Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

telah membuat aturan-aturan yang mengatur tata kehidupan masyarakatnya

yang bersumber dari hukum untuk menciptakan keamanan dan ketertiban,

yang mana konsekuensi dari hal tersebut diatas adalah segala perbuatan dan

tingkah laku dari seluruh komponen masyarakat harus sesuai dan sejalan

dengan nilai hukum yang berlaku. Sebagai negara hukum yang dalam

penyelenggaraan seluruh aktivitasnya mengenai kehidupan bernegara dan

bermasyarakat selalu menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dimana

Penegakan hukum menjadi elemen penting dalam menciptakan keamanan dan

ketertiban dalam masyarakat.

Penegakan hukum di Indonesian menjadi sorotan oleh masyarakat

maupun media karena penegakan hukum di anggap sebagai senjata untuk

melawan segala jenis kejahatan yang semakin hari semakin berkembang yang

mana aparat penegak hukum di tuntut menyelesaikan permalahan hukum

sehingga apa yang menjadi tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan

dan kemamfaatan dapat tercapai.

Peredaran narkotika di Indonesia terus meningkat bahkan sudah

sampai ketingkat yang sangat mengkhawatirkan.Seperti diketahui narkotika

saat ini tidak saja diedarkan di kota-kota besar tetapi sudah sampai ketingkat

1
pedesaan dan pelaku penyalahgunaan narkotika tidak saja mereka yang telah

dewasa namun telah meluas keseluruh lapisan masyarakat mulai dari pelajar,

mahasiswa, wiraswasta, pejabat, anak jalanan dan lain sebagainya.

Penyebaran narkoba pada kalangan anak-anak sudah sampai kepad tahap

yang sangat sulit dikendalikan, kenyataan tersebut sangat mengkhawatirkan

karena anak-anak adalah generasi penerus bangsa dimasa yang akan datang.

Anak-anak memerlukan pembinaan dan perlindungan khusus.

Masalah penyalahgunaan Narkotika ini bukan saja merupakan

masalah yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan

juga bagi dunia Internasional. Memasuki abad ke-20 perhatian dunia

internasional terhadap masalah Narkotika semakin meningkat. Masalah

penyalahgunaan Narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat

memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena

Indonesia yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi,

arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan

dinamika sasaran opini peredaran gelap.

Perkembangan penyalahgunaan narkotika semakin hari semakin

meningkat dan pemerintah telah menerbitkan aturan yang mengatur tentang

penanganan Anak yang menjadi pelaku tindak pidana penayalahgunaan

narkotika yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika. Masalah narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan-

bahan adiktif) sudah merupakan masalah nasional, karena masalah narkoba

2
sudah ada dimana-mana. Sepertinya tidak ada lagi wilayah kelurahan atau

desa di Republik ini yang steril dari narkoba. Disadari atau tidak, narkoba

sudah ada di sekeliling kita.

Masalah penyalahgunaan narkotika ini menjadi begitu penting

mengingat bahwa obat-obat narkotika mempunyai pengaruh terhadap fisik

dan mental, dan apabila digunakan dengan dosis yang tepat dan di bawah

pengawasan dokter atau psikiater dapat digunakan untuk kepentingan

pengobatan atau penelitian, namun apabila disalahgunakan atau digunakan

tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat membahayakan penggunanya.

Pengaruh langsung dari narkotika, selain merusak moral dan fisik juga

penyakit yang mematikan, yaitu HIV atau AIDS sebagai efek samping dari

penggunaan narkotika.

Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut

takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang

menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna

itu sendiri. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan,

psikotropika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang sangat bermanfaat

dibidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

pengetahuan di satu sisi dapat sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa

pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.

3
Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib

menjalani rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial dipusat rehabilitasi

ketergantungan narkotika. Dengan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial

dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik,

mental, dan sosial pecandu, dengan tujuan akhir dengan sembuhnya pecandu

dari ketergantungan narkotika. Dengan kondisi semakin meningkatnya

penyalahgunaan narkotika, maka pemerintah dengan Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika diharapkan gencar mengupayakan

rehabilitasi bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika. Apabila dikatakan

sebagai korban, maka sudah jelas bahwa seseorang penyalahguna dan

pecandu haruslah dijauhkan dari stigma pidana, tetapi harus diberikan

perawatan.

Penyalahguna narkotika adalah pelaku kejahatan dan melupakan

bahwa mereka juga adalah korban yang melekat dengan segala hak-hak yang

harus diperjuangkan. Hal ini berarti bahwa walaupun seseorang itu pengguna

narkotika yang menyalahgunakan, mereka tetap memiliki hak asasi manusia

karena hak tersebut melekat dari hakikat dan martabatnya sebagai manusia.

Ini berarti negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan

hukum terhadap penyalahguna narkotika, hak atas pembinaan dan

rehabilitasi.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan Pasal 6:

4
a. Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke

dalam:

1) Narkotika Golongan I;

2) Narkotika Golongan II;

3) Narkotika Golongan III.

b. Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam

Lampiran I dan merupakan bagian yang terpisahkan dari Undang-

Undang ini.

c. Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan

Menteri.

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika saat ini tidak lagi secara

sembunyi-sembunyi, tetapi sudah terang-terangan yang dilakukan oleh

pemakai dan pengedar dalam menjalankan operasi. Penegakkan hukum

terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat

penegakkan hukum dan telah banyak mendapatkan putusan hakim di siding

pengadilan. Peneggakan hukum ini diharapkan mampu sebagai factor

penangkal terhadap merebaknya peredaran perdagangan narkotika. Namun,

dalam kenyataannya, semakin intensif dilakukan peneggakan hukum,

semakin meningkat pula peredaran perdagangan narkotika tersebut.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis terdorong untuk melakukan

penelitian yang mendalam tentang :

5
“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA GOLONGAN I (Studi Putusan

Nomor 164.Sus/2019/PN Kds)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sebagaimana telah diuraikan di atas

maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah

penjatuhan pidana penjara dalam perkara nomor 164.Sus/2019/PN Kds sesuai

dengan ketentuan Pasal 112 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan

yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah

penjatuhan pidana penjara dalam perkara nomor 164.Sus/2019/PN Kds sesuai

dengan ketentuan Pasal 112 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika

D. Manfaat Penelitian

Proses penelitian ini penulis diharapkan dapat memahami dan

mempelajari dengan baik aturan Perundang-undangan tentang narkotika agar

dapat digunakan bagi penulis dan masyarakat luas. Besarnya manfaat positif

yang diberikan menunjukkan nilai dan kualitas dari penelitian tersebut.

Penelitian yang dilakukan penulis diharapkan mempunyai kegunaan, yaitu:

6
1. Manfaat dalam ilmu teoritis.

a. Memberikan pemahaman bagi penelitian selanjutnya mengenai

penjatuhan pidana penjara dalam perkara nomor

164.Sus/2019/PN Kds sesuai dengan ketentuan Pasal 112 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

b. Menambah literatur yang dapat dijadikan data sekunder dan

menambah pengetahuan dan pengembangan ilmu hukum

terutama di bidang hukum pidana.

2. Manfaat dalam praktis

a. Sebagai stimulan serta sumbangan bagi masyarakat ilmah pada

umumnya untuk mencari, meneliti, menemukan dan

memecahkan masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat

khususnya masalah narkotika.

b. Untuk mengasah pola pikir dan penalaran sesuai analogi dan

untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu

yang diperoleh.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Umum Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata,

yakni straf, baar dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum.

Baar diterjemahkan dapat atau boleh. Feit diterjemahkan tindak, peristiwa,

pelanggaran dan perbuatan.1 Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut

disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barangsiapa

melanggar larangan tersebut.2 Pompe merumuskan bahwa suatu strafbaar

feit adalah suatu tindakan yang menurut suatu rumusan Undang-Undang

telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 3 R. Tresna,

Peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan

manusia, yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan

Perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan

penghukuman.

Peristiwa pidana itu mempunyai syarat-syarat, yaitu:4

a. Harus ada perbuatan manusia.

1
Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. Raja Grafindo, Jakarta,
Hlm. 69
2
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, 2014, Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, Hlm 35
3
Adami Chazawi, Op.Cit, Hlm. 72
4
Ibid

8
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam

ketentuan hukum.

c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu

orangnya harus dapat mempertanggungjawabkan.

d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.

e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya

dalam Undang-Undang.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut Simons, dua unsur tindak pidana yaitu unsur objektif dan

unsur subjektif. Unsur objektif antara lain perbuatan orang, akibat yang

kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai

perbuataan. Sedangkan unsur subjektif: orang yang mampu bertanggung

jawab, adanya kesalahan. Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan,

kesalahan dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan

keadaan mana perbuatan itu dilakukan.5

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari

dua sudut pandang, yakni:

a. Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana ialah: Perbuatan,

Yang dilarang (oleh aturan hukum), Ancaman pidana (bagi yang

melanggar larangan). Hanya perbuatan manusia yang boleh dilarang

oleh aturan hukum. Diancam dengan pidana menggambarkan bahwa

tidak selalu perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana.


5
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Op.Cit, Hlm. 40

9
Pengertian penjatuhan pidana merupakan pengertian yang umum, yang

artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Menurut Schravendijk, unsur

tindak pidana ialah: Kelakuan (orang yang), Bertentangan dengan

keinsyafan hukum, Diancam bukan hukuman, Dilakukan oleh orang

(yang dapat), Dipersalahkan/kesalahan.6

Hakikatnya, unsur-unsur yang telah dikemukakan oleh kedua

tokoh tersebut mempunyai persamaan yaitu tidak memisahkan antara

unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri

orangnya.

b. Unsur rumusan tindak pidana dalam UU

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak

pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, sedangkan

dalam Buku III memuat pelanggaran. Dari rumusan-rumusan tindak

pidana tertentu dalam KUHP, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak

pidana yaitu:7 Unsur tingkah laku, Unsur melawan hukum, Unsur

kesalahan, Unsur akibat konstitutif, Unsur keadaan yang menyertai,

Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana, Unsur syarat

tambahan untuk memperberat pidana, Unsur syarat tambahan untuk

dapatnya dipidana, Objek unsur hukum tindak pidana, Unsur kualitas

subjek hukum tindak pidana, Unsur syarat tambahan untuk

memperingan pidana.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

6
Adami Chazawi, Op.Cit, Hlm. 81
7
Ibid

10
Kepustakaan hukum pidana, umumnya para ahli hukum pidana

telah mengadakan pembedaan antara berbagai macam jenis tindak pidana

(delik). Beberapa diantara pembedaan yang terpenting adalah:

a. Menurut sistem KUHP

1). Kejahatan (Rechtdelicen) ialah perbuatan yang bertentangan

dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam

pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang

benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan

dengan keadilan misalnya pembunuhan, pencurian. Delik

semacam ini disebut kejahatan.8

2). Pelanggaran (Wetsdelicten) ialah perbuatan yang oleh umum

baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang

menyebutnya sebagai delik, dikarenakan terdapat undang-

undang yang mengancam dengan pidana. Misalnya

memarkirkan mobil di sebelah kanan jalan. Delik semacam

ini disebut pelanggaran.

b. Menurut cara merumuskannya

1) Delik formal adalah delik yang perumusannya

dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Tindak

pidana formil tidak memperhatikan dan atau tidak

memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan

sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan pada

perbuatannya. Contohnya pada pencurian (Pasal 362 KUHP)


8
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Op.Cit, Hlm. 44

11
untuk selesainya pencurian digantungkan pada selesainya

perbuatan mengambil.9

2) Delik materiel adalah delik yang perumusannya

dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki

(dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak

dikehendaki telah terjadi. Misalnya pembakaran (Pasal 187

KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP).

c. Berdasarkan macam perbuatannya

1) Delik commisonis yaitu berupa pelanggaran terhadap

larangan, adalah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,

penggelapan dan penipuan.

2) Delik ommisionis yaitu delik berupa pelanggaran terhadap

perintah, adalah tidak melakukan sesuatu yang

diperintahkan. Misalnya tidak mengahadap sebagai saksi di

muka pengadilan (Pasal 522 KUHP), tidak menolong orang

yang membutuhkan pertolongan (Pasal 531 KUHP).

3) Delik commisionis per ommisionen commissa yaitu delik

berupa pelanggaran larangan (dus delik commisionis), akan

tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misalnya

seorang yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air

susu (Pasal 338, 340 KUHP).

d. Berdasarkan bentuk kesalahan

9
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Op.Cit, Hlm. 46

12
1) Delik dolus yaitu delik yang memuat unsur kesengajaan,

misalnya Pasal 187 KUHP.

2) Delik culpa yaitu delik yang memuat kelapaan sebagai salah

satu unsur, misalnya Pasal 195 KUHP.

e. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan

1) Delik tunggal (enkelvoudige delicten) yaitu delik yang

cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.

2) Delik berangkai yaitu delik yang dirumuskan sedemikian

rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat

dipidananya si pembuat, disyaratkan secara berulang.

Misalnya Pasal 481 KUHP, di mana pembuat membeli,

menukar, menerima gadai, menyimpan atau

menyembunyikannya.10

f. Delik yang berlangsung dan delik selesai

1) Delik berlangsung yaitu delik yang mempunyai ciri bahwa

keadaan terlarang itu berlangsung terus-menerus, misalnya

merampas kemerdekaan orang lain (Pasal 333 KUHP).

2) Delik selesai yaitu delik tiada lebih dari suatu perbuatan

yang mencakup melakukan atau melalaikan atau

menimbulkan akibat tertentu seperti menghasut, membunuh

dan membakar.

g. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan

10
Adami Chazawi, Op.Cit, Hlm. 136

13
1) Delik aduan yaitu delik yang penuntutannya hanya

dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena

(gelaedeerde partij), misalnya penghinaan (Pasal 310

KUHP). Delik aduan terbagi menjadi dua:

2) Delik aduan yang absolut misalnya Pasal 284 KUHP. Delik

ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan

pegaduan.

3) Delik aduan yang relatif misalnya Pasal 367 KUHP, disebut

relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa

antara pembuat dan orang yang terkena.

4) Delik biasa yaitu tindak pidana yang untuk dilakukannya

penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak diisyaratkan

adanya pengaduan dari yang berhak.

h. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatnya/peringannya

1) Delik yang ada pemberatnya misalnya penganiayaan yang

menyebabkan luka berat (Pasal 351 KUHP), pencurian

pada waktu malam hari dan sebagainya (Pasal 363

KUHP). Delik yang ancaman pidananya diperingan karena

dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya pembunuhan

terhadap anak-anak (Pasal 341 KUHP) Delik sederhana

misalnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP).

B. Konsep Umum Tentang Narkotika

1. Pengertian Narkotika

14
Narkotika secara etimologis berasal dari bahasa Inggris narcose

atau narcois yang berarti menidurkan dan pembiusan. Kata narkotika

berasal dari Bahasa Yunani yaitu narke yang berarti terbius sehingga

tidak merasakan apa-apa.11 Dari istilah farmakologis yang digunakan

adalah kata drug yaitu sejenis zat yang bila dipergunakan akan membawa

efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai seperti

mempengaruhi kesadaran dan memberikan ketenangan, merangsang dan

menimbulkan halusinasi.12

Secara terminologis narkotika dalam Kamus Besar Indonesia

adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit,

menimbulkan rasa mengantuk dan merangsang.13 Menurut beberapa

sarjana maupun ahli hukum, pengertian narkotika adalah sebagai berikut:

a. Soedjono D menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

narkotika adalah sejenis zat, yang bila dipergunakan

(dimasukkan dalam tubuh) akan membawa pengaruh terhadap

tubuh si pemakai. Pengaruh tersebut berupa menenangkan,

merangsang dan menimbulkan khayalan atau halusinasi.14

b. Edy Karsono, narkotika adalah zat/bahan aktif yang bekerja

pada sistem saraf pusat (otak) yang dapat menyebabkan

11
Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk
Mahasiswa dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba, Mandar Maju, Bandung, Hlm. 35.
12
Soedjono, D, 1997, Narkotika dan Remaja, Alumni, Bandung, Hlm. 3.
13
Anton M. Moelyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, Hlm. 609.
14
Ibid

15
penurunan sampai hilangnya kesadaran dan rasa sakit (nyeri)

serta dapat menimbulkan ketergantungan (ketagihan).15

c. Elijah Adams memberikan definisi narkotika adalah terdiri dari

zat sintetis dan semi sintetis yang terkenal adalah heroin yang

terbuat dari morfhine yang tidak dipergunakan, tetapi banyak

nampak dalam perdagangan-perdagangan gelap, selain juga

terkenal dengan istilah dihydo morfhine.16

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika, narkotika adalah : “zat atau obat yang berasal

dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis,

yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-

golongan sebagaimana terlampir dalam undangundang tersebut. Sehingga

berdasarkan penjelasan pengertian narkotika diatas, dapat disimpulkan

bahwa narkotika merupakan zat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman yang dapat menyebabkan penurunan, perubahan kesadaran,

mengurangi sampai menghilangkan nyeri, menimbulkan khayalan atau

halusinasi dan dapat menimbulkan efek ketergantungan yang dibedakan

ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-

Undang atau kemudian ditetapkan dengan keputusan menteri kesehatan

15
Soedjono D, 1977, Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara,
Bandung, Hlm. 5
16
Wilson Nadaek, 1983, Korban dan Masalah Narkotika, Indonesia Publing House,
Bandung, Hlm. 122.

16
2. Jenis Golongan Narkotika

Narkotika merupakan zat atau obat yang pemakaiannya banyak

digunakan oleh tenaga medis untuk digunakan dalam pengobatan dan

penelitian memiliki beberapa penggolongan. Narkotika digolongkan

dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :17

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan

tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat

tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : heroin, kokain,

ganja.

b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat

pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat

digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan. Contoh : morfin, petidin,

turuna/garam dalam golongan tersebut.

c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat

pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh : kodein, garam-

garam narkotika dalam golongan.

3. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

Menurut KUHAP
17
Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

17
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan

diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalah

gunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat

menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau

masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika

disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang

dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-

nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan

ketahanan nasional.

Pencegahan dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan

masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk

melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana

Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur

hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk

kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi

18
medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di

dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat

baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas,

terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada

umumnya. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara

perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-

sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan

yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat

nasional maupun internasional.

Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan

terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal

ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat

baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas,

terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada

umumnya.18

Mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai

penguatan kelembagaan yang sudah ada, yaitu Badan Narkotika Nasional

(BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83

Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika

Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut

18
Undang-undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Mahardika,
Yogyakarta, 2011, hal 4

19
merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan

bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai

tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang ini, BNN

tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah non kementerian

(LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan

dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung

jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di

daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN

provinsi dan BNN kabupaten/kota.

Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin

canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan

teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian

terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi

(controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan

mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika. Dalam rangka mencegah dan memberantas

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika

yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas

melampaui batas negara, dalam Undang-Undang diatur mengenai kerja

sama, baik bilateral, regional, maupun internasional.19

19
Mahardika, 2011, Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, Yogyakarta, Hlm 4

20
Undang-Undang diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor

Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat

yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan

tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah

berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pengaturan Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009, bertujuan untuk menjamin ketersediaan guna kepentingan

kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah Penyalahgunaan Narkotika,

serta pemberantasan peredaran gelap narkotika. Narkotika di satu sisi,

merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau

pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, di sisi lain

dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila

dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan

seksama.20

4. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Narkotika dan Bentuk Penerapan

Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkotika

Bentuk tindak Pidana Narkotika yang umum dikenal antara lain

sebagai berikut: Penyalahgunaan atau melebihi dosis, Pengedaran

Narkotika, Jual Beli Narkotika. Seorang hakim diberi kebebasan untuk


20
Ibid, Hlm.3

21
mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti dan keyakinannya, sesuai

menurut sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana kita.

Kebebasan hakim dalam mengambil keputusan tersebut dapat dikatakan

sebagai hak prerogatif hakim.

Menurut KUHAP Pasal 1 butir 11 putusan pengadilan adalah

pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang

dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Dalam

hal menjatuhkan putusan ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh

seorang hakim,yaitu:

a. Hakim harus selalu memperhatikan segala hal yang

berhubungan dengansi pelaku Tindak Pidana Narkotika tersebut,

lingkungan tempat si pelaku bergaul, pendidikan, dan lain-lain.

Dari hal-hal tersebut diatas dapat menjadi acuan bagi hakim

untuk memberikan putusan atau pidana yang sesuai dengan si

pelaku Tindak Pidana Narkotika.

b. Dalam pemeriksaan di persidangan, hakim juga harus melihat

apakah si pelaku mendapatkan pendidikan yang formal atau

tidak. Karena pendidikan juga menjadi salah satu faktor

penyebab seseorang melakukan tindak pidana seperti

Penyalahgunaan Narkotika.

Hal-hal lain yang juga perlu dipertimbangkan hakim dalam

penererapan pidana dan prosesnya adalah :

22
a. Psikologis atau kejiwaan

b. Attitude atau kesopanan dan juga dilihat dari wajah tersangka.

c. Hakim harus memperhatikan segala hal yang berhubungan

dengan si pelaku Tindak Pidana Narkotika tersebut.

d. Dalam pemeriksaan persidangan, hakim juga harus melihat

apakah si pelaku mendapatkan pendidikan yang formal atau

tidak, maka ini merupakan aspek pendidikan.

5. Pertimbangan Hakim Dalam Penerapan Sanksi Pidana Terhadap

Penyalahgunaan Narkotika.

Narkotika Faktor-faktor yang menjadi bahan pertimbangan yang

diambil oleh hakim untuk memutuskan suatu perkara antara lain:

a. Kesalahan pembuat tindak pidana,

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana,

c. Cara melakukan tindak pidana dan sebagainya.

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa segala putusan pengadilan

selain harus memuat pasal tertentu dari peraturan Perundang-undangan

yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar

untuk mengadili. Berdasarkan Pasal 50 tersebut, maka dalam membuat

suatu keputusan, hakim harus mempunyai alasan dan dasar putusan serta

juga harus memuat pasal peraturan Perundang-undangan yang

bersangkutan atau sumber hukum yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Untuk mengambil suatu alasan dan dasar suatu putusan, hakim terlebih

23
dahulu harus mempunyai dasar-dasar pertimbangan yang berhubungan

dengan terdakwa.

C. Konsep Umum Tentang Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan

Putusan

1. Pengertian Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim adalah salah satu aspek yang sangat penting

untuk mewujudkan nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung

keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum,

disamping itu terdapat juga manfaat bagi para pihak yang bersangkutan

sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan

cermat. Jika pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka

putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan

dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi / Mahkamah Agung.21

Pemeriksaan perkara hakim harus memperhatikan terkait

pembuktian, karena hasil dari pembuktian tersebut nantinya akan

digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara.

Pembuktian adalah tahap yang sangat penting dalam pemeriksaan di

persidangan. Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian

bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna

mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak akan bisa

menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/ fakta

21
Mukti Aro, 2004, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta Hlm.140.

24
tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga

nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.22

2. Hal-Hal Yang Harus Dimuat Dalam Pertimbangan Hakim

Putusan hakim sangat berkaitan dengan bagaimana hakim dalam

mengemukakan pendapat atau pertimbangannya berdasarkan fakta-fakta

serta alat bukti dipersidangan serta keyakinan hakim atas suatu perkara.

Oleh sebab itu hakim memiliki peran sentral dalam menjatuhkan putusan

pengadilan. Didalam putusan pengadilan harus terdapat pertimbangan-

pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan

putusan, pertimbagan tersebut dijadikan alasan oleh hakim dalam

menjatuhkan putusannya baik itu berupa putusan pemidanaan yang lain

sebagainya.23 Pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan

meringankan terdakwa ini diatur dalam Pasal 197 huruf d dan 197 huruf f

KUHAP Dalam Pasal 197 huruf d berbunyi “Pertimbangan yang disusun

secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang

diperoleh dari pemeriksaan disidang yang menjadi dasar penentuan

kesalahan terdakwa”. Sedangkan Pasal 197 huruf f berbunyi “Pasal

peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau

tindakan dan peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum

dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan

terdakwa”.

22
Ibid, Hlm. 141
23
Nurhafifah dan Rahmiati, 2015, Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana
Terkait Hal Yang Memberatkan Dan Meringankan Putusan. Jurnal Ilmu Hukum. No. 66. Fakultas
Hukum. UNSYIAH. Hlm. 344.

25
Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas dibidang

yudisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan

setiap perkara yang diajukan kepadanya. Para pencari keadilan tentu

sangat mendambakan perkara-perkara yang diajukan kepengadilan dapat

diputus oleh hakim yang propesional dan memiliki integritas moral yang

tinggi, sehingga dapat melahirkan keputusan-keputusan yang sesuai

dengan aturan Perundang-undangan.24

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertimbangan Hakim

Beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam membuat

putusannya, dibagi menjadi faktor subjektif dan faktor objektif.

a. Faktor subjektif meliputi:

1) Sikap prilaku apriori, yakni adanya sikap hakim yang sejak

semula sudah menganggap bahwa terdakwa yang diperiksa

dan diadili adalah orang yang memang bersalah dan harus

dipidana.

2) Sikap perilaku emosional, yakni putusan pengadilan akan

dipengaruhi oleh perangaihakim. Hakim yang mempunyai

perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai

hakim yang tidak mudah tersinggung.

3) Sikap arrogance power, yakni sikap lain yang

mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakkan

kekuasaan”, disini hakim merasa dirinya berkuasa dan

24
Sutiyoso Bambang, 2006, Metode Penemuan Hukum, UII Pres, Yogyakarta, Hlm.
5.

26
pintar, melebihi orang lain (jaksa, pembela, ataupun

terdakwa).

4) Moral, yakni moral seorang hakim karena bagaimanapun

juga pribadi seorang hakim diliputi oleh tingkah laku yang

didasari oleh moral pribadi hakim tersebut dalam

memeriksa serta memutuskan suatu perkara25

b. Faktor objektif meliputi :

1) Latar belakang budaya, yakni kebudayaan, agama,

pendidikan seseorang tentu ikut mempengaruhi putusan

hakim. Meskipun latar belakang hidup budaya tidak bersifat

determinis, tetapi faktor ini setidaknya ikut mempengaruhi

hakim dalam mengambil suatu keputusan.

2) Profesionalisme, yakni kecerdasan serta profesionalisme

seorang hakim ikut mempengaruhi putusannya. Perbedaan

suatu putusan sering dipengaruhi oleh profesionalisme

hakim tersebut.26

4. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses

penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan

sebagai rangkaian proses penegakan hukum. Dalam menjatuhkan putusan

hakim harus memiliki darar pertimbangan yang didasarkan pada

25
Yahya Harahap, sebagaimana dikutip M. Syamsudin, 2012, Konstruksi Baru
Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana, Jakarta, Hlm. 93.
26
LH Permana, 2016, Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penjatuhan
Pidana Di Bawah Minimum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaa,. Jurnal Fakultas Hukum.
Universitas Lampung, Lampung, Hlm. 9.

27
keyakinan serta didukung oleh adanya alat-alat bukti yang sah sehingga

putusan yang dijatuhkan hakim benar-benar memenuhi rasa keadilan

masyarakat. Hakim dalam mnjatuhkan putusan harus mempertimbangkan

banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang

diperiksa, tingkat perbuatan dankesalahan yang dilakukan pelaku,

kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan.

D. Konsep Umum Tentang Pemidanaan

1. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga

tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada

umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan

sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan

hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal

tersebut sebagai berikut :27 “Hukum pidana materil terdiri atas tindak

pidana yang disebut berturutturut, peraturan umum yang dapat diterapkan

terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan

itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana

seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan

pada kesempatan itu”.

Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana meteril dan hukum pidana

formil sebagai berikut:28

27
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,.
Jakarta, Hlm. 2.
28
Ibid, Hlm 3

28
a. Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang

menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi

pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang

dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas

pelanggaran pidana.

b. Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang

mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil terhadap

pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan

kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materil

diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta

mengatur cara melaksanakan putusan hakim

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materil

berisi larangan atau perintah jika tidak terpenuhi diancam sanksi,

sedangkan hukum pidana formil dalah aturan hukum yang mengatur cara

menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materil. Pemidanaan

sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara

normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-

konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam

masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme.

Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku

kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan

kejahatan serupa.

29
Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali

bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya

pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya

preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau

pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap

perencanaan sebagai berikut:

a. Pemberian pidana oleh pembuat Undang-Undang.

b. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang.

c. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang

2. Tujuan Pemidanaan

Tujuan Pemidanaan Di indonesia sendiri, hukum positif belum

pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan

pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun

sebagai bahan kajian, Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan

pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dala Bab II dengan judul

Pemidanaan, Pidana dan Tindakan. Tujuan pemidanaan menurut Wirjono

Prodjodikoro, yaitu:29

a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan

kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals

preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah

melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan

kejahatan lagi (speciale preventif), atau

Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung,


29

Bandung, Hlm. 16

30
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan

kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya

sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana

perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan

pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa

bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana merupakan suatu

nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan

martabat manusia. P.A.F. Lamintang menyatakan “Pada dasarnya terdapat

tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu

pemidanaan, yaitu:

a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,

b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-

kejahatan, dan

c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak

mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni

penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat

diperbaiki lagi”.

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori

tentang tujuan pemidanaan. Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi

atas tiga. Pada bagian ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai

berikut :

a. Teori absolut atau Teori Pembalasan

31
Teori pembalasan membenarkan pemidanaaan karena

seseorang telah melakukan tindak pidana. Penganjur teori ini

antara lain Immanuel Kant yang mengatakan “Fiat justitia ruat

coelum” (walaupun besok dunia akan kiamat, namun penjahat

terakhir harus menjalankan pidananya). Kant mendasarkan

teorinya berdasarkan prinsip moral/etika. Penganjur lain adalah

Hegel yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan

kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan

kepada hukum dan keadilan. Karena itu, menurutnya penjahat

harus dilenyapkan. Menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai

dengan ajaran Tuhan karena itu harus dilakukan pembalasan

kepada penjahat. Teori absolut atau teori pembalasan ini terbagi

dalam dua macam, yaitu:

1). Teori pembalasan yang objektif, yang berorientasi pada

pemenuhan kepuasan dari perasaan dendam dari kalangan

masyarakat. Dalam hal ini tindakan si pembuat kejahatan

harus dibalas dengan pidana yang merupakan suatu bencana

atau kerugian yang seimbang dengan kesengsaraan yang

diakibatkan oleh si pembuat kejahatan.

2). Teori pembalasan subjektif, yang berorientasi pada

penjahatnya. Menurut teori ini kesalahan si pembuat

kejahatanlah yang harus mendapat balasan. Apabila

kerugian atau kesengsaraan yan besar disebabkan oleh

32
kesalahan yang ringan, maka si pembuat kejahatan sudah

seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.

Berkaitan dengan teori absolut (retribution), Cristiansen

memberikan karakteristik teori ini sebagai berikut:

1) Tujuan pidana semata-semata untuk pembalasan

2) Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak

mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya

untuk kesejahteraan masyarakat

3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya

pidana;

4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar

5) Pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan

yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki

mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Utilitarian/Doeltheorieen)

Teori ini mendasarkan pandangan kepada maksud dari

pemidanaanya itu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan

terjadinya kejahatan. Artinya, dipertimbangkan juga pencegahan untuk

masa mendatang. Penganjur teori ini antara lain Paul Anselm Van

Feurbach yang mengemukakan hanya denga nmengadakan ancaman

pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan penjatuhan

pidana kepada si penjahat. Pengertian dalam teori tujuan ini berbeda

sekali dengan teori absolut (mutlak). Kalau dalam teori absolut itu

33
tindakan pidana dihubungkan dengan kejahatan, maka pada teori relatif

ditujukan kepada hari-hari yang akan datang, yaitu dengan maksud

mendidik orang yang telah berbuat jahat tadi,agar menjadi baik

kembali.30

Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah terletak

pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan "quia peccatumest" (karena

orang berbuat kejahatan) melainkan "ne peccetur"(supaya orang

jangan melakukan kejahatan). Mengenai teori relatif ini Andenaes

dapat disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of

social defence) karena salah satu tujuannya adalah melindungi

kepentingan masyarakat.

c. Teori Gabungan (vereningingsheorieen)

Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan

seperti dikemukakan di atas, yakni teori absolut dan teori relatif, ada

teori ketiga yang disebut teori gabungan (verenigingstheorieen).

Pelopor teori ini adalah Rossi (1787 - 1884). Teori Rossi disebut teori

gabungan karena sekalipun ia tetap menganggap pembalasan sebagai

asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui

suatu pembalasan yang adil, namun dia berpendirian bahwa pidana

mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang

rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Teori gabungan ini

dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut :

30
Samidjo, 1985, Pengantar Hukum Indonesia, Armico, Bandung, Hlm.153.

34
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi

pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu

dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat;

2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan taat tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh

lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum

normatif atau doktrinal. Menurut Terry Hutchinson sebagaimana dikutip

Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa penelitian hukum doktrinal

atau normatif adalah sebagai berikut : “Penelitian doktrinal adalah penelitian

yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori

hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan menjelaskan daerah

kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan”.31

31
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, Hlm 32

35
Penelitian hukum normatif yang nama lainnya adalah penelitian

hukum doktrinal yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi

dokumen karena penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal

research) yaitu penelitian hukum dengan mengkaji bahan-bahan hukum, baik

bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.32 Data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa peraturan Perundang-

undangan, putusan pengadilan, teori hukum, dan pendapat para ahli hukum.

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan-pendekatan yang

digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan Undang-Undang

(statute approach), Pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan

pendekatan konseptual (Concentual approach).33

Bahwa berdasarkan penjelasan di atas penulis akan menggunakan tiga

pendekatan yaitu :

1 Pendekatan konseptual (conceptual approach), yaitu dilakukan

dengan menelah pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang dalam ilmu hukum

2. Pendekatan Undang-Undang (statute approach), yaitu dilakukan

dengan menelaah peraturan Perundang-undangan yang berkaitan

dengan pokok masalah penelitian

32
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, Hlm. 97.
33
Peter Mahmud Marzuki.Op.cit,Hlm. 93

36
3. Pendekatan kasus (case approach), yaitu dilakukan dengan cara

melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu

yang dihadapi dan menjadi putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.34.

C. Jenis Bahan Hukum

Jenis bahan hukum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tertier. Dalam penelitian ini,

penulis menggunakan sumber bahan hukum yaitu :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari peraturan

Perundang-undangan catatan resmi, risalah dalam pembuatan Perundang-

undangan dan putusan hakim, dalam penelitian ini bahan hukum primer

yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Peraturan

Hukum Acara Pidana.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Peraturan Hukum

Pidana Indonesia

c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

e. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Bahan Hukum Sekunder

34
Ibid, Hlm. 133-135.

37
Bahan hukum sekunder yaitu Bahan hukum yang memberikan

penjelasan bahan hukum primer, Bahan hukum sekunder yang utama

adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar

ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang

mempunyai kualifikasi tinggi.35 dalam hal ini yaitu terdiri dari :

Literature ilmu hukum, Makalah-makalah, Jurnal ilmial, Artikel ilmiah

yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum skunder, dalam hal ini terdiri dari : Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Kamus Hukum, Pendapat para ahli dalam berbagai

literatur/buku, Dokumentasi, berita di koran, serta penelusuran website.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh

bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang

mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penelitian ini adalah studi

dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan

bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan

mempergunakan content analisys.36 Teknik ini berguna untuk mendapatkan

landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan

Perundang-undangan, peraturan pemerintah maupun dari bahan hukum

35
Ibid.,Hlm.142
36
Ibid.,Hlm.21

38
sekunder berupa penjelasan bahan hukum primer, dilakukan dengan cara

mencatat dan mengutip buku dan literatur yang berhubungan dengan

penulisan ini.

E. Teknik Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan teknik analisis bahan hukum teknik bahan

preskriptif, yaitu analisis untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian

yang telah dilakukan. Argumentasi ini untuk memberikan preskriptif atau

penilaian mengenal benar atau salah menurut hukum terhadap fakta atau

peristiwa hukum dari hasil penelitian, dan mempelajari tujuan hukumn nilai

keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep umum, dan norma-norma

Hukum.37

37
Ibid, Hlm. 22

39
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kasus Posisi

Pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2019, sekitar pukul 00.30 WIB,

pada saat dirumah kos Ds. Megawon, Kec. Jati, Kab. Kudus, Terdakwa Denni

Dewantara Bin Toto Sukanto mendapat telpon dari Sdr. Purnomo (DPO

Polres Kudus) yang menyampaikan kepada terdakwa untuk mengambilkan

barang/shabu di dalam bambu tiang umbul-umbul di jalan Jendral Sudirman

turut Ds. Rendeng, Kec. Kota, Kab. Kudus, selanjutnya terdakwa langsung

berangkat dengan naik grab menuju jalan Jendral Sudirman turut Desa

Rendeng Kecamatan Kota Kabupaten Kudus, setelah sampai dilokasi dimana

shabu tersebut disimpan sekitar pukul 00.50 WIB, selanjutnya terdakwa

mengambil shabu tersebut kemudian memasukkannya ke dalam kantong baju

sebelah kiri, selanjutnya terdakwa berjalan kaki dengan maksud akan

40
memberikannya kepada temannya Sdr. Purnomo, kemudian tepatnya pada

hari Senin, tanggal 5 Agustus 2019.

Sekitar pukul 01.00 WIB saksi Rozikhan, SH Bin Nor Kholis bersama

rekan-rekannya melakukan penangkapan terhadap terdakwa, dan setelah

dilakukan penggledahan ditemukan barang bukti berupa : 5 (Lima) bungkus

plastik klip berisi serbuk Kristal diduga narkotika jenis shabu dalam bungkus

plastik klip yang di isolasi warna hitam dalam kantong baju sebelah kiri, 1

(satu) buah pipet kaca dalam kantong jaket sebelah kiri, 1 (satu) unit hand

phone merk Nokia warna putih Nomor 082 333 446 447 dalam genggaman

tangan kiri, dan setelah dilakukan intrograsi terdakwa mengaku bahwa barang

berupa 5 (Lima) bungkus plastik klip berisi serbuk Kristal diduga narkotika

jenis shabu dalam bungkus plastik klip yang diisolasi warna hitam tersebut

rencananya akan diberikan kepada seorang pemesan yang tidak ia kenal,

selanjutnya terdakwa dan barang bukti yang di temukan di bawa ke Kantor

Polres Kudus.

Berdasarkan berita acara pemeriksaan laboratoris kriminalistik Nomor

LAB : 1954/NNF/2019 tanggal 15 Agustus 2019 yang ditandatangani oleh

pemeriksa Drs. Teguh Prihmono, H.M, Ibnu Sutarto, S.T, dan Eko Fery

Prasetyo, S.Si yang diketahui oleh Kepala Laboratorium Forensik Cabang

Semarang Dr. Nursamran Subandi, M.Si, dengan kesimpulan : BB -

4060/2019/NNF berupa serbuk Kristal, BB - 4061/2019/NNF berupa urine

tersebut diatas adalah mengandung METAMFETAMINA terdaftar dalam

41
Golongan I (satu) Nomor urut 61 lampiran Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

B. Dakwaan Penuntut Umum

Terdakwa atau Para Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Penuntut

Umum didakwa berdasarkan surat dakwaan sebagai berikut: Bahwa

Terdakwa DENNI DEWANTARA Bin TOTO SUKANTO pada hari Senin,

tanggal 5 Agustus 2019, sekitar pukul 01.00 WIB atau setidak-tidaknya pada

waktu lain dalam bulan Agustus tahun 2019 bertempat di jalan Jendral

Sudirman turut Desa Rendeng Kecamatan Kota Kabupaten Kudus, atau

setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah Hukum

Pengadilan Negeri Kudus yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara

ini, tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,

membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau

menyerahkan narkotika Golongan I, perbuatan tersebut dilakukan oleh

terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut : Bermula pada hari Senin tanggal

5 Agustus 2019, sekitar pukul 00.30 WIB, pada saat dirumah kos Ds.

Megawon, Kec. Jati, Kab. Kudus, Terdakwa DENNI DEWANTARA Bin

TOTO SUKANTO mendapat telpon dari Sdr. PURNOMO (DPO Polres

Kudus) yang menyampaikan kepada terdakwa untuk mengambilkan barang /

shabu di dalam bambu tiang umbul-umbul di jalan Jendral Sudirman turut Ds.

Rendeng, Kec. Kota, Kab. Kudus, selanjutnya terdakwa langsung berangkat

dengan naik grab menuju jalan Jendral Sudirman turut Desa Rendeng

Kecamatan Kota Kabupaten Kudus, setelah sampai dilokasi dimana shabu

42
tersebut di simpan sekitar pukul 00.50 WIB, selanjutnya terdakwa mengambil

shabu tersebut kemudian memasukkannya ke dalam kantong baju sebelah

kiri, selanjutnya terdakwa berjalan kaki dengan maksud akan memberikannya

kepada temannya Sdr. PURNOMO, kemudian tepatnya pada hari Senin,

tanggal 5 Agustus 2019. sekitar pukul 01.00 WIB saksi ROZIKHAN, SH Bin

NOR KHOLIS bersama rekan-rekannya melakukan penangkapan terhadap

terdakwa, dan setelah dilakukan penggledahan ditemukan barang bukti

berupa : 5 ( Lima) bungkus plastik klip berisi serbuk Kristal diduga

narkotika jenis shabu dalam bungkus plastik klip yang di isolasi warna hitam

dalam kantong baju sebelah kiri, 1 (satu) buah pipet kaca dalam kantong jaket

sebelah kiri, 1 (satu) unit hand phone merk Nokia warna putih Nomor 082

333 446 447 dalam genggaman tangan kiri, dan setelah dilakukan intrograsi

terdakwa mengaku bahwa barang berupa 5 ( Lima) bungkus plastik klip

berisi serbuk Kristal diduga narkotika jenis shabu dalam bungkus plastik klip

yang di isolasi warna hitam tersebut rencananya akan diberikan kepada

seorang pemesan yang tidak ia kenal, selanjutnya terdakwa dan barang bukti

yang di temukan di bawa ke Kantor Polres Kudus. Berdasarkan berita acara

pemeriksaan laboratoris kriminalistik Nomor LAB : 1954/NNF/2019 tanggal

15 Agustus 2019 yang ditandatangani oleh pemeriksa Drs. TEGUH

PRIHMONO, H.M, IBNU SUTARTO, S.T, dan EKO FERY PRASETYO,

S.Si yang diketahui oleh Kepala Laboratorium Forensik Cabang Semarang

Dr. NURSAMRAN SUBANDI, M.Si, dengan kesimpulan : BB -

4060/2019/NNF berupa serbuk Kristal, BB - 4061/2019/NNF berupa urine

43
tersebut diatas adalah mengandung METAMFETAMINA terdaftar dalam

Golongan I (satu) Nomor urut 61 lampiran Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Perbuatan terdakwa

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara

dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika Golongan I tersebut di

atas tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang. Sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 114 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika

C. Pertimbangan Hukum Hakim

Berdasarkan pertimbangan hakim dalam perkara ini bahwa penuntut

umum dipersidangan telah memperlihatkan alat bukti surat berupa Berita

Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Nomor LAB: 1954/NNF/2019

tanggal 15 Agustus 2019 yang dikeluarkan oleh Pusat Laboratorium Forensik

Bareskrim POLRI Cabang Semarang, yang ditandatangani oleh pemeriksa

Drs. TEGUH PRIHMONO, H.M, IBNU SUTARTO, S.T, dan EKO FERY

PRASETYO, S.Si yang diketahui oleh Kepala Laboratorium Forensik

Cabang Semarang Dr. NURSAMRAN SUBANDI, M.Si, dengan

kesimpulan : BB - 4060/2019/NNF berupa serbuk Kristal, BB -

4061/2019/NNF berupa urine tersebut diatas adalah mengandung

METAMFETAMINA terdaftar dalam Golongan I (satu) Nomor urut 61

lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang

44
Narkotika. Bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan

dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan

memperhatikan fakta-fakta hukum tersebut diatas memilih langsung dakwaan

alternatif kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang unsur-unsurnya adalah

sebagai berikut:

1. Setiap orang;

2. Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman;

Berdasarkan pertimbangan hakim, bahwa yang dimaksud “Setiap

orang” dalam unsur kesatu ini adalah orang perorangan/manusia sebagai

subyek hukum yang melakukan tindak pidana dan kepadanya dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukannya;

Menimbang, bahwa “Setiap orang” yang dimaksud dalam perkara ini adalah

Terdakwa Denni Dewantara bin Toto Sukanto yang diajukan oleh Penuntut

Umum dipersidangan sebagai pelaku tindak pidana dan menurut pengamatan

Majelis Hakim selama proses persidangan berlangsung Terdakwa adalah

orang yang sehat jasmani dan rohani, dan terhadap Terdakwa dapat

dipertanggung jawabkan atas perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya,

dimana selama persidangan berlangsung Majelis Hakim tidak menemukan

alasan pemaaf yang dapat menghindarkan Terdakwa dari

pertanggungjawaban pidana, dengan demikian menurut Majelis Hakim unsur

kesatu ini telah terpenuhi.

45
Berdasarkan pertimbangan hakim, bahwa unsur ini bersifat alternatif,

sehingga Majelis Hakim akan mempertimbangkan unsur yang relevan dengan

fakta-fakta yang diperoleh selama persidangan dan apabila salah satu unsur

telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa maka unsur ini telah terpenuhi

menurut hukum; Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan tanpa hak adalah

tidak memiliki izin yang diberikan oleh pihak yang berwenang sedangkan

melawan hukum adalah tidak sesuai dengan peraturan Perundang-undangan

yang berlaku; Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 7 Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menerangkan

bahwa Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan

kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika, yang diberikan kewenangan untuk melakukan

penyaluran adalah:

1. Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan

farmasi pemerintah sesuai dengan UU tersebut.

3. Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan

sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

memiliki izin khusus Penyaluran Narkotika dari Menteri.

Berdasarkan pertimbangan hakim, bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang diberikan

kewenangan untuk melakukan penyerahan narkotika adalah : Apotek, Rumah

sakit, Pusat kesehatan masyarakat, Balai pengobatan, dan Dokter;

46
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, apotek hanya dapat menyerahkan narkotika

kepada : rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, apotek lainnya, balai

pengobatan, dokter, dan pasien. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Rumah sakit,

apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat

menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter; Menimbang,

bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan

berdasarkan keterangan para Saksi dan Terdakwa dan dihubungkan dengan

barang bukti, pada tanggal 5 Agustus 2019, anggota Satuan Reserse Narkoba

Polres Kudus melakukan penangkapan serta penggeledahan terhadap

Terdakwa yang diduga menguasai, memiliki, menyimpan, mengedarkan dan

menyalahgunakan narkotika jenis shabu, dan dari penggeledahan tersebut

anggota Satuan Reserse Narkoba Polres Kudus menemukan 5 (lima) bungkus

plastik klip berisi serbuk Kristal diduga shabu yang diisolasi warna hitam

kemudian dari penelusuran lebih lanjut, diketahui Terdakwa mendapatkan

barang tersebut atas pesanan dari Purnomo (DPO) untuk kemudian diserahkan

kepada Purnomo (DPO).

Berdasrkan pertimbangan hakim bahwa berdasarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan

Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman

Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, dalam hasil rumusan kamar Pidana

tentang Perkara Tindak Pidana Narkotika angka 2 huruf a menyebutkan

47
“Dalam hal penuntut umum tidak mendakwakan Pasal 127 (1) Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tetapi fakta hukum yang

terungkap di persidangan ternyata terdakwa terbukti sebagai Penyalah Guna

Narkotika Golongan I bagi dirinya sendiri, Mahkamah Agung tetap konsisten

pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2015 angka 1, sebab

selain hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara tetap

mendasarkan putusannya pada fakta hukum yang terbukti di persidangan,

musyawarah juga harus didasarkan atas surat dakwaan sebagaimana dimaksud

Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP”.

Berdasarkan pertimbagan hakim, bahwa dalam sidang

permusyawaratan, tidak dicapai mufakat bulat karena Hakim Anggota Alfa

Ekotomo, S.H., M.H. berpendapat lain, yaitu bahwa Terdakwa dalam kasus in

casu hanyalah sebagai pelaksana perintah dari orang lain yaitu Purnomo

(DPO), dimana atas pesanan Purnomo tersebut sehingga terdakwa mencari

narkoba dan akhirnya ditangkap oleh petugas dari kepolisian. Terdakwa

melakukan perbuatan itu karena disuruh orang lain, sehingga pada diri

terdakwa tidak terdapat kesalahan, karenanya tidak dapat dipidana sesuai

dengan asas “geen straf zonder schuld”, sehingga sudah sepantasnya

Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan penuntut umum.

Berdasarkan pertimbanga hakim, bahwa oleh karena Terdakwa

ditahan dan penahanan terhadap Terdakwa dilandasi alasan yang cukup, dan

tidak ditemukan alasan yang cukup untuk melepaskan Terdakwa dari tahanan

sebagaimana ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 8

48
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka perlu ditetapkan agar

Terdakwa tetap berada dalam tahanan. Menimbang, bahwa barang bukti

berupa 5 (lima) bungkus plastik klip berisi serbuk Kristal narkotika jenis

shabu yang di isolasi warna hitam dengan berat keseluruhan 1,99252 gram,

digunakan pemeriksaan Labfor, sisa barang bukti seberat 1,97737 gram, 1

(satu) buah pipet kaca, 1 (satu) buah botol plastik yang berisi urine milik

Denni Dewantara Bin Toto Sukanto yang telah dipergunakan untuk

melakukan kejahatan dan dikhawatirkan akan dipergunakan untuk mengulangi

kejahatan dan merupakan hasil dari kejahatan maka perlu ditetapkan agar

barang bukti tersebut untuk dimusnahkan. Menimbang, bahwa barang bukti 1

(satu) unit hand phone merk Nokia warna putih Nomor SIM 082333446447

yang telah dipergunakan untuk melakukan kejahatan masih mempunyai nilai

ekonomis, maka perlu ditetapkan agar barang bukti tersebut dirampas untuk

negara; Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa,

maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan

yang meringankan Terdakwa; Keadaan yang memberatkan: Perbuatan

Terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang sedang giat

memberantas narkoba, Perbuatan terdakwa dapat merusak dirinya dan orang

lain. Keadaan yang meringankan : Terdakwa mengakui terus terang

perbuatannya, sehingga memperlancar jalannya persidangan, Terdakwa

menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

D. Putusan Hakim

MENGADILI

49
1. Menyatakan Terdakwa Denni Dewantara bin Toto Sukanto, telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara

melawan hukum menguasai Narkotika Golongan 1 bukan tanaman”

sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua.

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani

Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4. Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.

5. Menetapkan barang bukti berupa:

-5 (lima) bungkus plastik klip berisi serbuk Kristal narkotika jenis shabu

yang di isolasi warna hitam dengan berat keseluruhan 1,99252 gram,

digunakan pemeriksaan Labfor, sisa barang bukti seberat 1,97737 gram;

-1 (satu) buah pipet kaca;

-1 (satu) buah botol plastik yang berisi urine milik Denni Dewantara Bin

Toto Sukanto; Dimusnahkan;

-1 (satu) unit hand phone merk Nokia warna putih Nomor SIM

082333446447; Dirampas untuk Negara.

6. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.

2.000,00 (dua ribu rupiah);

E. Analisis Penulis

50
Penjatuhan Pidana Penjara Dalam Perkara Nomor

164.Sus/2019/PN Kds Berdasarkan Ketentuan Pasal 112 Ayat 1 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pada pokoknya yang menjadi permasalahan dalam kasus ini adalah

apakah penjatuhan pidana penjara dalam perkara Nomor 164.Sus/2019/PN

Kds telah sesuai dengan ketentuan Pasal 112 Ayat 1 Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Terdakwa dalam kasus ini didakwa oleh

penuntut umum yaitu melanggar ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang

tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun

dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang

didakwakan oleh jaksa penuntut umum dan unsur-unsur Pasal 112 ayat (1)

UU No. 35 Tahun 2009 telah terpenuhi.

Mengenai unsur pertama yaitu “Setiap Orang” berarti siapa saja

sebagai subjek hukum yang terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang

dirumuskan dalam pasal itu. Penafsiran hakim mengenai pasal yang

didakwakan yaitu Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 lebih sesuai

diterapkan kepada penjual atau pengedar narkotika. Majelis hakim tidak

setuju apabila Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 dikenakan kepada

51
pengguna narkotika dan terdakwa pantas dijatuhi hukuman sebagai pengguna

atau penyalah guna narkotika.

Menurut Penulis unsur setiap orang dalam ketetantuan Pasal 112 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak dijelaskan orang yang

dimaksud ditunjukan kepada penjual nartkotika, pengedar narkotika ataupun

pecandu narkotika. Berdasarkan hal itu berarti bahwa siapapun dapat

dikenakan Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 selama unsur-unsur

dalam pasal itu telah terpenuhi. Unsur yang kedua tanpa hak atau melawan

hukum, memiliki, meyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika

Golongan I bukan tanaman”. Terdakwa telah terbukti secara sah dan

meyankinkan bersalah melakukan tindak pidana “ Tanpa Hak Atau Melawan

Hukum Menguasai Narkotika Golongan I Bukan Tanaman”. Tanpa hak

berarti tidak memiliki hak, tidak memiliki kewenangan, atau tidak memiliki

izin dari pejabat yang berwenang.

Sedangkan melawan hukum berarti perbuatan yang dilakukan

bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sifat melawan hukum dalam kasus

ini yaitu secara formil yang berarti bertentangan dengan undang-undang.

Dikatakan telah melawan hukum secara fomil karena perbuatan terdakwa

telah mencocoki rumusan delik. Penjatuhan pidana harus memenuhi sifat

melawan hukum secara formil yaitu bertentangan dengan hukum positif yang

tertulis dalam undang-undang sesuai dengan asas legalitas yang telah

dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Perbuatan tanpa hak dan atau

melawan hukum berarti melakukan salah satu atau beberapa atau seluruhnya

52
yang disebutkan dalam Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 yaitu

memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I.

Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak

pidana “Tanpa Hak Dan melawan hukum menguasai Narkotika Golongan I

bukan tanaman”. Sesuai dengan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009. Menguasai berarti narkotika itu sedang dalam penguasaan

terdakwa pada saat tertangkap tangan. Berdasarkan fakta yang terungkap

dalam persidangan, terdakwa tertangkap tangan oleh petugas kepolisian dan

ditemukan barang bukti narkotika berupa shabu setelah dilakukan

penggeledahan badan. Hal itu yang menjadi dasar terdakwa didakwa dengan

dakwaan mengenai penguasaan Narkotika Golongan I. Berdasarkan

pertimbangan majelis hakim, perbuatan yang diuraikan dalam dakwaan jaksa

penuntut umum yaitu Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 bersifat kaku

karena tidak memandang maksud dan tujuan seseorang memiliki atau

menguasai narkotika. Tidak ada penjelasan secara rinci tentang narkotika itu

untuk dijual, diedarkan, atau untuk dipakai sendiri sehingga hakim dapat

menafsirkan pasal tersebut. Apabila Pasal 112 ayat (1) tidak memberi

penjelasan secara rinci mengenai maksud dan tujuan seseorang memiliki atau

menguasai narkotika berarti para pembentuk undang-undang memang

menghendaki bahwa siapapun dapat dikenakan pasal itu selama unsur-

unsurnya telah terpenuhi dan terbukti.

Banyaknya kerugian maupun dampak negatif yang ditimbulkan oleh

narkotika membuat para pembentuk undang-undang menciptakan Undang-

53
Undang No. 35 Tahun 2009 yang bertujuan untuk memberantas dan

menanggulangi tindak pidana narkotika. Pemberantasan tindak pidana

narkotika melalui Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dilakukan dengan

pemberatan sanksi pidana, salah satunya yaitu dengan adanya ancaman

pidana minimum khusus. Hal itu berdasarkan penjelasan atas Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa: Dalam kenyataannya

tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan

yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan

korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi

muda pada umumnya. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara

perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-

sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan

yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional

maupun internasional. Karena itu untuk menimbulkan efek jera terhadap

pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk

pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara

seumur hidup, maupun pidana mati.

Sanksi minimum khusus untuk pidana tertentu ditujukan dalam rangka

mengurangi disparitas pidana (disparity of sentencing) dan menunjukkan

beratnya tindak pidana yang bersangkutan. Hal itu menunjukkan bahwa UU

No. 35 Tahun 2009 mengatur mengenai ketentuan pidana minimum khusus

karena tindak pidana narkotika merupakan salah satu kejahatan yang berat

54
dan serius. Pemberatan sanksi pidana dalam UU No. 35 Tahun 2009 dapat

dilihat dari sifatnya yaitu kumulatif yang berarti bahwa apabila seseorang

terbukti melakukan tindak pidana narkotika maka akan dikenakan hukuman

pidana penjara dan pidana denda. Narkotika Golongan I yaitu narkotika yang

hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan

tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi

mengakibatkan ketergantungan. Setelah dilakukan pemeriksaan secara

laboratoris kriminalistik disimpulkan bahwa 1954/NNF/2019 berupa serbuk

kristal mengandung METAMFETAMINA yang terdaftar dalam Narkotika

Golongan I bukan tanaman nomor urut 61 lampiran UU No. 35 Tahun 2009.

Majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa wajar dan pantas dijatuhi

hukuman sebagai pengguna narkotika karena jumlah narkotika jenis shabu

relatif sedikit yaitu 0,5 gram (di bawah 1 gram). Hal itu memberi keyakinan

majelis hakim bahwa terdakwa hanya pengguna atau pemakai narkotika jenis

shabu. Jumlah narkotika yang relatif sedikit tidak menjamin bahwa seseorang

itu hanya pengguna atau pemakai narkotika. Selain itu, berdasarkan hasil

pemeriksaan urine dinyatakan bahwa terdakwa negatif menggunakan

narkotika. Majelis hakim juga berpendapat bahwa terdakwa lebih pantas

dikenakan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 jo. Pasal 53

KUHP. Majelis hakim tetap memutus terdakwa dengan Pasal 112 ayat (1) UU

No. 35 Tahun 2009 karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana terhadap

dakwaan yang tidak didakwakan kepada terdakwa.

55
Menurut penulis apabila hakim berpendapat bahwa Pasal 112 ayat (1)

tidak tepat dijatuhkan kepada terdakwa maka seharusnya hakim memberikan

putusan bebas kepada terdakwa karena Pasal 127 Undang-Undang No. 35

Tahun 2009 tidak ada dalam dakwaan jaksa penuntut umum. Hal itu sesuai

dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa jika pengadilan

berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas

perbutan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara meyakinkan,

maka terdakwa diputus bebas. Sedangkan apabila unsur-unsur dalam

dakwaan telah terbukti maka hakim seharusnya memutus terdakwa dengan

pidana sesuai dengan perbuatannya dan sesuai dengan pasal yang didakwakan

yaitu Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009.

Pendapat Oemar Seno Adji mengatakan bahwa: Prinsip “legality”

tidak saja meliputi “material legality” yang menghendaki bahwa penetapan

hakim melaui putusan-putusan Pengadilan dan lain-lain menurut isinya “in

their content” harus sesuai dengan peraturan-peraturan hukum yang

bersangkutan, melainkan juga ia mengandung di dalamnya suatu “formal

legality” yang memperhatikan hierarkhi dari perundang-undangan yang ada,

Undang-Undang Dasar, undang-undang dan peraturan-peraturan hukum

lainnya.38 Hal itu berarti putusan pengadilan oleh hakim harus sesuai dengan

hukum yang bersangkutan, dalam kasus ini yaitu Pasal 112 ayat (1) UU No.

35 Tahun 2009. Berdasarkan hal tersebut di atas, putusan hakim terhadap

sanksi pidana di bawah ketentuan minimum khusus akan menimbulkan

disparitas pidana. Hakim memutus terdakwa berdasarkan Pasal 112 ayat (1)
38
Oemar Seno Adji, Loc.Cit.

56
UU No. 35 Tahun 2009 dengan ketentuan pidana penjara minimal 4 (empat)

tahun tetapi pada putusan ini hakim hanya menjatuhkan pidana penjara 1

(satu) tahun. Hal itu akan dijadikan patokan oleh terdakwa lain dalam kasus

serupa yang menyebabkan kepastian hukum tidak dapat terwujud dan

akhirnya akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas dapat diambil

kesimpulan bahwa:

1. Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum menguasai Narkotika

Golongan I bukan tanaman” sesuai dengan Pasal 112 ayat (1) UU No. 35

Tahun 2009.

2. Putusan hakim tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 112 ayat (1) UU No.

35 Tahun 2009 yang memuat ketentuan pidana minimum khusus yaitu

57
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) karena hakim

menjatuhkan vonis pidana penjara 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan

kepada terdakwa.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian ini yaitu

: Pertama, Penjatuhan pidana oleh hakim seharusnya tidak boleh bertentangan

dengan ketentuan pidana minimum khusus yang telah diatur dalam undang-

undang karena menimbulkan disparitas pidana dan tidak dapat memberi

kepastian hukum yang akhirnya menyebabkan keadilan tidak dapat terwujud.

Kedua, Seharusnya jaksa penuntut umum mengajukan banding karena

putusan hakim di bawah ketentuan minimum pidana khusus tidak sesuai

dengan tuntutannya, khususnya bertentangan dengan dakwaan Pasal 112 ayat

(1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

58
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Anton M. Moelyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,


Jakarta.

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung.

Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk
Mahasiswa dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba, Mandar Maju,
Bandung.

Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, 2014, Hukum Pidana, Kencana, Jakarta.

Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,.


Jakarta.

59
Mahardika, 2011, Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
Yogyakarta.

Mukti Aro, 2004, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media


Group, Jakarta.

Samidjo, 1985, Pengantar Hukum Indonesia, Armico, Bandung.

Soedjono, D, 1997, Narkotika dan Remaja, Alumni, Bandung.

Sutiyoso Bambang, 2006, Metode Penemuan Hukum, UII Pres, Yogyakarta.

Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur


Bandung, Bandung.

Wilson Nadaek, 1983, Korban dan Masalah Narkotika, Indonesia Publing House,
Bandung.

Yahya Harahap, dan M. Syamsudin, 2012, Konstruksi Baru Budaya Hukum


Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UDANGAN

Undang-Undang Dasar Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo.Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor )
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika(Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor )

LITERATUR DAN SUMBER LAINYA

60
LH Permana, 2016, Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penjatuhan
Pidana Di Bawah Minimum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaa,.
Jurnal Fakultas Hukum. Universitas Lampung, Lampung.
Nurhafifah dan Rahmiati, 2015, Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terkait
Hal Yang Memberatkan Dan Meringankan Putusan. Jurnal Ilmu Hukum. No. 66.
Fakultas Hukum. UNSYIAH.

61

Anda mungkin juga menyukai