Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
NIM : 13030119130029
Mata Kuliah : Manajemen Warisan Budaya (A)
Batik merupakan salah satu kebudayaan Indonesia yang diakui oleh Unesco
sebagai warisan dunia pada tanggal 2 Oktober 2009, sehingga tanggal tersebut
ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai Hari Batik Nasional. Pada
hakikatnya, Batik merupakan sebuah sastra dan tulisan yang dituang dalam seni
grafis pada bidang fashion, para pembuat batik berusaha untuk berkomunikasi dan
menyampaikan sesuatu kepada kita dalam bentuk simbol-simbol kognitif. Selain
itu, batik juga bisa diartikan sebagai sebuah lukisan yang tertuang dalam lembaran
kain, sehingga coretan batik memang tidak sepenuhnya sempurna, namun
ketidaksempurnaan tersebut justru menjadi keindahan yang terlihat manusiawi.
Perlu diketahui bahwa teknik batik tidak hanya digunakan di Indonesia saja, namun
negara-negara lain seperti Mesir, Jepang dan Tiongkok juga telah mengenal teknik
membatik sejak ribuan tahun yang lalu. Akan tetapi, Unesco menetapkan batik
sebagai warisan dunia dengan alasan bahwa Batik Indonesia memiliki keunikan
budaya dan kaya akan khazanah filosofi yang mendalam di setiap sentuhan corak
yang terlukiskan di atas permukaan kain, dengan demikian batik terbaik adalah
Batik Indonesia, khusunya Batik Jawa. Beberapa peneliti memberikan informasi
jika batik di Indonesia telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Pada masa itu,
batik kebanyakan digunakan oleh keluarga kerajaan serta para bangsawan.
Sebelum mengagas pelestarian Batik Peranakan Tionghoa, sudah
sepatutnya kita belajar sejarah asal mula dan perkembangan batik tersebut. Zaman
dahulu tepatnya di Jawa ada beberapa tempat yang menjadi pusat-pusat pembuatan
batik yang memiliki ciri kedaerahan masing-masing baik warna, pola desain dan
cara pengerjaannya. Daerah tersebut meliputi Indramayu, Betawi, Cirebon,
Kedungwuni, Batang, Semarang, Jepara, Kudus, Tuban, Madura, Jogja, Solo dll.
Secara garis besar, Batik dibagi menjadi dua kategori yakni batik pesisiran dan batik
pedalaman. Batik pesisiran umunya lebih memiliki variasi warna yang cerah dan
motif yang beragam karena daerah pesisir lebih banyak melakukan interaksi dengan
dunia luar melalui aktivitas kemaritiman, sedangkan batik pedalaman umumnya
memiliki warna-warna yang lebih sederhana seperti coklat, kuning dan putih.
Pekalongan memang sejak lama telah dikenal sebagai Kota Batik dimana
perkembangan Batik di kota ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang Masyarakat
yang multietnik yakni Eropa, Tionghoa, Arab dan beberapa kebudayaan lain yang
berasal dari beberapa kapal yang singgah. Berbagai wilayah di Pekalongan seperti
Wonopringgo, Kranji, Wiradesa dan Kedungwuni menjadi saksi perkembangan
batik di Pekalongan. Kedungwuni sendiri menjadi saksi lahirnya pembatik-
pembatik handal yang berasal dari Tionghoa.
Batik Peranakan Tionghoa adalah batik yang lebih memadukan warna, pola
dan desain dengan warna batik lokal yang diakulturasikan dengan kebudayaan
Tionghoa. Keterlibatan Tionghoa dalam bisnis batik dimulai dari abad 19 dengan
berperan sebagai penjual kain keliling, orang Jawa menyebut para penjual kain
keliling dengan julukan Singkek Mindring. Selanjutnya, sekitar tahun 1870-an
orang-orang Tionghoa yang berperan sebagai penjual kain keliling perlahan-lahan
berubah menjadi produsen batik. Usaha batik yang dilakukan oleh pengusaha
Tionghoa dimulai dari pembuatan batik yang memadukan pola kombinasi unsur-
unsur kebudayaan Tionghoa-belanda serta Tionghoa-Jawa. Jawa memiliki
kebudayaan falsafah yang luar biasa banyak, sehingga hal ini yang membedakan
aktivitas peranakan Tionghoa di Jawa dengan daerah lain di Asia Tenggara.
Keindahan budaya Jawa diolah oleh peranakan Tionghoa untuk menghasilkan
kebudayaan yang lebih baik dan lebih seimbang dibandingkan dengan sebelumnya.
Beberapa tokoh Batik Peranakan Tionghoa yakni Tjoa Giok Tjiam, Go Tik
Swan dan pasangan suami istri yakni Oey Soe Tjoen-Kwee Nettie. Tokoh yang
pertama yakni Tjoa Giok Tjiam memperkenalkan batik tiga negeri di tahun 1914
berupa perkawinan antara batik pesisiran dan pedalaman. Tkoh kedua adalah Go
Tik Swan seorang Tionghoa muslim yang memiliki ketertarikan di bidang budaya,
beliau menjadi penasihat dalam setiap acara-acara kebudayaan yang
diselenggarakan oleh pihak keraton sehingga beliau diberi gelar Panembahan
Harjonegoro. Ketika beliau bertemu dengan Presiden Soekarno, beliau mendapat
saran dari bapak proklamator RI untuk membuat Batik Indonesia dikarenakan
selama ini yang dikenal hanya batik solo dan jogja, sehingga Go Tik Swan berusaha
membuat Batik Indonesia dengan memadukan unsur-unsur kebudayaan Jawa
dengan style yang lebih modern. Tokoh ketiga yaitu sepasang suami istri yakni Oey
Soe Tjoen – Kwee Nettie yang menjadi kampiun batik tulis halus. Mereka
menghasilkan karya luar biasa yang diumpamakan dengan The Finest Craftmanship
dikarenakan kedua pasangan tersebut membuat satu budaya yang menghasilkan
karya batik tulis halus dengan sangat memperhatikan detail dari batik itu sendiri.
Di arus globalisasi ini, tentunya pengaruh style dalam berpakaian berkiblat
terhadap perkembangan industri fashion di dunia barat, sehingga apabila batik tidak
dilestarikan maka seiring berjalannya waktu jati diri batik sebagai kebanggan
budaya adiluhung Indonesia perlahan-lahan akan menghilang. Gagasan pelestarian
Batik Peranakan Tionghoa dapat diawali dengan mengubah paradigma masyarakat
Indonesia bahwa batik hanya digunakan dalam acara-acara formal, pada umumnya
acara-acara formal hanya menjangkau kalangan-kalangan yang berada dalam
instansi pemerintahan atau lembaga tertentu. Masyarakat Indonesia juga kebanyaan
menggunakan batik hanya dalam acara-acara adat saja seperti pernikahan, sehingga
hal ini kurang menumbuhkan kebiasaan untuk menggunakan batik dari kalangan
generasi milenial sebagai generasi penerus. Untuk mendukung kebiasaan
penggunaan Batik Peranakan Tionghoa, maka diperlukan karya-karya batik yang
diaplikasikan ke dalam bentuk fashion yang ramah untuk daily style seperti T-Shirt,
Blouse, Trousers, Blazer, Cardigan, dan Night Gown yang memiliki style batik
didalamnya. Hal ini bertujuan untuk mengubah stereotipe generasi milenial bahwa
penggunaan batik itu kuno, sehingga penggunaan batik dalam aktivitas sehari-hari
dapat mengubah stereotipe tersebut. Apalagi Batik Peranakan Tionghoa memiliki
berbagai desain dan warna yang lebih bervariasi dan cocok untuk dimodifikasi
dalam jenis fashion apapun.
Untuk menumbuhkan minat generasi milenial dalam penggunaan Batik
Peranakan Tionghoa dalam kegiatan sehari-hari, maka diperlukan daya kreatifitas
tinggi guna memodifikasi antara style pakaian modern yang menggunakan corak
Batik Peranakan Tionghoa didalamnya. Di masa kini, sudah banyak beberapa brand
pakaian yang menggunakan ciri khas corak batik, namun rata-rata pakaian tersebut
masih tergolong kurang stylish dan cenderung masih terkesan kuno, sehingga
generasi milenial kurang begitu tertarik untuk membeli pakaian tersebut. Selain itu,
harga Batik Peranakan Tionghoa yang ditulis dengan tangan memang memiliki
harga yang kurang nyaman dikantong bagi generasi milenial, sehingga para
designer atau brand local yang ingin menggunakan Batik Tionghoa Peranakan
harus jeli dalam keputusan penggunaan bahan untuk mengurangi modal produksi
yang digunakan. Hal ini dapat disiasati dengan tidak menggunakan corak batik
sepenuhnya dalam item fashion dengan cara menggunakan batik tersebut pada
bagian-bagian tertentu dengan tidak meninggalkan ciri khas dan keindahan batik
itu sendiri.
Jika berbicara tentang pelestarian, maka tidak etis apabila tidak membahas
tentang cara-cara dalam berpromosi. Promosi bertujuan untuk menjangkau lebih
banyak lagi audience yang berasal dari generasi milenial guna mengenalkan
produk-produk fashion yang memiliki unsur batik peranakan didalamnya. Para
designer dapat memanfaatkan platform influencer seperti selebgram atau youtuber.
Akan tetapi, para designer juga harus mempertimbangan jangkauan pasar dari
influencer itu sendiri. Untuk menggaet minat generasi milenial, dapat menggunakan
jasa influencer muda seperti Maudy Ayunda, Jerome Polin, Skinnyindonesian24,
Nessie Judge atau dapat juga menggunakan jasa influencer luar negeri yang pernah
tinggal di Indonesia dalam kurun waktu lama di mana mereka sudah memiliki citra
cinta Indoensia seperti Koreareomit dan Sunnydahye, hal ini akan menimbulkan
paradigma bahwa orang luar negeri saja cinta batik Indonesia, oleh karena itu kita
yang notabene orang Indonesia asli harus lebih menyukai budaya Indonesia.
Memang tarif jasa mereka cenderung mahal, namun para designer tentunya tidak
harus menggunakan jasa mereka semua, mungkin dapat salah satu dari mereka guna
mengurangi biaya promosi. Influencer yang memiliki image baik seperti pintar,
tidak sensasional serta memiliki daya kreatifitas tinggi tentunya akan lebih
dipercaya oleh generasi milenial.
Peran stakeholder dalam pelestarian budaya Indonesia, khususnya batik
peranakan memiliki kapasitas tinggi dalam otoritas kekuasaan. Saat ini, Presiden
Republik Indonesia yakni bapak Joko Widodo telah menggaungkan semangat cinta
produk luar negeri dan benci produk lokal. Memang benar kita harus cinta produk
luar negeri, namun tentunya produk lokal harus memiliki kualitas yang sama
dengan produk luar negeri demi terwujudnya ekosistem perekonomian yang stabil
karena masyarakat Indonesia memiliki daya beli produk lokal dengan intensitas
tinggi. Akan tetapi, pada umumnya produk lokal yang berkualitas bagus memiliki
harga yang mahal. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah dapat mengeluarkan
kebijakan pengendalian harga produk lokal, agar masyarakat menengah kebawah,
khususnya generasi milenial dapat menjangkau produk tersebut.
Tidak hanya berperan dalam menjadi konsumen Batik Peranakan Tionghoa,
generasi milenial dapat pula menjadi pelaku yang menghasilkan batik tersebut.
Generasi milenial perlu untuk mendapat banyak sekali pendidikan tentang cara
pembuatan batik peranakan dengan cara salah satunya yakni Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan perlu mengeluarkan kebijakan pendidikan pelestarian
budaya ke dalam muatan lokal bahan ajar. Solusi ini diharapkan untuk mengajarkan
generasi milenial tentang pembuatan batik, sehingga kedepannya generasi milenial
tak hanya menjadi konsumen namun mereka juga dapat menjadi produsen batik
khususnya batik peranakan dengan melihat, mengamati dan mengembangkan
berbagai macam potensi Batik Peranakan Tionghoa dalam industri fashion
modern.[]