Pola Pemukiman Penduduk - Sejarah
Pola Pemukiman Penduduk - Sejarah
Dataran rendah merupakan daerah datar yang memiliki ketinggian hampir sama.
Kondisi wilayah yang datar memudahkan manusia untuk beraktivitas dalam
menjalankan kehidupannya. Di Indonesia daerah dataran rendah merupakan
daerah yang penuh dengan kedinamisan dan kegiatan penduduk yang sangat
beragam. Sebagian besar penduduk lebih memilih bertempat tinggal di dataran
rendah. Terlebih jika wilayah ini memiliki sumber air yang cukup. Daerah
dataran rendah cocok dijadikan wilayah pertanian, perkebunan, peternakan,
kegiatan, industri, dan sentra-sentra bisnis.
Seperti juga pada penduduk di daerah pantai, penduduk daerah dataran rendah
biasanya
menggunakan pakaian yang tipis, karena suhu di daerah ini panas. Rumah-
rumah di dataran rendah juga dibuat banyak ventilasinya dan atap dibuat dari
genting tanah untuk mengurangi suhu yang panas ini.
Pada wilayah dataran tinggi, suhu udara jauh lebih dingin dibandingkan dengan
dataran rendah maupun daerah pantai. Tingkat kelembaban udara dan curah
hujan yang berlangsung juga cukup tinggi. Oleh karena itu, penduduk yang
tinggal di daerah tersebut biasanya mempunyai pola makan dan cara berpakaian
yang berbeda dengan daerah lainnya. Untuk menghangatkan tubuhnya mereka
banyak mengkonsumsi makanan yang hangat dan lebih tertutup dalam cara
berpakaian.
Jika kamu pernah berkunjung ke daerah pegunungan yang dingin maka akan
kamu jumpai bentuk rumah yang berbeda dengan daerah pantai. Suhu yang
dingin dan intensitas matahari sedikit menyebabkan rumah di daerah ini
berventilasi sedikit dan atapnya banyak terbuat dari seng. Ventilasi yang sedikit
mengakibatkan udara dingin tidak banyak masuk ke rumah. Atap terbuat dari
seng agar panas matahari yang diterima dapat disimpan dan dapat
menghangatkan bagian dalamnya.
Pola permukiman penduduk sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi dan
tingkat kesuburan tanah. Pola pemukiman penduduk di daerah dataran tinggi
biasanya menyebar mengikuti lereng dan mengelompok pada daerah yang
mempunyai lahan subur dan relatif datar.
4. Kawasan Pegunungan
Di daerah yang bentuk muka buminya bergelombang atau berbukit, umumnya
penggunaan lahan yang utama adalah pertanian, perkebunan dan
permukiman. Di daerah pegunungan, penggunaan lahan yang dominan adalah
hutan. Disamping itu terdapat pertanian dan permukiman dalam luasan terbatas
POLA PEMUKIMAN PENDUDUK
Pola persebaran pemukiman penduduk dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan tanah, tata air,
topografi dan ketersediaan sumber daya alam yang terdapat di wilayah tersebut.
Ada tiga pola pemukiman penduduk dalam hubungannya dengan bentang alamnya, yaitu sebagai
berikut:
Pola pemukiman memanjang memiliki ciri pemukiman berupa deretan memanjang karena
mengikuti jalan, sungai, rel kereta api atau pantai.
1. Mengikuti Jalan
Pada daerah ini pemukiman berada di sebelah kanan kiri jalan. Umumnya pola pemukiman seperti
ini banyak terdapat di dataran rendah yang morfologinya landai sehingga memudahkan
pembangunan jalan-jalan di pemukiman. Namun pola ini sebenarnya terbentuk secara alami untuk
mendekati sarana transportasi
Pada daerah ini pemukiman berada di sebelah kanan kiri rel kereta api. Umumnya pola
pemukiman seperti ini banyak terdapat di daerah perkotaan terutama di DKI Jakarta dan atau
daerah padat penduduknya yang dilalui rel kereta api.
Pada daerah ini pemukiman terbentuk memanjang mengikuti aliran sungai. Biasanya pola
pemukiman ini terdapat di daerah pedalaman yang memiliki sungai-sungai besar. Sungai-sungai
tersebut memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan penduduk.
Daerah pantai pada umumnya merupakan pemukiman penduduk yang bermata pencaharian
nelayan. Pada daerah ini pemukiman terbentuk memanjang mengikuti garis pantai. Hal itu untuk
memudahkan penduduk dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu mencari ikan ke laut.
Pola pemukiman mengikuti garis pantai
Pola pemukiman ini mengelompok membentuk unit-unit yang kecil dan menyebar, umumnya
terdapat di daerah pegunungan atau daerah dataran tinggi yang berelief kasar, dan terkadang
daerahnya terisolir. Di daerah pegunungan pola pemukiman memusat mengitari mata air dan
tanah yang subur. Sedangkan daerah pertambangan di pedalaman pemukiman memusat
mendekati lokasi pertambangan. Penduduk yang tinggal di pemukiman terpusat biasanya masih
memiliki hubungan kekerabatan dan hubungan dalam pekerjaan. Pola pemukiman ini sengaja
dibuat untuk mempermudah komunikasi antarkeluarga atau antarteman bekerja.
Pola pemukiman tersebar terdapat di daerah dataran tinggi atau daerah gunung api dan daerah-
daerah yang kurang subur. Pada daerah dataran tinggi atau daerah gunung api penduduk akan
mendirikan pemukiman secara tersebar karena mencari daerah yang tidak terjal, morfologinya
rata dan relatif aman. Sedangkan pada daerah kapur pemukiman penduduk akan tersebar mencari
daerah yang memiliki kondisi air yang baik. Mata pencaharian penduduk pada pola pemukiman ini
sebagian besar dalam bidang pertanian, ladang, perkebunan dan peternakan
Pola Pemukiman Tersebar
POLA PERMUKIMAN II
Tinjauan pola persebaran kelompok permukiman dari aspek sifat persebaran dari
kelompok-kelompok permukiman, sehingga dapat dibedakan pola persebaran kelompok
permukiman menyebar, dan pola persebaran kelompok permukiman memusat atau
mengelompok. Setiap kategori pola persebaran kelompok permukiman tersebut juga
masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori lebih rinci.
Pengertian pola permukiman dan persebaran (dispersion) permukiman mempunyai
hubungan yang erat. Persebaran permukiman membicarakan hal dimana terdapat
permukiman dan dimana tidak terdapat permukiman di suatu daerah.
permukiman
Dengan kata lain persebaran permukiman berbicara tentang lokasi permukiman.
Disamping itu juga membahas cara terjadinya persebaran permukiman, serta fakto-
faktor yang berpengaruh terhadap persebaran tersebut- Pola permukiman
membicarakan sifat dari persebaran permukiman tersebut. Dengan kata lain pola
permukiman secara umum merupakan susunan sifat persebaran permukiman dan sifat
hubungan antara faktor-fektor yang menentukan terjadinya sifat persebaran
permukiman tersebut,
Pengertian pola, permukiman di atas berbeda dengan pengertian pola pemukiman yang
banyak menyangkut tentang berbagai tipe atau corak cara memindahkan penduduk dari
daerah satu ke daerah lain. Sebagai contoh nyata adalah
program transmigrasi, yang kegiatannya mencakup proses pemindahan dari
permukiman asal ke permukiman baru. Dalam cara memindahkan penduduk tersebut
menggunakan berbagai cara yang akan membentuk pola-pola tertentu. Beberapa buku
acuan hasil penulisan mengenai pokok-pokok pemukiman membahas tentang pola-pola
pemukiman di negara-negara Asia Tenggara, yang membicarakan cara-cara pemindahan
penduduk, tipe-tipe pelaksanaan, kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan
ijakan
cara tersebut (McAndrews, 1984). Pembicaraan pola pemukiman mempunyai pokok
pembahasan yang berbeda dari pokok pembahasan pola permukiman. Namun demikian,
terdapat kesamaan, yakni obyeknya tempat tinggal dan penduduk. Sesuai dengan
tujuan pembahasan uraian selanjutnya ditekankan pada pola persebaran permukiman,
dengan beberapa variasinya, serta beberapa faktor yang menentukan.
Variasi Pola Permukiman
Persebaran permukiman bersifat menentukan terhadap keanekaan pola permukiman.
Persebaran-dari - aspek kepadatan bervariasi (jumlah luas permukiman dibagi jumlah
luas wilayah dimana permukiman itu berada) dari sangat jarang hingga
1 dilihat dari segi dispersi, padat. Bila dill segi I i, dapat dibedakan menjadi
mengelompok dan menyebar. Tinjauan lain dapat dilihat dari segi keteraturan
persebaran, yakni teratur, dan tidak teratur. Beberapa pendapat tentang variasi pola
permukiman dari pelbagai penulis dapat ditunjukkan sebagai berikut.
Hudson (1970) membedakan secara garis besar antara 1) pola permukiman
mengelompok, dengan 2) pola permukiman menyebar. Pola persebaran permukiman
mengelompok tersusun dari dusun-dusun atau bangunan-bangunan rumah yang lebih
kompak dengan jarak tertentu, sedangkan pola persebaran permukiman menyebar
terdiri dari dusun-dusun dan atau bangunan-bangunan rumah yang tersebar dengan
jarak tidaktertentu. Thorpe (1964) mengemukakan bahwa konsep dasar pola
permukiman hanya terdapat dua tipe yang berbeda yang mendasarkan pada
kenampakan yang bervariasi dari sangat tegas, yakni tipe pola memusat dengan tipe
pola menyebar. Namun, dalam penjelasannya, bahwa perbedaan pola permukiman
tersebut hanya dapat dipergunakan untuk pengelompokkan bangunan rumah sebagai
permukiman atau tempat tinggal.
Pembagian pola permukiman menjadi due seperti itu juga dikemukakan oleh Van der
Zee (1979) yang membedakan antara pola permukiman tersebar, dengan pola
permukiman mengelompok. Namun, dibedakan pula antar pola permukiman tunggal,
dengan pola permukiman ganda yang mengelompok Dijelaskan bahwa pembahasan pola
permukiman itu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan persebaran permukiman serta
letak dan situasinya. Pembagian pola tersebut, ternyata sedikit berbeda dari pembedaan
pola permukiman yang dikemukakan Singh (1969)
saja Rambali Singh menggunakan istilah tipe permukiman. Atas dasar persebarannya
permukiman dibedakan menjadi tiga tipe atau pola, yaitu 1) pola permukiman
mengelompok, 2) permukiman semi mengelompok, dan pola permukiman menyebar.
Sebenarnya, variasi pola permukiman tersebut di etas, pada dasarnya sama dalam
memberikan klasifikasi, hanya saja mereka belum memberikan kelas-kelas pola
permukiman secara konkrit batas-batasnya Pembedaan pola tersebut oleh Bunce (1982)
dianggap tidak kuat atau kurang meyakinkan, karena pada jarak bangunan rumah
seberapa untuk pola permukiman yang mengelompok, dan jarak antar bangunan
seberapa untuk pola menyebar. Hal ini sangat beralasan, mengingat hingga seat itu
belum ada kesepakatan tentang jarak minimum antar bangunan rumah untuk pola
permukiman menyebar ataupun mengelompok, sehingga tidak dapat digunakan untuk-
analisis.
Hal di etas menimbulkan ketidakpuasan bagi pakar-pakar yang akan mengapapli-
kasikan. Haggett (1970) mengemukakan:
"ketidakpuasan orang membincangkan pola permukiman secara deskriptip,
menimbulkan gagasan untuk membincangkannya secara. kualitatif".
Dengan pertimbangan untuk tujuan pembahasan pola permukiman secara kuantitatip
tersebut Haggett membedakan pola permukiman menjadi tiga: a) uniform (seragam), b)
random (acak), dan c) clustered (mengelompok). Dengan cara demikian pembandingan
antara pola permukiman dapat dilakukan dengan lebih baik, bukan saja dari segi waktu,
tetapi juga dalam segi ruang. Demikianlah beberapa variasi pola permukiman menurut
beberapa penulis, tentu saja masih banyak lagi penulis lain yang membahas variasi pola
tersebut, tampaknya secara tegas variasi dalam pembicaraan terakhir itulah yang dapat
diukur kriterianya Masalahnya, bagaimana cara menentukan pola-pola tersebut secara
kuantitatif, akan dibahas pada. sub bab berikut.
Beberapa Ukuran Pola Permukiman
Zee (1979) mengemukakan bahwa permukiman adalah suatu sumber informasi tentang
manusia dan aktivitasnya di dalam habitatnya Dengan demikian pola permukiman
memberikan kesan tentang persebaran fisik permukimannya beserta kepadatan
penghuninya (penduduknya). Beberapa model teoritikal telah disusun berkenaan dengan
struktur ideal pola permukiman. Namun demikian seringkali cara analisis secara nyata
menunjukkan fakta berbeda, dimana dari teori lebih banyak memberikan informasi cara
lingkungan alami mempengaruhi aktivitas manusia, pada hal kenyataan seringkali
berbeda, justru aktivitas manusia dari aspek permukiman mempengaruhi lingkungan
fisiknya
alami kaitannya dengan kuantifikasi pola permukiman ternyata beberapa penulis
mengacu kepada pertimbangan jumlah penduduk di suatu daerah dalam kaitannya
dengan tempat tinggal. Salah satu pengukuran pola permukiman dengan menggunakan
perhitungan indeks aglomerasi, adalah pengukuran pengelompokan penduduk dan
persebarannya yang dikemukakan Houston (1953) menggunakan indeks Demangoens
(Hudson, 1970; Pacione, 1984; dan Zee, 1979):
E. N
K=
T
dimana:
K = the index ofagglomeration
E = the population of the comune excluding that of chief nucleated settlement N = the
number of settlements excluding the chief centre
T = the total population of the commune.
Pengukuran dengan cara tersebut banyak kelemahannya, karena hanya mendasarkan
pada jumlah penduduk yang setup saat selalu berubah, dan tidak diketahui seberapa
besar batas kriteria. angka K untuk permukiman disebut mengelompok, dan berapa K
permukiman disebut menyebar.
Derajad pengelompokan pola permukiman dapat pula ditunJukkan dengan menggunakan
nilai per gridsquare. Secara ekstrim ukuran tersebut dapat dibedakan sebagai berikut
(Zee, 1979):
Sangat mengelompok: bila seluruh penduduk dalam satu gridsquare berada dalam
sepersepuluh luas daerah tersebut.
Sangat tersebar: bila hanya sepersepuluh penduduk pada gridsquare tersebut berada
dalam sepersepuluh luas daerah.
Salah satu cara untuk mengukur pola permukiman dapat pula dilakukan dengan
menggunakan "model dan analisis tetangga terdekat" atau nearest neighbour analysis,
yaitu dengan menghitung besarnya parameter tetangga terdekat atau T dengan
menggunakan rumus berikut (Hagget, 1975):
Ju
T=
Jh
dimana:
T = indeks penyebaran tetangga terdekat
Ju =jarak rata-rata yang diukur antara satu titik dengan titik tetangga yang terdekat
Jh = jarak rata-rata yang diperoleh andaikata semua titik mempunyai pola random
(acak), yakni dihitung dengan rumus
-V2p
p = kepadatan titik dalam tiap kilometer persegi, yaitu jumlah titik (M dibagi dengan
luas wilayah dalam kilometer persegi (A)
Untuk mengetahui apakah pola permukiman yang dianalisis, termasuk mengelompok,
random atau seragam, dibandingkan dengan continuum nilai parameter tetangga
terdekat T untuk masing-masing pola yang dapat diperlihatkan:
T = 0 – 0,7 pola bergerombol (mengelompok); T = 0,71-1,4 pola acak (tersebar tidak
merata; T = 1,41 - 2,15 pola tersebar merata
Dalam hal ini terlihat, bahwa terbentuknya pola permukiman banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang kompleks, tetapi mencerminkan adanya kecende-rungan faktor alam
menentukan terhadap kegiatan manusia- Jelas hal tersebut sudah banyak yang tidak
berlaku, mengingat kemampuan manusia dalam mengadaptasikan diri
dengan lingkungan sangat dominan, sebagai akibat kemajuan teknologi. Seperti yang
dikemukakan oleh Pacione (1984) bahwa pola permukiman merupakan cerminan
penyesuaian penduduk terhadap lingkungan alam, seperti topografi, iklim dan tanah.
Tingkat penyesuaian tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor sosial ekonomi dan
kultur penduduknya_ Dengan demikian, pola tempat kediaman penduduk terbentuknya
akan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam, keadaan sosial ekonomi, serta keadaan
budaya mereka.
Beberapa faktor pengaruh terhadap persebaran permukiman antara lain:
A. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap compact rural settlement:
Daerah-daerah yang memiliki tanah-tanah subur, dapat mengikut tempat kediaman
penduduk dalam satu kelompok.
Daerah-daerah dengan relief yang sama, misalnya dataran-dataran rendah menjadi
sasaran penduduk untuk bertempat tinggal.
Daerah-daerah dengan permukaan air tanah yang dalam menyebabkan adanya sumur-
sumur yang sangat sedikit, karena pembuatan sumur-sumur itu akan memakan biaya
dan waktu yang banyak. Dengan demikian maka sebuah sumber air, dalam hal ini sumur
menjadi pemusatan penduduk.
Daerah-daerah dimana keadaan keamanan belum dapat dipastikan, balk karena
gangguan binatang maupun gangguan suku bangsa yang sedang bermusuhan dapat
berpengaruh terhadap timbulnya pengelompokan tempat kediaman.
B. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fragmented rural settlement:
a- Daerah-daerah banjir dapat merupakan pemisah antara permukiman perdesaan satu
dengan lainnya.
Daerah-daerali dengan topografi kasar menyebabkan rumah penduduk desa tersebar.
Permukaan air tanah yang dangkal memungkinkan pembuatan sumur-sumur di Setiap
tempat, sehingga perumahan penduduk dapat didirikan dengan pemilihan tempat yang
ada_
Dalamkaitannya dengan pola permukiman tersebut, Pacione (1984) mengemukakan
bahwa permukiman yang memusat dipengaruhi oleh faktor kebutuhan akan keamanan
atau pertahanan, ikatan keluarga atau marga, kelang-kaan air, kebiasaan dari sistem
pembagian waris, datar ekonomi dari hasil pertanian, politik, agama atau ideologi.
Sebaliknya untuk permukiman yang tersebar, dipengaruhi oleh faktor-faktor kurang
pentingnya pertahanan, kolonisasi yang dilakukan oleh keluarga-keluarga secara
individu berdasarkan hubungan darah maupun wilayah, pertanian yang bersifat pribadi,
melon perbukitan atau pegunungan, persediaan air yang dangkal, dan penyebaran yang
disengaja oleh pemerintah.
Demikian pula Singh (1971), mengklasifikasikan pola permukiman desa atas: compact
type, semi compact type dan dispersed type. Faktor-faktor yang mempengaruhi tipe
permukiman memusat antara lain permukaan lahan yang datar, lahan yang subur, curah
hujan yang relatif kurang, kebutuhan akan kerjasama, ikatan sosial-ekonomi, agama
atau kepercayaan, kurangnya keamanan waktu yang lampau, tipe pertanian, lokasi
industri dan mineral. Untuk tipe permukiman tersebar berhubungan dengan topografi
yang kasar, keanekaragaman kesuburan lahan, curah hujan dan air permukaan yang
melimpah, keamanan waktu yang lampau dan susunan kasta Disamping itu dinyatakan,
bahwa pola permukiman dipengaruhi oleh lingkungan fisikal, seperti relief, sumber air,
jalur drainase, kondisi lahan serta kondisi sosialekonomi, seperti tats guna lahan,
penyakapan lahan, rotasi tanaman, prasarana transportasi dan komunikasi serta
kepadatan penduduk (Wuryanto Abdullah dan Su Rito Hardoyo, 1981).
Pendapat dan pernyataan di atas menunjukkan adanya tiga kelompok penting dalam
pola permukiman, yakni pola mengelompok, pola acak dan pola tersebar merata Selain
itu, tampak pula bahwa relief, kesuburan lahan dan sumber air, merupakan komponen
lingkungan alam yang dominan dalam mempengaruhi pola permukiman, di samping
kondisi sosial-ekonomi dan kebudayaan, seperti tata guns lahan, tipe pertanian,
penyakapan lahan, prasarana transportasi dan komunikasi, kepadatan penduduk, lokasi
mineral dan industri, keamanan, politik, sistem pembagian waris dan agama atau
ideologi.
Ditinjau dari letak ketinggian wilayah, tampak faktor ini mempunyai hubungan yang erat
dengan kualitas lahan. Dengan pernyataan lain, semakin meningkatnya letak ketinggian
tempat, - menyebabkan semakin berkurangnya lahan-lahan datar. Sandy (1977)
menyatakan bahwa di sekitar ketinggian sama dengan atau lebih besar dari 100 meter,
biasanya topografi lebih kasar daripada di bawahnya- Dengan demikian berarti, bahwa
semakin meningkatnya letak ketinggian tempat di suatu wilayah, maka semakin
meningkat pula kekasaran topografinya. Sebaliknya, dari letak ketinggian tempat ini
lebih bar yak menunjukkan, bahwa keadaan permukaan air sumur semakin dalam
dengan semakin meningkatnya letak ketinggian tempat, sehingga kemungkinan untuk
terjadinya pengelompokan permukiman secara teratur maupun penyebaran secara
teratur sangat kecil. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya letak ketinggian
tempat pada suatu wilayah, pola permukiman semakin tersebar secara tidak teratur.
Adanya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian yang semakin mendesak di daerah
pedesaan, mengakibatkan kebutuhan akan lahan pertanian yang lebih besar. Hal ini
memaksa, prang atau penduduk untuk menduduki lahan-lahan yang tadinya tidak
diperuntukkan bagi permukiman maupun usaha pertanian. Di pihak lain, memaksa
penduduk untuk semakin meningkatkan lahan-lahan garap-annya seefektif mungkin.
Keadaan ini mendorong para. penggarap untuk berusaha mendekatkan tempat
tinggalnya dengan masing-masing lahan garapannya, sehingga mendorong pula untuk
tumbuhnya permukiman-permukiman baru bagi lahan pertanian yang terlalu jauh.
Sejalan dengan pernyataan Sandy 1977), bahwa kemampuan untuk menempuh jarak di
pedesaan, ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk berjalan kaki. Dengan
demikian, adanya perluasan lahan pertanian dan peningkatan efektivitas kerja, yang
disebabkan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dapat mempengaruhi terhadap
penyebaran pola permukiman.
Terdapatnya permukiman dalam artian sempit di suatu wilayah, tentu disebabkan oleh
adanya kemungkinan untuk hidup bagi masyarakat kampung yang bersangkutan, sesuai
dengan keahlian ataupun ketrampilan mereka-Makin besarnya kemungkinan untuk hidup
yang diberikan suatu wilayah, semakin besar pula kemungkinan jumlah manusia yang
tinggal di wilayah tersebut, atau semakin besar pula terjadinya pemusatan penduduk
wilayah tersebut. Apabila ditinjau dari perkembangan bentuk-bentukpenggunaan lahan
untuk usaha pertanian rakyat di pedesaan, sebagaimana dikemukakan Sandy (1977),
bahwa perkembangan tertinggi dari usaha pertanian kecil di Indonesia adalah
persawahan dengan pengairan teratur, apabila memungkinkan penduduk akan membuat
sawah pada medan dengan lereng yang bagaimanapun, baik rawa, lereng gunung dan
apalagi daerah datar. Dengan demikian, daerah- daerah usaha pertanian lahan sawah
merupakan daerah pusaatan penduduk yang terbesar.
Adanya perbedaan bentuk penggunaan lahan dalam usaha pertanian, dengan sendirinya
memerlukan tingkat pengolahan serta tingkat kebutuhan tenaga, kerja yang berbeda-
beda pula Dalam hal ini i ditunjukkan bahwa lahan merupakan
Dalam dan jenis penggunaan yang paling intensip. Artinya pemakaian tenaga kerja
dalam bentuk usaha lahan sawah akan lebih besar dari usaha pertanian lahan kering,
seperti tegalan, kebun campuran maupun usaha perkebunan kecil. Untuk memenuhi
kebutuhan akan tenaga kerja ini, dilakukan dengan sistem pertukaran jasa. (barter
tenaga sesama. mereka). Sejalan dengan pendapat Mubyarto (1977), bahwa tolong
menolong lebih banyak terdapat pada pekerjaan dimana dimungkinkan pengembalian
pekerjaan yang sama. pada. tanaman yang sama Dengan adanya sistem pertukaran
jasa (barter tenaga sesama mereka) dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja ini,
menurut Leibo (1986) sebagai penyebab sifat-sifat kelompok primer dalam
ketetanggaan masyarakat desa Dengan demikian, besarnya pemakaian tenaga kerja dari
besarnya. Sifat kegotongroyongan pada usaha pertanian lahan sawah, menuntut suatu
kehidupan sosial yang saling berdampingan antara sesama keluarga petani. Hal ini,
menuntut pula terjadinya pengelompokan permukiman pedesaan di sekitar lahan sawah,
dan sebaliknya terjadi pola-pola permukiman yang menyebar pada penggunaan lahan
pertanian lahan kering.
Berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi
pola permukiman, antara lain: kemiringan lahan, ketinggian tempat, kedalaman air
sumur, curah hujan, kepadatan penduduk, tekanan penduduk terhadap lahan pertanian
dan persentase luas lahan sawah dari seluruh luas lahan pertanianPenyakapan tanah
prasarana transportasi dan komunikasi, lokasi mineral dan industri, sistem pembagian
waris, keamanan dan politik agama atau ideologi.
POLA PERMUKIMAN TRADISIONAL
PENGERTIAN DAN CONTOH KONSEP GEOGRAFI
Bismillah..
KONSEP GEOGRAFI adalah rancangan atau gambaran dari objek, proses, atau apa pun yang
berkaitan dengan ilmu geografi. KONSEP GEOGRAFI merupakan unsur yang penting dalam
memahami fenomena atau kejadian geografi (alam dan sosial). Penjelasan KONSEP
GEOGRAFI selalu berkaitan dengan persebaran, hubungan, fungsi, bentuk, pola, dan proses
terjadinya. KONSEP GEOGRAFI terdiri atas 10 konsep, yaitu:
1. Lokasi
Lokasi adalah letak atau tempat dimana fenomena geografi terjadi. Konsep lokasi dibagi menjadi
dua yaitu lokasi absolut dan lokasi relatif.
a. Lokasi Absolut
Lokasi absolut adalah letak atau tempat yang dilihat dari garis lintang dan garis garis bujur (garis
astronomis). Lokasi absolut keadaannya tetap dan tidak dapat berpindah letaknya karena
berpedoman pada garis astronomis bumi. Pebedaan garis astronomis menyebabkan perbedaan
iklim (garis lintang) dan perbedaan waktu (garis bujur).
Contoh Lokasi Absolut yaitu Indonesia terletak di antara 6 derajat LU - 11 derajat LS sampai 95
derajat BT - 141 derajat BT. Dari letak absolut (garis astronomis) tersebut dapat dijelaskan
bahwa lokasi paling Utara negara Indonesia terletak di 6 derajat LU (Pulau Miangas, Sulawesi
Utara), lokasi paling selatan terletak di 11 derajat LS (Pulau Rote, NTT), dst.
b. Lokasi Relatif
Lokasi relatif adalah letak atau tempat yang dilihat dari daerah lain di sekitarnya. Lokasi relatif
dapat berganti-ganti sesuai dengan objek yang ada di sekitarnya.
Contoh Lokasi Relatif yaitu Indonesia terletak di antara 2 benua dan 2 samudera. Lokasi
Indonesia menurut lokasi relatifnya yaitu terletak di antara 2 benua yaitu Asia dan Australia, serta
terletak di antara 2 samudera yaitu Hindia dan Pasifik. Letak relatif ini dapat berubah-ubah
sesuai dengan sudut pandang penggunanya karena lokasi relatif digambarkan melalu objek-
objek yang dinamai oleh manusia contohnya nama benua, samudera, pulau, laut, dsb.
2. Jarak
Jarak adalah ruang atau sela yang menghubungkan antara dua lokasi atau dua objek dan
dihitung melalui hitungan panjang maupun waktu. Konsep Jarak memiliki peranan penting dalam
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Konsep jarak dibagi menjadi dua, yaitu jarak mutlak dan
jarak relatif.
a. Jarak Mutlak
Jarak mutlak adalah ruang atau sela antara dua lokasi yang digambarkan atau dijelaskan melalui
ukurang panjang dalam satuan ukuran meter, kilometer, dsb. Jarak mutlak merupakan jarak
yang tetap dan tidak dapat berubah-ubah.
Contoh jarak mutlak yaitu Jarak antara Jakarta ke Bandung adalah 150 km. jarak tersebut diukur
memanjang dari titik A (Jakarta) dan titik B (Bandung) dan dihitung dengan satuan ukuran
kilometer.
b. Jarak Relatif
Jarak relatif adalah ruang atau sela antara dua lokasi yang dinyatakan dalam lamanya
perjalanan atau waktu.
Contoh jarak relatif yaitu jarak antara Jakarta ke Bandung dapat ditempuh dalam waktu 2 jam
melewati Tol Purbaleunyi. Tentu jarak relatiif tersenut akan berbeda apabila keadaan jalan tol
sedang macet atau perjalanan ke Bandung tidak melewati jalan tol.
3. Morfologi
Morfologi adalah konsep yang menjelaskan mengenai struktur luar dari batu-batuan yang
menyusun bentuk morfologi permukaan bumi (pantai, dataran rendah, dataran tinggi,
pegunungan, lembah, dsb).
Contoh konsep morfologi yaitu:
- Jakarta merupakan dataran rendah, Bandung dataran tinggi.
- Perjalanan Jakarta ke Bandung melewati daerah yang
bergelombang (perbukitan).
- Daerah selatan D.I. Yogyakarta merupakan daerah perbukitan kapur (karst).
4. Keterjangkauan
Keterjangkauan adalah jarak yang mampu dicapai dengan maksimum dari satu wilayah ke
wilayah lain. Keterjangkauan tidak hanya tergantung pada jarak tetapi juga tergantung pada
sarana dan prasarana penunjang.
Contoh konsep keterjangkauan yaitu:
- Harga lahan di persimpangan lebih mahal dari pada lahan di dalam gang
- Bantuan bencana sulit mencapai lokasi karena medan yang berat
- Kepulauan Seribu hanya dapat dijtempuh dengan kapal dari pelabuhan Muara Angke
5. Pola
Pola adalah bentuk, struktur, dan persebaran fenomena atau kejadian di permukaan bumi baik
gejala alam maupun gejala sosial.
Contoh konsep pola yaitu:
- Pemukiman memanjang di sepanjang jalan raya pantura Jawa
- Pemukiman di kota besar seperti Jakarta dibangun berhimpitan
- Aliran air sungai yang berbentuk sudut siku-siku adalah aliran sungai rectangular.
6. Aglomerasi
Aglomerasi adalah adanya suatu fenomena yang mengelompok menjadi satu bentuk atau
struktur.
Contoh konsep aglomerasi yaitu:
- Pasar Senen, pasar minggu, pasar rebo merupakan pengelompokan tempat berjualan
berdasarkan hari pasaran.
- Kegiatan industri terpusat di kawasan Jababeka, Pulogebang, atau Tangerang.
- Di perkotaan terjadi pemusatan penduduk berdasarkan status sosial dan ekonomi melalui
kawasan slum area, menengah ke atas, dan kawasan elit.
7. Nilai Kegunaan
Nilai kegunaan adalah konsep yang berkaitan dengan nilai guna suatu wilayah yang dapat
dikembangkan menjadi potensi yang menunjang perkembangan suatu wilayah.
Contoh konsep nilai kegunaan yaitu:
- Kawasan perbukitan kapur (kars) seperti di Wonosari, Gunug Kidul memiliki banyak goa dan
sumber mata air bawah tanah yang cocok untuk dijadikan objek wisata alam.
- Pulau Madura yang panas dan tanah yang tidak subur tidak cocok sebagai laha pertanian,
tetapi dari lokasi geografisnya banyak dijadikan sebagai kawasan tambak garam.
8. Interaksi/Interpendensi
Interaksi/Interpendensi adalah konsep yang menunjukkan keterkaitan dan ketergantungan satu
daerah dengan daerah lain untuk saling memenuhi kebutuhannya.
Contoh konsep Interaksi/interpendensi yaitu
- Desa sebagai pemasok tenaga kerja dan kota sebagai pemasok bahan produksi untuk desa.
- Tanaman bawang tumbuh subur di Brebes diangkut ke Jakarta untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat kota.
9. Diferensiasi Areal
Diferensiasi areal adalah konsep yang membandingkan dua wilayah untuk menunjukkan adanya
perbedaan antara satu wilayah dengan wilayah lain karena tiap-tiap wilayah memiliki
karakteristik khas masing-masing.
Contoh konsep Diferensiasi areal yaitu:
- Di dearah pantai penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan, sedangkan di pegunungan
penduduk bermata pencaharian sebagai petani.
- Pakaian dari bahan katun cocok digunakan di daerah panas seperti Jakarta, sedangkan
pakaian dari bahan woll cocok di gunakan di daerah dingin.
- Bentuk rumah penduduk asli Sulawesi berbentuk panggung, sedangkan bentuk rumah
penduduk asli Jawa tidak berbentuk panggung.
10. Keterkaitan Ruang
Keterkaitan ruang adalah konsep yang menunjukkan tingkat keterkaitan antar wilayah dan
mendorong terjadinya interaksi sebab-akibat antarwilayah.
Contoh konsep keterkaitan ruang yaitu:
- Lalu-lintas di Jakarta selalu macet karena adanya mobilitas penglaju (pekerja) yang rumahnya
di pinggiran Jakarta (Bodetabek) tetapi bekerja di Jakarta.
- Kabut asap yang melanda Singapura adalah hasil dari pembakaran lahan di Riau, Palembang,
dan sekitarnya yang terbawa angin.
- Gaya bicaya Pak Ruhut asal Medan lebih tegas, keras, dan galak. Berbeda dengan gaya bicara
Pak Joko asal Solo yang lemah lembut dan sopan.