk klasifikasi kegiatannya terbatas pada tujuh buir yang telah
ditentukan dalam Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015;
Pembangunan untuk kepentingan umum ini hanya terbatas pada 19 (butir)
kegiataan pembangunan yang disebutkan didalam Pasal 10 tersebut, di
luar itu maka dapat dikatakan bukan termasuk pembangunan untuk
kepentingan umum.
2. Kegiataan pembangunan dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah;
Khusus syarat ini, pembangunan dilakukan dengan adanya batasan yang
mana bahwa proses pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk
kepentingan umum ini hanya dapat dilaksanakan dan dibiayai oleh
Pemerintah/ Pemerintah Daerah.
Pemerintah Daerah disini berwenang untuk melaksanakan pembangunan
untuk kepentingan umum yang sesuai dengan salah satu kewajibannya
dalam menyelenggarakan otonomi, yaitu menyediakan fasilitas sosial dan
fasilitas umum yang layak sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 huruf g
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
3. Selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah.
Syarat ini memberikan batasan terhadap kegiatan pembangunan untuk
kepentingan umum agar tidak dapat dimiliki oleh perseorangan atau
swasta. Pembangunan untuk kepentingan umum ini membutuhkan
pengadaan tanah untuk memenuhi kebutuhan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan dan hanya dapat dimiliki oleh Pemerintah ataupun
Pemerintah Daerah.

Pengertian Kepentingan Umum


Beberapa isu pokok yang sering dipermasalahkan di massa lalu
ialah definisi mengenai kepentingan umum, salah satunya sebagai
sebagai konsep yang mudah dipahami tapi tidak mudah didefinisikan.
John Salihendo disini berpendapat mengenai “kepentingan umum yang
mana termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta merupakan
kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi
sosial, politik, psikologi dan hankamnas atas dasar azas-azas
pemabngunan nasional dengan mengindahkan ketatanan nasional serta
wawasan nusantara”.
Konsep kepentingan umum itu sendiri harus dilaksanakan sesuai
dengan terwujudnya Negara, yang mana hukum merupakan sarana
utama untuk mewujudkan kepentingan umum itu. Hukum ini sendiri tidak
memiliki pilihan lain kecuali disamping menjamin kepentingan umum dan
juga melindungi kepentingan perseorangan agar keadilan dapat
terlaksana. Hal ini berarti menyatakan bahwa hukum sendiri tidak dapat
dipisahkan dari norma keadilan, karena hukum disini merupakan
pengejawantahan dari prinsip-prinsip keadilan.
Begitu pentingnya arti dari kepentingan umum itu sendiri dalam
kehidupan bernegara yang dalam praktiknya itu sendiri berbenturan
dengan kepentingan individu, maka dari itu perlu didefinisikan dengan
jelas. Satjipto Rahardjo sendiri berpendapat bahwa istilah kepentingan
umum itu agar jelas dan memenuhi rasa keadilan masyarakat tidaklah
cukup dipahami secara legalistik formalistic, namun harus diinegrasikan
menurut mentode penemuan hukumnya.
Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah, yaitu meliputi:
1. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (diatas tanah, diruang atas tanahnya
atau diruang bawah tanah), saluran air minum, air saluran bersih, salurang
pembangunan dan sanitasi;
2. Waduk, bendungan, bendingan, irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
3. Rumah sakit umum dan pusat Kesehatan masyarakt;
4. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
5. Peribadatan;
6. Pendidikan atau sekolah;
7. Pasar umum;
8. Fasilitas pemakaman umum;
9. Fasilitas keselamatan umum;
10. Pos dan telekomunikasi;
11. Sarana olahraga;
12. Stasiun penyiaran radio, televisi, beserta sarana pendukungnya;
13. Kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan Negara asing,
perserikatan bangsa-bangsa, ataupun lembaga internasional dibawah
naungan perserikatan bangsa-bangsa;
14. Fasilitas Tentara Nasional dan Keplolisian Republik Indonesia sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya;
15. Lembaga permasyarakatan dan rumah tahanan;
16. Rumah susun sederhana;
17. Tempat pembuangan sampah;
18. Cagar alam dan cagar budaya;
19. Pertamanan;
20. Panti sosial;
21. Pembangkit transmisi, distribusi tenaga listrik.
Oleh Perpres 65 Tahun 2005 ini, kepentingan umum ialah
kepentingan Sebagian besar lapisan masyarakat. Pembangunan untuk
kepentingan umu ini yang dilaksanakan pemerintah ataupun pemerintah
daerah yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh pemerintah
ataupun pemerintah derah, yaitu:
1. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (diatas tanah, diruang atas tanahnya
atau diruang bawah tanah), saluran air minum, air saluran bersih, salurang
pembangunan dan sanitasi;
2. Waduk, bendungan, bendingan, irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
3. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
4. Fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya
banjir, lahar, dan bencana-bencana lain;
5. Fasilitas keselamatan umum;
6. Fasilitas keselamatan umum;
7. Pembangkit transmisi, distribusi tenaga listrik.
Kegiataan pembangunnan tidak semuanya dapat digolongkan
menjadi pembangunan untuk kepentingan umum. Menurut Pasal 10
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang mana berisikan kegiatan-
kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum sebagai berikut:
“Tanah untuk kepentingan umum digunkan untuk pembangunan:
a. Pertanahan dan keamanan nasional;
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api,
dan fasilitas kereta api;
c. Waduk, bendungan, bending, irigasi, saluran air minum, saluran
pembangunan air dan sanitasi, dan;
d. Bangunan pengairan lainnya;
e. Pelabuhan, bandar udara, terminal;
f. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
g. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
h. Jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah;
i. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
j. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
k. Fasilitas keselamatan umum;
l. Tempat pemakaman umum Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
m. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
n. Cagar alam dan cagar budaya;
o. Kantor Pemerintah/ Pemerintah Daerah/ desa;
p. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/ atau konsolidasi tanah,
serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan
status sewa;
q. Prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
r. Prasarana olahraga Pemerintah/ Pemerintah Daerah; dan
s. Pasar umum dan lapangan parkir umum.”
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Kepentingan Umum merupakan salah satu Undang-Undang yang
telah dinantikan kehidarannya, dikarenakan membawa tujuan yaitu
berupa kepastian hukum terhadap permasalahaan pengadaan tanah.
Supratman R menyatakan bahwa kepastian hukum disini ialah kepastian
mengenai ganti rugi dan kepastian mengenai pihak yang seharusnya
menerima ganti rugi tersebut. Sedangkan kepastian hukum bagi pihak
pemerintah ialah kepastian mengenai pelaksanaan pembangunan
tersebut agar tidak merugikan keuangan Negara yang pada hakekatnya
merupakan beban dari masyarakat juga. Konkritnya antara kepastian
dengan perlindungan tersebut pelaksanaan pembangunan yang telah
menggunakan keuangan Negara ini tidak terhambat hanya karena
disebebakan oleh timbulnya masalah dari beberapa pemilik tanah atau
masalah dari pihak lain yang memperoleh kuasa atas peralihan hak atas
tanah tersebut.
Maka dari itu, sudah jelas bahwa setiap orang mempunyai
kebebasan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas.
Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi ini harus diusahakan sedemikian
rupa sehingga diharapkan memberi keuntungan bagi semua orang dan
dalam rangka untuk mewujudkan masyarakat yang adil, Makmur, dan
sejahtera berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
pemerintah disini perlu melaksanakan pembangunan. Lalu selanjutnya
disebutkan bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk
kepentingan umum tersebut, maka diperlukan tanah yang pengadaan
tanahnya dilaksanakan mengedepankan prinsip kemanusian, demokratis,
dan adil.
Ada beberapa asas-asas pengadaan tanah yang diatur didalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yakni sebagai berikut:

1. Kemanusiaan;
2. Keadilan;
3. Kemanfaatan;
4. Kepastian;
5. Keterbukaan;
6. Kesepkatan;
7. Keikutsertaan;
8. Kesejahteraan;
9. Keberlanjutan, dan
10. Keselarasan.
Berdasarkan penjelasan dari Pasal 2, asas-asas diatas memiliki makna
sebagai berikut:
1. Asas Kemanusiaan, ialah pengadaan tanah harus memberikan
perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat dan
martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara
proposional.
2. Asas Keadilan, ialah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada
pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga
mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang
lebih baik.
3. Asas Kemanfaatan, ialah hasil pengadaan tanah mampu memberikan
manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
4. Asas Kepastian, ialah memberikan kepastian hukum tersedianya tanah
dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan memberikan
jaminan kepada pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian
yang layak.
5. Asas Keterbukaan, ialah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan
dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang berakitan dengan pengadaan tanah.
6. Asas Kesepakatan, ialah bahwa proses pengadaan tanah dilakukan
dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan
kesepakatan bersama.
7. Asas Keikutsertaan, ialah dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan
tanah melalui partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung, sejak perencanaan sampai kegiataan pembangunan.
8. Asas Kesejahteraan, ialah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan
dapat memberikan nilai tambahan bagi kelangsungan kehidupan pihak
yang berhak dan masyarakat luas.
9. Asas Keberlanjutan, ialah kegiatan pembangunan dapat dilangsung
secara terus menerus, berkesinambungan, untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.
10. Asas Keselarasan, ialah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan
dapat seimbang dan sejalan dengam kepentingan masyarakat dan
Negara.
Tujuan pengadaan tanah disini untuk menyediakan tanah, untuk
pelaksanaan pembangunan, untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa, Negara dan masyarkat sekitar dengan tetap
menjamin kepentingan hukum bagi pihak yang berhak.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini diselenggarakn
sesuai dengan:
1. Renacana Tata Ruang Wilayah
2. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah
3. Rencama Strategis; dan
4. Rencana Kerja setiap instansi yang memerlukan tanah.
Pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini sudah
diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Pengadaan Tanah dan
Peraturan Pelaksanaanya, yaitu sebagai berikut:
a. Tahap Perencanaan
Bagi instansi yang memerlukan tanah untuk membuat perencanaan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum ini
didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas
pembangunan yang tercantum didalam Rencana Pe,bangunan Jangka
Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerintah Instansi
yang terkait dan sesuai dengan Pasal 15 ayat (1):
1. Perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum disusun
dalam bentuk dokumen perencanaan pengadaan tanah yang paling
sedikit memuat;
2. Maksud dan tujuan rencana pembangunan;
3. Kesesuaiaan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana
Pembangunan Nasional dan Daerah;
4. Letak tanah;
5. Luas tanah yang dibutuhkan;
6. Gambaran umum status tanah;
7. Perkiraan waktu pelaksanaan pengadaan tanah;
8. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
9. Perkiraan nilai tanah;
10. Rencana penggaran.
Untuk dokumen dari perencanaan pengadaan tanah ini mencakup:
1. Disusun berdasarkan studi kelayakanyang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
2. Ditetapkan oleh instansi yang memerlukan tanah
3. Diserahkan kepada pemerintah provinsi.
Instansi yang memerlukan tanah berssma pemerintah provinsi
berdasarkan dengan dokumen perancanaan pengadaan tanah ini
melaksanakan:
1. Pemeberitahuan rencana pembangunan pemberitahuan;
2. Pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan
3. Konsultas publik rencana pembangunan.

b. Tahap Persiapan
Didalam tahap persiapan ini, dan sesuai dengan apa yang terdapat
didalam Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (1) Perpres pengadaan
tanah, Gubernur disini bertugas untuk membetuk tim persiapan dalam
kurun waktu paling lama 10 hari kerja, yang mana beranggotakan
sebagai berikut:
1. Bupati/Walikota;
2. SKPD Provisni terkait;
3. Instansi yang memerlukan tanah tersebut; dan
4. Instansi terkait lainnya
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas tim persiapan ini, gubernur
juga harus membentuk sekertariat persiapan pengadaan tanah yang
mana berkedudukan di sekertariat daerah Provinsi. Adapun beberapa
tugas untuk tim persiapan ini, yang mana diatur didalam Pasal 16
Undang-Undang Pengadaan Tanah, yaitu sebagai berikut:
1. Pemberitahuan Rencana Pembangunan
Menurut Pasal 17 Undang-Undang Pengadaan Tanah Nomor 2
ini, pemberitahuan rencana pembangunan ini disampaikan
langsung kepada masyarakat pada saat rencana lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum tersebut, baik secara
langsung ataupun tidak langsung.
2. Pendataan Awal Lokasi Rencana Pembangunan
Pendataan awal lokasi rencana pembangunan ini juga meliputi
kegiatan pengumpulan data awal bagi pihak yang berhak dan
objek pengadaan tanahnya juga, dalam kurun waktu paling lama
30 hari kerja sejak pemberitahuaan rencana pembangunan itu
tersebut, dan hasil pendataam awal lokasi rencana pembangunan
ini pun digunakan sebagai data untuk pelaksanaan konsultasi
publik rencana pembangunan tersebut.
3. Konsultasi Publik Rencana Pembangunan
Konsultasi publik ini merupakan proses dari musyawarah yang
mana disini juga melibatkan pihak yang berhak dengan masyarakat
yang terkena dampak dari pembangunan tersebut,yang berguna
untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan
tersebut dari pihak yang berhak dan akan dituangkan dalam bentuk
berita acara kesepakatan, serta dilaksanakannya pun ditempat
rencanan pembangunan kepentingan umum ataupun tempat yang
disepakatinya.
Keterlibatan dari pihak yang berhak ini dapat dilakukan melalui
perwakilan dan surat kuasa oleh pihak yang berhak atas lokasi
rencana pembangunan tersebut. Setelah mencapai kata
kesepakatan, maka barulah dituangkan didalam bentuk berita
acara kesepakatan. Lalu instansi yang membutuhkan tanah
tersebut dapat mengajukan permohonan penetepan lokasi kepada
Gubernur sesuai dengan kesepakatan tersebut, dan setelah
Gubernur telah menetapakan lokasi dalam jangka waktu paling
lama 14 (empat belas) hari kerja, yang mana terhitung sejak
diterimanya pengajuan permohonan penerapan oleh instansi
terkait.
Konsultasi publik rencana pembangunan ini dilakukan dengan
kurun waktu paling lama dalam waktu 60 hari kerja, dan apabila
sampai dengan jangka waktu tersebut pelaksanaan konsultasi
public rencana pembangunan ini ada pihak yang mengajukan
keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan ini, maka akan
dilakukan kembali konsultaasi publik dengan pihak yang
mengajukan keberatan tersebut, dengan kurun waktu selama 30
hari kerja. Apabalia dalam konsultasi publik ulang tersebut masih
ada yang merasa keberatan mengenai rencana lokasi
pembangunan tersebut, maka instansi yang memerlukan tanah
tersebut dapat melaporkan keberatan yang dimaksud kepada
Gubernur setempat dan kemudian Gubernur pun akan membentuk
tim untuk melakukan kajian terhadap masalah tersebut mengenai
keberatan rencana lokasi pembangunan, yang mana terdiri atas:
a. Sekertaris Derah Provinsi atau Pejabat yang ditunjuk sebagai
Ketua merangkap anggota;
b. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai
Sekertaris merangakp anggota;
c. Instansi yang menangani urusan dibidang perencanaan
pembangunan daerah sebagai anggota;
d. Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi
Manusia sebagai anggota;
e. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;
dan
f. Akademis sebagai anggota.
Tugas dari tim terkait, ialah:
a. Menginventarisasi masalah yang menjadi alasan kebertan
tersebut;
b. Melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang
keberatan; dan
c. Membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan.
Hasil dari kajian tersebut berupa rekomendasi diterima atau
ditolaknya keberatan rencana lokasi pembangunan ini dalam kurun
waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya
permohonan tersebut oleh Gubernur, dan selanjutnya Gubernur
berdasarkan rekomendasi ini mengeluarkan surat diterima atau
ditolaknua keberetan atas rencana lokasi pembangunan tersebut,
Permasalahan mengenai ditolaknya keberatan atas rencana
lokasi pembangunan ini, Gubernur disini menetapkan lokasi
pembangunannya, sedangkan dalam hal diterimanya keberatan
atas rencana lokasi pembangunan ini, Gubernur akan
memberitahukan kepada instansi terkait untuk mengajukan
rencana lokasi pembangunan ditempat lain.
Setelah penetapan lokasi ini masih terdapat pihak yang
merasakan keberatan, maka pihak yang berhak terhadap
penetapan lokasi ini dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara setempat dengan kurun waktu paling laama 30
hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan lokasi tersebut, dan
Pengadilan Tata Usaha Negara tersebutlah yang memutuskan
diterima atau ditolaknya gugatan tersebut dengan kurun waktu
paling lambat 30 hari kerja setelah diterimnya gugatan tersebut,
dan pihak yang mengajukan keberatan terhadap putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara dengan kurun waktu paling lama
14 hari kerja ini dapat mengajaukan kasasi kepada Mahkamah
Agung Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung disini wajib
memberikan putusan dengan kurun waktu paling lama 30 hari kerja
sejak permohonan kasasi tersebut diterima.
Putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap ini menjadi dasar diteruskannya atau tidak mengenai
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepintan umum ini.
Lalu penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum ini
diberikan dengan kurun waktu dua tahun dan dapat diperpanjang
paling lama satu tahun. Dalam jangka waktu penetapan lokasi
pembangunan ini tidak terpenuhi, maka penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum ini akan dilaksanakan
ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaan
tanahnya. Gubernur dan instansi yang terkait ini mengumumkan
bahwa penetapan lokasi pembangunan untuk kepentinga umum ini
dimaksudkan untuk pemeberitahuan kepada masyarakat bahwa di
lokasi pembangunan tersebut akan dilaksanakan pembangunan
untuk kepentingan umum.
Seusai dengan penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum ini, instansi yang memerlukan tanah tersebut
mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada Lembaga
Pertanahan, untuk pelaksanaan pengadaan tanah ini meliputi:
a. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah;
b. Penilaian ganti rugi;
c. Musyawarah penetapan ganti rugi;
d. Pemberian ganti kerugian;
e. Pelepasan tanah isntansi.
Setelah dilakuannya penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum ini, pihak yang berhak hanya dapat
mengalihkan hak atas tanahnya melalui Lembaga Pertanahan.
Untuk peralihan hak ini dilakukan dengan cara memberikan ganti
kerugian yang nilainya sudah ditetapkan saat nilai pengumuman
penetapan lokasi.

a. Inventarisasi dan identifikasi penguasan, pemilikan,


penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Hasil dari inventarisasi dan identifikasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ini wajib
diumumkan di kantor desa ataupun kelurahan, kantor
kecamatan, dan tempat pengadaan tanah yang dilakukan
dalam kurun waktu paling lama 14 hari kerja yang dilakukan
dengan cara bertahap, parsial ataupun keseluruhan. Untuk
pengumuman hasil inventarisasi dan identifaksi ini meliputi
subjek hak, luas, letak dan peta bidang tanah objek pengadaan
tanah. Dalam menerima hasil inventarisasi ini, pihak yang
berhak dapat mengajukan keberatan kepada Lembaga
Pertanahan dengan kurun waktu paling lama 14 hari kerja
terhitung sejak diumukannya hasil inventarisasi, dan dilakukan
verivikasi dan berbaikan dalam waktu paling lambat 14 hari
kerja dan itu terhitung sejak diterimanya pengajuan. Hasil dari
pengumuman atau verivikasi dan perbaikan yang ditetapkan
oleh Lembaga Pertanagan dan selanjutnya ini menjadi dasar
untuk penentuan pihak yang berhak dalam pemberian ganti
kerugian.

b. Penilaian Ganti Kerugian.


Untuk penetapan nilai ganti kerugian ini Lembaga
Pertanahanlah yang menetapkan penilaiannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Lembaga
Pertanahan ini mengumumkan penilai yang telah ditetapkan
untuk melaksanakan penilaian objek pengadaan tanah tersebut.
Penilai yang telah ditetapkan ini wajib bertanggung jawab
terhadap yang telah dilaksankan dan jika terdapat pelanggaran
maka akan dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi
pidana yang mana telah diatur didalam peraturan perundang-
undangan yangvterkait. Untuk penilaian besar nilai ganti rugi ini
dilakukan oleh penilai, dan dilakukannya menurut bidang
perbidang tanah, yaitu meliputi:
1. Tanah;
2. Ruang atas tanah dan bawah tanah;
3. Bangunan;
4. Tanaman;
5. Benda yang berkaitan dengan tanah; dan atau
6. Kerugian lain yang dapat dinilai.
Untuk nilai ganti kerugian yang dinilai oleh penilai ini
merupakn nilai yang sudah ditetapkan pada saat pengumuman
penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, dan
utnuk besarnya nilai ganti kerugian ini pun penilai
menyampaikan kepada Lembaga Pertanahan, dengan cara
musyawarah yang merupakan dasar dari penetapan ganti
kerugian tersebut. Dalam hal bidang tertentu yang terkena
pengadaan tanah ini terdapat sisa yang tidak lagi dapat
difungsikan dan sesuai dengan peruntukan dan
penggunaannya pihak yang berhak atas ini juga dapat meminta
penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.
Untuk pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan dalam
beberapa bentuk, yaitu:
1. Uang;
2. Tanah;
3. Pemukiman Kembali;
4. Kepemilikan saham; dan atau
5. Bentuk lain yang dietuji oleh kedua belah pihak tersebut.

c. Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian.


Untuk penetapan ganti kerugian ini Lembaga Pertanahan
melakukan musyawarah dengan para pihak yang berhak dan
diberi waktu paling lama 30 hari kerja sejak penilaian dari
penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan tersebut
guna menetapkan bentuk dan/atau besar ganti kerugian
tersebut. Berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian ini, hasil
kesepakatan dari musyawarah ini menjadi dasar pemberian
ganti kerugian kepada pihak yang terakit yang mana dimuat
dalam berita acara kesepakatan.
Apabila dalam hal ini tidak terjadi kesepakatan mengenai
bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, maka pihak yang
terkait dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri
setempat dalam waktu paling lambat 14 hari kerja setelah
musywarah penetapan ganti kerugian tersebut. Pengadilan
Negeri ini memutuskan bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian dalam kurun waktu paling lama 30 hari kerja sejak
diterimanya pengajuan keberatan tersebut. Apabila pihak yang
berhak tersebut merasakan keberatan terhadap putusan
Pengadilan Negeri, maka pihak tersebut dapat mengajukan
kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia dan diberi
waktu paling lambat 14 hari kerja. Disini Mahkamah Agung
wajib memberikan putusan tersebut dalam kurun waktu paling
30 hari paling lama sejak permohonan kasasi tersebut diterima.
Putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung RI yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap ini dapat menjadi dasar
pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan
keberatan tersebut, dan dalam hal ini apabila pihak yang terkait
menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian ini, dan
tetapi pihak tersebut tidak mengajukan keberatan dalam waktu
yang telah ditetapkan, maka pihak yang berhak tersebut
dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugiam.

d. Pemberian Ganti Kerugian.


Pemberian ganti kerugian ini diberikan langsung kepada
pihak yang berhak, yang dilihat berdasarkan hasil penilaian
yang ditetapkan dalam musyawarh dan/atau putusan
Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung. Pada saat pemberian
ganti kerugian ini pihak yang berhak menerima ganti kerugian
ini wajib melakukan pelepasan hak dan wajib juga
menyerahkan bujti penguasaan atau kepemilikan objek
pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah
tersebut melalui Lembaga Pertanahan.
Bukti yang dimaksud diatas ini merupakan satu-satunya alat
bukti yang sah menurut hukum dan juga tidak dapat diganggu
gugat kemudian hari, pihak yang berhak menerima ganti rugi
tersebut harus bertanggungjawab atas kebenaran dan
keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang
diserahkan. Dalam hal ini apabila pihak yang berhak ini
menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian tersebut,
maka ganti kerugian tersebut dapat dititipkan di Pengadilan
Negeri setempat. Untuk penitipan ganti kerugian yang dititipkan
ke Pengadilan Negeri ini juga dapat dilakukan terhadap pihak
yang tidak diketahui keberadaannya atau objek pengadaan
tanah yang akan diberikan ganti kerugian tersebut:
1. Sedang menjadi objek perkara di Pengadilan;
2. Masih dipersengketakan kepemilikannya;
3. Diletakan sita oleh Pejabar yang berwenang; dan atau
4. Menjadi jaminan di Bank.
Setelah pelaksanaan pemberian ganti rugi dan pelepasan
hak ini dilaksanakan ataupun pemberian ganti kerugian ini
telah dititipkan ke Pengadilan Negeri setempat, maka
kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang terkait ini
menjadi terhapus dan untuk alat bukti haknya dinyatakan tidak
berlaku dan tanahnya pun menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara.

e. Pelepasan Tanah Instansi.


Pelepasan objek pengadaan tanah yang dilakukan untuk
kepentingan umum oleh pemerintah ini dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mana
mengatur pengelolaan barang milik Negara atau daerah.
Pelepasan objek pengadaan tanah ini dikuasi oleh pemerintah
atau dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah dilakukan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012.
Pelepasan objek ini dilakukan oleh Pejabat yang
berwenang ataupun Pejabat yang diberikan pelimpahan
kewenangan untuk itu. Pelepasan objek yang tidak diberikan
ganti kerugian ini, kecuali:
1. Objek pengadaan tanah yang mana telah berdiri bangunan
yang dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan
tugas pemerintah
2. Objek pengadaan tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah atapun
objek pengadaan tanah kas desa.
Ganti kerugian atas objek pengadaan tanah ini diberikan
dalam bentuk tanah ataupun bangunan relokasi, pelepasan
objek pengadaan tanah ini dilaksankan paling lambat 50 hari
sejak penetapan lokasi pembangunan tersebut. Tetapi, apabila
pelepasan objek ini belum selesai dalam waktu yang telah
ditentukan tersebut, maka itu dinyatakan telah dilepaskan dan
menjadi tanah Negara dan dapat langsung digunakan untuk
pembangunan bagi kepentingan umum tersebut.

f. Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah.


Yang menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada
instansi yang memerlukan tanah ini ialah Lembaga
Pertanahan, dan setelah setelah pemberian ganti kerugian
kepada pihak yang berhak dan pelepasan hak dilaksanakan
dan/atau pemberian ganti kerugian yang mana sudah
ditetapkan di Pengadilan Megeri. Lalu instansi yang
memerlukan tanah ini dapat memulai melaksanakan kegiatan
pembangunan tersebut setelah dilakukannya serah terima hasil
pengadaan tanah. Apabila pengadaan tanah untuk
kepentingan umum ini terjadi keadaan mendesak yang
disebabkan karena bencana alam, perang, konflik sosial yang
meluas, dan wabah penyakit, maka pembangunan untuk
kepentingan umum ini dapat dilaksanakan setelah penetapan
lokasi tersebut dan sebelum penetapan lokasi pembangunan
untuk kepentingan umum terlebih dahulu, haruslah
disampaikan pemberitahuannya kepada pihak yang berhak,
maka dalam hal tersebut apabila terdapat keberatan atau
gugatan atas pelaksanaan pengadaan tanah itu maka instansi
yang memerlukan tanahnya tersebut tetap dapat
melaksanakan kegiatan pembangunannya, dan instansi yang
memperoleh tanah ini wajib mendaftarkan tanah yang telah
diperolehnya itu yang mana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

g. Pemantuan dan Evaluasi.


Pemantuan dan evaluasi dalam penyelenggaraan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini dilakukan oleh
Pemerintah. Pemantuan dan evaluasi hasil penyeraha
pengadaan tanah yang telah diperoleh ini juga dilakukan oleh
Lembaga Pertanahan.

F. Ganti Kerugian.
a. Pengertian Ganti Rugi
Ganti kerugian menurut Keoutasan Presiden Nomor 55 Tahun
1993 didalam Pasal 1 angka 7 ini memiliki arti bahwa penggantian atas
nilai tanah berikut bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang
terkait dengan tanah sebagai akibat dari pelepasan atau penyerahan
tanah. Pengertian ini kemudian diperlengkap lagi dalam Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo Pertauran Presiden 65 Tahun 2006, dan
meneurut ketentuannya Pasal 1 angka11 ganti rugi ini merupakan
penggantian terhadap kerugian baik yang bersifat fisik dan/atau non fisik
sebagai akibat dari pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah,
bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang terakit dengan tanah
yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dan tingkat
kehidupan sosial ekonominya sebelum terkena pengadaan tanahnya.
Lalu pengertian ini pun diubah kembali dan diatur didalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dalam ketentuan Pasal 1 angka 10
ganti kerugian disini merupakan penggantian yang layak dan adil terhadap
pihak-pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.
Dalam Undang-Undang tersebut lebih menekankan kepada aspek
kelayakan dan keadilan bagi pemegang hak atas tanah. Menurut Maria
S.W. Sumardjono ganti kerugian yang dapat dikatakan adil ini merupakan
ganti kerugian yang harus diberikan dalam pengadaan tanah ini ialah yang
tidak membuat seseorang lebih kaya atau tidak miskin dari keadaan
sebelumnya.

b. Bentuk Ganti Kerugian.


Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dalam Pasal 13 ini
menetapkan bahwa bentuk ganti kerugian ini terdiri dari beberap
bentuk, yaitu:
1. Uang;
2. Tanah pengganti.
3. Pemukiman kembali.
4. Gabungan dari dua atau lebih dari ganti kerugian, yang mana
dimaksdu dalam huruf a, huruf b, dan huruf c.
5. Bentuk lain yang disetujui para pihak.
Ketentuan didalam Pasal 14 ini mengatur bahwa penggantian atas
bidang tanah hak ulayat ini harus diberikan ganti rugi juga, tetapi berupa
fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat. Perhitungan ganti rugi ini
didasarkan dan diatur didalam ketentuan Pasal 15, yaitu didasarkan pada:
a. Harga tanah yang didasarkan pada nilai nyata atau sebenarnya,
dan dinyatakan dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak
Bumi dan Bangunann (NJOP) yang terkair dengan tanah yang
bersangkutan;
b. Nilai jual bangunan tersebut yang mana ditaksir oleh instansi
Pemerintah Daerah yang mana bertanngungjawab dibidang
bangunan tersebut;
c. Nilai jual tanaman ini pun ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah
yang juga bertanggungjawab dibidang pertanian.
Didalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 khususnya didalam Pasal
13 ini menetapkan bahwa bentuk ganti rugi yang terdapat didalam
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 ini diubah dengan
menambahkannnya penyertaan modal sebagai bentuk ganti rugi yang
baru.
- Bentuk Ganti Rugi ini dapat berupa:
 Uang;
 Tanah pengganti;
 Pemukiman kembali;
 Penyertaan modal.
- Dalam hal pemegang hak atas ini tidak menghendaki bentuk ganti
kerugian yang mana dimaksud pada ayat (1), maka dari itu
dapat diberikan kompensasi berupa penyertaan modal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dasar dari perhitungan ganti rugi ini diddasarkan atas:
- Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai nayata/sebenarnya
dengan ini memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun
yang berjalan berdasarkan penetapan Lembaga/Tim Peniliai
harga tanah yang ditunjuk oleh panitia;
- Nilai jual bangunan ini ditaksir oleh perangkat daerah yang mana
bertanggung jawab di bidang bangunan;
- Nilai jual tanaman ditaksir oleh perangkat daerah yang mana
bertanggung jawab di bidang pertanian.
Sejak diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005,
penilian ganti rugi atas tanah ini mulai melibatkan perenann dari
Lembaga/Tim Penilai harga tanah yang ditunjuk langsung oleh Panitia
Pengadaan Tanah. Peraturan pengadaan tanah yang sebelumnya ini tidak
melibatkan Lembaga/Tim Penilai harga tanh. Penetapan ganti rugi atas
tanah ini ditetapkan secara berpihak oleh panitia, dan didalam Pasal 1
angka 12 ini didefinisikan bahwa Lembaga/Tim Penilai harga tanah ialah:
Lembaga/Tim Penilai harga tanah ini merupakan Lembaga/Tim
yang professional dan independen untuk menetapkan nilai ataupun harga
tanah yang akan digunakan sebagai dasar yang mana berfungsi untuk
mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi.
Didalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 ini bentuk ganti
kerugian berupa penyertaan modal ini dihapuskan. Bentuk ganti kerugian
ini kembali mengacu kepada bentuk ganti kerugian pada ganti rugi yang
telah diatur didalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Revisi
penetapan ganti kerugian dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006 yang terdapat di Pasal 13, ialah:
Dasar dari perhitungan ganti kerugian diatas didasarkan atas:
a. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan
memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun berjalan
berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai harga tanah yang
ditunjuk oleh panitia;
b. Nilai jual bangunan yang ditaksir tersebut oleh perangkat daerah
yang mana bertanggungjawab didalam bidang bangunan;
c. Nilai jual tanaman pun yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
mana bertanggung jawab dibidang pertanian.
Perbedaan antara Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 ini
dengan peraturan sebelumnya ialah mengenai kewenangan penilai harga
tanah untuk menetapkan jumlah ganti rugi, sedangkan dalam Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 penilai harga tanah tersebut dapat
mengeluarkan besar ganti rugi harga tanah, tetapi dalam Peraturan Nomor
65 Tahun 2006 ini menyatakan bahwa penilai harga tanah hanya
berwenang melakukan penilaian.
Berbeda halnua dengan peraturan sebelumnya juga mengenai
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini tidak dicantumkan dasar
penetapan ganti kerugian berdasarkan NJOP dan variabel-variabel
penilaian harga tanah. Penilaian harga tanah ini sepenuhnya diserahkan
kepada penilai pertanahan, dan berdasarkan Pasal 1 angka 11 ini
dimaksud bahwa penilai pertanahan ialah:
Penilai pertanahan disini yang selanjutnya dapat disebut penilai
merupakan orang perseorangan yang mana melakukan penilaian secara
independen dan professional yang mana telah ,endapatkan izin praktik
penilaian dari Menteri Keuangan dan juga telah mendapatkan lisensi dari
Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan
tanah.
Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (3) ini menyatakan bawah nilai ganti
kerugian ini merupaka hasil dari penilaian penilai untuk menjadi dasar
musyawarah penetapan ganti kerugian.
Keseimbangan antara kepentingan umum ini dengan kepentingan
individu bergantungan pada aspek kesebandingan nilai ganti rugi yang
diberikan dengan kehilangan hak atas yang mana dialami oleh pemegang
hak atas tanah tersebut.

G. Penitipan Ganti Kerugian (Konsinyasi).


Penitipan ganti kerugian atau bisa disebut dengan konsinyasi pengadaan
tanah ini berdasar pada untuk kepentingan umum ialah kepentingan yang
mana didahulukan daripada kepentingan oribadi dalam halnya memaksa
bahwa Negara mengharusnya Negara untuk melakukan tindakan guna
mengambil hak atas tanah tersebut, itu merupakan wewenang tugas
Negara dalam mensejahterakan rakyat dengam cara pemenuhan
kebutuhan dan memberikan kemanfaatan yang bersifat public, maka dari
itu terdapat kepentingan yang lebih tinggi dari semua lapisan
dimasyarakat yang mana harus dipenuhi dari sekedar kepentingan pribadi.
Penitipan ganti kerugian atau konsinyasi ini merupakan salah satu cara
yang digunakan untuk penyelesaian sengketa ganti rugi yang terjadi saat
berlangsungnya proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum
tersebut, karena adanya perbedaan pendapat atau mungkin tidak
terjadinya kesepakatan serta alasan-alasan yang lain dapat menghambat
proses pengadaan tanah tersebut bagi pembangunan yang disebabkan
tidak terselesainya masalah pengadaan tanah itu. Hal ini berkaitan dengan
pembebasan hak milik perseorangan atau milik secara bersama-sama
yang kemudian tanah tersebut akan digunakan untuk pembangunan
kepentingan umum tersebut.
Didalam Pasal 18 UUPA menyebutkan bahwa:
“Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan Negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut
dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang
diatur didalam undang-undang”
Terkait dengan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum ini, pengaturannya sedikit bebeda dengan konsinyasi menurut
KUHPerdata yang mana menyatakan bahwa “jika kreditur menolak
pembayaran, maka debitur disini dapat melakukan penawaran
pembayaran, dan apabila si kreditur tetap menolak maka debitur dapat
menitipkannya kepada Pengadilan” dalam ketentuan pasal tersebut maka
penitipan uang atau barang disebut konsinyasi dan dilakukan terhadap
pihak berhutang kepada pihak berpiutang dalam hal pelunasan hutang.
Menurut KUHPerdata konsinyasi ini merupakan suatu hubungan hukum
antara si debitur dan kreditu. Lembaga Konsinyasi yang diatur didalam
KUHPerdata ini hanya diperuntukan sebagai pelunasan hutang dan tidak
mengatur ganti rugi pengadaan tanah untuk dapat dikonsinyasikan.
Penggunaan konsinyasi didalam proses pengadaan tanah ini Sebagian
besar dilakukan karena tidak adanya kesepakatan dalam musyawarah
antara Pemerintah sebagai pihak yang memerlukan tanah dan masyarakat
disini sebagai pemilik tanah. Karena konsinyasi didalam KUHPerdata ini
mengatur mengenai adanya hubungan hukum antara pihak debitur
dengan kreditur, sedangkan maksud dari konsinyasi dalam pemberian
ganti kerugian ini ialah tanpa adanya hubungan hukum antara pemerintah
sebagai pihak yang memerlukan tanah dengan pemeggang hak atas
tanah, karena konsinyasi disini dilakukan tanpa adanya kesepekatan
mengenai ganti rugi tersebut. Sedangkan didalam kesepakatn ini
merupakan salah satu syarat perjanjian yang mana diatur didalam Pasal
1320 KUHPerdata, sehingga ketidaksepakatan ini menimbulkan persepsi
bahwa adanya penitipan ganti kerugian yang telah melanggar hak-hak
pribadi atas tanah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai