Anda di halaman 1dari 5

COVID-19

Dunia sedang dilanda bencana virus yang tidak bisa dipandang sebelah
mata yaitu Covid-19. Menurut WHO (World Health Organization), Covid-19
berasal adalah virus yang bernama SARS-COV2. Coronavirus merupakan virus
yag terdapat pada mamalia dan burung mampu menyebabkan penyakit ringan
hingga mematikan pada manusia. SARS-COV2 (Severe Acute Respiratory
Syndrome adalah virus yang menyerang bagian pernafasan sehingga
menyebabkan kesulitan dalam bernafas. Virus Covid-19 ini dilaporkan berasal
dari suatu daerah di Cina yaitu Wuhan dan menyebar dengan sangat cepat ke
seluruh dunia. Covid-19 dapat menyebar dengan begitu cepat ke seluruh dunia
karena penularan dari manusia ke manusia lain. (Rothan, H.A., Byraredddy, S.N.,
2020)

Gejala virus Covid-19 yang disebabkan oleh SARS-COV2 diantaranya


adalah demam, pneumonia, batuk kering, sakit kepala, kelelahan, dan rasa nyeri.
Menurut Rhotan dan Byrareddy (2020), gejala virus Covid-19 muncul
membutuhkan waktu sekitar 5 hari setelah masuk ke dalam tubuh. Orang yang
terjangkit virus Covid-19 ini dapat mengalami berbagai permasalahan kesehatan
seperti menurunnya system kekebalan tubuh, diare, kesulitan bernafas atau sesak
nafas, menurunya fungsi indra perasa atau penciuman dan lain sebagainya.
Menurut Sweid dan kawan-kawan (2020) virus ini dapat masuk ke dalam sistem
saraf pusat kemudian merusak jaringan sel maupun sel glia yang ada. Hal tersebut
lantas mampu menimbulkan penyakit-penyakit saraf (neurovirulensi). Menurut
Goldberg et all (2020), virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui rongga
hidung hingga sampai ke otak.

Adanya SARS-COV2 yang telah mengidap di dalam otak dapat diketahui


melalui cairan cerebrospinal pada pasien. Pasien SARS-COV2 dapat terkena
gangguan pernapasan karena SARS-COV2 telah menginfeksi pusat pernapasan di
medulla oblongata dan pons. Virus tersebut juga menyerang bagian abu-abu
maupun bagian putih di otak. Berbagai gejala neurologis akibat virus tersebut
adalah menurunnya fungsi indra pembau dan perasa, sakit kepala, ketidaksadaran,
kejang, serta penyakit serebrovaskular akut. Ilmuwan dari berbagai negara
bersama-sama meneliti virus yang menjangkit pasien-pasien. (Goldberg, E., et al,
2020)

Ilmuwan di Prancis melaporkan bahwa dalam sampel 58 pasien, 84%


memiliki gejala neurologis. Gejala neurologis ini termasuk ensefalopati, disfungsi
saluran kortikospinalis, agitasi, dan delirium. Studi tentang neuroimaging
mengungkapkan gejala neurologis termasuk hipoperfusi frontotemporal bilateral
dan CVA iskemik akut. Para iluwan di Spanyol meneliti pasien Covid-19 di
negeri mereka dan melaporkan bahwa dari 841 pasien, sebanyak 57,4%
mengalami gejala-gejala neurologis. 17,2% pasien mengalami gejala nonspesifik
seperti mialgia, 14,1% mengalami gejala sakit kepala, 4,9% mengalami Anosmia,
dan 6,2% mengalami dysgeusia. (Goldberg, E., et al, 2020)

Suatu studi yang dilakukan di Inggris mengungkapkan tingkat adanya


tingkat CVA iskemik yang signifikan pada pasien yang lebih tua dengan COVID-
19. Sejumlah CVA karena oklusi pembuluh darah besar (arteri dan vena)
dilaporkan terdapat pada pasien COVID-19 yang berusia 50-80 tahun. Dalam
studi yang berbeda yang dilakukan di Amerika Serikat, lonjakan CVA karena
oklusi pembuluh darah besar dilaporkan ada pada pasien usia 30-an dan 40-an.
Berdasarkan lapora, kejadian stroke iskemik sekunder yang diakibatkan oleh
komplikasi tromboemboli pada dua sampel COVID-19 masing-masing adalah
1,6% dan 2,5%. (Goldberg, E., et al, 2020)

Penelitian yang dilakukan terhadap pasien COVID-19 ringan sampai


sedang di Eropa, 85,6% dan 88,8% kasus masing-masing mengalami disfungsi
indra penciuman dan disfungsi pada pencernaan. Pasien yang mengalami
disfungsi terhadap indra penciuman menunjukkan kecenderungan untuk sembuh
dengan sendirinya. Pasien COVID-19 disejumlah negara dilaporkan mengalami
Guillain-Barre Syndrome (GBS). GBS adalah bentuk neuropati perifer yang
dimediasi oleh kekebalan tubuh yang ditandai dengan menurunnya kekuatan otot
dan parestesia yang terjadi secara cepat. COVID-19 yang dapat masuk ke tubuh
dan menyerang otak dan menyebabkan masalah neurologis, unit Neuro-COVID-
19 dibuka di Rumah Sakit Universitas Brescia di Italia. Rumah sakit tersebut
menangani pasien COVID-19 yang mengalami strok, kejang, dan komplikasi
neurologis. (Goldberg, E., et al, 2020)

Banyak pasien COVVID-19 yang membutuhkan rehabilitasi jangka


panjang. Akibatnya, kasus tersebut dapat dibuat untuk tindak lanjut mengenai
neuropsikologis longitudinal dari pasien COVID19 yang pulih, yang
menunjukkan gejala neurologis selama penyakit akut maupun mereka yang tidak
menunjukkan gejala neurologis. Virus seperti COVID-19 dan HIV/AIDS mampu
mempengaruhi sistem kekebalan sehingga berakibat pada infeksi oportunistik
pada organ-organ termasuk otak. Ternyata penyakit tersebut mampu menyerang
otak secara langsung dan mengakibatkan gangguan kongitif pada pasien dalam
jangka panjang. Salah satu keluarga virus corona adalah Middle East Respiratory
Syndrome Coronavirus (MERS-CoV; MERS). MERS pertama kali diidentifikasi
pada tahun 2012 di Arab Saudi. Secara klinis, MERS ditandai dengan gejala
gangguan pernapasan dan tingkat kematian yang tinggi. (Goldberg, E., et al, 2020)

Studi lain mengemukakan bahwa MERS ditandai dengan gejala neurologis


seperti perubahan kesadaran ringan seperti kebingungan hingga parah seperti
koma, ataksia, dan penurunan aktivitas motorik. Studi tersebut yang meibatkan
sampel pasien MERS di Arab Saudi, 25,7% pasien berakhir pada "kegilaan" dan
8,6% berakhir pada kejang-kejang. Hasil MRI pada otak menunjukkan beberapa
lesi materi putih di lobus frontal, temporal, dan parietal, ganglia basal, dan korpus
kalosum. 42,9% dari pasien penderita MERS mengalami Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) dan 27,0% mengalami depresi pada 12 bulan setelah penyakit
MERS akut. (Goldberg, E., et al, 2020)

Ensefalopati yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV)


atau keluarga dari virus herpes adalah contoh virus yang menyerang manusia yang
juga berdampak pada otak. Mekanisme dari patologi otak ini dapat disebabkan
oleh adanya infeksi oportunistik otak atau ensefalopati HIV primer, dimana HIV
mempengaruhi otak secara langsung. Kerusakan kognitif yang terjadi memiliki
tingkat dari sangat ringan sampai parah. Penelitian mengenai neuroimaging pada
pasien penderita HIV menemukan bahwa lobus frontal, striatum, dan hipokampus
adalah bagian otak yang terkena dampak. Gangguan kognitif pada ensefalopati
HIV dikaitkan dengan berbagai gejala, termasuk perubahan suasana hati dan
kepribadian, defisit eksekutif, gangguan memori, dan perlambatan motorik.
(Goldberg, E., et al, 2020)

Dampak dari COVID-19 pada otak yang menyebabakan permasalahan


kognitif jangka panjang bergantung pada tingkat keparahan neuropatofisiologis.
Gejala kognitif kronis dari ensefalopati anoksik / hipoksik / toksik dan gangguan
memori pada kasus ringan hingga penurunan kemampuan kognitif dan demensia.
Bentuk lain dari patologi otak seperti beberapa gejala kognitif yang meliputi
kondisi mental yang berubah; mengigau, sulit dalam memberikan perhatian /
konsentrasi, termasuk perhatian selektif; orientasi yang terganggu; gangguan
siklus tidur-bangun. Kewaspadaan berlebihan dan perubahan kepribadian juga
dapat berkembang. Retrograde amnesia, anterograde amnesia, dan confabulations,
daya ingat yang buruk juga bisa muncul, serta gejala neuropsikiatri termasuk
paranoia / delusi, agitasi, halusinasi, dan perilaku aneh. (Goldberg, E., et al, 2020)

Gejala kognitif dari CVA iskemik atau hemoragik cenderung akan


mengakibatkan defisit neurologis yang bergantung pada bagian otak yang terkena.
Apabila lobus frontal yang terdampak maka dapat mengakibatkan sindrom
diseksekutif dan perubahan kepribadian, gangguan motorik, apraksia, dan afasia.
Apabila lobus temporal yang terdampak dapat mengakibatkan gangguan bahasa
dan memori. Lobus parietal yang terdampak dapat mengakibatkan gangguan
fungsi / persepsi visuo-spasial. Lobus oksipital yang terdampak dapat
menyebabkan gangguan persepsi visual dan pemrosesan informasi visual.
Terdampaknya serebelar akan mengakibatkan gangguan perilaku motorik yang
kompleks. Terdampaknya struktur subkortikal, seperti basal ganglia, thalamus,
hipotalamus, dan amigdala, mampu menyebabkan gangguan paralel pada daerah
proyeksi kortikal dan juga dapat menyebabkan gangguan pemrosesan emosi dan
fungsi otonom. Apabila struktur batang otak terdampak dapat menyebabkan
penurunan perhatian dan bahkan koma. (Goldberg, E., et al, 2020)

Jadi, penyakit SARS-COV2 yang menjadi penyebab COVID-19 adalah


salah satu dari banyak penyakit yang mampu menyerang otak manusia. Dampak
yang diberikan oleh penyakit SARS-COV2 maupun COVID-19 terhadap tubuh
sangatlah besar karena dapat berpotensi terjadi permasalahan yang sangat serius.
Tingkat keparahan dari penyakit tersebut juga bergantung pada patofisiologis
yang mendasarinya. Maka dari itu, usaha untuk mengurangi dampak dari penyakit
ini terutama secara psikologis perlu adanya kolaborasi multidisiplin seperti
neurologi, neuropsikologi, psikiatri, dan fisioterapi, akan diperlukan dalam
melakukan diagnosis maupun dalam memberikan pengobatan kepada pasien
COVID-19. (Goldberg, E., et al, 2020)

Referensi

Bougakov, D., Podell, K., & Goldberg, E. (2020). Multiple Neuroinvasive


Pathways in COVID-19. Molecular Neurobiology.
https://doi.org/10.1007/s12035-020-02152-5.

Sweid, A., Hammound, B., Bekelis, K., Missios, S., Tjoumakaris, S., Gooch,
M.R., Herial, N.A.,….Jabbour, P. (2020). Cerebral Ischemic and
Hemorrhagic Complications of Coronavirus Disease 2019. International
Journal of Stroke. DOI: 10.1177/1747493020937189

Anda mungkin juga menyukai