Anda di halaman 1dari 9

AGAMA DAN KEBUDAYAAN

 Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya. Sedangakan budaya adalah hasil akal pikiran
dan perilaku manusia. Suatu keyakinan adalah hal yang mutlak berdasarkan kepercayaan
manusia. Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan hasil karya manusia berdasarkan
kenyataan. Namun tidak dapat dibantah baik agama atau budaya berpangkal dari adanya
manusia, tidak ada agama tanpa manusia dan karena budaya maka ada agama. Mengapa
sukar memisahkan agama dan budaya, karena itu agama tidak akan dianut umatnya tanpa
budaya.

I. AGAMA BUDAYA DAN BUDAYA AGAMA


AGAMA BUDAYA
 Timbulnya agama budaya dalam alam pikiran manusia adalah dikarenakan adanya
getaran jiwa yang disebut “emosi keagamaan” atau “religious emotion”. Menurut
Koentjaraningrat emosi keagamaan ini biasanya dialami setiap manusia, walaupun
getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, kemudian
menghilang lagi. Adanya emosi keagaamaan itulah yang mendorong orang melakukan
tindakan-tindakan yang bersifat religi (Koentjaraningrat, 1979:394). Pendapat ini
sejalan dengan pendapat E.Durkheim dalam asal mula agama (1912) yang di Indonesia
banyak dianut oleh para penganut aliran kepercayaan.
 Jadi menurut pendapat tersebut yang menjadi latar belakang orang berperilaku
keagamaan, percaya kepada yang ghaib adalah dikarenakan ada dorongan emosi
keagamaan dalam batin manusia sendiri. Karena emosi keagamaan maka timbullah
pemikiran, pendapat, perilaku kepercayaan terhadap sesuatu benda yang dianggap
mempunyai kekuatan luar biasa, dianggap keramat atau dikeramatkan dan dianggap suci,
serta disayangi atau ditakuti. Jadi dalam system merupakan unsur-unsur yang
dipertahankan dan dilaksanakan para penganutnya sebagai berikut:
1. Memelihara emosi keagamaan
2. Yakin dan percaya pada ghaib-ghaib
3. Melakukan acara dan upacara-upacara tertentu.
4. Mempunyai sejumlah pengikut yang menaati.
 Keempat unsur tersebut saling bertautan satu sama lain yang semuanya berdasarkan
keyakinan dan kepercayaan terhadap hal-hal yang ghaib, yang ditakuti atau disayagi,
yang disebut TUHAN, DEWA - DEWA, ROH-ROH/makhluk halus dijagad raya ini,
baik yang bersifat jahat maupun yang bersifat baik. Hasil karya yang timbul dari akal
pikiran dan perilaku manusia dalam bentuk-bentuk nyata, dangan maksud agar emosi
kegamaan tetap bergelora, keyakinan dan kepercayaan terhadap yang ghaib tetap kuat
bertahan, acara dan upacara keagamaan berjalan sebagaimana mestinya, keyakinan akan
kebenaran menurut ajaran agama dan kepercayaan masing-masing berkembang meluas di
kalangan umat manusia, maka terjadilalah berbagai bentuk budaya agama.

BUDAYA AGAMA
 Baik agama wahyu (samawi), seperti hindu, Kristen dan Islam, maupun agama budaya
(wad’I), seperti budha pada mulanya, dan berbagai ajaran keagamaan seperti tao, kong-
hu-chu, dan berbagai aliran paham keagamaan dan kepercayaan pada yang ghaib, yang
dianut masyarakat sederhana atau masyarakat sederhana atau masyarakat yang sudah
maju, memiliki budaya agama, yaitu hasil. Hasil pemikiran dan perilaku budaya yang
menyangkut keagamaan. Budaya masing-masing ada yang muncul dalam benak manusia
berdasarkan kehendak yang diwahyukan TUHAN kepada para nabi, dan ada yang
muncul dalam benak manusia berdasarkan emosi keagamaan peribadi manusia sendiri

II. TEORI ASAL MULA AGAMA.


 Ketika para sarjana mencoba merumuskan teori-teori tentang asal mula terjadinya agama,
ilmu pengetahuan yang disebut antropologi belum ada, yang baru ada adalah etnografi,
lukisan tentang suku-suku bangsa sederhana yang kemudian menjadi etnologi, yaitu ilmu
tentang bangsa-bangsa sederhana. Para ahli yang berpendapat tentang asal mula agama
adalah ahli sejarah C. de Brosses (1967) ahli filsafat August Comte (1850) ahli filologi
F.Max Muller 1880 dan kemudian muncul teori-teori dari para ahli antropologi seperti
E.B. Tylor (1889), R.R.Marett (1909), J.G.franzer (1890), E.Durkheim (1912),
W.Schmidt (1921), (Koentjaraningrat (1966) ; 207-208) teori mereka ini orang
berpendapat bahwa perkembangan agama itu mulai dan animism, dinemisme, politeisme
dan baru kemudian menoteisme.

1. TEORI TAYLOR
 Sarjana yang diangap paling pertama kali mengemukakan pendapat bahwa asal mula dari
agama adalah animisme paham tentang jiwa atau roh adalah sarjana antopologi Inggris
E.B. Taylor dalam bukunya “Primitive Culture” mengapa manusia sederhana
menyadari tentang adanya jiwa atau roh, dikarenakan yang nampak dan dialami sebagai
berikut:
a. Peristiwa hidup dan mati
b. Bahwa adanya hidup karena adanya gerak, dan gerak itu terjadi karena adanya jiwa, dan
apabila jiwa itu lepas dari tubuh maka berarti mati dan tubuh tidak bergerak
c. Peristiwa mimpi
d. Bahwa ketika manusia itu tidur atau pingsan ia mengalami mimpi dimana tubuh itu diam
dan masih ada gerak (nafas), tetapi ia tidak sadar karena sebagian dari jiwanya terlepas
dan gentanyangan ketempat lain
 Menurut Taylor kepercayaan manusia sederhana terhadap jiwa latin ; anima, didalam
sekitarnya itulah yang disebut animism yang merupakan asal mula agama, yang
kemudian dikembangkan menjadi Dynamisme. Polytheisme, dan akhirnya Menotheisme.
Dengan demikian animism itu adalah paham kepercayaan manusia tentang adanya jiwa

2. TEORI MARETT
 Dikemukakan oleh R.R Marett seorang antropologi Inggris di dalam The Threshold of
Religion’ (1909). Berpendapat bahwa bagi masyarakat yang budayanya masih sangat
sederhana belum mungkin dapat berpikir dan menyadari tentang adanya “jiwa”, jadi
pokok pangkat dari perilaku keagamaan bukanlah kepercayaan terhadap roh-roh halus,
melainkan timbul karena perasaan rendah diri manusia terhadap berbagai gejala dan
peristiwa yang dialami manusia dalam hidupnya. Sehingga kekuatan itu bersifat
“supernatural”. Menurut Marett kepercayaan terhadap adanya yang supernatural sudah
ada sejak sebelum manusia menyadari adanya roh-roh halus (animisme). Karena itu teori
Marett ini sering dikatakan pula Prae-animesme

3. TOERI FRAZER
 Mengemukakan juga pendapat tentang asal mula agama adalah J.G.Frazer dalam The
Golden Bough a Study in Magic and religion (1890) berpendapat bahwa manusia itu
dalam memecahkan berbagai masalah dalam hidupnya menggunakan akal dan sistem
pengetahuan. Akal manusia itu terbatas, semakin rendah budaya manusia semakin kecil
dan terbatas kemampuan akal pikiran dan pengetahuannya
 Magic itu adalah tanggapan hidup berbagai masyarakat sejak jaman purba hingga
sekarang masih ada. Orang memperkirakan bahwa para ahli magic itu dengan mantera,
jimat dan upacara yang dilakukan dapat menguasai atau mempengaruhi alam sekitarnya.
Menurut Frazer pada mulanya manusia itu hanya mengunakan magic untuk mengatasi
masalah yang berada diluar batas kemampuan akalnya. Ternyata dengan magic tidak
berhasil, maka mulailah percaya bahwa alam semesta ini didiami oleh para makhluk
halus yang lebih berkuasa dari padanya lalu timbullah agama (religi)

4. TEORI SCHIMIDT
 Sarjana Austria W.Schmidt (1921) mengemukakan teori tentang asal mula agama
dalam “Die Uroffenbarung als Antang der Offenbarungen Gonttles”. Berbeda dengan
Taylor, Schmindt mengemukakan bahwa “Monotheisme” kepercayaan terhadap adanya
satu TUHAN. Sesungguhnya kepercayaan terhadap adanya satu TUHAN bukanlah
penemuan baru tetapi juga sudah tua. Pendapat ini sebenarnya berasal dari pendapat ahli
sastra Inggris A.Lang, dalam kesusasteraan rakyat dari berbagai bangsa di dunia dalam
bentuk dongeng yang melukiskan adanya tokoh dewa tunggal

5. TEORI DUHKHEIM
 Seorang sarjana filsafat dan sosiologi bangsa Prancis mengemukakan teori tentang asal
mula agama dalam “Les forms elementaires de la vie religieuse” (1912). Seperti halnya
dengan Marett yang mengemukakan kritiknya terhadap teori Tylor, demikian pula
Durkheim berpendapat bahwa pada masyarakat yang masih sederhana tingkat budayanya
belum mungkin dapat menyadari dan memahami tentang jiwa yang berada dalam tubuh
manusia yang hidup dan jiwa yang sudah lepas dari tubuh menjadi roh-roh halus dari
orang yang sudah mati

III. AGAMA SEBAGAI SISTEM KEBUDAYAAN


 Konsep mengenai kebudayaan yang dikemukakan diatas itulah yang dapat digunakan
sebagai alat atau kacamata untuk mengkaji serta memahami agama, atau dalam kata lain
disinilah agama merupakan sistem budaya. Bila agama dilihat dengan menggunakan
kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah
pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya. Sedangkan agama
yang dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan oleh sebuah
masyarakat; maka akan muncul sebuah keyakinan bahwa agama adalah sesuatu yang
hanya sebatas yang KUDUS dan SAKRAL. Artinya dapat dibedakan dari pengetahuan
dan keyakinan antara sakral dan profan yang menjadi ciri dari kebudayaan
 Pada waktu melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat
adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat, dan bukan
agama yang ada dalam teks suci. Sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka
agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat
tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari
masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses
perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan
hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan nilai-nilai
hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga
agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan
nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat
menjadi sistem nilai-nilai budaya dari kebudayaan yang ada. Bila agama telah menjadi
sistem dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari
kebudayaan tersebut.
 Dengan demikian maka berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat
untuk pemenuhan kebutuhan kehidupan maka akan berlandaskan pada etos agama yang
diyakini. Dengan demikian nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin
dalam berbagai pranata, perilaku dalam masyarakat. Sebaliknya, bila yang menjadi inti
dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain atau yang
berbeda dari pembahasan tersebut, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang
dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya
penting untuk upacara - upacara saja. Apakah guna menggunakan pendekatan
kebudayaan terhadap agama???
1. Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak
keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya
2. Untuk mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dimiliki oleh masyarakat
tersebut sesuai dengan ajarannya tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan
masyarakat yang ada
3. Seringkali suatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita miliki dapat
berbeda dalam berbagai aspek lokal/budya. Dengan memahami kondisi lokal bukan
mengikuti praktek budaya yang bertentangan, tetapi akan lebih toleran terhadap aspek-
aspek local. Maka apabila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut
dirubah prontal maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada
dalam masyarakat yang pada akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang
merugikan ajaran yang ada. Hal ini terjadi karena tidak adanya kesesuaian dengan
kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat itu
 Agama tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan dan kebudayaan identik dengan manusia.
Karena manusia adalah makhluk budaya, maka secara fitrah manusia mempunyai naluri
keberagama karena keterbatasan-keterbatasan dan ketakutan yang dimilikinya. Jadi
agama, budaya, dan manusia tidak bisa dipisahkan
 Karya-karya Clifford Geertz mengenai agama, kebudayaan, dan upacara,
memperlihatkan suatu perspektif tersendiri berkenaan dengan pengkajian antropologi
mengenai sistem-sistem kognitif dan simbolik. Bagi Geertz, agama merupakan bagian
dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan bersamaan
dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan, dan untuk menciptakan serta
mengembangkan keteraturan kebudayaan. Bersamaan dengan itu agama juga
mencerminkan keteraturan tersebut (Geertz 1973:90):
 Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-
perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, bertahan lama pada
diri manusia dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai
hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu
aturan tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-
motivasi tersebut secara tersendiri (unik) adalah nyata ada
 Walaupun pemikiran agama dikatakannya sebagai tidak semata- mata menstrukturkan
kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan;
suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional,
kognitif, subyektif, dan individual. Geertz (1973:89): Kebudayaan adalah pola dari
pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol
yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang
diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia
berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka
terhadap kehidupan.
 Pentingnya bentuk simbolik selalu diulang penekanannya dalam Geertz (1973:93) dan
diusahakannya untuk ditunjukkan sebagai suatu cara yang dengan cara tersebut
kenyataan-kenyataan sosial dan kejiwaan diberi suatu “bentuk konseptual yang obyektif”.
Simbol-simbol adalah garis-garis penghubung antara pemikiran manusia dengan
kenyataan yang ada di luar, harus selalu berhubungan atau berhadapan. Dalam hal ini
pemikiran manusia dapat dilihat sebagai “suatu bentuk sistem lalu lintas dalam bentuk
simbol-simbol yang signifikan”. Dengan demikian sumber dari simbol-simbol itu pada
hakekatnya ada dua, yaitu: 1. dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataan-
kenyataan sosial dan ekonomi; dan 2. dari dalam dan yang terwujud melalui konsepsi-
konsepsi dan struktur-struktur sosial. Dalam hal ini simbol-simbol menjadi dasar bagi
perwujudan model dari dan model bagi dari sistem-sistem konsep dalam suatu cara yang
sama dengan bagaimana agama mencerminkan dan mewujudkan bentuk-bentuk sistem
sosial.
 Dengan demikian sebagai suatu keseluruhan upacara mempunyai kedudukan sebagai
perantara simbolik atau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya dengan
kebudayaan dan pemikiran subyektif memungkinkan bagi keduanya (upacara dan
kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan. Kesanggupan dari upacara
untuk bertindak dan berfungsi seperti ini yaitu menterjemahkan tingkat lainnya yang
lebih tinggi, sehingga membuat manusia menjadi sadar dengan melalui pancaindera dan
perasaannya, serta mewujudkan adanya kesamaan dalam keseiakataan yang struktural
dalam bentuk simbolik. Seperti dikatakan oleh Geertz (1973:94): “Dapatnya saling
menukar tempat dan peranan dari model bagi dan model dari yang dalam mana formulasi
simbolik dapat dilakukan adalah ciri-ciri khusus dari mental kita sebagai manusia”
 Walaupun Geertz bukanlah seorang strukturalis dalam arti yang sesungguhnya, banyak
ide-ide tergolong sebagai strukturalis. Sesungguhnya karya Geertz memang amat besar
artinya sebagai pegangan untuk orientasi mengenai hakekat hubungan-hubungan yang
bersifat umum dan mendasar. Penting juga dinyatakan dalam uraian pembahasan ini
bahwa sumbangan pikiran Geertz yang berupa pendekatan “emosional” mempunyai
fleksibilitas yang lebih besar dalam hal informasi dan konsep teoritis, sehingga lebih
banyak menghasilkan berbagai rumusan bila dibandingkan para strukturalis lainnya.
Akhirnya dapat pula dikatakan bahwa penggunaan dari “tujuan-tujuan emosi dan
kognitif” dari studinya adalah juga merupakan salah satu ciri-ciri sosial yang ada dalam
upacara yang ditunjukkannya.
 Model dari Geertz yang berdasarkan pada model bagi dan model dari, yang
berlandaskan pada konsep mengenai sistem-sistem simbol dan ide yang memberi
informasi dapat memberikan suatu ketegasan penjelasan mengenai arti kebudayaan dalam
kaitannya dengan struktur dan dengan lingkungan yang dihadapi oleh manusia. Geertz
menyatakan bahwa studi mengenai agama, mitos dan upacara adalah sebagai jalan untuk
memahami bagaimana manusia memahami dan menerima hakekat dari kedudukan dan
peranannya dalam kehidupan sosial di masyarakat. Struktur sosial yang merupakan
bagian yang terorganisasi dalam kehidupan menjadi dapat dipahami serta masuk akal
secara sewajarnya
 Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsep ini kebudayaan diartikan sebagai
wujudnya yaitu mencakup keseluruhan dari: (1) gagasan; (2) kelakuan dan (3) hasil-hasil
kelakuan. Dengan menggunakan definisi ini maka seseorang pengamat atau peneliti akan
melihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikiran, dilakukan, dan yang dihasilkan
manusia adalah kebudayaan
 Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah
melalui berbagai pranata-pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral,
etika, dan estetika yang ada dalam setiap kebudayaan merupakan inti yang hakiki dalam
setiap kebudayaan. Pedoman yang hakiki ini biasanya dinamakan sebagai nilai-nilai
budaya. Nilai-nilai budaya ini terdiri atas dua kategori:
1. Yaitu yang mendasar dan yang tidak dipengaruhi oleh kenyataan kehidupan sehari dari
para pendukung kebudayaan tersebut. Hal ini biasanya dinamakan sebagai Pandangan
Hidup atau World View
2. Yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari dari para
pendukung kebudayaan yang dinamakan etos atau ethos.
Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan bagi
masyarakat tersebut untuk dapat saling berkomunikasi tanpa menghasilkan
kesalahpahaman
 Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak,
maka masing-masing pelaku yang berkomunikasi tersebut dapat meramalkan apa yang
diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-
simbol yang sama-sama dipahami, maka tidak akan saling salah paham. Kebudayaan
sebagai pengetahuan tentang dunia disekelilingnya akan relatif mudah berubah dan
berkembang sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidupnya, terutama
dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan bagi kehidupannya. Kebudayaan sebagai
sebuah keyakinan yaitu nilai-nilai budaya terutama tentang keyakinan pedoman hidup,
maka kebudayaan cenderung untuk tidak mudah berubah

Anda mungkin juga menyukai