Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Variabel

1. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik

yang terjadi pada organ pankreas yang ditandai dengan hiperglikemia

akibat gangguan sekresi insulin, kerja insulin maupun kedua-duanya.

Gejala khas dari diabetes melitus adalah poliuria, polifagia, polidipsia dan

penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya (Chaidir, dkk.,

2017).

Gejala tidak khas dari DM berupa lemas, kesemutan, luka yang

sulit sembuh, gatal, penglihatan kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan

pruritus vulva pada wanita. Kondisi hiperglikemia pada DM yang tidak

terkontrol dapat menyebabkan gangguan makrovaskuler berupa penyakit

jantung iskemik, stroke dan kerusakan pembuluh darah sedangkan

gangguan mikrovaskuler berupa retinopati, neuropati dan nefropati (Putri,

2015). Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi DM Tipe 1 (insulin-

dependent atau childhood onset diabetes), DM Tipe 2 (non-insulin-

dependent atau adult-onset diabetes), Diabetes tipe Gestasional dan

Diabetes tipe lain (Kurniawaty dan Yanita, 2016).

Menurut International Diabetes Federation (2017) prevalensi DM

di dunia mencapai 425 juta pada tahun 2017 dan diperkirakan mengalami

peninggatan 48% pada tahun 2045 sebanyak 629 juta jiwa. Jumlah

9
10

penderita DM di Asia Tenggara mencapai 82 juta pada tahun 2017 dan

diperkirakan mengalami peninggatan 84% pada tahun 2045 sebanyak 151

juta jiwa. Indonesia menduduki peringkat ke 6 di dunia sebagai negara

dengan jumlah penderita DM berusia antara 20-79 tahun sebanyak 10,3

juta jiwa. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun

2018 prevalensi penderita DM berdasarkan diagnosis dokter pada usia 55-

64 tahun mencapai 6,3% dan pada usia 65-74 tahun sebesar 6,0%

(PERMENKES, 2018). Diabetes melitus termasuk dalam 10 penyakit

terbanyak di Sulawesi Tenggara pada tahun 2016 dengan jumlah 7.357

kasus (BPS, 2016).

Menurut American Diabetes Association (ADA) ada beberapa

faktor resiko yang dapat menyebabkan DM Tipe 2 yaitu faktor resiko yang

dapat diubah dan faktor resiko yang tidak dapat diubah. Faktor resiko yang

tidak dapat diubah seperti riwayat keluarga dengan DM (first degree

relative), umur ≥45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat

badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita DM

gestasional dan riwayat lahir dengan berat badan rendah (<2,5 kg). Faktor

resiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan IMT ≥25kg/m 2

atau lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm pada laki-laki,

kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan pola makan yang

tidak sehat (Sudoyo, dkk., 2009).


11

a) Obesitas (kegemukan)

Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa

darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan

peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%,

b) Hipertensi

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan

tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan

dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer,

c) Riwayat Keluarga

Seorang yang menderita DM diduga mempunyai gen diabetes. Diduga

bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang

bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita DM,

d) Dislipidemia

Keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah

(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma

insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada

pasien Diabetes,

e) Umur

Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena DM adalah > 45

tahun,

f) Riwayat persalinan

Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi

> 4000gram,
12

g) Faktor Genetik

Diabetes Melitus tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai

faktor mental. Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan

agregasi familial. Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan

meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara

kandung mengalami penyakit ini, dan

h) Alkohol dan Rokok

Perubahan-perubahan terhadap gaya hidup sehari-hari dapat

meningkatkan angka kejadian DM tipe 2. Walaupun kebanyakan

peningkatan ini dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan

pengurangan ketidak aktifan fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan

dengan perubahan dari lingkungan tradisional kelingkungan kebarat-

baratan yang meliputi perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol

dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan

menganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita DM,

sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan

tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila

mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60mL/hari yang setara dengan

100 mL proof wiski, 240 mL wine atau 720 mL.

Menurut Perkeni 2015, DM dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a) Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 terjadi karena destruksi sel beta,

umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Diabetes melitus tipe


13

1 terbagi atas dua bagian yaitu DM tipe 1 karena autoimun dan DM

tipe 1 idiopatik (ADA, 2018).

Pada DM tipe 1 yang dimediasi oleh imun disebut sebagai

(Diabetes Insulin Dependent) atau onset juvenile merupakan tipe

diabetes yang sering pada anak-anak dan usia remaja. Hanya sekitar 5-

10% dari semua penderita diabetes melitus menderita DM tipe 1. DM

tipe 1 terjadi karena autoimun dan destruksi sel β. Tingkat kehancuran

sel β terjadi secara cepat pada bayi dan anak-anak sedangkan pada usia

remaja berlangsung lambat. Pada anak-anak dan remaja bisa

memberikan manifestasi klinis ketoasidosis sebagai manifestasi

pertama (ADA, 2018).

Diabetes Melitus tipe 1 idiopatik terjadi tanpa etiologi yang

diketahui secara pasti. Pasien-pasien ini mengalami insulinopenia

permanen dan rentan untuk terjadi ketoasidosis, tetapi tidak memiliki

bukti autoimunitas sel β. Sebagian besar penderitanya adalah

keturunan Afrika atau Asia. Individu dengan bentuk diabetes ini

menderita ketoasidosis episodik dan menunjukkan berbagai tingkat

defisiensi insulin di antara episode-episode tersebut. Bentuk diabetes

ini sangat diwariskan dan tidak ada hubungannya dengan Human

Leukocyte Antigen (ADA, 2018).


14

b) Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 bervariasi mulai yang terutama

dominan resistensi insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai

yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin

(PERKENI, 2015).

Diabetes melitus tipe 2 (Diabetes Non Insulin Dependent)

merupakan penyumbang 90-95 % dari seluruh tipe diabetes. Pada

diabetes tipe 2 terjadi resistensi insulin, resistensi insulin adalah hasil

dari produksi insulin yang tidak memadai dan ketidak mampuan tubuh

untuk merespon insulin sepenuhnya, Selama keadaan resistensi insulin,

insulin tidak efektif sehingga mendorong peningkatan produksi insulin

untuk mengurangi peningkatan level glukosa tetapi seiring waktu

relatif bisa terjadi produksi insulin yang tidak memadai. Diabetes

melitus tipe 2 paling sering terlihat pada orang dewasa yang lebih tua,

tetapi sekarang terjadi peningkatan kejadian pada anak-anak, remaja

dan orang dewasa muda karena meningkatnya tingkat obesitas,

aktivitas fisik dan pola makan yang buruk (IDF, 2017).

Resistensi insulin pada otot dan hati serta kegagalan sel β

pankreas dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-

2. Selain otot, hati dan sel β, organ lain seperti: jaringan lemak

(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel

alpha (α) pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi

glukosa), dan otak (resistensi insulin), semuanya ikut berperan dalam


15

menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2

(PERKENI, 2015).

Penyebab Diabetes Melitus tipe 2 belum sepenuhnya dipahami

tetapi ada hubungan yang kuat dengan kelebihan berat badan dan

obesitas dan dengan bertambahnya usia begitu juga dengan etnis dan

riwayat keluarga. Beberapa faktor resiko yang dapat dimodifikasi

termasuk: kelebihan berat badan (obesitas), pola makan dan nutrisi

yang buruk, ketidak aktifan fisik, prediabetes atau gangguan toleransi

glukosa/ impaired glukosa tolerance (IGT), merokok dan riwayat DM

Gestasional. Selain faktor-faktor diet, bukti terbaru juga telah

menemukan hubungan antara konsumsi minuman yang tinggi gula

dengan risiko diabetes tipe 2 (IDF, 2017).

c) Diabetes Melitus Tipe Lain

Diabetes Melitus tipe lain dapat terjadi akibat penyakit

eksokrin pankreas, endokrinopati, defek genetik fungsi sel β, pengaruh

obat, infeksi dan sindrom genetik lain (PERKENI, 2015) :

1) Defek genetik fungsi sel β, Defek genetik kerja insulin: Resistensi

insulin tipe A, Leprechaunisme, Sindrom Rabson Mendenhall, dan

Diabetes lipoatrofik.

2) Penyakit eksokrin pankreas: Pankreatitis, Trauma

(pankreatektomi), Neoplasma, Fibrosis kistik hemokromatosis,

Pankreatopati, dan Fibrokalkulus.


16

3) Endokrinopati: Akromegali, Sindrom Cushing, Feokromositoma,

Hipertiroidisme, Somatostatinoma, dan Aldosteronom.

4) Diabetes karena obat/ zat kimia: Vacor, Pentamidin, Asam

nikotinat, Glukokotikoid, Hormon tiroid, Diazoxid, dan

Aldosteronom.

5) Infeksi: Rubella Congenital dan Citomegalovirus.

6) Imunologi (jarang): Sindrom “Stiffman”, dan Antibodi Anti

Reseptor Insulin.

7) Sindroma genetik lain: Sindrom down, Sindrom klinefelter,

Sindrom turner, Sindrom wolfram’s, Ataksia friedreich’s, Chorea

huntington, Sindrom laurence moon biedl, Distrofi miotonik,

Porfiria, dan Sindrom prader willi.

d) Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes Melitus gestasional terjadi selama kehamilan dimana

terjadi intoleransi glukosa pada masa kehamilan, baisantya pada

trimester kedua dan ketiga. Penderita DM gestasional memiliki resiko

lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-

10 tahun setelah melahirkan (Bahagia, dkk., 2018).

Menurut Fatimah (2015) DM relatif maupun absolut. Defisiensi

insulin dapat terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu :

a) Rusaknya sel-sel β pankreas karena pengaruh dari luar seperti virus,

zat kimia dan lain-lain.

b) Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pancreas


17

c) Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang

berperan yaitu :

a) Resistensi insulin

b) Disfungsi sel β pankreas

Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi

insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu

merespon insulin secara normal. Hal ini sering di sebut “resistensi

insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat obesitas dan kurangnya

aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita DM tipe 2 dapat juga terjadi

produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan

sel-sel β langerhans secara autoimun seperti DM tipe 2. Defisiensi fungsi

insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.

Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan

terjadi kerusakan sel-sel β pankreas. Kerusakan sel-sel β pankreas akan

terjadi secara progresif sering kali akan menyebabkan defisiensi

insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada

penderita DM tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut,

yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Fatimah, 2015)

Untuk mendiagnosis diabetes melitus dapat dilihat dari

peningkatkan kadar glukosa darahnya. Berbagai keluhan dapat ditemukan

pada penyandang DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti

keluhan klasik :poliuria, polidipsi, polifagi dan berat badan turun tanpa
18

sebab. Keluhan lain seperti lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,

dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita

(PERKENI, 2015). Terdapat beberapa kriteria diagnosis DM berdasarkan

nilai kadar gula darah, berikut ini adalah kriteria diagnosis berdasarkan

PERKENI (2015).

1) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/ dl (7.0 mmol/L). Puasa

adalah pasien tak mendapat kalori minimal 8 jam.

2) Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/ dl (11,1 mmol/L) 2 jam

setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Tes toleransi glukosa oral

dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang

setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

3) Gejala klasik DM dengan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/ dl (11.1

mmol/L).

4) Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang

terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization

Program (NGSP).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau

kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi:

toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu

(GDPT).

1) Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa

plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa

plasma 2-jam <140 mg/dl;


19

2) Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa

plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa

plasma puasa <100 mg/dl

3) Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

4) Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Menurut PERKENI 2015 prinsip penatalaksanaan diabates melitus

secara umum untuk meningkatkan kualitas hidup pasien DM sebagai

berikut:

a) Diet

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir

sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan

yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi

masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan

pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan

jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat

penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah

makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-

70%, lemak 20-25% dan protein 10-15%.

b) Exercise (latihan fisik/olahraga)

Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama

kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous,


20

Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance (CRIPE). Training sesuai

dengan kemampuan pasien.

c) Pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan pencegahan primer harus diberikan

kepada kelompok masyarakat resiko tinggi. Pendidikan kesehatan

sekunder diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan

pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan kepada

pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit menahun.

d) Obat-obat diabetes mellitus

Penatalaksanaan DM diawali dengan pengaturan diet dan

olahraga, jika penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan

olah raga) belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah

penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa

penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat

hipoglikemik oral, terapi insulin, maupun kombinasi keduanya.

1) Insulin

Terapi insulin adalah suatu keharusan bagi penderita DM

tipe 1 dimana sel β pulau Langerhans rusak, sehingga tidak lagi

dapat memproduksi insulin. Oleh sebab itu penderita DM Tipe I

harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar

metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal.

Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas

dalam pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh


21

sel-sel β pulau Langerhans akan langsung didistribusikan ke dalam

hepar melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke

seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin yang

sudah sangat dikenal adalah membantu transpor glukosa dari darah

ke dalam sel. Peran insulin lainnya yaitu metabolisme karbohidrat,

lipid, protein dan mineral. Insulin akan menstimulasi lipogenesis,

menekan lipolisis, dan meningkatkan transport asam amino masuk

ke dalam sel.

2) Golongan sulfonilurea

Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea adalah obat

pilihan (drug of choice) bagi penderita DM dengan berat badan

normal atau kurang dan tidak pernah mengalami ketoasidosis

sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya tidak

diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid.

Golongan sulfonilurea bekerja merangsang sekresi insulin di

kelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β

pulau Langerhans masih dapat berproduksi.

Obat golongan sulfonilurea seperti glibenklamid sangat

berguna bagi penderita DM yang kelenjar pankreasnya masih

mampu memproduksi insulin. Pada penderita dengan kerusakan sel

β pulau Langerhans, pemberian obat-obat hipoglikemik oral

golongan sulfonilurea tidak bermanfaat.


22

3) Meglitinida dan Fenylalanin

Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini adalah

obat hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan

golongan sulfonilurea. Meglitinida dan fenylalanin bekerja

meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas.

4) Golongan biguanida

Metformin sebagai obat golongan biguanida bekerja

langsung pada hati (hepar) dalam menurunkan produksi glukosa

hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang

sekresi insulin dan hampir tidak pernah menyebabkan

hipoglikemia. Kontraindikasi pemberian sediaan biguanida tidak

boleh diberikan pada penderita gangguan fungsi hepar, gangguan

fungsi ginjal, penyakit jantung kongesif dan wanita hamil. Pada

keadaan gawat juga sebaiknya tidak diberikan biguanida.

Metformin sebagai obat pilihan pertama pada DM tipe 2

efektif mengurangi proses glukoneogenesis di hati dan

memperbaiki ambilan glukosa di perifer. Dosis pemberian

metformin dapat diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal dengan Glomerular Filtration Rate (GFR) 30- 60 ml/ menit

(Perkeni, 2015).

5) Golongan inhibotor α glukosidase

Mekanisme kerja senyawa inhibitor α-glukosidase yaitu

menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding


23

usus halus. Enzim α-glukosidase (maltase, isomaltase,

glukomaltase dan sukrase) berfungsi dalam menghidrolisis

oligosakarida pada dinding usus halus. Efek menghambat kerja

enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat

kompleks dan penyerapannya sehingga dapat mengurangi

peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita DM.

2. Pengaturan Kadar Glukosa Darah oleh Insulin

Insulin merupakan hormon yang dihasilkan oleh pankreas

berfungsi mengatur kadar glukosa darah. Pada keadaan DM tipe 1,

pankreas tidak dapat mensintesis insulin, sedangkan pada DM tipe 2 tubuh

tidak dapat merespon insulin dengan normal akibat adanya resistensi

insulin walaupun insulin tetap disintesis (Rismayanthi, 2010).

Pengaturan kadar glukosa darah oleh insulin yang disintesis oleh

sel β pulau Langerhans berasal dari pro insulin. Pro insulin disintesis

dalam elemen poliribosom retikulum endoplasmik sel β pankreas

kemudian berpindah ke sisterna retikulum endoplasmik dan menuju

kompleks golgi untuk berubah menjadi insulin (Handoko dan Suharto,

2005).

Pengaturan sekresi insulin oleh pulau Langerhans diregulasi oleh

persarafan respetor α2 adrenergik yang menghambat sekresi insulin

sedangkan β2 adrenergik agonis dan saraf vagal akan merangsang sekresi

insulin. Penghambatan sekresi insulin dipicu oleh beberapa keadaan

seperti hipoksia, hipothermal, operasi, dan luka bakar berat. Dalam


24

keadaan stress terjadi perangsangan simpatoadrenal, epinefrin

meninggikan kadar glukosa darah dan menghambat penggunaan glukosa

di perifer (Handoko dan Suharto, 2005).

Gambar 1. Metabolisme Glukosa dan sekresi insulin pada sel beta pancreas (Jinzi
dan Liang, 2015)

Penjelasan jalur metabolisme glukosa dan produksi ATP

mitokondria (Gambar 1.). Glukosa mulanya ditransport ke sel beta melalui

GLUT2, kemudian terjadi proses glikolisis, siklus krebs, dan posporilasi

oksidatif yang menghasilkan ATP dari metabolisme glukosa (Jinzi dan

Liang, 2015).

Peningkatan rasio dari ATP/ADP dipacu dari kadar glukosa yang

tinggi, penutupan kanal K-ATP dan pembukaan kanal kalsium pada

membran sel. Masuknya kalsium memicu eksositosis dari granul insulin

dan yang mengakibatkan pelepasan insulin (Jinzi dan Liang, 2015).


25

Peninggian asam lemak bebas dalam darah pada penderita DM

dipakai sebagai parameter kemajuan terapi DM. Pada berbagai percobaan

telah dibuktikan bahwa tingginya asam lemak bebas dalam darah dapat

mengurangi sensitivitas jaringan terhadap insulin (Handoko dan Suharto,

2005).

3. Insulin-Like Growth Factor 1

Growth hormon adalah hormon pertumbuhan yang diproduksi di

hipofisis anterior. Sekresi growth hormon terjadi secara pulsatile yang

disebabkan oleh hormon pelepas hormon pertumbuhan (GHRH) yang

merangsan sekresi growth hormon dan somatostatin yang menghambat

sekresi growth hormon. Sekresi growth hormon juga dirangsang oleh

ghrelin, sebuah growth hormon endogen yang terutama disekresi oleh

saluran pencernan. Growth hormon terikat dengan protein pengikat

hormon perumbuhan (GHBP) (Vijayakumar, dkk., 2010). Insulin-like

growth factor 1, glukosa, kortisol dan asam lemak bebas dapat mengurangi

kadar growth hormon, sedangkan esterogen, ghrelin dan testosteron dapat

meningkatkan kadar growth hormon. Kadar growth hormon menurun

dengan bertambahnya usia.(Bonefeld dan Moller, 2011)

Growth hormon memiliki diabetogenik efek pada metabolisme

karbohidrat dan lipid dan menginduksi nitrogen, fosfor, kalium dan

keseimbangan magnesium. Selain itu, growth hormon dapat meningkatkan

retensi air dan natrium. Ini merangsang produksi IGF-1 di hati, kelenjar

hipofisis anterior dan jaringan penghasil IGF (Bonefeld dan Moller, 2011).
26

Growth hormon dapat meningkatkan lipolitik katekolamin dengan

meningkatkan jumlah reseptor adrenergik dalam adiposit dan

meningkatkan produksi glukosa hati. Pada otot rangka, growth hormon

meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase melalui adrenergik β-3 reseptor,

sebagai hasilnya memfasilitasi penggunaan FFA. Peningkatan keluaran

FFA dari jaringan adiposa ke hati dapat menyebabkan resistensi insulin di

hati (Aguirre, dkk., 2016).

Insulin-like growth factor (IGFs) memiliki struktur yang serupa

dan fungsi seperti insulin dan dapat dibagi menjadi IGF-1 dan IGF-2.

Insulin-like growth factor 1 kadarnya meningkat pada masa pubertas dan

menurun secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Insulin-like

growth factor 1 adalah hormon polipeptida tunggal dengan 70 asam amino

yang banyak diekspresikan dalam jaringan mamalia (Jian-Bo, dkk., 2004).

IGF-1 memiliki empat domain, yaitu A, B, C, dan D, yang berfungsi

sebagai proinsulin, yaitu domain A, B. dan C yang dihubungkan oleh

ikatan disulfida. Sedangkan insulin yang diproduksi oleh pankreas hanya

mencangkup domain A dan B (Rolth, 2003).

Tipe gen : Protein

Organisme : Homo sapiens

Lokasi : Kromosom 12

Ekson : 6 (2 ekson pemimpin dan 2 ekson promotor)

Insulin-like growth factor 1 adalah faktor pertumbuhan yang

diproduksi dibanyak jaringan. Seperti hati, ginjal, ovarium, testis, plasenta,


27

pankreas, kulit dan paru-paru (Bonefeld dan Moller, 2011). IGF-1

memiliki efek endokrin, parakrin dan autokrin. Sekitar 75% IGF-1 yang

beredar dalam sirkulasi disintesis oleh organ hati untuk menjalankan

fungsi endokrin dan sekitar 25% IGF-1 yang disintesis dalam tulang,

tulang rawan, sistem saraf pusat, ginjal, ovarium dan prekursor sel eritroid

melakukan fungsi autokrin dan parakrin (Wahab dkk, 2015). Sintesis IGF-

1 dirangsang oleh nutrisi dan growth hormon (GH) di hati dan jaringan

lain. IGF-1 dalam plasma dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis

kelamin, usia, status gizi, dan adanya penyakit kronik (Jian-Bo, dkk.,

2004).

Gambar 2. Distribusi Insulin-like Growth Factor 1 di jaringan atau organ tubuh manusia
(Pusche dan Castilla-Cortazar, 2012)

Insulin-like growth factor 1 dapat mengurangi kadar GH serum

melalui umpan balik negatif somatostatin di hipofisis yang akan menekan


28

GH dalam hati sehingga meningkatkan kerja insulin di dalam hati. IGF-1

dapat secara tidak langsung dapat memodulasi metabolisme karbohidrat

melalui penekanan pada GH dan peningkatan kerja insulin (Aguirre, dkk.,

2016). Insulin growth factor berinteraksi dengan reseptor insulin (IR) A

dan B isoform, reseptor IGF tipe 1 (IGF1R), dan reseptor hibrid (IRA-

IGF1R dan IRB-IGF1R) untuk memediasi sinyal dalam berbagai jaringan

untuk mengkordinasikan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak.

IGF-1 memiliki afinitas yang lebih besar terhadap IGF1R dibandingkan

dengan insulin yang berfungsi memediasi proliferasi preadiposit,

diferensiasi dan kelangsungan hidup (Lewitt, dkk., 2014).

Insulin-like growth factor 1 mengikat reseptor faktor pertumbuhan

seperti insulin (IGF1R) dan insulin reseptor, tetapi afinitas untuk insulin

reseptor 100 – 1000 kali lebih rendah dari afinitas insulin. Namun,

konsentrasi IGF-1 dalam plasma masih 100 kali lebih tinggi dari insulin.

Rasio ini dapat berubah pada keadaan postprandial karena kadar insulin

meningkat sedangkan asupan makanan yang meningkat menyebabkan

kadar IGF-1 menjadi rendah (Trobec, dkk., 2011).

Insulin-like growth factor 1 jumlahnya diatur secara ketat oleh

IGF-binding protein (IGFBPs) yang terdiri dari enam IGFBPs yang

berbeda (IGFBP-1 hingga IGFBP-6) yang bekerja dengan meningkatkan

waktu paruh IGF-1, dari menit ke jam (membentuk kompleks tersier

dengan Subunit Asam-Labil dan IGFBP-3) dengan demikian menstabilkan

kelompok IGF-1 dalam plasma dan memperpanjang waktu paruh. IGFBP


29

juga dapat berfungsi untuk membawa IGF-1 ke jaringan spesifik atau

bahkan untuk menghambat atau mempotensiasi aksi dari IGF-1 dengan

bertindak sebagai substrat independen untuk IGF-1R (Aguirre, dkk.,

2016). IGFBP-3 mengikat sekitar 95% dari IGF-1 yang beredar. IGFBPS

berfungsi sebagai reservoir di plasma, mengatur pengangkutan IGF di

ruang intra dan ekstravaskuler (Bonefeld dan Moller, 2010).

Gambar 3. Jalur Pensinyalan insulin dan Insulin-like growth factor 1 (Pavelic, dkk.,

2007)

Reseptor insulin terdiri dari dua subunit α dan dua subunit β, yang

dihubungkan dengan ikatan disulfida. Pengikatan insulin ke subunit α

memungkinkan adenosin trifosfat (ATP) terikat ke domain subunit β.


30

Setelah berikatan dengan ATP, reseptor autofosforilasi mengaktifkan

fungsi protein kinase-nya. Insulin reseptor dapat memfosforilasi berbagai

substrat dan satu dari jalur pensinyalan utama dimulai dengan fosforilasi

protein substrat reseptor insulin (IRS). Phosphatidylinositol 3-kinase

(PI3K) mengenali IRS terfosforilasi dengan subunit regulator p85 dan

selanjutnya mengkatalisis fosforilasi serin/treonin kinase dengan subunit

p110. Efektor hilir utama jalur ini adalah Akt kinase yang ketika

difosforilasi, mentranslokasi ke nucleus yang mengatur lipid, protein dan

sintesis serta sel glikogen bertahan hidup (Trobec, dkk., 2011).

Gambar 4. Skematis dari GH, IGF-1 dan pensinyalan insulin (Trobec, dkk., 2011).

Insulin dan Insulin-like growth factor 1 berikatan dengan reseptor

masing-masing, yaitu reseptor insulin (IR) dan reseptor IGF-1 (IGF-1R)


31

yang termasuk dalam keluarga tirosin kinase. Masing-masing reseptor

memiliki afinitas yang tinggi terhadap masing-masing ligannya. IR, IGF

dan IGF-1R dapat mengikat insulin tetapi dengan afinitas yang lebih

rendah. Ikatan ligan menginduksi aktivasi reseptor oleh trans-fosforilasi

dan rekrutmen protein adabtor seperti insulin substrat reseptor (IRS) dan

Src homology/collagen protein (SHC). Protein adaptor kemudian

mengaktifkan phosphatidylinositol-triphosphate kinase (PI3K) dan/atau

jalur mitogen protein aktif kinase (MAPK). Kedua jalur ini memediasi

berbagai metabolisme dan respon mitogenik yang ditimbulkan oleh insulin

dan IGF-1. Insulin/IGF-1 diatur ke bawah oleh fosforilasi serin

penghambat protein adaptor, atau oleh defosforilasi reseptor oleh tirosin

fosfatase (Vijayakumar, dkk., 2011).

Insulin-like growth factor 1 berperan dalam pertumbuhan dan

perkembangan jaringan, proliferatif, metabolisme lipid, pro-survival/anti-

penuaan, anti-inflamasi, anabolik dan anti-oksidan dengan sifat neuro dan

hepatoprotektif. IGF-1 memberikan efek perlindungan pada mitokondria

dengan melindunginya dari kerusakan oksidatif yang dihasilakn oleh

metabolisme augmentasi, meningkatkan sintesis ATP, dan mengurangi

produksi radikal bebas dalam mitokondria. Konsentrasi IGF-1 yang tinggi

mampu menstimulasi transport glukosa melalui reseptor insulin. IGF-1

mempromosikan transportasi asam lemak dalam otot dan

penghambatannya menyebabkan resistensi insulin dan diabetes. Hal ini

terjadi karena hati mengambil semua FFA yang beredar, sehingga


32

mengganggu insulin dan pensinyalan IGF-1 (Aguirre, dkk., 2016). Insulin-

like growth factor 1 memiliki sejumlah bioaktivitas termasuk memediasi

aksi hormon pertumbuhan, meningkatkan ambilan glukosa oleh jaringan,

menghambat glikogenesis hati, meningkatkan sensitivitas insulin,

mengurangi oksidasi lipid, menurunkan asam lemak bebas, meningkatkan

sintesis nukleotida, proliferasi dan diferensiasi sel (Jian-Bo, dkk., 2004).

Menurut Jian-Bo dkk (2004) Ekspresi gen Insulin-like Growth

Factor 1 dalam jaringan menurun secara signifikan pada tikus yang

memiliki kadar glukosa darah yang tidak terkontrol dibandingkan dengan

tikus yang memiliki kadar glukosa darah yang dikontrol secara normal.

Ekspresi gen IGF-1 akan menurun secara bertahap pada tikus yang

mengalami hiperglikemia terutama hiperglikemia berat. Defisiensi insulin

dan resistensi insulin dapat menjadi penyebab utama penuurunan ekspresi

gen IGF-1. Insulin yang dapat mengkoreksi keadaan hiperglikemia juga

dapat mengkoreksi ekspresi gen IGF-1 yang abnormal.

4. Buah Pare (Mamordica charantia L)

a) Taksonomi Buah Pare (Momordica charantia L.)

Menurut Singh dkk. (2011) tanaman pare (Momordica

charantia L.) diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Class : Dycotiledonae

Family : Cucurbetaceae

Genus : Momordica
33

Species : Momordica charantia L.

Momordica charantia L memiliki nama lain bitter melon,

papilla, bitter gourd, salsamino, corilla atau karela, hanzal,

assorossie, ampalaya, nigauri atau goya, kho gua, sora, balsam apple,

pear atau balsamina, pare, dan lain lain (lihat Taylor, 2002 dalam

Sing, 2011).

Tanaman pare (Momordica charantia L.) adalah tanaman

semak belukar yang umumnya dapat ditemukan di negara Asia

diantaranya Bangladesh, India, China, dan Korea. Tanaman ini tumbuh

di daerah tropis seperti Amazon, Afrika Timur, dan Caribian. Tanaman

ini masuk ke dalam family Cucurbetaceae dengan nama ilmiah

Momordica charantia L. Di negara berkembang, tanaman ini

dimanfaatkan sebagai obat tradisional dalam mengobati DM (Sing,

2011; Alam dkk., 2015).

b) Morfologi Buah Pare (Momordica charantia L.)

Buah pare (Mamordica charantia L.) merupakan tanaman

famili cucurbitaceae. Mamordica charantia L. memiliki daun, bunga

dan buah. Daun pada Mamordica charantia L. berwarna hijau

sedangkan bunganya berwarna kuning. Buah Mamordica charantia L.

memiliki struktur yang bertonjol, pada saat belum matang memiliki

warna hijau dan saat matang berwarna jingga. Bagian dalam buah

terdapat rongga berisi biji yang dilapisi oleh pemvungkus tipis yang
34

berwarna putih saat belum matang dan merah saat sudah matang

(Bahagia, dkk., 2013).

Gambar 5. Buah pare (Momordica charantia L) (Rahmawati, 2018)

c) Analisis Kandungan Buah Pare (Momordica charantia L.)

Ekstrak buah pare mengandung senyawa kompleks di antaranya

vitamin, mineral, dan antioksidan. Charantine, polipeptida-p dan vicine

sebagai senyawa insulinmimetik. Buah pare berperan sebagai anti oksidan

yaitu fenol, flavanoid, isoflavon, terpenes, antrakuinon, dan glukosinolat

(Joseph dan Jini, 2013).

Gambar 6. Struktur kimia senyawa momocharin dan momordicin (Sing


dkk., 2011).
35

Satu dari agen komponen hipoglikemik ialah steroid saponin

yang disebut momocharin (charantin) dengan efek kimia seperti

insulin (Sing dkk., 2011).

Berdasarkan analisis fitokimia ditemukan kandungan buah pare

berupa flavonoid, tanin, saponin, steroid, dan terpenoid memiliki

aktivitas anti oksidan lebih tinggi dalam penangkapan radikal DPPH

dibanding aktivitas anti oksidan vitamin E. Buah pare memiliki

kandungan lain berupa alkaloid, momordisin, karoten, glikosida,

saponin, sterol, terpen, charantin, hidroksi triptamin, vitamin A,

vitamin B, dan polipeptida. Buah pare memiliki kandungan β- karoten

lima kali lebih besar dibanding kandungan β- karoten pada wortel

(Riyadi dkk., 2015).

Pare sebagai tanaman dengan kandungan kompleks yang

memiliki banyak manfaat. Kandungan tersebut berupa vitamin,

mineral dan anti oksidan. Komponen bioaktif terbesar yang diisolasi

dari buah pare dan diidentifikasi sebagai agen hipoglikemik ialah

charantin, Polypeptide-p, dan vicine (Joseph dan Jini, 2013).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Zamzani dkk (2017)

didapatkan bahwa hasil dari fraksi etil asetat buah pare mampu

mengikat senyawa flavanoid, alkaloid dan saponin yang memiliki

aktivitas antidiabetik berupa senyawa flavanoid dan saponin. Selain

flavanoid dan saponin, juga terdapat senyawa charantin yang


36

berfungsi sebagai antidiabetik. Berikut penjelasan senyawa Flavanoid,

charantin, dan saponin :

1) Flavanoid

Flavanoid yang memiliki sifat antioksidan yang melindungi

tubuh terhadap efek buruk dari hiperglikemik pada diabetes melitus

tipe II, memiliki mekanisme kerja adalah pada terget seperti alfa-

glukosidase, glukosidase co-transporter atau aldose reduktase

(Zamzani dkk., 2017). Studi yang dilakukan (Paulisso dan Russini

dalam Sarian, 2017) bahwa antioksidan dapat meningkatkan kerja

insulin.

Gambar 7. Struktur dasar flavanoid terdiri dari fusi cincin A dan C,


dengan cincin fenil B yang melekat pada posisi 1’ ke 2
cincin C (Sarian dkk., 2017).
Pada Diabetes Melitus tipe 1, flavanoid quercetin

meningkatkan pelepasan insulin dengan memperbaiki regenerasi

sel beta pankreas. Sedangkan pada DM tipe 2, fisetin dapat

menigkatkan uptake calsium dari sel beta pankreas (Sangeetha

dkk., 2016).
37

Flavanoid diklasifikasikan berdasarkan letak dan substitusi

grup. Perbedaan struktur flavone, flavonol, dan flavanol dapat

dilihat pada gambar 7.

Gambar 8. Perbedaan struktur flavone, flavonol, dan flavanol (Sing


dkk., 2017)
Alfa-glukosidase adalah enzim yang terletak pada epitelium

usus halus yang mengkatalisis pemecahan glukosa yang berasal

dari disakarida menjadi monosakarida (Sarian dkk., 2017).

Inhibitor alfa-glukosidase digunakan untuk mengontrol

kadar glukosa DM tipe 2 dengan menunda penyerapan glukosa

yang menurunkan kadar glukosa post prandial (Sarian dkk., 2017).

Senyawa kaempferol yang berasal dari kelas flavonol dan

isoscutellerein dari kelas flavone (gambar 8) berpotensi memiliki

aktivitas sebagai inhibitor alfa-glukosidase (Peng dkk., 2016;

Kawabata dkk., 2003; Sarian dkk., 2017).

Gambar 9. Struktur senyawa kaempferol (kiri) dan isoscutellerein


(kanan) (Sarian dkk., 2017).
38

2) Charantine

Molekul dari Charantine ialah aglycone atau steroidal

portion, dengan kelarutan yang tinggi relatif larut pada senyawa

non-polar seperti chloroform dan dichloromethane. Namun,

glukosida menempel pada molekulnya membuatnya sedikit larut

dalam kutub pelarut organik seperti etanol atau metanol.

Charantine adalah jenis triterpenoid yang terdapat pada buah pare

(Momordica charantia L.) yang berpotensi sebagai zat anti

diabetik (Pitipanapong dkk., 2005).

Gambar 10. Struktur kimia : (a) sitosteryl glucoside, (b) stigmasteryl


glucoside (Pitipanapong dkk., 2005).
Charantine berpotensial menggantikan pengobatan

Diabetes Melitus. Dari hasil studi isolasi charantin diidentifikasi

kandungan sitosterol dan stigmastadienol glycosides (gambar 9)

(Pitiphanpong dkk., 2007 dalam joseph dan jini, 2013).

Charantin memiliki sifat yang mampu menurunkan

resistensi sel terhadap insulin, mengurangi penyerapan glukosa di

usus halus, mengurangi kerja pembentukan glukosa dalam hati, dan


39

meningkatkan kemampuan penyerapan glukosa dalam lemak

maupun sel-sel otot di seluruh tubuh (Zamzani dkk, 2017).

3) Saponin

Saponin yang mampu menurunkan kadar gula darah yang

juga berperan pada target alfa-glukosidase (Fiana N dan Oktaria D,

2016). Saponin secara kimia terdiri dari dua bagian aglikon dan

glikon, bagian aglikon juga dikenal sebagai sapogenin yang

diklasifikasikan menjadi steroid dan triterpenoid (C-30), netral atau

alkaloid (C-27) pada gambar 10 (Barki dkk, 2017).

Gambar 11. Struktur senyawa saponin (Barki dkk., 2017).

Bagian aglikon secara kovalen terkait dengan satu atau

lebih glikon (gula), yang dapat berupa glukosa, galaktosa, asam

glukuronat, xilosa atau rhamnosa, oligosakarida dilekatkan pada

posisi C3 tetapi pada beberapa saponin, gula tambahan dilampirkan

pada posisi C26 atau C28 (Barki dkk, 2017).


40

Saponin bekerja dengan cara menghambat kerja enzim α-

glukosidase yaitu enzim yang ada di dalam usus yang berfungsi

untuk mengubah karbohidrat menjadi glukosa. Enzim α-

glukosidase inhibitor ini menghambat absorpsi glukosa pada usus

halus, sehingga berfungsi sebagai antihiperglikemi (penurun kadar

glukosa darah). Pengaruh saponin terhadap susunan membran sel

dapat menghambat absorbsi molekul dan menimbulkan gangguan

pada sistem transporter glukosa sehingga akan terjadi hambatan

untuk penyerapan glukosa (Fiana dan Oktaria, 2016).

d) Manfaat buah pare (Momordica charantia L.) sebagai anti diabetic

Beberapa mekanisme buah pare dalam menurunkan kadar

glukosa darah, yaitu menstimulasi pemakaian glukosa pada jaringan

perifer dan otot skelet, menghambat ambilan glukosa pada usus,

menekan glukoneogenesis, dan mempertahankan sel beta pankreas

(Joseph dan Jini, 2013).

Buah pare juga mampu meningkatkan toleransi glukosa

(Welihinda, 1986 dalam Abdollah, 2011). Mampu meningkatkan

sekresi insulin pada sel beta pankreas (Fernandes, 2007 dalam

Abdollah, 2011). Mampu mengurangi kadar serum glukosa darah

secara cepat pada pasien DM tipe II / Non Insulin Dependent Diabetes

mellitus (NIDDM) (Ahmad, 1999 dalam Abdollah, 2011).

Menghambat diferensiasi adipocyte, Menekan enzim glukoneogenik,


41

Menstimulasi jalur enzim HMP (Nerurkar dkk., 2010; Shibib dkk.,

1993; Singh dkk., 2011 dalam Joseph dan Jini, 2013).

Pada pasien DM tipe 2 terjadi penurunan sensitivitas sel

terhadap insulin walaupun glukosa dalam sistemik sudah meningkat.

Buah pare (Momordica charantia L.) menyebabkan peningkatkan

pemakaian glukosa dengan cara meningkatkan sensitivitas sel terhadap

insulin (Akhtar dkk., 2011).

Buah pare mampu menghambat absorbsi glukosa di usus halus

dengan cara menghambat enzim alfa-glukosidase sehingga dapat

mencegah hiperglikemia post prandial. Berdasarkan hasil penelitian,

ditemukan pula bahwa ekstrak buah pare memiliki kemampuan dalam

menghambat penyerapan sukrosa dan maltosa (Uebanso dkk., 2007).

Buah pare dapat menghambat peningkatan glukosa dengan

menghambat enzim pada glukoneogenesis. Enzim yang dihambat oleh

buah pare yaitu glukosa-6-fosfatase dan fruktosa-1,6-bifosfatase.

Sedangkan enzim yang meningkat yaitu glukosa-6-fosfat-

dehidrogenase (Shibib dkk., 1993).

Kandungan anti oksidan yang terdapat pada buah pare seperti

saponin, flavonoid, polifenol, dan vitamin C memiliki manfaat dalam

mengurangi stress oksidatif oleh radikal bebas yang terbentuk.

Aktivitas anti oksidan yang terjadi mampu mengubah ROS menjadi

H2O sehingga dapat mengurangi produksi ROS yang berlebihan

(Subahar, 2004).
42

5. Streptozotocin

Streptozotocin (STZ) adalah antibiotik yang diproduksi oleh

bakteri Streptomyces achromogens dan memiliki sifat antibakteri

spektrum yang luas. STZ mengandung molekul glukosa (dalam bentuk

deoksi) yang terkait dengan gugus metilnitrosourea yang sangat reaktif

(Gambar 10) yang mempunyai efek sitotoksik. STZ mengenali reseptor

GLUT2 yang berlimpah pada membran plasma sel β. Oleh karena itu, sel β

pankreas adalah target spesifik dari STZ. Karena GLUT2 juga ada di hati

dan ginjal pada tingkat yang lebih rendah, STZ dosis tinggi juga dapat

mengganggu fungsi hati dan ginjal.

Gambar 12. Struktur kimia Streptozotocin (Nugroho, 2006).

Reaksi Streptozotocin terhadap sel-β pulau Langerhans diikuti

dengan perubahan karakteristik pada insulin darah dan konsentrasi glukosa

yang menyebabkan hiperglikemia. Streptozotocin mempengaruhi oksidasi

glukosa dan menurunkan sekresi insulin. Streptozotocin masuk ke sel-β

pulau Langerhans melalui transporter glukosa GLUT2 mengakibatkan

menurunnya ekspresi dari GLUT2 (Szkudelski, 2001).


43

Bahan kimia Streptozotocin dapat menginduksi diabetes tipe 1

maupun tipe 2. Pemberian dosis STZ 100-180 mg/Kg BB dapat

menginduksi diabetes tipe 1 yang ditandai dengan meningkatnya gula

darah secara signifikan dan menunjukkan adanya kerusakan produksi

insulin, sementara dosis rendah dibawah 40 mg/Kg BB dapat menginduksi

diabetes tipe 2 (Goyal, 2016).

Pemberian Streptozotocin single high dose (160 – 240 mg/kg)

efektif induksi diabetes 96,5% pada tikus post induksi STZ selama 5 hari

(Graham ML dkk, 2011). Dosis STZ dibawah 60 mg/kg menginduksi

peningkatan kadar gula darah yang reversibel sedangkan dosis diatas 75

mg/kg pada rats dan 20 mg/kg pada mice terdapat kasus kematian

tergantung dosis yang diberikan (Goyal dkk, 2016).

Diabetes melitus tipe 1 dapat diinduksi menggunakan single dose

STZ injection. Sedangkan diabetes tipe 2 dapat diinduksi dengan paling

tidak 3 pendekatan, termasuk injeksi STZ setelah pemberian nicotinamide,

pemberian diet tinggi lemak diikuti dengan low-dose STZ injection, dan

injeksi STZ selama periode neonatal (Jinzi dan Liang, 2015).


44

Gambar 13. Mekanisme Streptozotocin sebagai agent diabetogenik (Goyal, 2016)

Keterlibatan nitrosatif dan stres oksidatif adalah suatu aspek

penting dari toksisitas STZ. Keterlibatan Reactive oxygen species (ROS)

akibat ketidakseimbangan antara pro-oksidan dan antioksidan dalam

sistem pertahanan tubuh menyebabkan kondisi yang disebut stres

oksidatif. Tahap awal induksi STZ pada tikus diabetes ialah pembentukan

radikal bebas termasuk Reactive oxygen dan nitrogen species (ROS dan

RNS). Reactive species yang dimaksud seperti Superoxide radical (O2-),

Hydrogen peroxide (H2O2), hydroxyl radical (OH-), dan peroxynitrite

(ONOO-) yang menginduksi stres oksidatif pada tikus diabetes. Uric acid

terbentuk sebagai hasil dari degradasi ATP oleh xanthine oxidase (XOD)

selama metabolisme STZ. Pembebasan O2- dan OH- berasal dari dismutasi

H2O2. Stres oksidatif dan jalur NO memodulasi dan menyebabkan

kerusakan sel beta setelah pemberian STZ (Goyal, 2016).


45

Streptozotocin juga merupakan genotoxic akylating agent yang

menyebabkan fragmentasi DNA, kerusakan sel, penyebab apoptosis dan

nekrosis. STZ memproduksi diazomethan (DAM) sebagai alkylating

agent. Kerusakan DNA yang dipicu oleh STZ melalui proses poly ADP-

ribosilation, yang menurunkan nicotinamide adenin dinucleitida (NAD+),

mereduksi ATP dan menghambat sintesa dan sekresi insulin. STZ induksi

metilasi DNA dan memicu kerusakan serta menginisiasi proses perbaikan

DNA dengan melibatkan aktivasi dari poly (ADP-ribose) synthetase

(PARP) yang mendeplesi selular NAD+ dan ATP. Aktifasi PARP

merupakan proses penting terhadap diabetogenicity STZ yang merusak

DNA sel (Goyal, 2016).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Salih dkk, terjadi

peningkatan enzim AST dan ALT secara signifikan pada hewan yang

diberi STZ. Peningkatan terjadi karena kerusakan seluler di hati akibat

pemberian STZ pada 2-3 minggu setelah pemberian. Namun, masih belum

jelas, apakah perubahan fungsi hati tikus diabetes ini mencerminkan efek

sitotoksisitas STZ langsung pada sel hepatosit atau disebabkan secara

tidak langsung melalui diabetes mellitus yang diinduksi akibat kerusak sel

beta pankreas (Salih dkk, 2014).

6. Polimerase Chain Reaction (PCR)

Diagnosis molekuler merupakan metode diagnosis yang bertujuan

untuk memahami mekanisme molekuler suatu penyakit pada setiap

individu pasien (personalized medicine/dentistry). Salah satu teknik


46

identifikasi molekuler yang dapat digunakan sebagai sarana diagnosis

penyakit adalah teknik amplifikasi DNA menggunakan Polymerase

Chain Reaction (PCR). Teknik ini mampu melipat gandakan untai DNA

sampel sehingga dapat dianalisis dengan lebih jelas (Feranisa, 2016).

Polimerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk

mengamplifikasi DNA atau RNA. Untuk mengamplifikasi RNA, proses

PCR didahului dengan reverse transcriptase terhadap molekul mRNA

sehingga diperoleh molekul complementary DNA (cDNA). Molekul cDNA

tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR. Proses

PCR untuk mengamplifikasi RNA dikenal dengan Reverse Transcriptase-

Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) (Hewajuli, 2014).

Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

memungkinkan akumulasi produk yang diperkuat untuk dideteksi dan

diukur ketika reaksi berlangsung, yaitu, dalam "waktu nyata". Keuntungan

utama RT-PCR adalah memungkinkan untuk menentukan nomor salinan

templat awal dengan akurasi dan sensitivitas tinggi pada rentang dinamis

yang luas. Hasil RT-PCR dapat bersifat kualitatif (ada atau tidak adanya

urutan) atau kuantitatif (jumlah salinan DNA). Sebaliknya, PCR

konvensional hanya semi-kuantitatif. Selain itu, data RT-PCR dapat

dievaluasi tanpa elektroforesis gel, sehingga mengurangi waktu percobaan

dan meningkatkan hasil. Reaksi dijalankan dan data dievaluasi dalam

sistem tabung tertutup, peluang untuk kontaminasi berkurang dan


47

kebutuhan untuk manipulasi post amplifikasi dihilangkan (Application

Guide Bio-Rad, 2006).

Tahapan-tahapan umum yang dilakukan selama pengujian PCR

real time dimulai dari isolasi RNA atau DNA sampai analisis data. Prinsip

kerja PCR real time adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi reporter

fluoresen. Sinyal fluoresen akan meningkat seiring dengan bertambahnya

amplifikasi DNA PCR dalam reaksi. Reaksi selama fase eksponensial

dapat dipantau dengan mencatat jumlah emisi fluoresen pada setiap siklus

(Pardal, 2010).

Peningkatan hasil amplifikasi PCR pada fase eksponensial

berhubungan dengan jumlah inisiasi target gen. Makin tinggi tingkat

ekspresi target gen maka deteksi emisi fluoresen makin cepat terjadi

(Pardal, 2010).
48

B. Kerangka Teori
Buah Pare

Induksi Streptozotocin Fenol, Flavonoid, Isoflavon, Saponin,


Tanin, Antrakuinon, Terpenes, Vitamin
C, Vitamin E, Charantine, polypeptida –
P, Vicine
Destruksi / Penurunan
sel β pankreas

Flavonoid Charantine Saphonin


Kadar glukosa
darah

Reseptor GH
Sekresi GH
Ekspresi gen
Keseimbangan Signaling PI3K
nitrogen Insuli-like Growth
dan MAPK
Factor 1
Radikal bebas
Glikolisis
Hormone steroid
Sensitivitas insulin
Oksidasi lipid
Asam lemak bebas

Sekresi dan atau


Resistensi Insulin

Diabetes Melitus
tipe 2
Keterangan : Mengakibatkan

Menghambat

Gambar 14. Kerangka Teori


49

C. Hipotesis

1. HO : Tidak terdapat perbedaan tingkat ekspresi gen IGF-1 pada hati tikus

diabetes yang diberi fraksi etil asetat ekstrak buah pare dan tikus

sehat dengan menggunakan metode qRT-PCR

Ha : Terdapat perbedaan tingkat ekspresi gen IGF-1 pada hati tikus

diabetes yang diberi fraksi etil asetat ekstrak buah pare dan tikus

sehat dengan menggunakan metode qRT-PCR

2. HO : Tidak terdapat perbedaan tingkat ekspresi gen IGF-1 pada hati tikus

diabetes yang diberikan fraksi etil asetat buah pare dan tikus diabetes

tanpa perlakuan dengan menggunakan metode qRT-PCR

Ha : Terdapat perbedaan tingkat ekspresi gen IGF-1 pada hati tikus

diabetes yang diberikan fraksi etil asetat buah pare dan tikus diabetes

tanpa perlakuan dengan menggunakan metode qRT-PCR.

B. Kerangka Konsep
Variabel bebas Variabel terikat
Fraksi etil asetat ekstrak
buah pare (Momordica Ekspresi gen IGF-1 pada hati
charantia L.) tikus Diabetes Melitus

Kadar glukosa darah tikus

Keterangan : Variabel bebas

Variabel terikat

Variabel antara

Gambar 15. Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai