Anda di halaman 1dari 10

KATEKESE WARTA – HM 3 MARET 2019

TENTANG ‘RABU ABU’

Dari mana Asal Mula Perayaan dan Penggunaan Abu?

Penggunaan abu dalam liturgy berasal dari Perjanjian Lama. Abu melambangkan
perkabungan: sesal dan tobat; juga lambang ketidakabadian, kefanaan. Dalam Buku Ester,
Mordekai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros
(485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1).
Ayub menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6). Dalam nubuatnya
tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel menulis, “Lalu aku mengarahkan mukaku
kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenangkan kain
kabung serta abu.” (Dan 9:3). Dalam ke abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang
berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenangkan kain
kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6).
Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan
pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.

Yesus sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak
untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat
dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, “Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah
terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ
bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.” (Mat 11:21).

Mengapa Gereja Katolik menggunakan simbolisme abu ini?

Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alas an simbolik yang sama. Dalam
bukunya “De Poenitenta”, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat
haruslah “hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu. “Eusebius
(260-340), sejarahwan Gereja Perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya “Sejarah
Gereja” bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan
mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama,
bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat dihadapan umum, imam akan
mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.

Bagaimana makna abu ini dikaitkan dengan hari Rabu Abu ?

Pertama : Gereja Katolik menerapkan puasa ini selama 6 hari dalam seminggu (hari Minggu
tidak dihitung, karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitas Yesus), maka masa
puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, menjadi : 36 + 4 = 40. Dengan demikian,
hari pertama puasa jatuh pada hari Rabu. (Paskah terjadi hari Minggu, dikurangi 36 hari (6
minggu), lalu dikurangi lagi 4 hari, dihitung mundur, jatuh pada hari Rabu). Jadi penentuan awal
masa Prapaskah pada hari Rabu disebabkan karena perhitungan 40 hari sebelum hari Minggu
Paska, tanpa menghitung hari Minggu.

Kedua : Abu yang menjadi lambang pertobatan dan ketidakabadian ini, dipergunakan untuk
menandai permulaan Masa Praspaskah. Ritual Perayaan “Rabu Abu” ditemukan dalam edisi
awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad ke 8. Sekitar tahun 1000, seorang
imam bernama Aelfric berkotbah : “Kita membaca dalam kitab-kitab Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta
membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang marilah kita melakukannya sedikit pada
awal Masa Prapaskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib
menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah”. Sejak abad pertengahan, Gereja
telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan
ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.

Dari manakah abu yang dipakai untuk peerayaan suci ini?

Kita mempergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada
perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan
mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, “Ingat,
engkau berasal dari debu debu akan kembali menjadi debu”, atau “Bertobatlah dan percaya;ah
kepada Injil”.
Makna penting apakah yang harus kita ambil dari abu ini?

Patutlah kita ingat akan makna abu yang utama: kita menyesali dosa dan melakukan silih
bagi dosa-dosa kita. Kita mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, wafat dan bangkit
demi keselamatan kita. Kita memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam pembabtisan,
yaitu ketika kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang baru
bersama Kristus. Dan yang terakhir, kita menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu, kita
berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekrang ini serta merindukan kepenuhannya di surga
kelak. Bersiaplah untuk keabadiab, bukan kefanaan.

Beberapa hal konkrit yang bisa dilakukan :

Mohon Roh Kudus menggerakkan kita dalam karya dan amal belas kasihan terhadap sesama.
Dunia yang egois cendrung menggoda kita menjadi egocentric dan tidak peduli pada Tuhan dan
sesame ciptaan yang malang. Tindakan belas kasih adalah bagian dari silih dan tobat kita,
ekspresi solidaritas kita dengan sesama. Juga, sesuai para rasul : perbuatan cinta dan amal kasih,
menghapus banyak dosa.

Mengapa Abu tanda Pertobatan ditaruh di dahi orang ?

Agar dilihat orang. Maksudnya, agar kita berani menunjukkan kepada dunia, bahwa sata berdosa,
saya mau bertobat, saya mau berbuat silih, saya mau hidup baru. Saya adalah manusuia fana,
berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Hanya tobat dariku dan kerahiman Tuhan
akan membuatku hidup. Bersama semua orang katolik di seluruh dunia, abu di dahi menjadi
tanda tobat dan silih. Kita berani keluar dari gereja membawa abu di dahi. Mungkin teman
penumpang bus atau angkot akan mengatakan “bu, maaf ada kotor di dahi”, dan kita akan
senyum sambil berkatakese: tak apa kawan, saya orang katolik, saya memulaikan, masa tobat,
pantang dan puasa saya……………... Kita tidak malu menunjukkan bahwa bahwa diri kita
memang kotor, berdosa. Memang ada sesuatu yang unik dan menarik pada Rabu Abu. Ketika
semua meliat betapa kotornya dahi sesame kita. Ada abu di dahinya. Kita lupa bahwa kita
mempunyai abu yang sama. Hahahah …………. Inilah cerminan hidup harian kita yang harus
disesali, dirubah; kita gampang melihat selumbar pada mata orang, sementara balok di mata dan
hati sendiri tidak Nampak. Maka sangat perlulah refleksi, sadar diri, tobat, rubah diri. Diriku
tidak lebih bersih dari temanku yang berabu. Aku tak lebih dari sesamaku yang sering kutuduh,
kuhakimi, kuanggap jelek/berdosa.

Tanya: Jika ada saudara atau saudariku yang sakit, tua dan tidak bisa mengikuti misa Rabu
Abu. Bagaimana ia boleh mendapatkan abu itu?

Bisa saja, imam menugaskan rohaniwan/ti atau Sie Liturgi Paroki atau prodiakon, sesuai
kebijaksanaan pastor paroki, untuk membawakan dan menerimakan abu itu pada mereka yang
sakit/tua, di rumah mereka masing-masing, sekiranya pastor sendiri tidak bisa
menghantarkannya. Melalui sebuah upacara doa singkat, ditandai dengan pembacaan suci dan
renungan tentang perlunya bertobat, abu itu diberikan kepada ybs.
KATEKESE WARTA – HM 10 MARET 2019

TENTANG ‘PANTANG & PUASA’

Pengantar: Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Konferensi para Uskup
hendaknya dilakukan setiap hari Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh
pada salah satu yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan
pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati sengsara dan wafat dan Tuhan
kita Yesus Kristus. Peraturan pantang mengikat mereka yang telah berumur genap empat belas
tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat semua yang berusia dewasa sampai awal tahun ke
enam puluh; namun para gembala jiwa dan orang tua hendaknya berusaha agar juga mereka,
yang karena usianya masih kurang tidak terikat wajib puasa dan pantang, dibina kea rah cita-rasa
tobat yang sejati. (KHK 1251-1252).

Jadi sebagai orang katolik wajib berpuasa pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Jadi selama
masa Prapaskah, kewajiban puasa hanya dua hari saja. Yang wajib berpusa adalah semua
orang yang berumur delapan belas tahun sampai awal enam puluh tahun.

PUASA berarti :

Makan kenyang hanya satu kali dalam sehari. Untuk yang biasa makan tiga kali sehari bisa
memilih

 Kenyang, tak kenyang, tak kenyang


 Tak kenyang, kenyang, tak kenyang
 Tak kenyang, tak kenyang, kenyang

Orang katolik wajib berpantang pada hari Rabu Abu dan setiap hari jumat sampai jumat
suci. Jadi hanya 7 hari selama masa prapaskah. Yang wajib berpantang adalah semua orang
katolik yang berusia empat belas tahun ke atas.
PANTANG berarti :

 Pantang daging, atau


 Pantang rokok, atau
 Pantang garam, atau
 Pantang gula dan semua manisan seperti permen, atau
 Pantang hiburan, seperti radio, televisi, bioskop, film, games, hp, kecanduan-
kecanduan, dll.

Puasa dan pantang bisa juga lebih bersifat rohani/spiritual/moral: misalnya puasa marah, emosi,
iri, dendam, malas, pantang maki, pantang membangkang, pantang menuduh, dll. Karena begitu
ringannya, kewajiban berpuasa dan berpantang, sesuai dengan semangat tobat yang ingin
dibangun, umat beriman, baik secara pribadi, keluarga, atau pun kelompok, dianjurkan untuk
menetapkan cara berpuasa dan berpantang yang lebih berat. Penetapan yang dilakukan diluar
kewajiban dari Gereja, tidak mengikat dengat sangsi dosa. Dalam rangka masa tobat, maka
pelaksanaan perkawinan dan pestanya juga disesuaikan. Jika harus ada perkawinan maka
pestanya tidak boleh dirayakan secara meriah.

ARTI PUASA dan PANTANG

PUASA adalah tindakan sukarela tidak makan tau tidak minum seluruhnya, yang berarti sama
sekali tidak makan atau minum apapun atau sebagian, yang berarti mengurangi makan atau
minum.

 Secara kejiwaan, berpuasa memurnikan hati ornag dan mempermudah pemusatan


perhatian waktu bersemadi dan berdoa.
 Puasa juga dapat merupakan korban atau persembahan.
 Puasa pantas disebut doa dengan tubuh, karena dengan berpuasa orang menata hidup dan
tingkah laku rohaninya.
 Dengan berpuasa, orang mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan kehendak-Nya. Ia
mengorbankan kesenangan dan keuntungan sesaat, dengan penuh syukur atas kelimpahan
karunia Tuhan. Demikian, orang mengurangi keserakahan dan mewujudkan penyesalan
atas dosa-dosanya di masa lampau.
 Dengan berpuasa, orang menemukan diri yang sebenarnya untuk membangun pribadi
yang selaras. Puasa membebaskan diri dari ketergantungan jasmani dan
ketidakseimbangan emosi. Puasa membantu orang untuk mengarahkan diri kepada
sesame dan kepada Tuhan.

Itulah sebabnya, puasa Katolik selalu terlaksana bersamaan dengan doa dan derma, yang
terwujud dalam Aksi Puasa Pembangunan. Semangat yang sama berlaku pula untuk laku
PANTANG.

Yang bukan semangat puasa dan pantang Katolik adalah :

 Berpuasa dan berpantang sekedar untuk kesehatan: diet, mengurangi makan dan minum
atau makanan dan minuman tertentu untuk mencegah atau mengatasi penyakit tertentu.
 Berpuasa dan berpantang untuk memperoleh kesaktian baik itu tubuh maupun rohani.

SABDA TUHAN SEHUBUNGAN DENGAN PUASA:

“Melalui nabi Yesaya, Tuhan bersabda: Berpuasa yang Kukehendaki ialah supaya engkau
membuka belenggu-belenggu kelaliman. Dan mematahkan setiap kuk supaya engkau
memerdekakan orang yang teraniaya dan memtahakn setiap kuk, supaya engkau memecah-
mecahkan rotimu bagi orang lapar, dan membawa ke rumahmu irang miskin yang tidak
mempunyai rumah dan apabila kamu melihat orang telanjang supaya engkau memberi dia
pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri. Pada waktu itulah engkau
akan memanggil dan Tuhan akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan
berkata: Ini Aku. Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi
menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah. Apabila engkau menyerahkan kepada orang
lapar apa yang kau inginkan sendiri dan memuaskan hati orang tertindas. Maka terangmu akan
terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti bintang rembang tengah hari”.

Dalam kotbah di bukit, Yesus bersabda tentang puasa:

“Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah
air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu:
sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah
kepalamu dan cucilah mukamu supanya jangan dilihat orang bahwa engkau sedang
berpuasa melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang
melihat tersembunyi akan membalasnya kepadamu”.
KATEKESE WARTA - HM 17 MARET 2017

TENTANG ‘TATA GERAK DALAM LITURGI KATOLIK’

Yang dimaksud dengan tata gerak adalah segala sikap yang diambil dan dibuat dalam sebuah
liturgi katolik, seperti perarakan, berdiri, berlutut, duduk, dll.

Tanya: Apa artinya sebuah perarakan di awal misa?

Perarakan adalah ungkapan kemeriahan dan kemuliaaan yang memngawali sebuah perayaan
liturgis. Hendaknya tata gerak ini dilaksanankan dengan anggun dan diiringi dengan nyanyian
yang serasi (PUMR 44). Bila dirasa perlu bisa diiringi tarian atau ekspresi budaya lainnya,
khususnya pada pesta. Siapa yang berarak? Kristus sendiri, dalam diri imam, dan salib di depan
barisan: Krisitus imam agung, memasuki ruang perjamuan, ruangann kudus, bersatu dengan
umatNya. Maka umat berdiri menghadap, mengikuti perjalanan perarakan, sampai ke depan
altar, tidak hanya berdiri mematung ke depan atau ke buku, seolah ada tamu agung masuk ke
rumah kita tetapi kita tidak peduli.

Tanya: Apakah hanya perarakan awal misa saja yang disebut perarakan?

Tidak. Yang disebut perarakan juga yaitu saat imam bersama putra-putri altar berarak menuju
sakristi; juga saat umat menghantar bahan persembahan. Juga perarakan agung Maria atau
sakramen mahakudus, di dalam atau di luar gereja. Perarakan pengantin atau jenazah, calon
babtis, calon krisma, dan calon imam meuju altar.

Anda mungkin juga menyukai