ْت
ُ َحلَل
ْ ْح َر َام َوأ
َ ت ال ُ صلَّْي
ُ ت ال َْمكْتُوبَةَ َو َح َّر ْم َ ْول اللَّ ِه أ ََرأَي
َ ت إِذَا َ ُّع َما ُن بْ ُن َق ْوقَ ٍل َف َق
َ ال يَا َر ُس ْ ال أَتَى النَّبِ َّى الن
َ ََع ْن َجابِ ٍر ق
ال النَّبِ ُّى َن َع ْم َ ْحالَ َل أَأَ ْد ُخ ُل ال
َ ْجنَّةَ َف َق َ ال
Dari Jabir, ia berkata: Nu’man ibn Qauqal datang kepada Nabi saw, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana
pandangan anda jika saya shalat wajib, mengharamkan yang haram dan menghalalkan yang halal, apakah saya
akan masuk surga?” Nabi saw menjawab: “Ya”.
Matan Hadits
Dalam jalur riwayat lain, Jabir tidak menyebutkan nama shahabat yang bertanya kepada Nabi saw tersebut.
Dalam jalur riwayat ini, sang penanya menyatakan sebagai berikut:
Apa yang disabdakan Nabi saw dalam hadits di muka sebenarnya sudah cukup mewakili persyaratan masuk
surga, yakni ketika Nabi saw menyetujui syarat mengharamkan yang haram dan menghalalkan yang
halal. Menurut Imam Ibn Rajab al-Hanbali yang dimaksud dengan syarat tersebut ada dua: (1) Meyakini
keharaman apa yang diharamkan Allah swt, demikian juga kehalalan apa yang dihalalkan Allah swt, dan (2)
menjauhi yang diharamkan Allah dan hanya mengamalkan atau menggunakan yang dihalalkan Allah swt.
Artinya, kalau seseorang yakin bahwa khamr haram tapi ia tetap minum khamr, maka ia berarti
tidak mengharamkan yang haram. Sebaliknya, seseorang walaupun ia tidak pernah minum khamr tapi ia tidak
yakin dengan keharaman khamr dan itu contohnya terbukti dengan mendukung pelegalan minuman keras
melalui perundang-undangan, sama juga ia tidak termasuk pada mengharamkan yang haram. Masuk dalam
kategori halal ini, menurut Ibn Rajab, semua hal yang diwenangkan untuk diamalkan, termasuk perkara yang
wajib dan sunnat, di samping yang mubah. Maka dari itu, sebagaimana disebutkan sebelumnya, persyaratan ini
pada hakikatnya sudah mencakup semua amal yang akan memasukkan seseorang ke surga.
Amal mengharamkan yang haram dan menghalalkan yang halal ini merupakan amal yang sangat urgen di dalam
Islam. Banyak ayat-ayat yang mengingatkan agar kita konsisten dengan halal-haram yang telah ditetapkan Allah
swt. Bahkan Nabi saw sendiri pun pernah secara langsung ditegur oleh Allah swt ketika beliau mengarah pada
sikap mengharamkan perkara yang halal.
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan
hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. At-Tahrim [66] : 1-2. Dalam Tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa waktu itu
Nabi saw bersumpah untuk tidak lagi makan makanan semacam madu yang tidak disukai oleh sebagian istrinya,
tetapi sumpah semacam itu ditegur oleh Allah swt dan dititahkan harus dibatalkan).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi
kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan
bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (QS. Al-Ma`idah [5] : 87-88).
Shahabat Ibn ‘Abbas dan Ibn Mas’ud, ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2] : 121 menjelaskan bahwa Ahlu-
Kitab (Yahudi-Kristen) yang beriman itu adalah yang menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan
tidak mengubah-ubah firman Allah dari tempatnya semula (Rujuk Tafsir at-Thabari). Bunyi ayat tersebut adalah:
Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang
sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah
orang-orang yang rugi (QS. Al-Baqarah [2] : 121).
Penafsiran tersebut sangat erat kaitannya dengan sorotan dari ayat-ayat al-Qur`an sendiri yang banyak
mengkritisi Yahudi dan Kristen seputar aqidah mereka. Mereka mengaku beragama wahyu; agamanya para Nabi
yang bersumber dari kitab, tapi pada faktanya mereka tidak pernah mengikuti pedoman wahyu dan Nabinya
dalam hal hukum halal-haram. Mereka lebih suka menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi, yang dalam hal
ini para pemuka agama mereka merupakan pemegang saham dosa terbesarnya (QS. 4 : 60; 5 : 41-47; 9 : 31
beserta tafsirnya dalam Ibn Katsir). Walaupun demikian ada beberapa di antara mereka yang tetap beriman,
yakni yang tetap konsisten dalam hukum halal-haram yang ditetapkan Allah swt melalui kitab yang dibawa para
Nabinya.
Itu berarti bahwa ikrar keimanan seseorang harus dibuktikan dengan kesiapannya untuk mematuhi dan
menegakkan hukum halal-haram dalam Islam, karena agama Islam adalah agama aqidah dan syari’ah.Mengaku
muslim tapi enggan menegakkan hukum halal-haram yang telah digariskan syari’at, sama saja dengan bohong
belaka. Hadits di atas juga dengan sendirinya membantah paham esensialisme yang merupakan cikal bakal
pluralisme agama. Menurut paham ini, dalam beragama cukup hal-hal yang esensinya saja seperti baik kepada
sesama, tidak boleh menyakiti orang lain, dsb; tidak perlu harus dengan menegakkan hukum halal-haram yang
dipastikan akan menyinggung umat beragama yang lain. Kalau memang demikian adanya, jangan pernah
berharap masuk surga! Wal-’ilm ‘indal-’Llah.