Anda di halaman 1dari 3

Sekali Lagi tentang Masuk Surga

‫ْت‬
ُ ‫َحلَل‬
ْ ‫ْح َر َام َوأ‬
َ ‫ت ال‬ ُ ‫صلَّْي‬
ُ ‫ت ال َْمكْتُوبَةَ َو َح َّر ْم‬ َ ْ‫ول اللَّ ِه أ ََرأَي‬
َ ‫ت إِذَا‬ َ ‫ُّع َما ُن بْ ُن َق ْوقَ ٍل َف َق‬
َ ‫ال يَا َر ُس‬ ْ ‫ال أَتَى النَّبِ َّى الن‬
َ َ‫َع ْن َجابِ ٍر ق‬
‫ال النَّبِ ُّى َن َع ْم‬ َ ‫ْحالَ َل أَأَ ْد ُخ ُل ال‬
َ ‫ْجنَّةَ َف َق‬ َ ‫ال‬
Dari Jabir, ia berkata: Nu’man ibn Qauqal datang kepada Nabi saw, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana
pandangan anda jika saya shalat wajib, mengharamkan yang haram dan menghalalkan yang halal, apakah saya
akan masuk surga?” Nabi saw menjawab: “Ya”.
Matan Hadits
Dalam jalur riwayat lain, Jabir tidak menyebutkan nama shahabat yang bertanya kepada Nabi saw tersebut.
Dalam jalur riwayat ini, sang penanya menyatakan sebagai berikut:

َ ِ‫َم أَ ِز ْد َعلَى َذل‬


‫ك َش ْيئًا‬ ْ ‫ْح َر َام َول‬
َ ‫ت ال‬
ُ ‫ْحالَ َل َو َح َّر ْم‬
َ ‫ْت ال‬
ُ ‫َحلَل‬
ْ ‫ضا َن َوأ‬ َ ‫ت َر َم‬ُ ‫ص ْم‬ ِ ِ َّ ‫ت‬
ُ ‫الصلَ َوات ال َْمكْتُوبَات َو‬ ُ ‫صلَّْي‬
َ ‫ت إِ َذا‬َ ْ‫أ ََرأَي‬
‫ك َش ْيئًا‬ َ ِ‫ال َواللَّ ِه الَ أَ ِزي ُد َعلَى ذَل‬
َ َ‫ ق‬.‫ال َن َع ْم‬ َ ‫أَأَ ْد ُخ ُل ال‬
َ َ‫ْجنَّةَ ق‬
“Bagaimana pandangan anda jika saya shalat wajib, shaum Ramadlan, menghalalkan yang halal,
mengharamkan yang haram, dan aku tidak menambahi hal-hal tersebut sedikit pun, apakah saya akan masuk
surga?” Nabi saw menjawab: “Ya”. Shahabat yang bertanya itu berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menambahi
hal-hal tersebut sedikit pun.”  (Shahih Muslim no. 119)
Syarah Ijmali
Dalam pembahasan sebelumnya, di bawah judul “Masuk Surga Bukan Karena Amal”, sudah dikaji dengan
panjang lebar persoalan masuk surga dalam kaitannya dengan amal. Simpulannya, pernyataan Nabi
saw: “Seseorang tidak akan masuk surga dengan sebab amalnya,”  yang dimaksud adalah dengan sebab
amalnya saja, karena ternyata ada faktor lain yang menyebabkan seseorang masuk surga, yakni rahmat Allah
swt. Pelajaran yang terkandung dari sabda Nabi saw tersebut adalah agar seseorang tidak hanya berpaku pada
amalnya semata dengan melupakan rahmat Allah swt. Orang yang demikian tidak akan asal-asalan dalam
beramal, sebab ia sadar yang paling penting dari amalnya itu adalah apakah akan mendapat perkenan (rahmat)
Allah swt ataukah tidak. Orang yang tidak melupakan rahmat Allah swt juga tidak akan pernah berputus asa
dalam mengejar kebaikan dan meninggalkan kejelekan, karena walaupun susahnya bukan main ia senantiasa
optimis rahmat Allah swt terbentang luas asalkan ia tetap fokus mengejarnya. Orang yang ingat rahmat Allah swt
juga tidak akan takalluf (memaksakan diri) dalam amal-amal yang pada faktanya ia memang tidak mampu,
sebab yang paling pokok rahmat Allah swt-lah yang harus ia dapatkan.
Tetapi itu semua juga tidak berarti bahwa amal menjadi hal yang sepele dibandingkan rahmat Allah swt. Sebab
rumus sederhananya, mana mungkin Allah swt memberikan rahmat-Nya kepada orang yang tidak beramal.
Dalam hal ini pula, hadits di atas memberikan informasi bahwa walau bagaimanapun amal tetap menjadi hal
yang urgen dalam kaitan masuk surga. Bahkan Imam Muslim, memasukkan hadits di atas dalam
kitab iman,  dengan memberikan tarjamah: bab bayanil-iman alladzi yadkhulu bihil-jannah; penjelasan iman yang
akan memasukkan ke surga. Artinya, berikrar iman saja tidak cukup jika tidak disertai amal. Iman yang akan
memasukkan seseorang ke surga itu adalah iman yang mendorongnya untuk beramal.
Dalam hal ini terdapat diskusi di kalangan para ulama tentang kaitan hadits di atas dengan hadits lain yang
menyatakan bahwa kriteria masuk surga itu adalah tidak musyrik saja, seperti diriwayatkan shahabat Jabir
berikut:

‫ْجنَّةَ َو َم ْن ل َِقيَهُ يُ ْش ِر ُك بِ ِه َد َخ َل النَّا ِر‬ ِ ِ


َ ‫َم ْن لَق َى اللَّهَ الَ يُ ْش ِر ُك بِه َش ْيئًا َد َخ َل ال‬
Siapa yang bertemu Allah dalam keadaan tidak musyrik, ia akan masuk surga. Dan siapa yang bertemu dengan-
Nya dalam keadaan musyrik, ia pasti akan masuk neraka  (Shahih Muslim kitab al-iman bab man mata la
yusyriku bil-’Llah syai`an dakhalal-jannah no. 280).
Atau sebagaimana diriwayatkan shahabat Abu Dzar berikut, bahwa Nabi saw pernah bersabda:

َ َ‫ال َوإِ ْن َزنَى َوإِ ْن َس َر َق ق‬


‫ال‬ َ ‫َم يَ ْد ُخ ِل الن‬
َ َ‫ ق‬،‫َّار‬ ْ ‫ْجنَّةَ أ َْو ل‬
ِ َ ِ‫ات ِم ْن أ َُّمت‬
َ ‫ك الَ يُ ْش ِر ُك بِاللَّه َش ْيئًا َد َخ َل ال‬
ِ ِ َ َ‫ق‬
ُ ‫ال لى ج ْب ِر‬
َ ‫يل َم ْن َم‬
‫َوإِ ْن‬
“Jibril tadi datang kepadaku dan mengatakan: Siapa saja umatmu yang meninggal dalam keadaan tidak musyrik,
ia pasti akan masuk surga, atau tidak akan masuk neraka.”  Nabi bertanya: “Walaupun ia zina dan
mencuri?” Jibril menjawab: “Ya, walaupun ia zina dan mencuri.”  (Shahih al-Bukhari kitabbad`il-khalqi  bab dzikril-
malaikat no. 2983; Shahih Muslim kitab al-iman no. 137, 138).
Imam Ibn Rajab al-Hanbali dalam kitabnya Jami’ al-’Ulum wal-Hikam menjelaskan, sebagian ulama menyatakan
bahwa hadits-hadits ini sudah dinaskh (digugurkan) oleh hadits di atas yang menyatakan bahwa masuk surga itu
tidak cukup hanya ikrar iman/tidak musyrik saja, melainkan harus dengan amal. Sebagian ulama lainnya
menyatakan bahwa hadits-hadits ini saling berkaitan erat dengan hadits tentang harus adanya amal. Artinya,
iman dan tidak musyrik itu syaratnya adalah dengan beramal; mengerjakan semua yang halal dan meninggalkan
semua yang haram. Jika seseorang tidak beramal maka itu berarti ia tidak beriman, atau ia telah musyrik. Akan
tetapi yang lebih tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa hadits di atas hanya hendak menyatakan
bahwa dosa-dosa lain selain syirik ada kemungkinan diampuni oleh Allah swt jika Allah swt menghendaki,
sementara syirik walau bagaimanapun tidak akan diampuni, oleh karenanya akan menjerumuskan seseorang ke
neraka. Firman Allah swt dalam hal ini menyatakan:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar (QS. An-Nisa` [4] : 48. Ayat yang semakna terdapat juga pada ayat ke-116).
Masalah pengampunan dari Allah swt itu murni merupakan hak prerogatif Allah swt saja, karena hanya Dialah
yang lebih mengetahui orang yang seperti apa yang layak diampuni dan yang tidak layak diampuni. Persoalan ini
sangat terkait dengan rahmat-Nya juga, dan dalam hal ini sudah tentu amal turut dijadikan pertimbangan utama.

Apa yang disabdakan Nabi saw dalam hadits di muka sebenarnya sudah cukup mewakili persyaratan masuk
surga, yakni ketika Nabi saw menyetujui syarat mengharamkan yang haram dan menghalalkan yang
halal. Menurut Imam Ibn Rajab al-Hanbali  yang dimaksud dengan syarat tersebut ada dua: (1) Meyakini
keharaman apa yang diharamkan Allah swt, demikian juga kehalalan apa yang dihalalkan Allah swt, dan (2)
menjauhi yang diharamkan Allah dan hanya mengamalkan atau menggunakan yang dihalalkan Allah swt.
Artinya, kalau seseorang yakin bahwa khamr haram tapi ia tetap minum khamr, maka ia berarti
tidak mengharamkan yang haram. Sebaliknya, seseorang walaupun ia tidak pernah minum khamr tapi ia tidak
yakin dengan keharaman khamr dan itu contohnya terbukti dengan mendukung pelegalan minuman keras
melalui perundang-undangan, sama juga ia tidak termasuk pada mengharamkan yang haram. Masuk dalam
kategori halal ini, menurut Ibn Rajab, semua hal yang diwenangkan untuk diamalkan, termasuk perkara yang
wajib dan sunnat, di samping yang mubah. Maka dari itu, sebagaimana disebutkan sebelumnya, persyaratan ini
pada hakikatnya sudah mencakup semua amal yang akan memasukkan seseorang ke surga.
Amal mengharamkan yang haram  dan menghalalkan yang halal ini merupakan amal yang sangat urgen di dalam
Islam. Banyak ayat-ayat yang mengingatkan agar kita konsisten dengan halal-haram  yang telah ditetapkan Allah
swt. Bahkan Nabi saw sendiri pun pernah secara langsung ditegur oleh Allah swt ketika beliau mengarah pada
sikap mengharamkan perkara yang halal.
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan
hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. At-Tahrim [66] : 1-2. Dalam Tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa waktu itu
Nabi saw bersumpah untuk tidak lagi makan makanan semacam madu yang tidak disukai oleh sebagian istrinya,
tetapi sumpah semacam itu ditegur oleh Allah swt dan dititahkan harus dibatalkan).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi
kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan
bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (QS. Al-Ma`idah [5] : 87-88).
Shahabat Ibn ‘Abbas dan Ibn Mas’ud, ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2] : 121 menjelaskan bahwa Ahlu-
Kitab (Yahudi-Kristen) yang beriman itu adalah yang menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan
tidak mengubah-ubah firman Allah dari tempatnya semula (Rujuk Tafsir at-Thabari). Bunyi ayat tersebut adalah:

Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang
sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah
orang-orang yang rugi  (QS. Al-Baqarah [2] : 121).
Penafsiran tersebut sangat erat kaitannya dengan sorotan dari ayat-ayat al-Qur`an sendiri yang banyak
mengkritisi Yahudi dan Kristen seputar aqidah mereka. Mereka mengaku beragama wahyu; agamanya para Nabi
yang bersumber dari kitab, tapi pada faktanya mereka tidak pernah mengikuti pedoman wahyu dan Nabinya
dalam hal hukum halal-haram. Mereka lebih suka menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi, yang dalam hal
ini para pemuka agama mereka merupakan pemegang saham dosa terbesarnya (QS. 4 : 60; 5 : 41-47; 9 : 31
beserta tafsirnya dalam Ibn Katsir). Walaupun demikian ada beberapa di antara mereka yang tetap beriman,
yakni yang tetap konsisten dalam hukum halal-haram  yang ditetapkan Allah swt melalui kitab yang dibawa para
Nabinya.
Itu berarti bahwa ikrar keimanan seseorang harus dibuktikan dengan kesiapannya untuk mematuhi dan
menegakkan hukum halal-haram  dalam Islam, karena agama Islam adalah agama aqidah  dan syari’ah.Mengaku
muslim tapi enggan menegakkan hukum halal-haram yang telah digariskan syari’at, sama saja dengan bohong
belaka. Hadits di atas juga dengan sendirinya membantah paham esensialisme yang merupakan cikal bakal
pluralisme agama. Menurut paham ini, dalam beragama cukup hal-hal yang esensinya saja seperti baik kepada
sesama, tidak boleh menyakiti orang lain, dsb; tidak perlu harus dengan menegakkan hukum halal-haram yang
dipastikan akan menyinggung umat beragama yang lain. Kalau memang demikian adanya, jangan pernah
berharap masuk surga! Wal-’ilm ‘indal-’Llah.

Anda mungkin juga menyukai