Anda di halaman 1dari 97

PENDAPATAN PER KAPITA PROVINSI DKI JAKARTA

(SEBUAH HASIL STUDI)

Nomor Publikasi : 31550.19.09


Ukuran Buku : 18,2 cm X 25,7 cm
Jumlah Halaman : xii + 83 halaman
Naskah : Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
Penyunting : Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
Desain Kover : Bidang IPDS
Diterbitkan Oleh : © Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Sumber Ilustrasi : freepik.com
Dicetak Oleh : Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

“Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengkomunikasikan, dan/atau menggandakan sebagian atau


seluruh isi buku ini untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta”
© Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

TIM PENULIS

Penanggungjawab : Buyung Airlangga


Koordinator : Favten Ari Pujiastuti
Pengolah Data : Klarawidya Puspita Rasman
Favten Ari Pujiastuti
Muhammad Noval
Rocky Gunung Hasudungan
Supendi
Budi Utami
Ratih Sari Dewi
Yulius Antokida
Helmy Azhary
Sugeng Rahardjo
Fauzia Miranti
Sebha Happy Dwiyanti
Resiwati Fajrina Mustika Zain
Nani Suciati
M Anton Yuniarto
Mutiara Virgia Leran Putri
Maria Rosellina Ginting
Ayesha Tantriana
Riza Andina
Azira Irawan
Naskah : Favten Ari Pujiastuti
Budi Utami
Ratih Sari Dewi
Editor : Favten Ari Pujiastuti
Muhammad Noval
Tata Letak : Ratih Sari Dewi
Desain Kover dan Infografis : Marwan Wahyudin
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat diartikan sebagai pendapatan yang
tercipta di suatu daerah tanpa memperhatikan siapa pemilik pendapatan tersebut
(penduduk daerah tersebut atau bukan). Dengan demikian PDRB yang tercipta di Jakarta
belum dapat menggambarkan pendapatan yang benar dimiliki oleh Jakarta. Untuk itu
perlu dihitung agregat turunan dari PDRB yang bisa menggambarkan pendapatan yang
benar-benar dimiliki oleh penduduk Jakarta berupa Pendapatan Regional yang kemudian
diturunkan menjadi Pendapatan per Kapita.

Berkenaan dengan kebutuhan tersebut maka pada tahun 2019 Pemerintah


Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan BPS Provinsi DKI Jakarta melaksanakan studi
penyusunan Pendapatan per Kapita (Income per Capita). Hasilnya tidak hanya memuat
nilai Pendapatan per Kapita tetapi juga akan berisi informasi mengenai PDRB DKI Jakarta
menurut komponen pendapatan beserta indikator agregat lainnya.

Lebih lanjut kami berharap hasil studi tidak hanya dapat menjadi bahan masukan
bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam perencanaan dan juga evaluasi atas program
pembangunan yang dilaksanakan, tetapi juga bagi masyarakat luas terutama yang
memiliki ketertarikan untuk mempelajari mengenai PDRB dan indikator turunannya.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dalam menyusun
laporan ini disampaikan ucapan terima kasih dan semoga laporan ini dapat memberi
kontribusi besar bagi yang membutuhkan. Saran dan koreksi perbaikan senantiasa kami
harapkan demi penyempurnaan laporan.

Jakarta, Desember 2019


BPS Provinsi DKI Jakarta,
Kepala

BUYUNG AIRLANGGA

v
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GRAFIK x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
1 BAB I. PENDAHULUAN
3 1.1. Latar Belakang
6 1.2. Tujuan
6 1.3. Manfaat Kegiatan

7 BAB II. METODOLOGI


9 2.1. Konsep dan Definisi
16 2.2. Penelitian Terdahulu
18 2.3. Kerangka Pikir Kegiatan
19 2.4. Tahapan Penyusunan
26 2.5. Batasan Penelitian

27 BAB III. GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN PROVINSI DKI JAKARTA


TAHUN 2016-2018
29 3.1. Nominal PDRB DKI Jakarta Menurut Jenis Pendapatan
31 3.2. Struktur Ekonomi DKI Jakarta
33 3.3. Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta
34 3.4. PDRB per Kapita

37 BAB IV. PENDAPATAN PER KAPITA (INCOME PER CAPITA)


PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2016-2018
39 4.1. PDRB DKI Jakarta Menurut Jenis Pendapatan
41 4.2. Komponen Upah dan Gaji Menurut Lapangan Usaha
43 4.3. Komponen Surplus Usaha Neto Menurut Lapangan Usaha
46 4.4. Komponen Konsumsi Modal Tetap Menurut Lapangan Usaha
47 4.5. Aliran Pendapatan Faktor Neto Komponen Upah dan Gaji
49 4.6. Aliran Pendapatan Faktor Neto Komponen Surplus Usaha Neto
50 4.7. Aliran Pendapatan Faktor Neto
51 4.8. Pendapatan Regional dan Pendapatan per Kapita

57 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN


59 5.1. Kesimpulan
60 5.2. Rekomendasi

63 DAFTAR PUSTAKA

65 LAMPIRAN
67 LAMPIRAN TABEL
71 INFOGRAFIS

viii
Tabel 1 21
Sumber Data Penyusunan Pendapatan per Kapita (Income per Capita)
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018
Tabel 2 31
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018
Tabel 3 32
Struktur Perekonomian Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018
Tabel 4 35
PDRB dan PDRB per Kapita Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018
Tabel 5 39
PDRB Menurut Komponen Pendapatan ADHB, Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2016-2018 (Triliun Rupiah)
Tabel 6 40
Persentase PDRB Menurut Komponen Pendapatan ADHB, Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2016-2018 (Persen)
Tabel 7 41
Komponen Updah dan Gaji ADHB, Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018
(Triliun Rupiah)
Tabel 8 44
Komponen Upah dan Gaji Menurut Lapangan Usaha PDRB
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018
Tabel 9 48
Aliran Pendapatan Faktor Upah dan Gaji Neto Provinsi DKI Jakarta Tahun
2016-2018
Tabel 10 49
Aliran Pendapatan Faktor Surplus Usaha Neto Provinsi DKI Jakarta Tahun
2016-2018
Tabel 11 51
Aliran Pendapatan Faktor Neto Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018
Tabel 12 54
PDRB per Kapita, Pendapatan Regional, dan Pendapatan per Kapita
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018 (Juta Rupiah)

ix
30 Grafik 1
PDRB Provinsi-Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2018 (Triliun Rupiah)

33 Grafik 2
Laju Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Provinsi Tahun 2016-2018 (Persen)

34 Grafik 3
Laju Pertumbuhan Beberapa Lapangan Usaha PDRB DKI Jakarta
Tahun 2016-2018 (Persen)

42 Grafik 4
Struktur Upah dan Gaji Menurut Lapangan Usaha Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2016 (Persen)

45 Grafik 5
Struktur Surplus Usaha Neto Menurut Lapangan Usaha Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2016 (Persen)

47 Grafik 6
Distribusi Konsumsi Modal Tetap Menurut Beberapa Lapangan Usaha
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016 (Persen)

52 Grafik 7
PDRB, PNRB, dan Pendapatan Regional Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-
2018

55 Grafik 8
Laju Pertumbuhan PDRB, PNRB, dan Pendapatan Regional ADHK Provinsi
DKI Jakarta Tahun 2016-2018 (Persen)

x
Gambar 1 15
Pengertian Tabel Supply dan Tabel Use

Gambar 2 16
Kerangka Kerja Penyusunan Supply and Use Table

Gambar 3 19
Alur Pikir Penyusunan Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta

Gambar 4 20
Tahap Kegiatan Penyusunan Pendapatan per Kapita (Income per Capita)
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018

Gambar 5 22
Alur Penyusunan Supply and Use Table

xi
LAMPIRAN TABEL

69 Lampiran 1
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku Menurut
Lapangan Usaha, Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018 (Juta Rupiah)

70 Lampiran 2
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2010
Menurut Lapangan Usaha, Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018 (Juta Rupiah)

71 Lampiran 3
Struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku
Menurut Lapangan Usaha, Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018 (Persen)

72 Lampiran 4
Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga
Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha, Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-
2018 (Persen)

73 LAMPIRAN INFOGRAFIS

xii
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
1
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
2
1.1. LATAR BELAKANG

Provinsi DKI Jakarta tercatat memiliki kontribusi ekonomi sekitar 17-18


persen dari total ekonomi nasional. Ini berarti, Jakarta sebagai Ibukota negara
juga menjadi pusat ekonomi Indonesia dengan volume perdagangan dalam dan
luar negeri terbesar serta menjadi pusat investasi yang menggerakan
perekonomian provinsi lainnya.
Bukan pekerjaan mudah untuk dapat mewujudkan Visi Pemerintah DKI
Jakarta, yaitu “Jakarta kota maju, lestari dan berbudaya yang warganya terlibat
dalam mewujudkan keberadaban, keadilan dan kesejahteraan bagi semua.”
Demikian pula untuk menjalankan Misi “Menjadikan Jakarta kota yang
memajukan kesejahteraan umum melalui terciptanya lapangan kerja, kestabilan
dan keterjangkauan kebutuhan pokok, meningkatnya keadilan sosial, percepatan
pembangunan infrastruktur, kemudahan investasi dan berbisnis, serta perbaikan
pengelolaan tata ruang.” Untuk dapat mewujudkan visi misi tersebut DKI Jakarta
perlu memiliki alat ukur yang dapat digunakan dalam perencanaan
pembangunan agar sejalan dengan visi misi yang telah dicanangkan, sekaligus
dapat dijadikan sebagai alat untuk mengevaluasi apakah program
pembangunan yang dikerjakan sejalan dengan visi dan misi yang ditetapkan.
Sebagaimana dipahami secara umum, pembangunan sejatinya ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk. Sehingga secara sederhana dapat
dikatakan bahwa Jakarta membutuhkan berbagai pengukuran (indikator) yang
dapat menunjukkan apakah program yang dilaksanakan dapat meningkatkan
kesejahteraan penduduk Jakarta, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selama lima tahun terakhir (2014-2018) rata-rata pertumbuhan
ekonomi DKI Jakarta tercatat 6,01 persen per tahun. Capaian ini terbilang baik
mengingat kondisi perekonomian global pada periode tersebut masih diliputi
ketidakpastian karena frekuensi perdagangan dunia yang melambat akibat

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


3
perlambatan ekonomi di Amerika dan Eropa. Masih dalam periode yang sama,
nilai PDRB Per Kapita DKI Jakarta tercatat sebesar 211 juta rupiah per tahun. Ini
berarti bila PDRB DKI Jakarta dibagikan kepada seluruh penduduk Jakarta maka
setiap penduduk Jakarta akan menerima 211 juta rupiah per tahunnya. Jumlah
yang bisa dikatakan lebih dari cukup untuk hidup layak di Jakarta. Namun
apakah memang demikian kenyataannya?
System of National Account 2008 (SNA 2008) mendefinisikan
pertumbuhan ekonomi sebagai perubahan volume Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB). PDRB sendiri didefinisikan sebagai nilai semua barang dan jasa
yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di suatu
daerah (disebut produk domestik), tanpa memperhatikan apakah faktor
produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk daerah tersebut (residen).
Dengan demikian pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan produksi daerah
tersebut merupakan pendapatan daerah (pendapatan domestik bruto).
Pada kenyataannya bisa saja faktor produksi yang digunakan dalam
kegiatan produksi di Jakarta dimiliki oleh penduduk dari luar daerah/negeri
(non residen), demikian juga sebaliknya faktor produksi yang dimiliki oleh
penduduk Jakarta digunakan dalam proses produksi di luar daerah/negeri.
Kondisi ini yang kemudian menimbulkan arus pendapatan kepada para pemilik
faktor produksi. Pendapatan dimaksud bisa berupa upah/gaji, pendapatan
bunga, deviden dan pendapatan keuntungan. Sebagai konsekuensinya, nilai
produk domestik (PDRB) yang tercipta di Jakarta tidak akan sama dengan
pendapatan yang diterima penduduk Jakarta. Dengan kata lain nilai Rp 211 juta
tadi tidak sepenuhnya dinikmati oleh penduduk Jakarta.
Untuk bisa melihat seberapa besar yang benar-benar dimiliki Jakarta
nilai pendapatan domestik (PDRB) tersebut harus ditambah dengan pendapatan
dari faktor produksi yang diterima penduduk Jakarta dari luar daerah/negeri dan
dikurangi dengan pendapatan dari faktor produksi yang dibayarkan ke luar

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


4
daerah/negeri. Hasilnya disebut sebagai Pendapatan Regional. Nilainya akan
menggambarkan jumlah balas jasa faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam
proses produksi di Jakarta yang dimiliki oleh penduduk Jakarta. Bila nilai
tersebut dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun di Jakarta maka
didapatkan nilai pendapatan regional per kapita yang murni menggambarkan
pendapatan Jakarta. Tentunya nilai ini masih jauh dari nilai yang sebenernya
karena masih banyak faktor lain yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah
masalah distribusi pendapatan.
Sayangnya indikator ini tidak bisa tersedia secara rutin sebagaimana
PDRB, karena hingga saat ini penghitungan PDRB menurut pendekatan
pendapatan (balas jasa faktor produksi) belum dilakukan oleh BPS.
Ketersediaan data menjadi kendala utama. Indikator ini penting untuk
memperkaya informasi yang dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan,
terutama dalam mendorong pengembangan ekonomi berbasis kerakyatan.
Dengan data dan informasi yang tepat dapat dikembangkan kewirausahaan
yang berbasis kerakyatan sehingga dapat mengokohkan kemampuan ekonomi
Jakarta agar tidak mudah terpengaruh dengan fluktuasi ekonomi global.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Badan Pusat Statistik dan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencoba untuk menghitung arus pendapatan
faktor neto yang keluar masuk Provinsi DKI Jakarta (nett factor income) melalui
Studi Penyusunan Pendapatan per Kapita DKI Jakarta. Melalui studi ini
diharapkan didapat ukuran pendapatan regional dan pendapatan per kapita
yang dapat mencerminkan pendapatan yang dimiliki oleh penduduk Jakarta.
Dengan demikian kesejahteraan penduduk DKI akan lebih tergambar karena
Pendapatan Per Kapita (Income per Capita) telah memperhitungkan keterlibatan
penduduk DKI pada kegiatan ekonomi di luar provinsi dan begitupula
sebaliknya.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


5
1.2. TUJUAN

Mempertimbangkan apa yang telah diuraikan sebelumnya maka tujuan


dilakukannya Studi Penyusunan Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta
adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan nilai pendapatan regional dan pendapatan per kapita
Provinsi DKI Jakarta.
2. Mendapatkan nilai pendapatan faktor neto Provinsi DKI Jakarta menurut
komponen upah gaji dan komponen surplus usaha.
3. Mendapatkan indikator turunan lain yang bermanfaat dalam kegiatan
perencanaan seperti struktur PDRB Provinsi DKI Jakarta menurut
komponen pendapatan, dan distribusi upah dan gaji serta surplus usaha
Provinsi DKI Jakarta.

1.3. MANFAAT KEGIATAN

Manfaat yang dapat diperoleh dari Studi Penyusunan Pendapatan per


Kapita Provinsi DKI Jakarta, antara lain:

1. Menyediakan informasi bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun


instansi terkait lainnya yang dapat digunakan dalam evaluasi kebijakan
dan perencanaan pembangunan, terutama di bidang ekonomi, sehingga
kebijakan yang disusun dapat benar-benar memberikan dampak yang
optimal.

2. Sebagai langkah awal bagi para peneliti di bidang ekonomi khususnya di


Provinsi DKI Jakarta untuk mengembangkan studi mengenai pendapatan
per kapita.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


6
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
7
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
8
2.1. KONSEP DAN DEFINISI

2.1.1. PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah nilai


tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha pada suatu daerah pada
periode tertentu, tanpa memperhatikan apakah faktor produksi dimiliki oleh
residen atau non residen. Yang dimaksud dengan nilai tambah adalah nilai
produksi (output) dikurangi biaya antara yang digunakan dalam proses produksi.
Nilai tambah bruto di sini mencakup komponen-komponen pendapatan faktor
(upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan barang modal
dan pajak tidak langsung neto.
Penghitungan PDRB menggunakan dua macam harga, yaitu PDRB atas
dasar harga berlaku (adhb) dan PDRB atas dasar harga konstan (adhk). PDRB
adhb menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung
menggunakan harga pada tahun berjalan, sedangkan PDRB adhk menunjukkan
nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga tahun dasar
yaitu tahun 2010. PDRB adhb digunakan untuk melihat struktur ekonomi dan
pendapatan per kapita, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan digunakan
untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi.
PDRB dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu:
 Ditinjau dari sisi produksi. Pendekatan ini dilakukan dengan menghitung
Nilai Tambah Bruto (Gross Value Added) yaitu selisih antara jumlah nilai
output dengan biaya antara (intermediate cost) atas barang dan jasa yang
dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu
satu tahun. Biaya antara adalah barang-barang tidak tahan lama (umur
pemakaian kurang dari 1 tahun atau yang habis dalam satu kali pemakaian)
dan jasa-jasa pihak lain yang digunakan dalam proses produksi. Unit-unit

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


9
produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi 17 kategori

lapangan usaha sesuai dengan kategori dalam KBLI.

 Ditinjau dari sisi pendapatan. Pendekatan ini dilakukan dengan


menjumlahkan seluruh balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang
ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu
tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah kompensasi
pekerja, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Semuanya sebelum
dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam
penghitungannya, PDRB dari sisi pendapatan juga mencakup penyusutan
dan pajak tidak langsung neto (pajak dikurangi subsidi atas produksi dan
impor).
 Ditinjau dari segi pengeluaran. Pendekatan ini dilakukan dengan
menghitung seluruh komponen permintaan akhir yang dilakukan oleh
rumah tangga, lembaga swasta nirlaba, pemerintah, pembentukan modal
tetap domestik bruto, perubahan stok, dan ekspor neto suatu daerah dalam
jangka waktu tertentu.

2.1.2. RESIDEN DAN NON RESIDEN

Dalam SNA 2008, residen didefinisikan sebagai unit institusi pada suatu
wilayah ekonomi. Unit institusi mencakup penduduk atau rumah tangga,
perusahaan, pemerintah, maupun lembaga non-profit. Dikatakan sebagai
residen DKI Jakarta apabila mempunyai atau melakukan kegiatan ekonomi di
wilayah DKI Jakarta. Suatu rumah tangga, perusahaan, lembaga non profit
tersebut mempunyai atau melakukan kegiatan ekonomi di suatu wilayah jika
memiliki tanah/bangunan atau melakukan kegiatan produksi di wilayah
tersebut dalam jangka waktu tertentu (minimal satu tahun).

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


10
Hal-hal yang perlu diperhatikan tentang konsep residen dan non-
residen suatu unit institusi adalah antara lain:
a. Penduduk suatu daerah adalah individu-individu atau anggota rumah
tangga yang bertempat tinggal tetap di wilayah domestik daerah tersebut,
kecuali:

 wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnus)

daerah lain yang tinggal di wilayah domestik daerah tersebut kurang


dari 1 tahun yang bertujuan untuk bertamasya atau berlibur, berobat,
beribadah, kunjungan keluarga, pertandingan olahraga
nasional/internasonal dan konferensi-konferensi atau pertemuan
lainnya, dan kunjungan dalam rangka belajar atau melakukan
penelitian;

 awak kapal laut dan pesawat udara luar negeri/luar daerah yang

kapalnya sedang masuk dok atau singgah di daerah tersebut;

 pengusaha asing dan pengusaha daerah lain yang berada di daerah

tersebut kurang dari 1 tahun, pegawai perusahaan asing dan pegawai


perusahaan daerah lainnya yang berada di wilayah domestik daerah
tersebut kurang dari1 tahun, misalnya untuk tujuan memasang
jembatan atau peralatan yang dibeli dari mereka;

 pekerja musiman yang berada dan bekerja di wilayah domestik daerah

tersebut, yang bertujuan sebagai pegawai musiman saja;

 anggota Korps Diplomatik, konsulat, yang ditempatkan di wilayah

domestik daerah tersebut;

b. Organisasi internasional adalah bukan residen di wilayah dimana


organisasi tersebut berada namun pegawai badan internasional/nasional
tersebut adalah bukan penduduk daerah tersebut jika melakukan misi
kurang dari 1 tahun.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


11
2.1.3. AGREGAT PDRB

 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau Gross Regional Domestic


Product (GRDP) adalah jumlah nilai tambah bruto dari seluruh sektor
ekonomi yang ada di suatu wilayah. Jika GRDP ditambahkan dengan
pendapatan faktor yang diterima dari luar daerah/luar negeri dan dikurangi
dengan pendapatan faktor yang dibayarkan ke luar daerah/luar negeri akan
diperoleh Produk Nasional Regional Bruto.
 Produk Nasional Regional Bruto (PNRB) didefinisikan besaran yang
mengukur total pendapatan faktor yang diperoleh suatu daerah/wilayah.
Apabila PNRB dikurangi konsumsi barang modal tetap dan pajak atas
produksi dan impor serta subsidi dari pemerintah, maka diperoleh besaran
yang disebut pendapatan regional.
 Pendapatan Regional (Regional Income) menggambarkan jumlah
pendapatan yang benar-benar diterima oleh penduduk yang tinggal di
suatu wilayah.
 Pendapatan per Kapita (Income per Capita) diperoleh dengan membagi
pendapatan regional dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang
tinggal di wilayah tersebut. Agregat PDRB ini dapat dirangkum ke dalam
tiga persamaan berikut:

PDRB + Pendapatan Faktor Neto = PNRB......................………………………..(1)

PNRB – Konsumsi Modal Tetap – Pajak/Subsidi Atas Produksi dan


Impor = Pendapatan Regional.............................…………………………………..(2)

Pendapatan Regional : Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun =


Pendapatan per Kapita.............................……………………………………………..(3)

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


12
2.1.4. PENDAPATAN FAKTOR NETO (NETT FACTOR INCOME)

Dari penjelasan subbab di atas, dapat diketahui bahwa PDRB


merupakan jumlah balas jasa faktor produksi, konsumsi modal tetap, dan pajak
atas produksi dan impor. Jumlah balas jasa faktor produksi ini disebut dengan
pendapatan faktor yang terdiri dari upah/gaji sebagai balas jasa untuk tenaga
kerja dan surplus usaha (berupa keuntungan, deviden, bunga dan sewa) sebagai
balas jasa untuk modal (kapital), tanah dan kewiraswastaan
Faktor produksi yang berupa tenaga kerja dan modal untuk
menghasilkan barang dan jasa di suatu daerah dapat berasal dari dalam daerah
itu sendiri dan dapat pula berasal dari daerah lain/luar negeri. Demikian juga
sebaliknya, terdapat faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk daerah
tersebut namun digunakan dalam proses produksi di daerah lain/luar negeri.
Hal ini yang kemudian menyebabkan produk domestik yang tercipta di suatu
daerah tidak sama dengan pendapatan yang diterima oleh penduduk daerah
tersebut.
Balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk yang
bukan berasal dari daerah tersebut, akan dibawa kembali oleh pemilik faktor
produksi keluar daerah itu. Balas jasa terhadap faktor-faktor produksi yang
keluar disebut dengan pendapatan faktor yang dibayarkan ke daerah lain/luar
negeri (Factor Income Payment). Begitu juga sebaliknya, balas jasa terhadap
faktor-faktor produksi (upah gaji dan surplus usaha) yang dimiliki penduduk
daerah itu yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa di daerah
lain/negara lain akan dikembalikan ke daerah tersebut. Balas jasa terhadap
faktor produksi yang masuk ini disebut pendapatan faktor yang diterima dari
daerah lain/luar negeri (Factor Income Received). Pendapatan faktor yang masuk
dikurangi dengan pendapatan faktor yang keluar, akan diperoleh pendapatan
faktor neto (Net Factor Income) dan untuk selanjutnya disingkat dengan NFI.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


13
Dari konsep diatas, maka persamaan (1) sebelumnya dapat dituliskan
menjadi:

PDRB + NFI = PNRB


atau
PNRB – NFI = PDRB

Dengan cara lain, persamaan di atas dapat dinyatakan sebagai berikut:

Jika NFI < 0, maka PDRB > PNRB…..........…………………………(4)

Jika NFI > 0, maka PDRB < PNRB…....………….........………….(5)

Persamaan (4) menunjukkan bahwa apabila suatu daerah memiliki nilai


NFI negatif, berarti pendapatan faktor yang keluar lebih besar daripada
pendapatan faktor yang masuk ke daerah tersebut. Biasanya hal ini terjadi di
negara/wilayah yang sedang berkembang seperti Indonesia. Sedangkan
persamaan (5) menunjukkan bahwa pendapatan faktor yang masuk lebih besar
daripada pendapatan faktor yang keluar dari daerah tersebut.

2.1.5. SUPPLY AND USE TABLE (SUT)

SUT merupakan kerangka kerja yang menggambarkan keseimbangan


aliran produksi dan konsumsi (barang dan jasa) dan penciptaan pendapatan dari
aktivitas produksi tersebut yang terdiri dari 2 (dua) komponen utama yaitu
tabel supply dan tabel use (SNA 2008: 1 24). Secara umum informasi yang dapat
diberikan oleh kedua tabel tersebut adalah sebagai berikut:

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


14
Gambar 1.
Pengertian Tabel Supply dan Tabel Use

Tabel Supply Tabel Use


(Penyedian) (Penggunaan)

Memberikan gambaran rinci Menggambarkan penggunaan


atas penyediaan barang dan barang dan jasa untuk
jasa yang diproduksi di konsumsi antara dan konsumsi
domestik dan yang akhir.
didatangkan dari luar wilayah Menggambarkan bagaimana
(impor) komponen nilai tambah yang
diciptakan oleh industri dalam
ekonomi domestik

Sumber: System of National Account (SNA) 2008

System of National Account (SNA) 2008 merekomendasikan untuk


menggunakan SUT untuk mengkonsistenkan dan mengkoherenkan angka
PDRB. Konsistensi dan koherensi yang dimaksud dapat dicapai karena
kemampuan SUT untuk menampilkan keseimbangan ekonomi. Dari sisi
produksi keseimbangan dicapai saat total biaya produksi yang dikeluarkan
sama dengan total nilai output yang dihasilkan. Kemudian dari sisi konsumsi
ditunjukkan saat total penyediaan barang dan jasa di suatu daerah sama
dengan total penggunaannya. Sementara dari sisi penciptaan pendapatan
dicapai saat nilai tambah bruto yang diciptakan oleh sektor ekonomi
terdistribusi habis kepada semua faktor produksi yang terlibat/digunakan di
dalam proses produksi (tentunya setelah memperhitungkan pajak dan subsidi).
Dengan kata lain, salah satu manfaat terbesar dari SUT adalah mampu
menghasilkan penyusunan PDRB menurut tiga pendekatan yang konsisten.
Secara ringkas, kerangka kerja dari penyusunan SUT adalah sebagaimana
berikut:

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


15
Gambar 2.
Kerangka Kerja Penyusunan Supply and Use Table

Sumber: UNSD,"Guidelines on Integration on Economic Statistics", Series F 108

2.2. PENELITIAN TERDAHULU

Studi mengenai penghitungan pendapatan regional (provinsi)


sebelumnya dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur
bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi
Kalimantan Timur pada tahun 1996. Studi dilakukan dengan lokus Provinsi
Kalimantan Timur dan periode penghitungan tahun 2015. Hasil studi

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


16
menunjukkan pada periode tersebut terjadi kebocoran pendapatan (berupa
upah/gaji dan surplus usaha) di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 42,35
persen dari total PDRB Kalimantan Timur, atau sebesar 21,794 triliun rupiah.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh BPS Kota Bontang Provinsi
Kalimantan Timur pada tahun 2001. Sebagaimana hasil penghitungan yang
dilakukan oleh BPS Provinsi Kalimantan Timur, Kota Bontang pun mengalami
kebocoran pendapatan. Berdasarkan hasil penghitungan diketahui bahwa
pendapatan faktor berupa upah gaji tenaga kerja dan surplus usaha yang keluar
dari Kota Bontang sebesar 52,14 persen. Sebaliknya, pendapatan faktor dari
upah gaji maupun surplus usaha yang masuk ke Kota Bontang hanya 0,10
persen. Hal tersebut yang kemudian mengakibatkan pendapatan regional lebih
kecil dari nilai PDRB.
Studi lainnya adalah yang dilakukan oleh Kabupaten Kutai Kartanegara
pada tahun 2012 berupa Kajian Pendapatan Faktor Neto Kabupaten Kutai
Kartanegara Tahun 2011. Hasil studi yang didapat adalah pendapatan faktor
yang keluar dari Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2011 sebesar 81,31 triliun
rupiah atau 65,85 persen dari PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara. Dengan kata
lain, telah terjadi kebocoran regional (regional leakages) sebesar 81,31 triliun
rupiah atau 65,85 persen dari PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara. Sedangkan
pendapatan faktor yang masuk ke Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2011
hanya sebesar 7,61 triliun rupiah. Sehingga pendapatan faktor neto Kabupaten
Kutai Kartanegara tahun 2011 adalah minus 73,70 triliun rupiah atau 59,68
persen dari total nilai tambah Kabupaten Kutai Kartanegara.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


17
2.3. KERANGKA PIKIR KEGIATAN

Berangkat dari hasil studi yang telah dilakukan oleh ketiga wilayah
tersebut, maka dilakukan studi yang sama untuk memperkirakan nilai
pendapatan per kapita DKI Jakarta. Secara umum alur pikir penyusunan tidak
jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh ketiga wilayah tersebut dan tentunya
juga tetap berpegang kepada kaidah penghitungan pada SNA 2008.
Upah/gaji dan surplus usaha yang merupakan balas jasa terhadap faktor
produksi tenaga kerja dan kepemilikan modal adalah komponen-komponen
yang membentuk PDRB menurut komponen pendapatan Provinsi DKI Jakarta, di
samping konsumsi barang modal tetap dan pajak/subsidi atas produksi dan
impor. Namun demikian, yang perlu diingat adalah tenaga kerja dan modal
yang ikut serta dalam kegiatan ekonomi Provinsi DKI Jakarta tidak hanya
berasal dari Jakarta saja tetapi juga berasal atau dimiliki oleh penduduk di luar
Provinsi DKI Jakarta termasuk luar negeri. Oleh sebab itu, akan ada nilai balas
jasa faktor produksi tenaga kerja dan kepemilikan modal yang akan mengalir ke
luar Provinsi DKI Jakarta (transfer out). Sebaliknya, terdapat pula faktor produksi
berupa tenaga kerja dan modal yang berasal atau dimiliki oleh penduduk
Provinsi DKI Jakarta yang terlibat dalam kegiatan ekonomi di luar wilayah
Provinsi DKI Jakarta bahkan di luar negeri. Sehingga, akan terjadi pula aliran
balas jasa terhadap faktor produksi dari daerah lain/luar negeri masuk ke
Provinsi DKI Jakarta (transfer in).
Selanjutnya, yang dilakukan adalah mencari nilai agregat PDRB lainnya,
mulai dari Pendapatan Nasional Regional Bruto (PDRB – pendapatan faktor
neto), pendapatan regional neto hingga pendapatan per kapita.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


18
Gambar 3.
Alur Pikir Penyusunan Pendapatan per Kapita
Provinsi DKI Jakarta

Tenaga Kerja dari Luar DKI Tenaga Kerja DKI Jakarta


Jakarta yang Bekerja di DKI Yang Bekerja di Luar DKI
Jakarta Jakarta
Transfer Out Transfer In

Pemilik Modal Dari Luar Pemilik Modal DKI Jakarta


DKI Jakarta Yang yang Berinvestasi di Luar
Berinvestasi di DKI Jakarta DKI Jakarta

Pendapatan Faktor Neto yang Keluar


dan Masuk DKI Jakarta
PDRB = Upah dan
(Net Factor Income)
Gaji + Surplus
Usaha + Konsumsi
Modal Tetap + Konsumsi Modal Tetap
(Pajak-Subsidi)
atas Produksi dan (Pajak-Subsidi) atas Produksi dan
Impor Impor

Pendapatan Regional
Provinsi DKI Jakarta

Jumlah Penduduk
Pertengahan Tahun

Pendapatan per Kapita


Provinsi DKI Jakarta

2.4. TAHAPAN PENYUSUNAN

Sebagaimana kegiatan penulisan ilmiah pada umumnya, pelaksanaan


Studi Penyusunan Pendapatan per Kapita (Income per Capita) juga melalui
sejumlah tahapan penting. Dimulai dari pengumpulan data dasar, pengolahan

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


19
data, analisis hasil, hingga pembuatan laporan. Secara umum tahapan
penyusunan Pendapatan per Kapita (Income per Capita) adalah sebagaimana
gambar berikut.
Gambar 4.
Tahap Kegiatan Penyusunan Pendapatan Per Kapita (Income Per Capita)
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018

1 Pengumpulan Data Dasar




Sensus Ekonomi 2016 (BPS)
Survei Komuter (BPS)
 Tenaga Kerja (Kemenakertrans)
 Pajak dan Subsidi (Kemenkeu dan Pemprov DKI Jakarta)
 Neraca Pembayaran Indonesia dan Data Uang & Bank (BI)
 Laporan Keuangan Perusahaan (BEI)

2 Pengolahan Data

Supply Use Table (SUT)


2016 DKI Jakarta
Pengolahan PDRB Menurut
Pendapatan Tahun 2016

PDRB 2016 -2018

Pengolahan PDRB menurut


komponen pendapatan 2016-2018
level PDRB PDRB 2016-2018 menurut
komponen pendapatan

Pengolahan Net Factor Income


(NFI)
Penduduk DKI Jakarta
2016-2018

3 Pendapatan Regional dan


Pendapatan per Kapita

Income

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


20
Penjelasan tahapan tersebut secara lengkap akan diuraikan pada sub
bab berikut.

2.4.1 SUMBER DATA


Penyusunan Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta tahun 2016-
2018 menggunakan tidak hanya data yang tersedia di Badan Pusat Statistik
tetapi juga berbagai data sekunder yang berasal dari instansi lain, seperti
Kementrian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Kemenakertrans), Bank Indonesia, Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, dan Bursa Efek Indonesia. Jenis data yang digunakan dari setiap sumber
data tersebut adalah sebagaimana berikut.
Tabel 1.
Sumber Data Penyusunan Pendapatan per Kapita (Income per Capita)
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018

No Sumber Data Jenis Data


1 Badan Pusat Statistik Sensus Ekonomi 2016
Survei Komuter 2014
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2015-2018
Indeks Harga Konsumen (IHK)
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)
Survei Biaya Hidup (SBH)
Ekspor dan Impor LN
2 Kementerian Tenaga Profil Tenaga Kerja Indonesia dan Tenaga Kerja Asing di
Kerja dan Transmigrasi Indonesia
3 Kementerian Keuangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)
4 Bank Indonesia Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)
Data Uang dan Bank (Statistik Ekonomi dan Keuangan
Indonesia)
Data output dan nilai tambah Bank Sentral dan Jasa
Perantara Keuangan
5 Otoritas Jasa Keuangan Statistik Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan
6 Pemerintah Provinsi DKI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Jakarta Upah Minimum Provinsi (UMP)/Upah Minimum Regional
(UMR)
7 Bursa Efek Indonesia Laporan Keuangan Perusahaan yang terdaftar
8 Perusahaan Non Listed Laporan Keuangan Perusahaan Finansial dan Non Finansial

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


21
2.4.2 PENGOLAHAN DATA

PENYUSUNAN SUPPLY AND USE TABLE TAHUN 2016


Pengolahan data dalam penyusunan Pendapatan per Kapita Provinsi
DKI Jakarta tahun 2016-2018 diawali dengan penyusunan Supply and Use Table
(SUT) Tahun 2016. Sebagaimana disampaikan sebelumnya melalui SUT bisa
didapatkan nilai PDRB menurut tiga pendekatan yang sudah konsisten dan
koheren. Sehingga dalam kaitannya dengan penyusunan Pendapatan per Kapita
DKI Jakarta, SUT digunakan sebagai alat untuk memperoleh nilai komponen
upah/gaji dan surplus usaha (sebagai bagian dari komponen PDRB menurut
kompone pendapatan) yang akan digunakan dalam penghitungan pendapatan
faktor neto.
Gambar 5.
Alur Penyusunan Supply and Use Table

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


22
SUT DKI Jakarta Tahun 2016 dibangun dalam dimensi 52 industri dan
65 produk. Pemilihan klasifikasi tersebut mengikuti standar penyusunan SUT
yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sehingga hasilnya akan bisa
dibandingkan dengan SUT Indonesia. Data SUT DKI Jakarta dibangun dari data
Sensus Ekonomi tahun 2016 dan kemudian dilengkapi dengan data-data dari
sumber lain dan juga laporan keuangan perusahaan finansial dan non finansial.
Alur penyusunan SUT beserta data dan referensi acuan yang digunakan adalah
sebagaimana pada gambar 5.
Pada tahap awal tabel SUT yang dihasilkan belum dalam keadaan
seimbang dimana total biaya produksi yang dikeluarkan belum sama dengan
total nilai output yang dihasilkan. Kemudian dari sisi konsumsi, total
penyediaan barang dan jasa belum sama dengan total penggunaannya.
Sehingga pada tahapan selanjutnya dilakukan rekonsiliasi untuk mencapai
kondisi seimbang (balance) untuk ketiga jenis PDRB tersebut. Setelah mencapai
kondisi seimbang, maka SUT siap digunakan, demikian pula dengan nilai PDRB
atas dasar harga berlaku menurut komponen pendapatan Tahun 2016. Namun
yang perlu diingat bahwa penyusunan SUT pasti akan mengoreksi nilai PDRB
yang sudah dirilis, hal ini disebabkan penyusunan PDRB tanpa SUT dihitung
secara independen antara satu pendekatan dengan pendekatan lain, sehingga
masih mengandung diskrepansi statistik.

PENYUSUNAN PDRB MENURUT KOMPONEN PENDAPATAN TAHUN 2016-2018


LEVEL RILIS

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, nilai PDRB yang dihasilkan


melalui SUT berbeda dengan nilai PDRB yang sudah dirilis sehingga sebelum
dilakukan penghitungan Pendapatan Regional, maka yang dilakukan terlebih
dahulu adalah mengembalikan level PDRB menurut komponen pendapatan
yang diperoleh dari SUT ke level PDRB yang sudah dirilis. Hal tersebut

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


23
dilakukan agar hasil yang didapatkan bisa dibandingkan dengan nilai PDRB
yang sudah dirilis.
Setelah diperoleh PDRB menurut komponen pendapatan yang telah
sesuai dengan level rilis maka penghitungan PDRB menurut komponen
pendapatan juga dilakukan untuk tahun 2017 dan 2018, baik harga berlaku
maupun konstan. Estimasi dilakukan dengan metode deflasi dengan
menggunakan indeks harga. Metode deflasi dilakukan dengan cara membagi
nilai pada tahun berjalan dengan indeks. Indeks yang digunakan antara lain
Indeks Harga Konsumen (IHK) dan indeks implisit PDRB.

PENGHITUNGAN PENDAPATAN FAKTOR NETO (NETT FACTOR INCOME)


Setelah diperoleh nilai PDRB DKI Jakarta menurut komponen
pendapatan didapatkan maka proses berikutnya adalah mengitung pendapatan
faktor neto (nett factor income). Pada proses ini dihitung besarnya nilai
pendapatan faktor yang masuk ke dalam Jakarta (transfer-in) dan nilai
pendapatan faktor yang keluar DKI Jakarta (transfer-out). Penghitungan dilakukan
untuk komponen upah gaji dan surplus usaha.
Penghitungan transfer-in dan transfer-out untuk komponen upah dan
gaji dilakukan dengan menggunakan data hasil survei komuter untuk
memperkirakan nilai upah gaji yang keluar masuk DKI Jakarta dari provinsi lain.
Sementara untuk memperkirakan nilai upah gaji yang keluar masuk dari luar
negeri digunakan data upah dan gaji dan remitansi yang tersedia di Neraca
Pembayaran Indonesia.
Penghitungan transfer-in dan transfer-out untuk komponen surplus
usaha antar provinsi dilakukan dengan menggunakan data hasil Sensus
Ekonomi 2016, Laporan Keuangan Perusahaan (baik yang terdaftar maupun
yang tidak terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Sementara untuk memperkirakan
nilai surplus usaha yang keluar masuk dari luar negeri digunakan data

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


24
pendapatan primer berupa pendapatan investasi dari Neraca Pembayaran
Indonesia.

PENGHITUNGAN PENDAPATAN REGIONAL (REGIONAL INCOME) DAN


PENDAPATAN PER KAPITA (INCOME PER CAPITA)

Setelah dilakukan penyesuaian dengan level PDRB dan didapatkan nilai


pendapatan faktor maka berikutnya dilakukan penghitungan pendapatan
regional dengan cara mengurangkan nilai PDRB dengan nilai konsumsi modal
tetap, nilai pajak dan subsidi atas produksi dan impor, dan tentunya dengan
nilai pendapatan faktor neto (nett factor income) yang telah dihitung
sebelumnya (sesuai dengan SNA 2008). Setelah didapatkan nilai pendapatan
regional, selanjutnya dapat dihitung pendapatan per kapita dengan cara
membagi nilai Pendapatan Regional dengan jumlah penduduk pertengahan
tahun DKI Jakarta.

2.4.3 METODE ANALISIS

Sebagaimana telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, bahwa studi ini


dilakukan untuk menghitung pendapatan per kapita Provinsi DKI Jakarta. Dalam
prosesnya diperoleh juga indikator-indikator makro lain seperti pendapatan
faktor neto (nett factor income), pendapatan regional, dan pendapatan per
kapita Provinsi DKI Jakarta tahun 2016-2018. Sehingga untuk dapat
menyampaikan secara gamblang informasi-informasi yang dihasilkan maka
studi ini menggunakan Analisis Deskriptif. Teknis analisis tersebut digunakan
untuk mengamati perkembangan, struktur dan distribusi komponen PDRB dari
sisi pendapatan, kemudian menganalisis perkembangan balas jasa faktor
produksi dan kepemilikan modal, serta indikator lainnya.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


25
2.5. BATASAN PENELITIAN

Studi penyusunan Pendapatan per Kapita DKI Jakarta Tahun 2016-2018


masih mempunyai sejumlah keterbatasan. Keterbatasan data menjadi kendala
utama dalam studi ini. Sejumlah data penting yang dibutuhkan dalam
penghitungan tidak tersedia untuk lokus Provinsi DKI Jakarta dan hanya
tersedia pada level nasional. Untuk itu pada prosesnya dilakukan estimasi nilai
untuk level DKI Jakarta menggunakan indikator-indikator yang tersedia.
Keterbatasan lainnya adalah mengenai konsep residen dan non residen yang
digunakan pada penghitungan pendapatan faktor neto komponen surplus
usaha. Dalam penghitungan pendapatan faktor neto untuk surplus usaha belum
mampu mencerminkan surplus usaha yang benar-benar dinikmati oleh
penduduk Jakarta. Hal tersebut disebabkan data kepemilikan modal hanya
tersedia sampai level perusahaan/usaha sehingga penghitungan pendapatan
faktor neto untuk surplus usaha masih terbatas hanya sampai domisili
perusahaan (establishment) dan belum bisa diturunkan sampai pada level
kepemilikan perorangan.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


26
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
27
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
28
3.1. NOMINAL PDRB DKI JAKARTA MENURUT
JENIS PENDAPATAN
Pada tahun 2018, nilai PDRB Indonesia mencapai 14.837,35 triliun
rupiah dan tersebar di seluruh Indonesia. Pulau Jawa berkontribusi sebesar
58,48 persen, diikuti pulau sumatra sebesar 21,58 persen; Pulau Kalimantan
sebesar 8,20 persen dan Pulau Sulawesi 6,22 persen dan sisanya 5,52 persen di
pulau-pulau lainnya. Sehingga secara spasial jelas terlihat ekonomi masih
terkonsentrasi Pulau Jawa, utamanya disebabkan oleh ketersediaan
infrastruktur dan SDM yang lebih memadai di Pulau Jawa.

Nilai PDRB Pulau Jawa secara kumulatif mencapai 8.795 triiun rupiah.
Dari NTB yang tercipta di Pulau Jawa, DKI Jakarta memiliki kontribusi paling
besar. PDRB yang tercipta di Jakarta yaitu sebesar 2.599,17 triliun rupiah (29,66
persen), diikuti Jawa Timur sebesar 2.189,78 triliun (24,98 persen) dan Jawa
Barat 1.962,23 triliun (22,39 persen). Sementara itu Daerah Istimewa
Yogyakarta mempunyai angka PDRB paling kecil di Pulau Jawa yaitu sebesar
129,88 triliun rupiah (1,48 persen). Struktur ekonomi Jakarta didominasi oleh
Lapangan usaha perdagangan, sementara lima provinsi lain didominasi oleh
Lapangan Usaha Industri Pengolahan. Sehingga Jakarta akan memiliki tipikal
kegiatan ekonomi yang berbeda dengan provinsi lainnya di Jawa.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


29
Grafik 1.
PDRB Provinsi-Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2018 (Triliun Rupiah)

DKI JAKARTA 2.599,17

JAWA TIMUR 2.189,78

JAWA BARAT 1.962,23

JAWA TENGAH 1.268,70

BANTEN 614,91

DI YOGYAKARTA 129,88

Jakarta sebagai pusat perekonomian dan pusat pemerintahan Indonesia


mempunyai luas wilayah sebesar 661,5 km2 dan jumlah penduduk sebesar 10,5
juta jiwa pada tahun 2018. Pertumbuhan penduduk Jakarta rata-rata sebesar
0,94 persen pada tahun 2016-2018. Meskipun luas wilayahnya kecil,
perekonomian Jakarta mempunyai kontribusi terbesar terhadap perekonomian
nasional yaitu sebesar 17,34 persen pada tahun 2018 sehingga menjadi daya
tarik yang besar bagi investor baik investor dalam negeri maupun luar negeri.
Perekonomian Jakarta sangat terpengaruh dengan perekonomian
daerah penyangganya seperti Jawa Barat dan Banten. Banyak sekali penduduk
daerah penyangga yang bekerja di Jakarta. Fenomena ini tampak dari jumlah
penduduk Jakarta di siang hari yang lebih banyak dibandingkan penduduk
malam hari di Jakarta. Berdasarkan hasil Survei Komuter Jabodetabek 2014,
tercatat sebanyak 1,38 juta komuter dari Bodetabek atau sekitar 13,7 persen

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


30
dari total penduduk Jakarta yang setiap harinya berkegiatan di Provinsi DKI
Jakarta (BPS, 2014).

Tabel 2. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi DKI Jakarta


Tahun 2016-2018 (Triliun Rupiah)

Lapangan Usaha 2016 2017 2018 Rata-rata


1. Produk Domestik Regional
Bruto Atas Dasar Harga 2 159,07 2 365,36 2 599,17 2 374,54
Berlaku
2. Produk Domestik Regional
Bruto Atas Dasar Harga 1 539,92 1 635,37 1 736,20 1 637,16
Konstan

Secara nominal nilai tambah yang tercipta di Jakarta pada tahun 2016
sampai 2018 semakin meningkat baik atas dasar harga berlaku maupun harga
konstan. Rata-rata NTB yang tercipta setiap tahun pada periode 2016-2018
sebesar 2.374,54 triliun rupiah. Pada tahun 2018, nilai tambah yang tercipta
jika dinilai berdasarkan tahun dasar 2010 sebesar 1736,20 triliun rupiah, atau
tumbuh 6,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu pada
periode yang sama jumlah penduduk DKI Jakarta tumbuh sebesar 0,90 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang mempunyai nilai lebih tinggi dari nilai
pertumbuhan penduduknya semestinya dapat mengindikasikan kesejahteraan
penduduk DKI Jakarta.

3.2. STRUKTUR EKONOMI DKI JAKARTA


Selama tiga tahun terakhir struktur ekonomi DKI Jakarta tidak
mengalami pergeseran yang signifikan, kontribusi terbesar berasal dari
Lapangan Usaha Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda
Motor; diikuti oleh Industri Pengolahan dan Konstruksi. Pada tahun 2018

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


31
kontribusinya masing-masing sebesar 16,93 persen; 13,15 persen dan 12,11
persen.
Dari 17 lapangan usaha, Informasi Komunikasi (Infokom) dan Jasa
Perusahaan mengalami peningkatan kontribusi yang signifkan selama tahun
2016-2018. Kontribusi Infokom pada tahun 2018 sebesar 7,87 persen,
meningkat 0,61 persen dibandingkan tahun 2016. Kontribusi Lapangan Usaha
Jasa Perusahaan pada tahun 2018 juga mengalami peningkatan sebesar 0,83
persen dibandingkan tahun 2016.

Tabel 3. Struktur Perekonomian Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018


(Persen)

Lapangan Usaha 2016 2017 2018


1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,09 0,09 0,08
2. Pertambangan dan Penggalian 0,24 0,24 0,25
3. Industri Pengolahan 13,47 13,42 13,15
4. Pengadaan Listrik dan Gas 0,29 0,31 0,35
5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah, 0,04 0,04 0,04
dan Daur Ulang
6. Kontruksi 12,52 12,32 12,11
7. Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil 16,60 16,68 16,93
dan Sepeda Motor
8. Transportasi dan Pergudangan 3,55 3,62 3,62
9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 5,04 4,93 4,78
10. Informasi dan Komunikasi 7,27 7,64 7,87
11. Jasa Keuangan dan Asuransi 10,58 10,64 10,26
12. Real Estate 6,20 6,16 6,06
13. Jasa Perusahaan 7,42 7,93 8,26
14. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan 5,70 5,17 5,51
Jaminan Sosial
15. Jasa Pendidikan 5,59 5,24 5,12
16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,70 1,69 1,70
17. Jasa Lainnya 3,70 3,87 3,91
Jumlah 100,00 100,00 100,00

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


32
3.3. PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA
Seluruh provinsi di Pulau Jawa mempunyai angka pertumbuhan yang
lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan
ekonomi Jakarta lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekonomi daerah
lainnya di Pulau Jawa. Pertumbuhan ekonomi Jakarta dengan daerah
penyangganya seperti Jawa Barat dan Banten mempunyai keterkaitan secara
spasial.
Grafik 2.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Provinsi Tahun 2016-2018 (Persen)

6,20
6,17

5,87
5,81

5,64

5,32
5,17

2016 2017 2018


Jawa Barat Jawa Tengah Banten
Jakarta Indonesia

Rata-rata pertumbuhan ekonomi Jakarta pada tahun 2016-2018 sebesar


6,08 persen setiap tahun. Pada tahun 2018 pertumbuhan ekonomi Jakarta
sebesar 6,17 persen, melambat dibandingkan tahun 2017. Perlambatan pada
tahun 2018 dipicu oleh melambatnya Lapangan Usaha Konstruksi dan Industri
Pengolahan. Demikian pula dengan Lapangan Usaha Informasi Komunikasi dan
Jasa Perusahaan yang juga melambat menjadi sebesar 9,65 persen dan 8,77
persen.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


33
Grafik 3.
Laju Pertumbuhan Beberapa Lapangan Usaha
PDRB DKI Jakarta Tahun 2016-2018 (Persen)

9,65
8,77
6,27
6,20 6,17
5,87
5,68
3,37

2016 2017 2018


Perdagangan Industri Pengolahan Konstruksi

Infokom Jasa Perusahaan PDRB

3.4. PDRB PER KAPITA


PDRB per kapita sering digunakan sebagai indikator paling kasar untuk
menunjukkan kesejahteraan penduduk. PDRB per kapita merupakan gambaran
rata-rata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun di
suatu wilayah. PDRB per kapita merupakan hasil bagi antara nilai PDRB dengan
jumlah penduduk pertengahan tahun. Jada besarnya PDRB per kapita sangat
dipengaruhi oleh dua faktor tersebut. Ada dua macam penilaian PDRB per
kapita yaitu atas dasar harga berlaku (adhb) dan atas dasar harga konstan
(adhk). PDRB per kapita adhb menunjukkan nilai PDRB setiap satu orang
penduduk pada tahun berjalan. Sedangkan PDRB per kapita adhk
menggambarkan pertumbuhan ekonomi per kapita setiap penduduk secara riil.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


34
Pada tahun 2018, PDRB perkapita adhk sebesar 157,68 juta rupiah,
tumbuh 5,22 persen dibandingkan dengan tahun 2017. Peningkatan PDRB per
kapita lima kali lebih cepat dibandingkan pertumbuhan penduduk Jakarta.

Tabel 4. PDRB dan PDRB per Kapita Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018

Uraian 2016 2017* 2018**


1. Nilai PDRB (Triliun Rupiah)
a. ADHB 2 159,07 2 365,36 2 599,17
b. ADHK 2010 1 539,92 1 635,37 1 736,20
2. PDRB Per Kapita (Juta Rupiah)
a. ADHB 195,43 211,78 232,34
b. ADHK 2010 142,91 149,85 157,68
3. Pertumbuhan PDRB Per Kapita (Persen
4,84 5,21 5,22
ADHK)
4. Jumlah Penduduk (Ribu Orang) 10 277,62 10 374,20 10 467,60
5. Pertumbuhan Penduduk 0,98 0,94 0,90

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


35
Halaman ini sengaja dikosongkan

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


36
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
37
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
38
4.1. PDRB DKI JAKARTA MENURUT JENIS
PENDAPATAN
Penghitungan PDRB DKI Jakarta menurut pendapatan menggambarkan
besarnya balas jasa atas faktor produksi yang diterima baik itu tenaga kerja,
kepemilikan modal, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Selain itu juga
masih mencakup konsumsi modal tetap serta pajak atas produksi dan impor.
Berdasarkan hasil penghitungan SUT tahun 2016, diperoleh bahwa struktur
PDRB Jakarta tahun 2016 menurut komponen pendapatan paling besar berupa
surplus usaha. Setelah itu diikuti oleh komponen upah/gaji. Komponen
konsumsi modal tetap bruto dan pajak/subsidi atas produk dan impor
mempunyai konstribusi paling kecil.

Tabel 5. PDRB Menurut Komponen Pendapatan ADHB,


Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018 (Triliun Rupiah)

Uraian 2016 2017 2018 Rata-rata


Upah/gaji 819,20 928,24 1 051,29 932,91
Surplus usaha 1 035,50 1 103,95 1 183,53 1 107,66
Konsumsi modal tetap 232,46 256,87 282,91 257,42
Pajak dan subsidi atas produksi
71,91 76,3 81,44 76,55
dan impor
PDRB 2 159,07 2 365,36 2 599,17 2 374,54

Rata-rata NTB yang tercipta pada tahun 2016-2018 sebesar 2.374,54


triliun rupiah, dimana sebagian besar berupa surplus usaha sebesar 1.107,66
Triliun rupiah (46,65 persen), diikuti komponen kompensasi tenaga kerja
sebesar 932,91 triliun rupiah (39,29 persen), konsumsi modal tetap sebesar
257,42 triliun rupiah (10,84 persen) dan pajak/subsidi sebesar 76,55 triliun atau
3,22 persen. Dominasi surplus usaha dalam pembentukan NTB Jakarta menurut

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


39
pendapatan sangatlah wajar mengingat banyaknya jumlah perusahaan
multinasional yang beroperasi di Jakarta.

Tabel 6. Persentase PDRB Menurut Komponen Pendapatan ADHB,


Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018 (Persen)

Uraian 2016 2017 2018 Rata-rata


Upah/gaji 37,94 39,24 40,45 39,29
Surplus usaha 47,96 46,67 45,53 46,65
Konsumsi modal tetap 10,77 10,86 10,88 10,84
Pajak dan subsidi atas produksi
3,33 3,23 3,13 3,22
dan impor
PDRB 100,00 100,00 100,00 100,00

Tabel 6 menunjukkan bahwa pada tahun 2016-2018 terjadi pergeseran


struktur PDRB menurut pendapatan. Kontribusi terbesar PDRB menurut
pendapatan adalah berupa surplus usaha. Rata-rata kontribusinya selama tiga
tahun terakhir adalah 46,65 persen. Pada tahun 2016 kontribusi surplus usaha
sebesar 47,96, cenderung mengalami penurunan sampai dengan tahun 2018
menjadi sebesar 45,53 persen.

Di sisi lain komponen upah gaji kontribusinya pada tiga tahun terakhir
mengalami peningkatan. Dari sebesar 37,94 persen pada tahun 2016 menjadi
sebesar 40,45 persen pada tahun 2018. Sementara itu kontribusi konsumsi
modal tetap serta pajak dan subsidi atas produksi dan impor cenderung
konstan. Perubahan struktur PDRB DKI Jakarta merupakan dampak kenaikan
UMP Jakarta yang selama tiga tahun terakhir terus meningkat. Rata-rata
kenaikan UMP tiga tahun terahir adalah sebesar 10,59 persen setiap tahun
membuat pelaku ekonomi Jakarta harus mengalihkan sebagian dari surplus
usaha yang diperoleh untuk membiayai upah gaji pekerjanya.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


40
4.2. KOMPONEN UPAH DAN GAJI MENURUT
LAPANGAN USAHA
Pada subbab ini dijelaskan besarnya komponen pendapatan dalam
bentuk upah dan gaji yang tercipta di Provinsi DKI Jakarta. Upah dan gaji
tersebut merupakan balas jasa yang diterima pekerja dikarenakan kontribusinya
dalam proses produksi. Pada tahun 2016, nilai tambah yang tercipta dari upah
dan gaji sebesar 819,20 triliun rupiah atau 37,94 persen terhadap total PDRB
Provinsi DKI Jakarta tahun 2016. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Komponen Upah dan Gaji ADHB, Provinsi DKI Jakarta


Tahun 2016-2018 (Triliun Rupiah)

Uraian 2016 2017 2018


1. Nominal ADHB (triliun rupiah) 819,20 928,24 1 051,29

2. Nominal ADHK (triliun rupiah) 595,37 650,99 714,55


3. Laju Pertumbuhan (%) 9,34 9,76

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


41
Grafik 4.
Struktur Upah dan Gaji Menurut Lapangan Usaha,
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016 (Persen)

Administrasi Pemerintahan 18,58


Perdagangan Besar & Eceran 12,31
Industri Pengolahan 10,60
Konstruksi 10,01
Jasa Keuangan & Asuransi 8,66
Jasa Pendidikan 8,39
Jasa Perusahaan 6,01
Informasi & Komunikasi 5,24
Jasa Lainnya 5,23
Penyediaan Akomodasi & Makan… 4,19
Transportasi Pergudangan 3,61
Real Estate 3,28
Jasa Kesehatan & Kegiatan Sosial 3,08
Pengadaan Listrik & Gas 0,46
Pertanian 0,16

Pengadaan Air, Pengelolaan Limbah 0,12

Pertambangan 0,06

Bila diamati struktur upah dan gaji yang diciptakan menurut lapangan
usaha, sektor yang sangat dominan dalam penerimaan upah/gaji adalah
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial sebesar 18,58
persen. Hal ini wajar karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan Republik
Indonesia sekaligus pemerintahan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Jumlah
tenaga kerja yang besar di sektor pemerintahan mengakibatkan kontribusi upah
dan gaji yang diciptakan juga besar. Kontributor terbesar berikutnya berasal
dari lapangan usaha yang dominan di PDRB yaitu golongan sektor jasa seperti
Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sebesar

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


42
12,31 persen, Industri Pengolahan sebesar 10,60 persen, dan Konstruksi
sebesar 10,01 persen. Kontribusi ketiga lapangan usaha tersebut di Jakarta
dominan baik dari segi jumlah usaha maupun penciptaan nilai tambah dalam
PDRB. Dampaknya, lapangan usaha tersebut menyerap banyak tenaga kerja dan
menyumbang upah dan gaji yang tinggi. Secara lengkap dapat dilihat pada
grafik 4.
Di sisi lain, sumbangan terendah berasal dari lapangan usaha
Pertambangan dan Penggalian sebesar 0,06 persen; Pengadaan Air,
Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Daur Ulang sebesar 0,12 persen; serta
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 0,16 persen. Sektor tersebut
merupakan sektor primer dan bukan sektor dominan di daerah kota
megapolitan seperti Jakarta. Jumlah unit usaha dan penyerapan tenaga kerjanya
tidak banyak. Hal itu menyebabkan kontribusi upah dan gaji menjadi sangat
rendah

4.3. KOMPONEN SURPLUS USAHA NETO


MENURUT LAPANGAN USAHA
Komponen pendapatan berikutnya adalah surplus usaha neto. Sesuai
dengan definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, surplus usaha dihitung
sebagai kompensasi dari pemilik modal atau keuntungan dari
usaha/perusahaan. Pada tahun 2016, nilai tambah yang tercipta dari surplus
usaha neto sebesar 1.035,50 triliun rupiah atau 47,96 persen terhadap total
PDRB Provinsi DKI Jakarta tahun 2016. Komponen ini berkontribusi lebih besar
dibandingkan komponen upah dan gaji. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


43
Tabel 8. Komponen Surplus Usaha Neto Provinsi DKI Jakarta Tahun
2016-2018

Uraian 2016 2017 2018


1. Nominal ADHB (Triliun Rp) 1 035,50 1 103,95 1 183,53

2. Nominal ADHB (Triliun Rp) 707,78 734,83 761,36

3. Laju Pertumbuhan (Persen) 3,82 3,61

Bila diamati struktur surplus usaha yang diciptakan menurut lapangan


usaha, sektor yang sangat dominan dalam penerimaan surplus usaha neto
adalah Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
sebesar 19,50 persen. Kontributor terbesar berikutnya berasal dari lapangan
usaha dominan di PDRB yaitu golongan sektor jasa seperti Jasa Keuangan dan
Asuransi sebesar 12,80 persen, Industri Pengolahan sebesar 11,37 persen, dan
Real Estate sebesar 10,93 persen. Dapat diindikasikan bahwa di Jakarta
keempat lapangan usaha tersebut menghasilkan surplus usaha neto yang
tinggi. Secara lengkap dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


44
Grafik 5.
Struktur Surplus Usaha Neto Menurut Lapangan Usaha,
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016 (Persen)

Perdagangan Besar dan Eceran;… 19,50


Jasa Keuangan dan Asuransi 12,80
Industri Pengolahan 11,37
Real Estate 10,93
Konstruksi 9,56
Jasa Perusahaan 9,38
Penyediaan Akomodasi dan Makan… 6,16
Informasi dan Komunikasi 6,02
Jasa lainnya 3,87
Transportasi dan Pergudangan 3,84
2,90
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 2,31
Pengadaan Listrik dan Gas 0,76
Pertambangan dan Penggalian 0,30
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,21

Pengadaan Air, Pengelolaan… 0,11

Administrasi Pemerintahan,… 0,00

Sementara itu, kontributor terendah dalam penerimaan surplus usaha


neto adalah Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Daur Ulang
sebesar 0,11 persen; Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 0,21 persen;
serta Pertambangan dan Penggalian (B) sebesar 0,30 persen. Sementara itu,
sektor pemerintahan tidak menyumbang komponen surplus usaha neto karena
pemerintah bukan pelaku ekonomi yang mencari keuntungan (nonprofit).

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


45
4.4. KOMPONEN KONSUMSI MODAL TETAP
MENURUT LAPANGAN USAHA
Komponen konsumsi modal tetap atau sebelumnya disebut dengan
penyusutan barang modal merupakan salah satu komponen yang dihitung
dalam penghitungan PDRB menurut pendapatan. Barang modal atau aset yang
dimiliki oleh setiap unit usaha antara lain bangunan, mesin, kendaraan,
peralatan dan perlengkapan, hewan/tumbuhan menghasilkan berulang, produk
kekayaan intelektual, serta riset dan pengembangan. Pada tahun 2016,
kontribusi konsumsi modal tetap terhadap total PBRB adalah sebesar 10,77
persen atau senilai 232,46 triliun rupiah.

Grafik 6 menunjukkan lapangan usaha dengan kontribusi konsumsi


modal tetap tertinggi dilakukan oleh lapangan usaha Konstruksi sebesar 18,32
persen; Informasi dan Komunikasi sebesar 16,70 persen; Industri Pengolahan
sebesar 14,24 persen; Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan
Sepeda Motor sebesar 9,52 persen; serta Administrasi Pemerintahan,
Pertahanan, dan Jaminan Sosial sebesar 6,42 persen. Kelima lapangan usaha
tersebut diindikasikan menggunakan barang modal yang lebih besar
dibandingkan lapangan usaha lainnya.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


46
Grafik 6
Distribusi Konsumsi Modal Tetap Menurut Beberapa Lapangan Usaha,
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016 (Persen)

Konstruksi
18,32
Lainnya
34,80

Informasi dan
Komunikasi
16,70

Administrasi
Pemerintahan,
Pertahanan dan
Jaminan Sosial Perdagangan Besar Industri
Wajib dan Eceran; Pengolahan
6,42 Reparasi Mobil dan 14,24
Sepeda Motor
9,52

4.5. ALIRAN PENDAPATAN FAKTOR NETO


KOMPONEN UPAH DAN GAJI
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa total PDRB yang
dihasilkan oleh seluruh lapangan usaha di Provinsi DKI Jakarta tidak seluruhnya
merupakan pendapatan masyarakat Provinsi DKI Jakarta. Di dalamnya masih
terdapat pendapatan faktor dari daerah/negara lain dan pendapatan faktor
yang dihasilkan daerah/negara lain. Tabel 9 memperlihatkan aliran pendapatan
faktor upah gaji yang keluar masuk Provinsi DKI Jakarta selama tahun 2016-
2018.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


47
Tabel 9. Aliran Pendapatan Faktor Upah dan Gaji Neto,
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018

Uraian 2016 2017 2018

Upah/Gaji ADHB**) Triliun Rp -13,65 -15,17 -16,60

Upah/Gaji ADHK**) Triliun Rp -9,92 -10,64 -11,29

Laju Pertumbuhan**) Persen - 7,30 6,04


**)
tanda negatif berarti upah/gaji yang keluar lebih besar dari yang masuk

Pendapatan faktor neto upah gaji Provinsi DKI Jakarta bernilai negatif
yang berarti bahwa nilai upah gaji yang keluar dari Jakarta lebih besar dari nilai
upah gaji yang masuk ke Jakarta. Nilai ini akan mengoreksi besaran PDRB DKI
Jakarta. Pendapatan faktor neto upah gaji luar negeri dan antar provinsi dua
duanya bernilai negatif.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa lebih banyak tenaga asing dan
pekerja komuter yang menggantungkan nafkahnya di Jakarta dibandingkan
penduduk Jakarta yang bekerja di luar Jakarta maupun luar negeri. Tenaga kerja
asing yang bekerja di Jakarta sebagian besar menduduki jabatan yang tinggi
dengan upah yang tinggi pula seperti konsultan, tenaga profesional, direksi,
manager dan komisaris sehingga upah/gaji yang keluar dari Jakarta juga besar.
Di sisi lain jumlah komuter di Jakarta sebagian besar bekerja di lapangan usaha
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial; Perdagangan
Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; dan Industri Pengolahan.
Selama tiga tahun terakhir, pendapatan faktor neto upah dan gaji adhb
berturut turut sebesar minus 13,65 triliun rupiah; 15,17 triliun rupiah dan
minus 16,60 triliun rupiah. Apabila kita bandingkan dengan upah gaji yang
tercipta di Jakarta, angka kebocoran upah gaji sebesar 1,67 persen dari nilai
PDRB pada tahun 2016, menurun menjadi 1,63 persen pada tahun 2017 dan
1,58 persen pada tahun 2018. Sementara itu, laju pertumbuhan pendapatan

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


48
faktor neto upah dan gaji pada tahun 2018 sebesar 6,04 persen, melambat
dibandingkan tahun 2017 yang sebesar 7,30 persen.

4.6. ALIRAN PENDAPATAN FAKTOR NETO


KOMPONEN SURPLUS USAHA NETO
Pendapatan faktor neto upah gaji mengoreksi PDRB DKI Jakarta, di sisi
lain pendapatan faktor neto surplus usaha mempunyai nilai positif. Nilai positif
mencerminkan bahwa surplus usaha yang masuk ke Jakarta lebih banyak
dibandingkan nilai yang keluar dari Jakarta. Fenomena ini sangatlah wajar
mengingat banyaknya perusahaan multinasional yang ada di Jakarta baik itu
establishment maupun kantor pusat. Berdasarkan kajian dari laporan keuangan
perusahaan, kepemilikan saham di perusahaan-perusahaan go public sebagian
besar dikuasai oleh establishment di Jakarta. Selain itu, penduduk maupun
perusahaan Jakarta banyak yang memiliki saham di perusahaan yang berlokasi
di provinsi lain bahkan di luar negeri.

Tabel 10. Aliran Pendapatan Faktor Surplus Usaha Neto, Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2016-2018

Uraian 2016 2017 2018


Surplus Usaha ADHB Triliun Rp 494,29 545,05 600,90
Surplus Usaha ADHK Triliun Rp 395,17 414,21 439,22
Laju Pertumbuhan Persen 4,82 6,04

Pendapatan faktor neto komponen surplus usaha Jakarta pada tahun


2016 sebesar positif 494,29 triliun rupiah, tahun 2017 sebesar 545,05 triliun
rupiah dan tahun 2018 sebesar 600,90 triliun rupiah. Apabila dinilai
berdasarkan harga tahun dasar 2010, komponen surplus usaha pada tahun

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


49
2018 sebesar 439,22 triliun rupiah, tumbuh lebih cepat menjadi sebesar 6,04
persen dibandingkan tahun 2017.
Penambahan pendapatan faktor neto komponen surplus usaha ke PDRB
DKI Jakarta sebagian besar berasal dari surplus usaha luar provinsi. Nilai positif
besar menggambarkan bahwa jumlah surplus usaha pengusaha luar Jakarta
yang beroperasi di Jakarta jauh lebih kecil dibandingkan jumlah surplus usaha
penduduk/perusahaan Jakarta yang berusaha di luar Jakarta. Sementara untuk
surplus usaha luar negeri mempunyai nilai negatif yang artinya bahwa jumlah
surplus usaha yang diperoleh pengusaha asing karena kepemilikan modal di
Jakarta lebih besar dibandingkan jumlah surplus usaha yang diterima
pengusaha Jakarta karena kepemilikan modalnya di luar negeri.

4.7. ALIRAN PENDAPATAN FAKTOR NETO


Dari pembahasan sebelumnya pendapatan faktor neto komponen Upah
gaji menjadi faktor koreksi terhadap PDRB Jakarta. Sementara yang berasal dari
komponen surplus usaha menjadi faktor penambah PDRB DKI Jakarta. Dari dua
komponen diatas, secara kumulatif nilai pendapatan faktor neto Jakarta bernilai
positif sehingga menambah besaran PDRB DKI Jakarta. Namun bila ditinjau
lebih lanjut, pendapatan faktor antar provinsi maupun luar negeri mempunyai
fenomena yang berbeda. Selama tahun 2016-2018, nilai pendapatan faktor
neto antarprovinsi memiliki nilai positif (menambah) PDRB DKI Jakarta,
sementara nilai pendapatan faktor neto luar negeri mengoreksi PDRB DKI
Jakarta dengan nilai negatif.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


50
Tabel 11. Aliran Pendapatan Faktor Neto,
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018

Uraian 2016 2017 2018


Pendapatan Faktor Neto
Triliun Rp 480,64 529,88 584,30
ADHB
Pendapatan Faktor Neto
Triliun Rp 385,25 403,57 427,94
ADHK
Laju Pertumbuhan Persen 4,75 6,04

Tabel 11 menunjukkan bahwa pada tahun 2016, pendapatan faktor


neto menambah PDRB Jakarta sebesar 480,64 triliun rupiah, meningkat menjadi
sebesar 529,88 triliun rupiah pada tahun 2017 dan menjadi sebesar 584,3
triliun rupiah pada tahun 2018. Apabila dinilai atas dasar harga konstan 2010,
pendapatan faktor neto Jakarta pada tahun 2016 sebesar 385,25 triliun rupiah,
tahun 2017 sebesar 403,57 triliun rupiah dan tahun 2018 sebesar 427,94 triliun
rupiah. Laju pertumbuhan pendapatan faktor neto pada tahun 2018 tumbuh
sebesar 6,04 persen dibandingkan tahun 2017, lebih cepat dari pertumbuhan
tahun 2017 yang sebesar 4,75 persen.

4.8. PENDAPATAN REGIONAL DAN


PENDAPATAN PER KAPITA
Pada tahun 2016-2018, rata-rata PDRB yang tercipta di DKI Jakarta
sebesar 2.374,54 triliun rupiah. Angka PDRB tersebut belum mencerminkan
pendapatan yang bisa dinikmati oleh para pelaku ekonomi, didalamnya masih
terkandung adanya konsumsi modal tetap, pajak/subsidi atas produksi dan
impor serta pendapatan faktor neto DKI Jakarta. Untuk melihat besaran angka
yang sudah mempertimbangkan besaran pendapatan faktor yang masuk dan

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


51
keluar Jakarta ditunjukkan oleh suatu besaran yang disebut Pendapatan
Nasional Regional Bruto (PNRB). Selanjutnya untuk melihat tingkat
kesejahteraan masyarakat Jakarta lebih dalam riil, diperoleh suatu besaran
angka yang sudah menghilangkan komponen konsumsi modal tetap serta
pajak/subsidi atas produk dan impor. Indikator ini disebut dengan pendapatan
regional.
Hasil studi menunjukkan bahwa pola besaran pendapatan regional yang
tercipta Jakarta berbeda dengan Kalimantan Timur maupun agregat nasional.
Di Jakarta, besaran pendapatan nasional regional bruto dan nominal
pendapatan regional lebih tinggi dibandingkan dengan nominal PDRB nya.
Pada tahun 2016-2018, besaran angka PDRB, PNRB dan pendapatan regional
semakin meningkat. Rata-rata besarnya PNRB 1,22 kali lebih besar
dibandingkan angka PDRB Jakarta. Rata-rata besarnya pendapatan regional
1,08 kali dari angka nominal PDRB.
Grafik 7.
PDRB, PNRB, dan Pendapatan Regional
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018

3.183,47

2.895,24
2.819,12
2.639,71
2.562,07
2.599,17
2.335,35 2.365,36

2.159,07

2016 2017 2018

PDRB PNRB Pendapatan Regional

PNRB DKI Jakarta pada tahun 2016 sebesar 2.639,71 triliun rupiah,
meningkat pada tahun 2017 dan 2018 menjadi sebesar 2.365,36 triliun rupiah

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


52
dan 3.183,47 triliun rupiah. Selisih antara PDRB dan PNRB kita kenal sebagai
pendapatan faktor neto. Seperti yang sudah disebutkan pada subbab 4.7,
pendapatan faktor neto DKI Jakarta bernilai positif sehingga menambah
besaran PDRB DKI Jakarta. Penambahan faktor neto selama tiga tahun terakhir
rata-rata sebesar 531,61 triliun rupiah, atau sebesar 22,38 persen dari PDRB
DKI Jakarta.
PNRB yang sudah kita sebutkan belum menggambarkan pendapatan
yang dimiliki oleh penduduk Jakarta. Didalamnya masih terkandung konsumsi
modal tetap bruto serta pajak/subsidi atas produksi dan impor. Indikator yang
sudah mengeliminir komponen di atas disebut pendapatan regional. Rata-rata
besaran pendapatan regional 1,13 kali lebih besar dibandingkan dengan PDRB
Jakarta. Pada tahun 2016 nominal pendapatan regional sebesar 2.335,35 triliun
rupiah, meningkat menjadi 2.562,24 triliun rupiah pada tahun 2017 dan tahun
2018 menjadi 2.819,12 triliun rupiah.
Peningkatan besaran pendapatan regional tidak akan bermakna ketika
jumlah penduduk tidak dikendalikan. Dari tabel 12 tampak bahwa secara rata-
rata besaran pendapatan per kapita di Jakarta lebih tinggi dibandingkan nilai
PDRB per kapitanya. Sebagai pusat bisnis, Jakarta memperoleh aliran surplus
usaha yang besar baik dari luar negeri maupun luar provinsi. Rata-rata besaran
pendapatan per kapita 1,08 kali lebih besar dibandingkan PDRB per kapitanya
pada periode 2016-2018. Pendapatan regional per kapita tahun 2016 sebesar
227,23; sebesar 246,96 triliun pada tahun 2017 dan menjadi sebesar 269,32
triliun pada tahun 2018.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


53
Tabel 12. PDRB per Kapita, Pendapatan Regional, dan Pendapatan per
Kapita Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018 (Juta Rupiah)

Uraian 2016 2017 2018


1 Produk Domestik Regional Bruto 2 159,07 2 365,36 2 599,17
(PDRB) atas dasar harga berlaku
Pendapatan faktor yang diterima
825,55 903,61 990,30
dari luar DKI Jakarta
Pendapatan faktor yang dibayarkan
-344,90 -373,73 -406,00
keluar DKI Jakarta
Pendapatan faktor neto (Nett
480,64 529,88 584,30
Factor Income)
2 Produk Nasional Regional Bruto 2 639,71 2 895,24 3 183,47
Konsumsi Modal Tetap 232,46 256,87 282,91
Pajak dan Subsidi Atas Produksi dan
Impor 71,91 76,30 81,44

3 Pendapatan Regional 2 335,35 2 562,07 2 819,12


Jumlah Penduduk Pertengahan
10 277 628 10 374 235 10 467 629
Tahun (Jiwa)
4 PDRB Perkapita 210,08 228,00 248,31

5 Pendapatan Perkapita 227,23 246,96 269,32


6 Rasio Pendapatan Perkapita 1,082 1,083 1,085
terhadap PDRB Perkapita

Laju pertumbuhan ekonomi Jakarta tahun 2018 melambat menjadi


sebesar 6,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun berbeda halnya
dengan laju pertumbuhan PNRB dan pendapatan regional yang terakselerasi
pada tahun 2018. Pada tahun 2018, PNRB terakselerasi menjadi sebesar 6,17
persen, setelah pada tahun 2017 tumbuh sebesar 5,91 persen. Sedangkan
pendapatan regional terakselerasi menjadi sebesar 6,40 persen pada tahun
2018. Terakselerasinya angka PNRB dikarenakan tingginya pertumbuhan
pendapatan faktor neto pada tahun 2018. Di sisi lain, pada tahun 2018
konsumsi modal tetap bruto serta pajak/subsidi atas produksi dan impor
tumbuh melambat dibandingkan dengan tahun 2017.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


54
Grafik 8.
Laju Pertumbuhan PDRB, PNRB dan Pendapatan Regional ADHK
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017-2018 (Persen)

6,40

6,20
6,17 6,14

5,98
5,91

PDRB PNRB PENDAPATAN REGIONAL

2017 2018

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


55
Halaman ini sengaja dikosongkan

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


56
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
57
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
58
5.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil studi penghitungan Income per Capita Provinsi DKI
Jakarta, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara total pendapatan faktor neto DKI Jakarta selama periode tahun
2016-2018 bernilai positif karena pendapatan faktor neto dari komponen
surplus usaha lebih besar dari pendapatan faktor neto dari upah gaji.
2. Pendapatan Regional DKI Jakarta selama tahun 2016-2018 bernilai lebih
besar dari PDRB DKI Jakarta dikarenakan nilai pendapatan faktor neto
bernilai positif. Sehingga Pendapatan Perkapita juga lebih besar dari PDRB
per kapita, yaitu rata-rata sebesar 8,5 persen lebih besar dari PDRB per
kapita.
3. Lapangan usaha di Provinsi DKI Jakarta dengan upah dan gaji terbesar
selama tahun 2016 berdasarkan hasil SUT adalah Administrasi
Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial, yaitu 18,58 persen dari
total pendapatan upah gaji. Setelah itu diikuti oleh Perdagangan Besar dan
Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor (12,31 persen) dan Industri
Pengolahan (10,60 persen).
4. Lapangan usaha di Provinsi DKI Jakarta dengan surplus usaha terbesar
selama tahun 2016 berdasarkan hasil SUT adalah Perdagangan Besar dan
Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, yakni sebesar 19,50 persen
(dengan kecenderungan meningkat) dari total pendapatan surplus usaha.
Setelah itu diikuti oleh Jasa Keuangan dan Asuransi (12,80 persen) dan
Industri Pengolahan (11,37 persen).
5. Selama tahun 2016-2018 struktur PDRB menurut komponen pendapatan
didominasi oleh komponen surplus usaha, dengan penggunaan rata-rata
sebesar 47 persen (dengan kecenderungan menurun) dari seluruh nilai
tambah Provinsi DKI Jakarta pada periode tersebut. Sementara untuk

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


59
komponen upah gaji menggunakan sekitar 39 persen dari dari seluruh nilai
tambah Provinsi DKI Jakarta pada periode yang sama.
6. Selama tahun 2016-2018, pendapatan faktor neto komponen upah gaji
bernilai negative (transfer in lebih kecil dari transfer out). Ini berarti terjadi
kebocoran terhadap komponen pendapatan upah gaji.
7. Selama tahun 2016-2018, pendapatan faktor neto komponen surplus usaha
bernilai positif (transfer in lebih besar dari transfer out). Ini berarti terjadi
penambahan terhadap komponen pendapatan surplus usaha.

5.2. REKOMENDASI

Beberapa rekomendasi yang bisa diberikan terkait hasil studi adalah


sebagai berikut:
1. Kecenderungan peningkatan pendapatan upah gaji berimbas pada
menurunnya surplus usaha, ini berarti keuntungan yang diterima oleh
usaha berkurang karena beban biaya upah gaji yang semakin besar. Untuk
itu dibutuhkan skema kebijakan yang dapat mengatasi kondisi tersebut
sehingga tidak mengurangi minat investor untuk menanamkan modal di
Jakarta, atau setidaknya dapat menahan laju relokasi usaha dari Jakarta ke
luar Jakarta.
2. Besarnya pendapatan faktor neto yang masuk Jakarta dalam wujud surplus
usaha membuka peluang lebih besar untuk mengoptimalkan penerimaan
pajak DKI Jakarta (potensi pajak yang besar). Berarti pula perlu disiapkan
strategi dan kebijakan yang dapat meningkatan intensitas pajak tanpa
menyebabkan kontraproduktif terhadap penerimaan pajak.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


60
3. Tingginya surplus usaha mengindikasikan pula peningkatan pendapatan
perusahaan sehingga dapat lebih didorong untuk meningkatkan kontribusi
terhadap lingkungan, baik dalam bentuk Corporate Social Responsibility
(CSR) maupun dalam bentuk skema pembinaan bagi usaha mikro, kecil dan
menengah.
4. Perlu dilakukan penyempurnaan atas data yang digunakan dalam
penghitungan, terutama data mengenai distribusi surplus usaha dari
perusahaan ke perorangan.
5. Melanjutkan penghitungan sampai ke Disposable Income untuk
mendapatkan nilai pendapatan yang siap dibelanjakan.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


61
Halaman ini sengaja dikosongkan

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


62
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2009, Sistem Neraca Nasional 2008, Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik, Pedoman Penyusunan PDRB Kab/Kota Tahun Dasar 2010 Menurut
Pengeluaran, Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, 2019, Produk Domestik Regional Bruto
Provinsi DKI Jakarta Menurut Lapangan Usaha 2014-2018, Jakarta: Badan Pusat
Statistik Provinsi DKI Jakarta.

Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, 2005, Penyusunan Penghitungan


Pendapatan Faktor Neto Kalimantan Timur Tahun 2003, Samarinda: Badan Pusat
Statistik Provinsi Kalimantan Timur.

Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, 2004, Tabel Input-Output Kalimantan
Timur Tahun 2003, Samarinda, BPS Provinsi Kalimantan Timur dan Bappeda
Provinsi Kalimantan Timur.

Badan Pusat Statistik Kota Bontang, 2001, Studi Pendapatan Faktor Produksi Neto Kota
Bontang Tahun 2000, Bontang: Badan Pusat Statistik Kota Bontang.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara, 2012, Kajian Pendapatan Faktor
Neto Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2011, Tenggarong: Badan Pusat Statistik
Kabupaten Kutai Kartanegara.

Eurostat, 2008, Manual Adoption of Supply, Use and Input-Output Tables, Luxemburg:
Office for Official Publications of The European Communities.

Puji Agus Kurniawan, Pendapatan per Kapita Indonesia, Disampaikan pada Workshop
Studi Penyusunan PDRB Ekonomi Kreatif dan Pendapatan per Kapita Provinsi
DKI Jakarta tanggal 25 Juni 2019.

Sub Direktorat Statistik Mobilitas Penduduk dan Tenaga Kerja, 2014, Statistik Komuter
Jabodetabek Hasil Survei Komuter Jabodetabek 2014, Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


63
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
64
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
65
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
66
LAMPIRAN TABEL

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


67
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
68
Lampiran 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku
Menurut Lapangan Usaha, Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018
(Juta Rupiah)

Lapangan Usaha Kat. 2016 2017 2018

1. Pertanian,
Peternakan,
A 1 985 830 2 051 397 2 125 461
Kehutanan, dan
Perikanan
2. Pertambangan dan
B 5 181 434 5 746 496 6 591 828
Penggalian
3. Industri Pengolahan C 290 775 892 317 549 426 341 719 791
4. Pengadaan Listrik
D 6 345 691 7 449 251 9 119 705
dan Gas
5. Pengadaan Air,
Pengelolaan Sampah E 798 273 838 066 923 923
dan Daur Ulang
6. Konstruksi F 270 388 055 291 528 362 314 631 039
7. Perdagangan Besar
dan Eceran, Reparasi G 358 462 736 394 563 507 440 072 588
Mobil dan Motor
8. Transportasi dan
H 76 598 597 85 669 283 94 142 442
Pergudangan
9. Penyediaan
Akomodasi dan I 108 895 786 116 568 312 124 334 941
Makan Minum
10. Informasi dan
J 156 864 251 180 743 711 204 640 319
Komunikasi
11. Jasa Keuangan K 228 374 141 251 595 023 266 702 564
12. Real Estate L 133 854 878 145 709 477 157 411 863
13. Jasa Perusahaan M,N 160 303 459 187 465 870 214 597 420
14. Administrasi
Pemerintahan dan O 123 168 685 122 371 391 143 324 062
Jaminan Sosial Wajib
15. Jasa Pendidikan P 120 598 760 124 011 879 132 950 588
16. Jasa Kesehatan Q 36 606 201 39 956 267 44 195 411
R,S,
17. Jasa Lainnya 79 870 951 91 545 587 101 689 803
T,U
Total 2 159 073 618 2 365 363 304 2 599 173 749

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


69
Lampiran 2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan
2010 Menurut Lapangan Usaha, Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2016-2018 (Juta Rupiah)

Lapangan Usaha Kat. 2016 2017 2018

1. Pertanian, Peternakan,
Kehutanan, dan A 1 387 526 1 391 534 1 394 394
Perikanan
2. Pertambangan dan
B 2 911 787 2 916 306 2 939 847
Penggalian
3. Industri Pengolahan C 193 625 441 207 942 398 219 744 514
4. Pengadaan Listrik dan
D 3 904 568 4 344 531 5 228 251
Gas
5. Pengadaan Air,
Pengelolaan Sampah E 666 203 685 691 750 735
dan Daur Ulang
6. Konstruksi F 198 680 175 208 861 696 215 890 436
7. Perdagangan Besar dan
Eceran, Reparasi Mobil G 245 877 299 259 765 282 276 058 356
dan Motor
8. Transportasi dan
H 51 657 919 56 260 551 61 318 536
Pergudangan
9. Penyediaan Akomodasi
I 76 873 466 81 389 913 85 779 670
dan Makan Minum
10. Informasi dan
J 156 515 656 172 427 806 189 064 024
Komunikasi
11. Jasa Keuangan K 168 797 696 178 829 381 183 582 608
12. Real Estate L 102 395 777 106 781 893 111 601 213
13. Jasa Perusahaan M,N 116 289 744 128 237 350 139 487 441
14. Administrasi
Pemerintahan dan O 64 388 948 61 594 188 67 893 776
Jaminan Sosial Wajib
15. Jasa Pendidikan P 74 590 908 75 889 694 80 506 813
16. Jasa Kesehatan Q 25 255 984 26 920 026 28 668 933
R,S,
17. Jasa Lainnya 56 097 784 61 128 342 66 286 071
T,U
Total 1 539 916 881 1 635 366 581 1 73195 620

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


70
Lampiran 3. Struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga
Berlaku Menurut Lapangan Usaha, Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2016-2018 (Persen)

Lapangan Usaha Kat. 2016 2017 2018

1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan


A 0,09 0,09 0,08
Perikanan
2. Pertambangan dan Penggalian B 0,24 0,24 0,25
3. Industri Pengolahan C 13,47 13,42 13,15
4. Pengadaan Listrik dan Gas D 0,29 0,31 0,35
5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah dan
E 0,04 0,04 0,04
Daur Ulang
6. Konstruksi F 12,52 12,32 12,11
7. Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi
G 16,60 16,68 16,93
Mobil dan Motor
8. Transportasi dan Pergudangan H 3,55 3,62 3,62
9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum I 5,04 4,93 4,78
10. Informasi dan Komunikasi J 7,27 7,64 7,87
11. Jasa Keuangan K 10,58 10,64 10,26
12. Real Estate L 6,20 6,16 6,06
13. Jasa Perusahaan M,N 7,42 7,93 8,26
14. Administrasi Pemerintahan dan Jaminan
O 5,70 5,17 5,51
Sosial Wajib
15. Jasa Pendidikan P 5,59 5,24 5,12
16. Jasa Kesehatan Q 1,70 1,69 1,70
17. Jasa Lainnya R,S,T,U 3,70 3,87 3,91
Total 100,00 100,00 100,00

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


71
Lampiran 4. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas
Dasar Harga Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha, Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2016-2018 (Persen)

Lapangan Usaha Kat. 2016 2017 2018

1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan


A 2,60 0,47 1,14
Perikanan
2. Pertambangan dan Penggalian B (0,22) (0,86) (0,70)
3. Industri Pengolahan C 5,34 5,47 5,08
4. Pengadaan Listrik dan Gas D 0,70 4,31 2,55
5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah dan
E 3,37 3,64 3,38
Daur Ulang
6. Konstruksi F 6,17 4,97 3,99
7. Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi
G 5,32 4,95 2,61
Mobil dan Motor
18. Transportasi dan Pergudangan H 7,02 13,80 9,87
19. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum I 6,49 5,54 5,45
20. Informasi dan Komunikasi J 12,15 11,03 10,11
21. Jasa Keuangan K 7,44 4,02 10,70
22. Real Estate L 5,07 4,96 4,72
23. Jasa Perusahaan M,N 8,24 8,95 7,76
24. Administrasi Pemerintahan dan Jaminan
O (2,86) 1,21 1,18
Sosial Wajib
25. Jasa Pendidikan P 3,55 3,75 6,53
26. Jasa Kesehatan Q 5,77 6,85 7,58
27. Jasa Lainnya R,S,T,U 7,58 8,28 8,04
Total 6,07 5,91 5,91

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


72
LAMPIRAN
INFOGRAFIS

Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)


73
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
74
AGREGAT
PER KAPITA
Tahun 2016

PDRB
1991 PNRB
2004 Pendapatan
2018
per Kapita per Kapita per Kapita
47,94 juta 46,40 juta 227,23 juta

DKI Jakarta

Indonesia

210,08 juta 249,84 juta 36,45 juta


PDB PNB Pendapatan
per Kapita 2009
per Kapita per Kapita
PENDAPATAN
rEGIONAL
DKI JAKARTA

PENGERTIAN

Merupakan pendapatan
yang benar-benar
dimiliki oleh seluruh
yang tinggal di wilayah
DKI Jakarta

Nett Konsumsi
Nilai Pajak/
PDRB
+ Factor
income
- Modal -
Subsidi
Tetap

PERHITUNGAN

Keterangan
Nilai PDRB merupakan nilai Produk Domestik Bruto DKI Jakarta

Nett Factor Income merupakan nilai pendapatan faktor


yang diterima dari luar DKI Jakarta dikurangi pendapatan faktor
yang dibayarkan keluar DKI Jakarta
TAHAPAN KEGIATAN PENYUSUNAN
Pendapatan Per Kapita (Income Per Capita)
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016-2018

DATA DASAR
Pengumpulan - Survei Komuter (BPS)
Data Dasar - Tenaga Kerja (Kemenaker)
- Sensus Ekonomi 2016 (BPS)
- Laporan Keuangan Perusahaan
- Neraca Pembayaran Indonesia (BI)

PENGOLAHAN NET
FACTOR INCOME (NFI)
TENAGA KERJA

Pengolahan
PENGOLAHAN Data Dasar
REGIONAL INCOME

PENGOLAHAN
REGIONAL INCOME
LEVEL PDRB

PUBLIKASI INCOME
PER CAPITA PROVINSI
Publikasi DKI JAKARTA
lapangan usaha yang dominan
Dalam pembayaran upah/gaji
Tahun 2016

Rp Rp

Rp

Rp
Rp
18,58 12,31 10,6
Rp 10,01 8,66
Rp Rp Rp
Rp

ADMinistrasi Perdagangan Industri


Konstruksi jasa keuangan
pemerintahan besar & eceran Pengolahan & asuransi

lapangan usaha yang dominan


Dalam penerimaan SURPLus USAHA NETO
Tahun 2016

19,50
12,80 11,37 10,93 9,56

Perdagangan jasa keuangan Industri Real estate Konstruksi


besar & eceran & asuransi Pengolahan
PDRB PDB

Alur
Perhitungan
Pendapatan
Per Kapita
PnRB PnB

Pendapatan Pendapatan Pendapatan


regional NASIONAL
Per KAPITA
Nett Factor Income
Pendapatan Faktor Neto

Pendapatan Faktor yang


diterima dari luar DKI Jakarta
Tahun 2018
Transfer In
Rp 990 Triliun

Pendapatan Faktor yang


dibayarkan keluar DKI Jakarta
Tahun 2018

Transfer out
Rp 406 Triliun
AGREGAT PDB INDONESIA
DAN PDRB DKI JAKARTA
Tahun 2016

PDRB DKI Jakarta PDB Indonesia

17 %
2 1509,07 T 12 401,73 T

PNRB DKI Jakarta PNB Indonesia

22 %
2 639,71 T 12 004,72 T

Pendapatan Regional
DKI Jakarta Pendapatan Nasional

12 %
2 336,35 T 9 429,09 T
AGREGAT
PER KAPITA
Tahun 2016

PDRB
1991 PNRB
2004 Pendapatan
2018
per Kapita per Kapita per Kapita
47,94 juta 46,40 juta 227,23 juta

DKI Jakarta

Indonesia

210,08 juta 249,84 juta 36,45 juta


PDB PNB Pendapatan
per Kapita 2009
per Kapita per Kapita
Pendapatan per Kapita Provinsi DKI Jakarta (sebuah hasil studi)
68

Anda mungkin juga menyukai