Anda di halaman 1dari 2

Pertobatan Adalah bukti membutuhkan Allah

Pengantar…

Dalam Bacaan pertama dari Yeremia 14 ayat 7 sampai dengan 10 dilanjutkan ayat 19 sampai dengan 22,
diceritakan bahwa Yeremia hidup ditengah bangsa Israel yang berdosa di hadapan Allah. Ayat 10
menjelaskan tentang bagaimana Allah akan menghukum mereka dari kesalahan dan keberdosaan
mereka. Hukuman itu berupa kekeringan dan ketidakberpihakan Allah pada bangsa Israel (ayat 1-6).
Namun, Yeremia dan bangsa Israel (dengan kata “kami”) mengakui telah berdosa dan murtad kepada
Allah. Mereka memohon belas kasihan Allah untuk dapat mengampuni dan tetap berpihak kepada
mereka agar mereka diberikan pertolongan dalam menghadapi masa-masa sulit itu (ayat 7-9). Mereka
tetap belajar percaya bahwa Allah ada di antara mereka dan memohon Allah untuk tidak meninggalkan
mereka (ayat 9).
Ayat 19-22 adalah penggambaran Yeremia dan bangsa Israel mengingat kasih setia Allah dalam
perjalanan hidup mereka dan memohon Allah untuk tidak menolak Yehuda meski telah melakukan
pelanggaran dan dosa. Yeremia mengingat kembali janji Allah akan bangsa Israel dan belajar terus
beriman bahwa Tuhan Allah adalah satu-satunya Pengharapan dan Penolong mereka.
Bangsa Israel mengakui kesalahan tetapi juga memohon kepada Allah agar membela mereka. Bangsa
Israel menyesal telah melakukan kesalahan tetapi juga sadar bahwa hanya Allah saja yang mampu
menolong/membela mereka. Di satu sisi mengakui kesalahan, dan di sisi yang lain percaya bahwa Allah
adalah Allah yang maha pengasih, sehingga mendorong bangsa Israel untuk datang kepada Allah dan
memohon belas kasihNya.
Bangsa Israel yakin, hanya Allah saja yang mampu menolong mereka. Sehingga mewujud ke dalam sikap
bangsa Israel yang sedemikian mengakui kefasikan mereka seraya mengharapkan belas kasih Allah.
Kadung berbuat salah, tapi kok isik butuh. Karena itu, bukan seberapa kebaikan yang telah dilakukan,
namun seberapa mau mengakui kesalahan di hadapan Tuhan.
Dari bacaan Injil Lukaspasal 18 ayat 9 sampai dengan 14. Lukas dengan sangat jelas menuliskan kepada
siapa perumpamaan ini ditujukan. Dalam ayat 9 disebutkan tujuannya yaitu, “dan kepada beberapa
orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan
perumpamaan ini”. Pesan yang hendak disampaikan Yesus kembali ditekankan pada ayat 14, “sebab
barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa yang merendahkan diri, ia akan
ditinggikan.” Yesus tidak sedang mempermasalahkan mengenai ketaatan atau kepatuhan pada hukum
Taurat. Saat menyampaikan perumpamaan itu, Ia sedang mengajar, dan menegur orang-orang yang
menganggap dirinya benar dan merendahkan orang lain. Yesus mengajarkan tentang bagaimana sikap
merendahkan hati adalah hal yang benar dan berkenan kepada Allah.
Dalam perumpaan ini disebutkan bahwa orang Farisi dan pemungut cukai sama-sama pergi ke Bait Allah
dan berdoa. Hal yang membedakan keduanya adalah cara berdoa dan isi doanya. Orang Farisi itu berdiri
sambil memandang langit sesuai kebiasaan orang Yahudi dan berdoa dalam hatinya. Isi doanya berisi
tentang rasa syukurnya yang hidup lebih baik daripada orang-orang berdosa (ayat 11) dan menunjukkan
kewajibannya sebagai orang benar sudah terlaksana (ayat 12). Ini menunjukkan sikapnya yang merasa
lebih baik dan lebih benar daripada orang lain. Rasa syukurnya tertutupi dengan rasa sombongnya dan
pembenaran diri di hadapan Allah. Sedangkan pemungut cukai berdiri jauh-jauh, ia tidak berani
memandang langit karena merasa tak layak datang kepada Allah. Ia memukul dirinya yang menunjukkan
sikap penyesalan dan isi doanya mengakui dosanya dan memohon belas kasih Allah untuk mengampuni.
Ia datang dengan kerendahan hati dan doa yang berserah. Kerendahan hati dan doa yang berserah,
membuatnya memiliki relasi dekat dengan Allah. Sementara orang Farisi itu yang ‘merasa dekat’
dengan Allah, tetapi justru Allah ‘jauh’ dari dirinya. Pembenaran diri dan stigma tanpa belas kasihan dari
orang Farisi terhadap pemungut cukai, membuatnya berjarak dengan Allah. Ia memahami tentang belas
kasihan Allah. Di sini, Allah mendekatkan diri dan berbelas kasih kepada mereka yang ‘merasa jauh’ dari-
Nya.
Dari cerita ini kita belajar dari orang Farisi bahwa kesombongan dapat menutup kesadaran,
kesombongan membuat seseorang tidak bisa berinstropeksi diri. Menganggap diri selalu benar, dan
membanding bandingkan diri dengan orang lain dengan kecenderungan merendahkan orang lain serta
meninggikan diri sendiri. Bahkan tidak mungkin orang yang seperti ini dapat melihat prestasi/kelebihan
orang lain, juga tidak bisa melihat kekurangan dirinya.
Sedangkan dari pemungut cukai kita belajar bahwa orang yang diampuni dosanya karena mengakui
kesalahannya. Dia menjadi orang yang dibenarkan, yaitu orang yang salah namun Allah mengampuni
kesalahannya dan membenarkannya.

Anda mungkin juga menyukai