Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Stroke merupakan penyakit dengan jumlah pasien yang terus

meningkat setiap tahunnya. American Heart Association (AHA) (2014)

melaporkan bahwa di Amerika Serikat telah terjadi 795.000 kasus stroke

baru setiap tahunnya, dengan tingkat kematian sebesar 16,28% dan

menjadi penyebab kematian nomor empat setelah penyakit jantung, kanker

dan penyakit saluran pernafasan bawah kronis. Begitu juga di Indonesia,

pada tahun 2007 pasien stroke di Indonesia sebanyak 1,9 juta orang,

sedangkan pada tahun 2013 jumlahnya meningkat menjadi 2,8 juta orang

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Pasien stroke pada

kondisi kritis cenderung mengalami kelemahan dan selalu dimonitor

dengan ketat. Hal tersebut dikarenakan pasien stroke mengalami

ketidakstabilan tekanan darah dan tekanan intrakranial, mengalami

hemiplegi serta mengalami kerusakan saraf kranial (Obara, Yasuka, &

Mamoru, 2010).

Kerusakan saraf kranial terutama saraf kranial trigeminal, fasialis,

glosofaringeal, vagal dan hipoglosus yang dialami pasien stroke dapat

berakibat pada disfagia stroke. Disfagia stroke merupakan kondisi klinis

yang ditandai dengan adanya kesulitan ataupun rasa tidak nyaman saat

menelan sesaat setelah mengalami serangan stroke baik akibat stroke

perdarahan, stroke iskemik, maupun stroke hipotensif (Andersen, Beck,


1
2

Kjaersgaard, Hansen, & Poulsen, 2013). Menurut Langdon, Lee, dan

Binns (2007) insidensi terjadinya disfagia stroke adalah sekitar 14% -

94%. Tingginya angka insidensi tersebut berdampak pada peningkatan

kejadian aspirasi cairan maupun makanan kedalam saluran pernafasan

(Gandolfi et al., 2014).

Aspirasi yang terjadi pada saluran pernafasan dapat berakibat pada

timbulnya pneumonia aspirasi. Hal tersebut didukung oleh data National

Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) yang menunjukkan bahwa

sebanyak 43% - 50% pasien stroke mengalami pneumonia aspirasi dengan

tingkat mortalitas mencapai 45% (Jeyaseelan, Vargo, & Chae, 2015).

Lebih lanjut Kojima, Imoto, Osawa, dan Fujieda (2014) menjelaskan

bahwa sebanyak 30% - 50% pasien mengalami pneumonia aspirasi pada

saat fase akut stroke, sedangkan 5% pasien mengalami pneumonia aspirasi

pada saat fase kronik, disamping itu terdapat aspirasi tersembunyi yang

terjadi pada 38% - 48% pasien setelah dua sampai tiga bulan setelah

serangan stroke. Oleh sebab itu biasanya pasien disfagia stroke terpasang

nasogastric tube (NGT).

Pemasangan NGT bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan

nutrisi pasien, namun pemasangan NGT dalam waktu lama justru akan

menimbulkan banyak efek negatif. Hal tersebut sesuai dengan penelitian

Dennis (2005) yang menyatakan bahwa setelah tujuh hari pemasangan

NGT pada pasien disfagia stroke, terjadi peningkatan resiko infeksi dan

perdarahan lambung sebesar 43%. Lebih lanjut, Wang, Wu, Chang, Hsiao,
3

dan Lien (2006) menyatakan bahwa pasien dengan pemasangan NGT

memiliki faringeal transit time yang lebih lama sehingga pemasangan

NGT bukanlah solusi utama untuk menghilangkan resiko aspirasi pada

pasien disfagia stroke. Demikian halnya dengan Shah et al. (2012) yang

menyebutkan bahwa penggunaan NGT untuk waktu lebih dari 10 hari

dapat meningkatkan resiko nasofaringitis, esofagitis, striktur esofageal,

epistaksis, pneumotorax, dan odem nasofaringeal dengan otitis media.

Untuk itulah perlu adanya terapi untuk melatih koordinasi sistem syaraf

dan otot yang berfungsi untuk proses menelan (DeFabrizio & Rajappa,

2010).

Metode yang digunakan dalam meningkatkan kemampuan menelan

pasien disfagia stroke adalah strategi kompensasi. Strategi kompensasi

merupakan metode yang digunakan untuk mengurangi gejala disfagia

stroke dengan cara melatih stimulasi saraf dan kekuatan otot yang

berfungsi dalam proses menelan, yang terdiri dari teknik postural, the

effortful swallow, the mendelsohn maneuver, serta supraglottic swallow

(Albert & Kesselring, 2012). Kelebihan strategi kompensasi tersebut

adalah memiliki teknik-teknik tertentu yang efektif untuk memperbaiki

stimulasi yang ditransmisikan melalui cabang maksila dari saraf

trigeminal, cabang faring melalui saraf glosofaringeal, dua cabang dari

saraf vagus, serta saraf laring superior menjadi lebih efektif, yang pada

akhirnya mengakibatkan penutupan vestibulum faring dan pembukaan

spinkter esofagus bagian atas menjadi lebih cepat, selain itu juga dapat
4

meningkatkan elevasi laring serta memperbaiki penutupan laring sehingga

dapat menurunkan resiko aspirasi (Johnson, Herring, & Daniels, 2014).

Dibalik kelebihan yang dimiliki ternyata metode ini masih memiliki

kelemahan yaitu walaupun dapat digunakan sebagai latihan menelan

namun pada metode ini cenderung hanya efektif untuk mengatasi

gangguan disfagia faringeal dan kurang efektif untuk mengatasi disfagia

oral karena tidak dapat menstimulasi respon mengunyah dan kontrol lidah

fisiologis pada pasien yang mengalami disfagia oral. Hal itu disebabkan

karena pada metode ini tidak menggunakan makanan/nutrisi sebagai salah

satu stimulan yang efektif untuk meningkatkan respon mengunyah dan

kontrol lidah secara fisiologis sehingga mampu meningkatkan mekanisme

transfer material bolus makanan dari rongga mulut menuju esofagus

(Fernandez, Ottenstein, Atanelov, & Christian, 2013).

Metode lain yang dikembangkan untuk penatalaksanaan disfagia

stroke adalah penggunaan nutrisi yang bertekstur semisolid misalnya

berupa puding. Kelebihan dari penggunaan nutrisi semisolid (puding)

untuk pasien disfagia stroke adalah dapat mengurangi resiko aspirasi

karena tekstur nutrisi semisolid menyatu (blended) sehingga tidak ada

cairan yang dapat menetes dan menyebabkan aspirasi pada pasien

(Momosaki, Abo, & Kobayashi, 2013). Hal tersebut sejalan dengan hasil

penelitian Funami, Ishihara, Nakauma, Kohyama, dan Nishinari (2012)

yang menjelaskan bahwa puding memiliki karakteristik tingkat kekerasan

sebesar 1.873 – 19.510 N/m2, tingkat kohesivitas sebesar 0,13 – 0,67 J/m3,
5

tingkat adesivitas sebesar 2 – 878 J/m3, tingkat kekenyalan sebesar 546 –

8781 N/m2 serta viskositas sebesar 39312 mPa s sehingga sangat aman

digunakan untuk mencegah aspirasi pada pasien disfagia stroke. Lebih

lanjut dijeaskan bahwa puding memiliki tekstur yang sesuai untuk

menstimulasi koordinasi saraf sensorik-motorik pada lidah dan saluran

pencernaan bagian atas yang berperan dalam proses mengunyah dan

menelan. Dibalik kelebihan yang dimiliki, metode ini memiliki kelemahan

yaitu tidak adanya suatu prosedur baku berupa teknik-teknik tertentu yang

berguna untuk melatih stimulasi saraf kranial yang berperan dalam proses

mengunyah dan menelan seperti pada metode kompensasi (Johnson et al.,

2014).

Berdasarkan beberapa metode penatalaksanaan disfagia stroke yang

telah disebutkan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa metode-

metode tersebut pada dasarnya efektif dalam mengurangi gejala dan

meningkatkan toleransi menelan pada pasien disfagia stroke pada kondisi

kritis, namun dibalik hal itu masih terdapat kelemahan dari masing-masing

metode. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengembangkan

suatu metode yang mampu mengkombinasikan metode-metode tersebut

guna meningkatkan kelebihan dan mengurangi kelemahan yang ada, salah

satunya adalah terapi menelan.

Terapi menelan yang dikembangkan dalam penelitian ini

merupakan sebuah metode terapi yang mengkombinasikan dua metode

terapi yang telah ada yaitu terapi strategi kompensasi dan nutrisi semisolid
6

untuk pasien disfagia stroke pada kondisi kritis. Tujuan dari terapi

menelan adalah untuk melatih koordinasi saraf dan kekuatan otot yang

berfungsi dalam proses mengunyah dan menelan sehingga dapat mencegah

komplikasi terutama aspirasi yang cenderung meningkat pada pasien

disfagia stroke.

Secara umum terapi menelan dapat dilakukan dimulai 72 jam

setelah pasien mengalami serangan stroke tergantung pada kerusakan otak

yang dialami, kondisi klinis pasien, dan kompleksitas pengobatan medis

yang dijalani (Langhorne, Bernhardt, & Kwakkel, 2011). Lebih lanjut, hal

tersebut juga dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Carnaby,

Hankey, dan Pizzi (2006) yang berjudul “Behavioural intervention for

dysphagia in acute stroke” menunjukkan bahwa intervensi perilaku

(behavioural intervention) pada pasien stroke iskemik yang dimulai pada

hari ke lima setelah onset serangan stroke secara signifikan dapat

meningkatkan kecepatan elevasi laring dan pharyngeal transit time.

Demikian halnya dengan hasil penelitian Power et al. (2006) yang berjudul

“Evaluating oral stimulation as a treatment for dysphagia after stroke”

menunjukkan bahwa stimulasi oral pada pasien disfagia akibat stroke

perdarahan yang dimulai rata-rata 6,5 hari sejak onset terjadi, memberikan

hasil perawatan yang lebih baik terkait pemulihan kemampuan kognitif

dan pergerakan motorik.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Harjono Ponorogo

merupakan rumah sakit yang memiliki unit khusus untuk perawatan pasien
7

stroke. Berdasarkan data rekam medis di Unit Stroke RSUD. Dr. Harjono

Ponorogo tercatat bahwa pada tahun 2014 jumlah pasien stroke yang

dirawat di RSUD. Dr. Harjono Ponorogo sebanyak 737 pasien. Hasil

observasi dan wawancara yang dilakukan di Unit Stroke RSUD Dr.

Harjono Ponorogo menyatakan bahwa belum ada standar prosedur

mengenai latihan menelan sehingga sering terjadi tanda aspirasi pada

pasien disfagia stroke. Data menunjukkan bahwa kurang lebih 30% pasien

disfagia stroke yang dirawat dari bulan Juli hingga Desember 2015

mengalami tanda aspirasi diantaranya tersedak, batuk saat menelan, serta

terdengar suara parau setelah menelan. Seharusnya perlu diterapkan terapi

menelan dengan menggunakan nutrisi semisolid (puding), namun hal

tersebut harus dilakukan studi kelayakan dan keefektifan melalui sebuah

penelitian terlebih dahulu, mengingat sejauh pengetahuan peneliti, terapi

menelan sebagaimana dijelaskan sebelumnya belum pernah dilaksanakan

di Indonesia sehingga penelitian untuk mengembangkan terapi ini masih

sangat diperlukan. Melihat fakta dan penjelasan di atas membuat peneliti

merasa tertarik untuk mengetahui pengaruh terapi menelan terhadap

pencegahan aspirasi pada pasien disfagia stroke di Unit Stroke RSUD Dr.

Harjono Ponorogo.
8

1.2 Rumusan masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “adakah pengaruh terapi

menelan terhadap pencegahan aspirasi pada pasien disfagia stroke di Unit

Stroke RSUD Dr. Harjono Ponorogo?”

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

pengaruh terapi menelan terhadap pencegahan aspirasi pada pasien

disfagia stroke di Unit Stroke RSUD Dr. Harjono Ponorogo

1.3.2 Tujuan khusus

(1) Mengidentifikasi pengaruh terapi menelan terhadap pencegahan

aspirasi pada pasien disfagia stroke di Unit Stroke RSUD Dr. Harjono

Ponorogo pada kelompok intervensi

(2) Mengidentifikasi pengaruh intervensi standard terhadap pencegahan

aspirasi pada pasien disfagia stroke di Unit Stroke RSUD Dr. Harjono

Ponorogo pada kelompok kontrol

(3) Mengidentifikasi perbedaan pengaruh terapi menelan terhadap

pencegahan aspirasi pada pasien disfagia stroke di Unit Stroke RSUD

Dr. Harjono Ponorogo antara kelompok intervensi dan kelompok

kontrol
9

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan baru terutama yang terkait

dengan pencegahan aspirasi pada pasien disfagia stroke pada fase akut

serta mampu menjadi sumber yang dapat merangsang ide-ide baru untuk

penelitian selanjutnya terkait dengan perawatan pasien disfagia stroke

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu inovasi baru

dalam melatih pasien disfagia stroke dan mampu menjadi standar

operasional prosedur pada perawatan pasien disfagia stroke pada fase

akut

2) Bagi profesi keperawatan

Hasil penelitian ini dapat membantu profesi keperawatan untuk

mengurangi kejadian aspirasi pada pasien disfagia stroke pada fase

akut

Anda mungkin juga menyukai