TINJAUAN PUSTAKA
1
Sutiah. 2017. Pengembangan Kurikulum PAI: Teori dan Aplikasinya. (Sidoarjo: Nizamia Learning
Center). hlm.43-44.
2
Ibid.hlm.45-46.
Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu
komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi atau seluruh bidang studi dan
keseluruhan komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik
dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan,
pengembangan kurikulum Grass Roots Model akan lebih baik. Hal ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan juga penyempurna dari
pengajaran di kelasnya. Dia yang paling tahu kebutuhan menyusun kurikulum bagi
kelasnya. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip pengembang kurikulum yang
dikemukakan oleh Smith, Stanley dan Shores (1957:429) dalam pengembangan
kurikulum karangan Prof. DR. Nana Syaodih Sukmadinata.
Pengembangan kurikulum yang bersifat Grass Roots Model mungkin hanya
berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu tetapi mungkin pula dapat
digunakan untuk bidang studi sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi
pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi
dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam
meningkatkan mutu dan sistem pendidikan yang giliranya akan melahirkan manusia-
manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
3. Beauchamp’s System
Model pengembangan kurikulum ini, dikembangkan oleh Beauchamp seorang
ahli kurikulum Beauchamp. Mengmukakan 5 hal di dalam pengembangan suatu
kurikulum. Menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh
kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten atau seluruh negara.
Pertahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh pengambil
kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan pengembangan
kurikulum. Walaupun daerah yang menjadi wewenang kepada kanwil pendidikan dan
kebudayaan mencakup suatu wilayah provinsi, tetapi arena pengembangan kurikulum
hanya mencakup suatu daerah kabupaten saja sebagai pilot proyek.
Menetapkan personalisa, yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat dalam
pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut berpartisipasi dalam
pengembangan kurikulum yaitu:
Para ahli pendidikan atau kurikulum yang ada pada pusat pengembangan
kurikulum dan para ahli bidang ilmu luar.
Para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih.
Para profesional dalam sistem pendidikan.
Profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.3
Beauchamp mencoba melibatkan para ahli dan tokoh-tokoh pendidikan seluas
mungkin, yang biasanya perngaruh mereka kurang langsung terhadap pengembangan
kurikulum, dibanding dengan tokoh lain seperti; para penulis dan penerbit buku, para
pejabat pemerintah, politikus, dan pengusaha serta indutriwas. Penetapan personalia
ini sudah tentu disesuaikan dengan tingkat dan luas wilayah dan arena. Untuk tingkat
propinsi atau nasional tidak terlalu banyak melibatkan guru-guru. Sebaliknya untuk
tingkat kabupaten, kecamatan atau sekolah keterlibatan guru semakin besar.
Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Langakah ini harus
berkenan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan
tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajr serta kegiatan evaluasi
daalam menentukan keseluruhan desain kurikulum. Implementasi kurikulum.
Langkah ini merupakan langkah mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum
yang bukan sesuatu yang sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh,
baik kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, disamping kesiapan
manajerial dari pimpinan sekolah atau adminsitrator setempat.
Evaluasi dan revisi kurikulum, langkah ini merupakan langkah
penyempurnaan berdasar hasil penilian dari implementasi kurikulum pada uji terbatas
sebelum disahkan dan selanjutkan disebarkan untuk diimplementasikan secara
menyeluruh dan komperehensif di semua sekolah.
3
Ibid.hlm.47.
kurikulum seringkali mendapat tantangan dari pihak tertentu. Terdapat dua variasi
modek demonstrasi, yaitu; berbentuk proyek dan berbentuk informal, terutama
diparkasai oleh sekolompok guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang
ada.4
Beberapa keunggulan dari pengembangan kurikulum model demonstrasi ini,
yaitu:
Memungkinkan untuk menghasilkan suatu kurikulum atas aspek tertentu dari
kurikulum yang lebih praktis, karena kurikulum disusun dan dilaksankan
berdasarkan situasi nyata.
Jika dilakukan dalam skala kecil, resistens dari administrator kemungkinan relatif
kecil, dibandingkan dengan perubahan yang berskala besar dan menyeluruh.
Dapat menembus hambatan yang sering dialami yaitu dokumen kurikulumnya
bagus, tetapi pelaksanaanya tidak ada.
Menempatkan guru sebagai pengambil insiatif yang dapat menjadi pendorong bagi
para administrator untuk mngembangkan program baru.
Sedangkan kelemahan model ini adalah bagi guru-guru yang tidak turut
berpartisipasi mereka akan enggan-enggan. Dalam keadaan terburuk mungkin akan
terjadi apatisme.
4
Ibid.hlm.49.
Ada lima langkah pengembangan kurikulum model taba ini. Pertama,
mengadakan unit-unit eksperiment bersama guru-guru. Kedua, menguji unit
eksperimen. Ketiga, mengadakan revisi dan kosolidasi. Langkah keempat,
pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum.5
Ada lima langkah pengembangan kurikulum model Taba, yaitu :
Menghasilkan unit-unit percobaan (pilot unit) melalui langkah-langkah: (1)
mengdiagnosis kebutuhan; (2) merumuskan tujuan-tujuan khusus; (3) memilih isi; (4)
mengorganisasi isi; (5) mengevaluasi; dan (6) melihat sekuens dan keseimbangan.
Menguji coba unit eksperiment untuk memperoleh data dalam rangka
menentukan validitas dan kelayakan penggunaannya. Mengadakan revisi dan
konsolidasi unit-unit eksperiment berdasarkan data yang diperoleh dalam uji coba.
Mengembangkan seluruh kerangka kurikulum. Implementasi dan diseminasi
kurikulum yang telah teruji. Pada tahap terakhir ini perlu dipersiapkan guru-guru
melaui perantara-perantara, loka karya dan sebagainyaa serta mempersiapkan fasilitas
dan alat sesuai tuntutan kurikulum.
5
Ibid.hlm.51.
6
Ibid.hlm.52.
Pemilihan target dari sistem pendidikan; di dalam penentuan target ini satu-
satunya criteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari ppejabat
pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok dalam suasana relaks,
tidak formal.
Partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Keikutsertaan guru
dalam kegiatan sebaiknya secara sukarela. Lama kegiatan satu minggu atau
kurang. Menurut Rogers bahwa efek yang diterima sejalan dengan para
adsministrator seperti telah dikemukakan di atas,
Pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit
pelajaran. Selama lima hari penuh peserta didik ikit serat dalam kegiatan
kelompok, degan fasilitator guru atau administrator aatau fasilitator dari luar.
Partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok. Kegiatan ini dapat dikoordinasi
oleh Komite Sekolah masing-masing sekolah. Lama kegiatan kelompok tiga jam
tiap sore hari selama seminggu artau 24 jam secara terus menerus. Kegiatan ini
bertujuan memperkaya orang-orang dalam hubungannya dengan sesamaa orang
tua, dengan anak dan dengan guru. Kegiatan ini merupakan kulminasi dari
kegiatan kelompok di atas. Metode pendidikan yang dikembangkan Rogers
adalah sensitivity training, encounter group, dan Training Group (T Group).
Model pengembangan kurikulum dari Rogers ini berbeda dengan model-
model lainnya. Sepertinya tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang ada
hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Itu merupakan cirri khas Carl Rogers sebagai
Eksistensial Humanis, ia tidak mementingkan formalitas, rancangan tertulis, data, dan
sebagainya. Bagi Rogers yang penting adalah aktivitas dan interaksi.7
2. The Grass-Roots
Model Inisiatif pengembangan kurikulum model ini berada di tangan guru-
guru sebagai pelaksana kurikulum di sekolah, baik yang bersumber dari satu sekolah
maupun dari beberapa sekolah sekaligus. Model ini didasarkan pada dua pandangan
pokok. Pertama, implementasi kurikulum akan lebih berhasil apabila guru-guru
sebagai pelaksana sudah sejak semula terlibat secara langsung dalam pengembangan
kurikulum. Kedua, pengembangan kurikulum bukan hanya melibatkan personel yang
profesional (guru) saja, tetapi juga siswa, orang tua, dan anggota masyarakat. Dalam
kegiatan pengembangan kurikulum ini, kerja sama dengan orang tua murid dan
masyarakat sangat penting.
Model grass-roots ini didasarkan atas empat prinsip, yaitu (a) kurikulum akan
bertambah baik jika kemampuan profesional guru bertambah baik, (b) kompetensi
guru akan bertambah baik jika guru terlibat secara pribadi dalam merevisi kurikulum,
(c) jika guru terlibat dalam merumuskan tujuan yang ingin dicapai, menyeleksi,
Remaja Rosdakarya). hlm.137-143.
mendefinisikan dan memecahkan masalah, mengevaluasi hasil, maka hasil
pengembangan kurikulum akan lebih bermakna, (d) hendaknya di antara guru-guru
terjadi kontak langsung sehingga mereka dapat saling memahami dan mencapai suatu
consensus tentang prinsip-prinsip dasar, tujuan, dan rencana.
3. The Demonstration
Model ini dikembangkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kurikulum
dalam skala kecil. Dalam pelaksanaannya, model ini menuntut sejumlah guru dalam
satu sekolah untuk mengorganisasikan dirinya dalam memperbarui kurikulum.
Menurut Smith, Stanley, dan Shores, model deminstrasi terdiri atas dua bentuk.
Bentuk pertama yang cenderung bersifat formal. Sekelompok guru diorganisasi dalam
suatu sekolah secara terpisah untuk mengembangkan projek percobaan kurikulum.
Inisiatif dan organisasi kurikulum berasal dari atas. Bentuk kedua yang dianggap
kurang formal. Guru-guru yang kurang puas dengan kurikulum membuat eksperimen
dalam area tertentu. Mereka bekerja secara tidak terstruktur. Jika eksperimen berhasil
akan diadopsi penggunaannya di seluruh sekolah.
Keuntungan model ini adalah (a) karena kurikulum telah dilaksanakan secara
nyata, maka dapat memberikan alternative yang dapat bekerja, (b) perubahan
kurikulum pada bagian tertentu lebih muda disepakari dan diterima daripada
perubahan secara keseluruhan, (c) mudah untuk mengatasi hambatan, dan (d0
menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan narasumber. Kelemahan
kurikulum ini adalah dapat menimbulkan antagonism guru-guru yang tidak terlibat
dalam proses pengembangan.
4. Beauchamp’s System
Ada lima langkah kritis dalam pengambila keputusan pengembangan
kurikulum menurut Beauchamp (1975 dalam Arifin 2011: 140), yaitu (a)
menentukan arena pengembangan kurikulum (bisa berupa kelas, sekolah, system
persekolahan regional atau system pendidikan nasional, (b) memilih dan
mengikutsertakan pengembang kurikulum nyang terdiri atas spesialis kurikulum,
perwakilan kelompok-kelompok profesional dan guru-guru kelas yang terpilih, semua
tenaga profesional yang ada dalam system sekolah tersebut, dan kelompok
masyarakat yang representatif, (c) pengorganisasian dan penentuan prosedur
perencanaan kurikulum yang meliputi menetapkan tujuan kurikulum, memilih materi
pelajaran, mengembangkan kegiatan pembelajaran, dan mengembangkan desain, (d)
pelaksanaan kurikulum secara sistematis, dan (e) evaluasi kurikulum.
5. Taba’s Inverted
Model ini dimulai dengan melaksanakan eksperimen, diteorikan, kemudian
diimplementasikan. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan antara teori dan praktik,
serta menghilangkan sifat keumuman dan keabstrakan kurikulum sebagaimana sering
terjadi apabila dilakukan tanpa kegiatan eksperimental.
Ada lima langkah pengembangan kurikulum menurut Hilda Taba, yaitu (a)
kelompok guru terlebih dahulu menghasilkan unit-unit kurikulum untuk
dieksperimenkan, (b) uji coba unit-unit eksperimen untuk menemukan validitas dan
kelayakan pembelajaran, (c) merevisi hasil uji coba dan mengonsolidasikan unit-unit
kurikulum, (d) mengembangkan kerangka kerja teoretis, dan (e) pengasemblingan dan
deseminasi hasil yang telah diperoleh.
9
Lismina. 2019. Pengembangan Kurikulum di Sekolah dan Perguruan Tinggi. (Ponorogo: Uwais Inspirisai
Indonesia). hlm.131.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-based curriculum) , yaitu suatu konsep
kurikulum yang menekankan pada pengembangan dan penguasaan kompetensi bagi peserta
didik melalui berbagai kegiatan dan pengalaman sesuai dengan standar nasional pendidikan
sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, orang tua, dan masyarakat, baik untuk
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, memasuki dunia kerja, maupun sosialisasi dengan
masyarakat.
Dasar pemikiran penggunaan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah (1)
kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks,
(2) kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten,
(3) kompetensi merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang
dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran, (4) keandalan kemampuan siswa
melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat
dicapai melalui kinerja yang dapat diukur, (5) kompetensi berorientasi pada hasil dan dampak
yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang
bermakna, dan keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya, dan
(6) kompetensi merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau
dilakukan peserta didik dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah, sekaligus menggambarkan
kemajuan peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran pada periode tertentu.10
10
Lismina. 2017. Pengembangan Kurikulum. (Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia). hlm. 98.
Relevan dengan kebutuhan hidup
Menyeluruh dan berkesinambungan
Belajar sepanjang hayat
Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
11
Ibid. hlm. 117.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. 2011. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. (Bandung: Penerbit
Remaja Rosdakarya).
Sutiah. 2017. Pengembangan Kurikulum PAI: Teori dan Aplikasinya. (Sidoarjo: Nizamia
Learning Center).
Lismina. 2017. Pengembangan Kurikulum. (Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia).
Lismina. 2019. Pengembangan Kurikulum di Sekolah dan Perguruan Tinggi. (Ponorogo:
Uwais Inspirisai Indonesia).