Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

IJMA`,QIYAS DAN URF


SUMBER HUKUM ISLAM

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH:


NURSYAMSU M, Ud

DISUSUN OLEH:

AZWANDI (200602129)
ZULHAN ROHIMI (200602142)

Universitas Islam Negeri Mataram


Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Sosiologi Agama
2021/2022
KATAPENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul. “IJMA,QIYAS DAN URF SUMBER HUKUM ISLAM ”
Bahwasanya penyusun makalah ini tidak terlepas dari bantuan teman-teman dan juga dari
berbagai sumber yang mendukung isi makalah,sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini.Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada teman-teman yang
telah membantu dan ikut serta dalam pembuatan makalah ini dan juga kepada dosen
pengampu mata kuliah kami yaitu Bapak NURSYAMSU M, Ud

Kami menyusun makalah ini dengan harapan dapat menambah pengetahuan, wawasan
dan pengalaman serta dapat dipraktekkan dilapangan bagi pembaca dan adapun kami
menyadari bahwa didalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami dalam menyusun makalah ini.Oleh karena itu
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan dan penulisan makalah ini menjadi lebih baik.

Mataram ,14 Maret 2021

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B.Rumusan Masalah................................................................................... 2
C. Tujuan ................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................
A.Pengertian Ijma’ ...........................................................................
B.Pengertian Qiyas ………………………………………………………………………
C.Pengertian Urf ………………………………………………………………..
BAB III PENUTUP..............................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................
B..Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi
oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum
dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid,
penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk
menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang
semestinya. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para
ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum
Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an,
Sunnah,Ijma’danQiyas).Sedangkan sumber hukum islam yang masih
diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas
yaitu istihsan, dan maslahah
Ilmu Ushul Fiqh semakin berkembang seiring dengan perkembangan Islam
ke berbagai macam wilayah di luar jazirah Arab. Kajian tentang Ushul Fiqh
diperlukan karena banyaknya kebudayaan di luar jazirah Arab yang berbeda
hingga bertolak belakang dengan kebudayaan di jazirah Arab. Hal ini menjadi
suatu kebutuhan masyarakat setempat yang belum banyak memahami ajaran
Islam. Sehingga banyak usaha yang dilakukan para ulama untuk menyelesaikan
berbagai masalah tersebut, yang didasarkan pada beberapa metode pengambilan
hukum Islam di luar Al-Qur‟an, Hadits, Ijma‟, dan Qiyas yang sudah disepakati
bersama, antara lain adalah al-„urf. Bagi kaum muslimin, di manapun mereka
berada, hukum adat setempat dapat dinyatakan berlaku selagi tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan nash al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Hukum-hukum
ijtihadiyah yang ditemukan dengan bersumber kepada „urf kemudian ditetapkan
menjadi hukum Islam akan mengalami Perubahan jika „urf yang menjadi sumber
itu mengalami Perubahan. Dalam hal ini sifat dinamisnya hukum Islam dapat
diketahui dengan jelas

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ijma’ ?
2. Apa Pengertian Qiyas?
3. APA pengertian Urf?
1
C. Tujuan
1. Mengetahhui pengertian dari Ijma’
2. Mengetahui apa pengertian dari Qiyas
3. Mengetahui apa pengertian dari Urf

2
BAB II
PEMBAHASAN

1.PENGERTIAN IJMA’
Pengertian Ijma’
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya
(tekad) terhadap sesuatu. disebutkan ‫ أجمع فالن عىل األمر‬berarti berupaya di
atasnya.[1] Sebagaimana firman Allah SWT:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu.
(Qs.Yunus:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama
dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti
kedua lebih dari satu orang.[2] Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan
semua mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul SAW
atas hukum syara.[3]
Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila
memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
1). Yang bersepakat adalah para mujtahid.
Para ulama’ berselisih faham tentang istilah mujtahid. Secara umum
mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam
mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab “jam’ul jawami”
disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa
yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai
sifat terpuji dsan mempu mengistimbat hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang
belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula
penolakan mereka, karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum
syara’.
2) Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit,
maka menurut jumhum, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’
3
Karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama
berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid,
karena yang dimaksud kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian
besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah
mencakup hukum keseluruhan.
3) Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW
tidak bisa dikatakan ijma’, karena hal itu dapat menunjukkan adanya umat para
nabi lain yang berijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW tersebut telah
dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.
4) Dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhamad SAW.
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi Muhammad SAWmasih hidup, karena
Nabi Muhammad SAW senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para
sahabat yang dipandang baik dan itu dianggap sebagai syariah.
5) Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya
dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.[4]
Macam-Macam Ijma’
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma’ Sharih;
Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu
kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid
mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang
mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti;
Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas
terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang
lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap
pendapat yang telah dikemukakan.[5]
Kemungkinan Terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan
kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah
terlaksana”.
4
Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu
tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur terntang
diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga
harus memenuhi dua kriteria:
1. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk
mengadakan ijma’.
2. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’i ataupun yang
dhanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’i maka tidak diragukan lagi bahwa hal
itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dhanni,
dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing
mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya
nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka.
Kehujjaan Ijma’ Menurut Pandangan Ulama’
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi
(hujjah) berdasarkan dua dalil berikut:
Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan
bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin
baik, maka munurut Allah juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para
sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi.[6]
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’,
misalnya, apakah ijma’ itu hujjah syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan
usul fiqih atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’ berbeda
pendapat. Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang hawn tidak menjadikan
ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam sejarahnya dia mengatakan bahwa ijma’
itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut Al-Maidi, para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah
yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah, Khawarij
dan Nizam dari golongan Mu’tazilah.
Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam,
Khawarij dan Syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada
5
dasarnya adalah hujjah.
Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan Ma’qidul Usul” dikatakan
bahwa ijma’ hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh “Daut”
yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.[7]
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu sendiri,
yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijma’ akan
ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
1. Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i,
wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada
suatu permasalahan maka itu menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang,
dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihad lagi. Dalil-dalil yang
dikeluarkan oleh jumhur, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Annisa’ ayat
115.
Barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam,
dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka
yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka
akan dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang
buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang
tidak beriman itu adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh
oleh orang-orang mu’min adalah hak dan wajib diikuti.
2. Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama.
Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak
mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam
Syafi’i yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja
menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak
melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya
sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan
5
apakah hal itu qath’i atau dzanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan
adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’
ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan
bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qath’i seperti halnya ijma’ sharih. Alasan
mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun
tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya,
bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil
tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga
dikatakan sebagai hujjah yang qath’i karena alasannya juga menunjukkan adanya
ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.[8]
Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
1. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
3. Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.[9]
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu
memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena
itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut
Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai
dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara
sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum
berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.[10]

2.PENGERTIAN QIYAS
Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan,
membandingkan atau mengukur. Qiyas menurut ulama ushul adalah
menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan
cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. 6
Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu
yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena
adanya persamaan illat hukum.[11]
(‘Illat = ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum
ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu
sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi
dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.)
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum
sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang
sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan
dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (Qs.Al-Maidah:90)
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan.
Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar
dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.[12]
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama
berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini
terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada


hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat
shabat maupun ijma’ ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak
menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan
tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap
alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai
dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash
semata.

7
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha
berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah
tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari
keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.[13]
Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah
syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain.
Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun
ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan
persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum
syar’i.[14]
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah
firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-
benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-
sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.Al-Hasyr:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah SWT memerintahkan kepada kita
untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui,
memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu
melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang
diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata
tadi “i’tibar dan qiya”’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.[15]
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.An-Nisaa’:59)
8
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan
‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah
perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya
dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.Hal ini dapat diperoleh dengan
mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.[16]
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits
Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika
ditanya oleh Rasulullah SAW, diantaranya ijtihad yang mencakup di
dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.[17]
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para
shahabat Nabi SAW sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan
tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan
mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib
diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar RA suatu kali ditanya
tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan
(pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka
dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah
tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas.
Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak
memiliki bapak dan anak.[18]
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah SWT
mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan
manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua,
bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi,
permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil
jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’.
Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan
munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya
sesuai dengan syariat dan maslahah.[19]

9
Pembagian Qiyas
Qiyas dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu: 1. Qiyas 'illat; 2. Qiyas dalalah; dan
3. Qiyas syibih.
A. Qiyas 'illat
Qiyas 'illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara' karena
keduanya mempunyai persamaan 'illat. Qiyas 'illat terbagi:
1. Qiyas jali
Ialah qiyas yang 'illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada
kemungkinan lain selain dari 'illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi
kepada:
a. Qiyas yang 'illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah
'illat larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas dalam nash.
b. Qiyas mulawi. Ialah qiyas yang hukum pada fara' sebenarnya lebih utama
ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum
mengucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua berdasarkan firman Allah
SWT:
Artinya: "Maka janganlah ucapkan kata-kata "ah" kepada kedua
orangtua(mu)." (al-Isrâ': 23)
'Illatnya ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang
tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul
anaknya dibanding dengan ucapan "ah" yang diucapkan anaknya kepadanya.
Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara' lebih utama dibanding
dengan hukum yang ditetapkan pada ashal.
c. Qiyas musawi
Ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada fara' sebanding dengan hukum
yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada
memakan harta anak yatim. 'Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak
yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah
SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia
tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya." (an-Nisâ': 10)
10
Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari
kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashal sama
pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara'.
2. Qiyas khafi
Ialah qiyas yang 'illatnya mungkin dijadikan 'illat dan mungkin pula tidak
dijadikan 'illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman
binatang buas. ‘Illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan
mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. 'Illat ini
mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena
mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas
terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang
mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun
kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah
keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.

B. Qiyas dalalah
Qiyas dalalah ialah qiyas yang 'illatnya tidak disebut, tetapi merupakan
petunjuk yang menunjukkan adanya 'illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari
suatu peristiwa. Seperti harta anak-anak yang belum baligh, apakah wajib
ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib
mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk
yang menyatakan 'illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah
atau berkembang. Tetapi Madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang
yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya.
Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya
orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang
belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang
telah memenuhi syarat-syarat zakat.
C. Qiyas syibih
Qiyas syibih ialah qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau
lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara'. Seperti
hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka,
karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta
11
benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan
kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan
diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat
diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan
sebagainya.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
a. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan
al-maqis alaihi.
b. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut
pula al-maqîs.
c. Hukum al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam nash dalam hukum
asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
d. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang
dibangun atasnya.[20]

3.PENGERTIAN URF
Pengertian Urf
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti
sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang
sehat. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang telah saling
dikenal oleh manusia dan mereka menjadikan tradisi. Dengan kata lain 'Urf
merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan
kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh
sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan).
Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan antara 'urf
dengan adat (adat kebiasaan), namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa
pengertian 'urf lebih umum dibandingkan dengan pengertian adat, karena adat
disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan
mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi
terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi
syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan
12
pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah
menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli
itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam
bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam
masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu
dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan
'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada
yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau
kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas
dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada
'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau
beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini
dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan
pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan
hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat
melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya,
sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa
mengerjakannya dan memandangnya baik.
B. Pembagian Urf
1. Ditinjau dari bentuknya (sifatnya) ada dua macam:
a) Al Urf al Qauliyah ('Urf qauli), ialah 'urf yang berupa perkataan' seperti
perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-
laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan
dengan anak laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging termasuk di
dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan. Tetapi
dalam percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja, tidak termasuk di
dalamnya daging binatang air (ikan).
b) Al Urf al Fi’ly (‘Urf amali), ialah 'urf yang berupa perbuatan. Seperti jual beli
dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut
syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena
telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa shighat jual
beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka syara' membolehkannya.

13
2. Ditinjau dari segi nilainya (diterima atau tidaknya), ada dua macam:
a) Al Urf as Shahih (‘Urf shahih), ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena
tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum
melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'. (‘urf yang baik dan dapat
diterima, karena tidak bertentangan dengan nash dan hukum syara’).
b) Al Urf al Fasid (‘Urf fasid), ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima,
karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian
untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak
dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama
Islam. (‘urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara’).
3. Ditinjau dari luas berlakunya, ada dua macam:
a) Al Urf Am (‘Urf 'âm), ialah Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan
keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan
jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah
membantu kita dan sebagainya. (‘urf yang berlaku untuk seluruh tempat sejak
dahulu hingga sekarang).
b) Al Urf al Khas (‘Urf khash), Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa
atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa
dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai
menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam
lain tidak dibiasakan. (‘urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat
saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu).
C. Syarat-syarat Urf dapat diterima oleh hukum Islam
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatu masalah baik dalam al Qur’an atau as
Sunnah.
2. Pemakaian tidak mengakibatkan dikesampingkanya nash syari’at termasuk juga
tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang
saja.
D. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan 'Urf
Diantara kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan 'urf ialah:

14
a.
Artinya: "Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum."
b.
Artinya: "Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal
dengannya."
c.
Artinya: "Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan
perubahan masa."
E. Kehujjahan Urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan
dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum
atau keputusan. Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan
perbuatan-perbuatan penduduk Madinah. Berarti, beliau menganggap apa yang
terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan
tidak bertentangan dengan syara’.
Imam Safi’i terkenal dengan Qoul qadim dan Qoul jadidnya, karena melihat
pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan Mesir yang berlainan.
Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima, hal itu jelas karena bertentangan
dengan syara’ nash maupun ketentuan umum nash.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
.

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

[1]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468 (http://orgawam.wordpress.com).


[2]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468 (http://orgawam.wordpress.com).
[3]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 469 (http://orgawam.wordpress.com).
[4]Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. ”Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007, hal 70-71
(http://hadirukiyah.blogspot.com).
[5]Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih” Jakarta 2003 M. Hal. 62
(http://hadirukiyah.blogspot.com).
[6]Prof. Muhammad Abu Zahrah, “Usul Fiqih” Jakarta 2005. Hal. 314
(http://hadirukiyah.blogspot.com).
[7]Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 73
(http://hadirukiyah.blogspot.com).
[8]Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 80
(http://hadirukiyah.blogspot.com).
[9]Lebih lanjut lihat Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 474-476
(http://orgawam.wordpress.com).
[10]Kajian mengenai maqashid al-syariah dikemukakan secara komprehensif oleh Abu Ishaq al-Syatibi
dalam kitabnya: al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah. Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz 2, hal 5-12
(http://orgawam.wordpress.com).
[11]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 173 (http://orgawam.wordpress.com).

[12]Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53


(http://orgawam.wordpress.com).
[13]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175 (http://orgawam.wordpress.com).
[14]Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53
(http://orgawam.wordpress.com).

[15]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 592


(http://orgawam.wordpress.com).
[16]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175 (http://orgawam.wordpress.com).
[17]Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 56 (http://orgawam.wordpress.com).
[18]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 597
(http://orgawam.wordpress.com).
[19]Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 58 (http://orgawam.wordpress.com).
[20]Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 60. Lebih lanjut lihat hal 60-78
(http://orgawam.wordpress.com).

Anda mungkin juga menyukai