Anda di halaman 1dari 6

Nama : Maulana Fajar

NIM : 1201618044
Kelas : 2 PB 2

Teori Unsur Intrinsik dan Ekstinsik Prosa Fiksi

Sumber : Buku Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis oleh Endah Tri
Priyatni. PT Bumi Akasara, 2010. Jakarta

Unsur Intrinsik Prosa Fiksi


1. Tokoh, watak, dan perwatakan
a.Tokoh
Tokoh adalah para pelaku atau subjek lirik dalam karya fiksi. Tokoh berdasarkan
bentuknya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh fisik dan tokoh imajiner. Tokoh
fisik adalah tokoh yang ditampilkan pengarang sebagai manusia yang hidup di alam
nyata. Sedangkan tokoh imajiner adalah tokoh yang ditampilkan sebagai manusia yang
hidup dalam fantasi. Dari tokoh imajiner ini kita tidak akan menjumpai sifat-sifat
manusia secara wajar.
Beradasarkan sifat atau watak tokoh, tokoh dapat dibedakan menjadi protagonis
dan tokoh antagonis. Tokoh Protagonis adalah tokoh yang berwatak baik sehingga
disukai pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang berwatak jelek dan
tidak disukai pembaca.
Berdasarkan fungsinya, tokoh dibedakan atas tokoh utama dan tokoh
bawahan/pembantu. Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peran utama, frekuensi
kemunculannya sangat tinggi, menjadi pusat penceritaan. Sedangkan tokoh bawahan
adalah tokoh yang mendukung tokoh utama, yang membuat cerita lebih hidup
(Sudjiman, 1988).
Berdasarkan kompleksitas masalah yang dihadapi, tokoh dibedakan atas tokoh
simpel dan tokoh kompleks. Tokoh simpel adalah tokoh yang tidak banyak dibebani
masalah, sedangkan tokoh kompleks adalah tokoh yang banyak dibebani masalah.
Berdasarkan perkembangan watak tokoh, tokoh dibedakan atas tokoh statis dan
tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang wataknya tidak mengalami perubahan
mulai dari awal hingga akhir cerita. Sedangkan tokoh dinamis adalah tokoh yang
mengalami perubahan dan perkembangan watak.
b. Watak
Watak adalah sifat dasar, akhlak, atau budi pekerti yang dimiliki oleh tokoh.
Setiap tokoh dalam karya fiksi memiliki sifat, sikap, dan tingkah laku atau watak-watak
tertentu. Yang memperkenalkan watak-watak tersebut adalah pengarang dengan tujuan
memperjelas tema yang ingin disampaikan.

c. Perwatakan
Cara pengarang menampilkan watak para tokoh dalam cerita ada bermacam-
macam. M.Saleh dan Stephen Minot mengungkapkan bahwa ada dua cara perwatakan,
yakni : 1) secara langsung atau analitik, 2) secara dramatik (tidak langsung) (dalam
Soedjijono, 1984). Cara analitik adalah cara pengungkapan waqtak tokoh secara
langsung. Pengarang secara langsung mengungkapkan sifat, sikap, dan pengarai dari
tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Sedangkan cara dramatik adalah pelukisan watak
tokoh secara tidak langsung, misalnya melalui : 1) lingkungan hidup pelaku, 2)
monolog, 3) percakapan para pelaku, 4) jalan pikiran pelaku, 5) reaksi pelaku terhadap
peristiwa, dan 6) komentar orang lain terhadap pelaku.

2. Setting atau latar


Peristiwa dalam prosa fiksi dilatari oleh tempat, waktu, dan situasi tertentu.
Sebenarnya setting tidak hanya berupa hal yang bersifat fisikal semata, tetapi juga
setting yang bersifat psikologis. Setting fisik berkaitan dengan tempat, waktu, situasi,
dan benda-beda/lingkungan hidup yang fungsinya membuat cerita menjadi logis.
Sedangkan setting psikologis mampu menggerakan emosi atau jiwa pembaca.
Jacob Sumardjo (1984) menyatakan bahwa setting tidak hanya berupa tempat
atau lokal saja, tetapi mencangkup suatu daerah dengan watak kehidupannya. Hal ini
senada dengan pendapat Stephen Minot yang menyatakan bahwan latar memuat : 1)
latar waktu, 2) latar alam/geografi, dan 3) latar sosial.

3. Alur/plot
Alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat. Dari
definisi ini dapat disimpulkan bahwa peristiwa adalah unsur utama alur. Keterampilan
pengarang dalam menggarap peristiwa menjadi jalinan cerita yang menarik ikut
menentukan kualitas cerita yang ditampilkan pengarang.
Jalinan-jalinan peritiwa dalam prosa fiksi tersusun dalam tahapan-tahapan. Pada
prinsipnya, prosa fiksi bergerak dari permulaan, melalui pertengahan, dan menuju akhir.
Menurut Montage dan Henshaw, tahapan peristiwa dalam plot tersusun sebagai
berikut.
1) Exposition, yaitu tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat
terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung
cerita.
2) Inciting Force, adalah tahapan saat timbulnya kekuatan, kehendak,
maupun perilaku yang bertentangan.
3) Rising Action, adalah situasi yang panas karena pelaku-pelaku dalam
cerita berkonflik
4) Crisis, adalah situasi yang semakin panas karena pelaku-pelaku dalam
cerita mulai berkonflik dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh
pengarangnya.
5) Climax, adalah situasi puncak karena konflik berada dalam kadar yang
paling tinggi, sehingga para pelaku mendapatkan nasibnya sendiri-
sendiri.
6) Falling action, adalah kadar konflik yang sudah menurun, sehingga
ketegangan dalam cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclusion
atau penyelesaian cerita.
Menurut Loban, dkk.
1) Eksposisi.
2) Komplikasi atau intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi
konflik.
3) Klimaks.
4) Resolusi atau penyingkapan tabir suatu problema.
5) Denoument atau penyelesaian.
Menurut Sudjiman (1991).
1) Paparan (exposition)
2) Rangsangan (inciting force)
3) Gawatan (rising action)
4) Tikaian (conflict)
5) Rumitan (complication)
6) Klimaks (climax)
7) Leraian (falling action)
8) Selesaian (denoument)
Dengan catatan 1-3 (Awal), 4-6 (Tengah), dan 7-8 (Akhir).

4. Gaya (style)
Istilah gaya diambil dari bahasa Inggris style dan dalam bahasa latin stillus,
mengandung arti leksikal ‘alat untuk menulis’. Dalam isitilah sastra, gaya mengandung
pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasan menggunakan media bahasa
yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 1987).
Alat gaya, yaitu majas dan kiasan. Majas kalimat meliputi : asindenton, klimaks,
antiklimaks; sedangkan yang termasuk majas kata adalah : litotes, hiperbola, eufimisme;
majas pikiran misalnya : paradoks, antitese, dan aksimoron; majas bunyi, misalnya :
anafora, efifora, dan pleonasme.
Pengertian gaya lebih luas daripada gaya bahasa. Gaya merupakan ceriman
pribadi pengarang.
5. Sudut Pandang Pengarang/Point of View
Seorang pengarang dalam memaparkan ceritanya dapat memilih sudut pandang
tertentu. Pengarang dapat memilih satu atau lebih narator/pencerita yang bertugas
memaparkan ide, peristiwa-peristiwa dalam prosa fiksi. Secara garis besar, pengarang
dapat memilih pencerita AKUAN atau DIAAN.
Seorang pencerita dapat dikatakan sebagai pencerita akuan apabila pencerita
tersebut dalam bercerita menggunakan kata ganti orang pertama: aku atau saya.
Pencerita akuan dapat menjadi salah satu pelaku atau disebut narrator acting. Sebagai
narrator acting, ia bisa mengetahui semua gerak fisik maupun psikisnya. Narrator acting
yang demikian ini biasanya bertindak sebagai pelaku utama yang serba tahu.
Tidak semua narrator acting sebagai pencerita yang serba tahu. Terdapat
kemungkinan narrator acting ini hanya mengetahui gerak-gerik fisik dari para pelaku
yang bertindak sebagai pelaku bawahan.
Di samping bertindak sebagai pencerita yang terlibat atau narrator acting,
seorang pencerita juga bisa bertindak sebagai pengamat. Pencerita semacam ini
biasanya disebut pencerita DIAAN. Pencerita diaan dalam bercerita biasanya
menggunakan kata ganti orang ketiga. Adapun penunjuk kebahasaan yang digunakan
biasanya: dia, ia, atau mereka.

6. Suasana Cerita
Dalam cerita fiksi terdapat suasana batin dari individu pengarang. Disamping itu
juga terdapat suasana cerita yang ditimbulkan oleh penataan setting. Suasana cerita yang
ditimbulkan oleh suasana batin individual pengarang disebut mood, sedanghkan suasana
cerita yang timbul karena penataan setting disebut atmosphere.
Di samping mood dan atmosphere juga terdapat suasana cerita yang timbul
karena sikap pengarang terdapat pokok persoalan yang dikemukakan dalam cerita.
Suasana cerita yang demikian ini dalam prosa fiksi disebut tone.

7. Tema
Tema dalam prosa fiksi memiliki kedudukan yang sangat penting karena semua
elemen dalam prosa fiksi dalam sistem operasionalnya akan memacu dan menunjang
tema. Tema disebut juga sebagai ide sentral atau makna sentral suatu cerita. Tema
merupakan jiwa cerita dalam kerya fiksi. Pendapat ini selaras dengan pendapat
Aminuddin (1987) yang menyatakan bahwa tema adalah ide yang mendasari suatu
cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak dalam memaparkan karya fiksi
yang diciptakannya.
Tema menjadi panduan pengarang dalam memilih bahan-bahan cerita, cara
watak-watak bergerak, berpikir, dan merasa, serta cara watak-watak bertentangan satu
dengan lainnya, bagaimana cerita itu diselesaikan, semuanya menentukan rupa tema
yang hendak disampaikan oleh pengarang.
Unsur Ekstrinsik Prosa Fiksi
1. Nilai-nilai dalam cerita (agama, budaya, politik, ekonomi);
Nilai yang terkandung adalah salah satu unsur penting dalam sebuah karya
sastra. Nilai-nilai tersebut yang akan diambil oleh pembaca dalam rangkuman isi dari
karya penulis.
a. Nilai Agama
Nilai agama yaitu nilai-nilai dalam cerita yang sangat berkaitan dengan
ajaran yang berasal dari ajaran agama.
b. Nilai Moral
Nilai moral merupakan nilai-nilai dalam cerita yang sangat berkaitan
dengan akhlak atau etika. Nilai moral dalam sebuah cerita bisa jadi nilai moral
yang baik, bisa juga nilai moral yang buruk atau jelek.
c. Nilai Budaya
Nilai budaya merupakan niali-nilai yang berkenaan dengan kebiasaan
atau tradisi atau adat istiadat yang berlaku pada suatu daerah.

2. Latar belakang kehidupan pengarang


Latar belakang pengarang bisa mengikuti pemahaman kita terhadap sejarah
hidup dan juga sejarah hasil karangan-karang sebelumnya. Latar belakang pengarang
dapat terdiri dari tiga bagian.
a. Biografi
Biogarafi ini berisi tentang riwayat hidup pengarang yang ditulis secara
keseluruhan.
b. Kondisi Psikologis
Kondisi Psikologis ini berisi tentang pemahaman mengenai kondisi
mood serta keadaan yang mengharuskan seorang pengarang menulis cerpen.
c. Aliran Sastra
Seorang penulis pasti akan mengikuti aliran sastra tertentu. Ini sangat
berpengaruh dalam gaya penulisan yang dipakai penulis dalam menciptakan
sebuah karya.

3. Situasi sosial ketika cerita itu diciptakan.


Pengaruh kondisi latar belakang masyarakat sangatlah besar terhadap
terbentuknya sebuah cerpen.
Pemahaman itu bisa berupa pengkajian:
 Ideologi Negara’
 Kondisi Politik
 Kondisi Sosial
 Kondisi Ekonomi Masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai