Askep Kusta
Askep Kusta
2. Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler,
menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati,
sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri Mikobakterium leprae 12-21
hari dan masa tunasnya antara 40 hari sampai 40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-
satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam
media buatan dan BTA.
3. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian, tersering
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae
pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non
toksis.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh
darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh
bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk
memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpulan system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan
kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.
Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah
kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu
membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa
epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
Timbulnya penyakit pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal ini
bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan tubuh,
sosial ekonomi dan iklim.
Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi
Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat.
Bila seseorang terinfeksi M. leprae sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5% akan
menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30% bermanifestasi klinis menjadi determinate
dan 70% sembuh.
Insiden tinggi pada daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Insiden penyakit kusta di
Indonesia pada Mret 1999 sebesar 1,01 per 10.000 penduduk.
Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Frekuensi
tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25 – 35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur
10 – 12 tahun.
4. Patofisiologi
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada
kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem
imunitas selular (cellular mediated immune) paien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit
berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. M. leprae
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi
yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon imun pada tiap
pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada intensitas
infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
5. Klasifikasi Kusta
Menurut Ridley dan Jopling membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
TT (Tipe Tuberkoloid)
BT (Borderline Tuberkoloid)
BL (Borderline Lepromatus)
LL (Lepromatosa)
1. Lesi berupa makula hipopigmentasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang dengan
skuama di atasnya.
3. Gejala berupa gangguan sensasibilita, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat.
4. BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
3. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).
Pause Basiler
Multiple Basiler
1.
Bercak (makula)
a. Jumlah
b. Ukuran
c. Distribusi
d. Konsistensi
e. Batas
f. Kehilangan rasa pada bercak
a. Banyak
b. Kecil-kecil
c. Bilateral, simetris
d. Halus, berkilat
e. Kurang tegas
f. Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut
g. Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok
2.
Infiltrat
a. Kulit
a. Tidak ada
Ciri hidung
Tidak ada
Kadang-kadang ada
5.
Deformitas cacat
Apusan
BTA negatif
BTA positif
6. Gambaran Klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling, gambaran klinis penyakit kusta, diantaranya:
a. Tipe Tuberkoloid (TT)
1) Mengenai kulit dan saraf.
2) Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol
healing ( + ).
3) Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau
tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
4) Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu
yang adekuat terhadap basil kusta.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat
lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi
kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a) Tidak menyenangkan pasien
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus
kulit negatif.
d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari
pada sediaan kulit ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a) Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten
terhadap obat
d) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau
kinyoun gabett.
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z,
dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk
utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
9. Penatalaksanaan
a. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah
timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang
menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
1) Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
a) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b) DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan
RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan
RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam
pengawasan.
2) Tipe MB (Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b) Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari
diminum di rumah
c) DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24
dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri
positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam
12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
Dosis untuk anak:
a) Klofazimin:
Umur dibawah 10 tahun :
1) Bulanan 100mg/bln
2) Harian 50mg/2kali/minggu
Umur 11-14 tahun :
1) Bulanan 100mg/bln
2) Harian 50mg/3kali/minggu
b) DDS : 1-2mg/Kg BB
c) Rifampisin : 10-15mg/Kg BB
Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta tipe PB
dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600mg, ofloksasim 400mg dan
minosiklin 100mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5
lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan
dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka
dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis
dari yang seharusnya.
b. Perawatan Umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya cacat pada
kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena
peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
1) Perawatan mata dengan lagophthalmos
a) Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
b) Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
c) Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
2) Perawatan tangan yang mati rasa
a) Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka, melepuh
b) Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah jam
c) Keadaan basah diolesi minyak
d) Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
e) Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
f) Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
3) Perawatan kaki yang mati rasa
a) Penderita memeriksa kaki tiap hari
b) Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
c) Masih basah diolesi minyak
d) Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
e) Jari-jari bengkok diurut lurus
f) Kaki mati rasa dilindungi
4) Perawatan luka
a) Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
b) Luka dibalut agar bersih
c) Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
d) Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
e. Riwayat Psikososial
fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu
karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi
ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1) Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi
motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus
hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan
irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
2) Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
3) Sistem persarafan:
a) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa
pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/
hilangnya reflek kedip.
b) Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil
(atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya
dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata
tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
c) Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga
kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
4) Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5) Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi
otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika
terdapat bercak.
2. Diagnosa
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan
fungsi tubuh
3. Intervensi
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.
Kriteria :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1) Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.
R/ Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi
daerah yang terdapat lesi.
3) Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada
jaringan sekitar.
R/ Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang.
Kriteria :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang
dan beraangsur-angsur hilang.
Intervensi :
1) Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri.
R/ Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
Intervensi :
1) Pertahankan posisi tubuh yang nyaman.
R/ Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas.
3) Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif
R/ Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi
otot/sendi.
4) Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat.
R/ Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas.
d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan
fungsi tubuh.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri
meningkat.
Kriteria :
1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi :
1) Kaji makna perubahan pada pasien.
R/ Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam
perbaikan optimal.
2) Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku
menarik diri.
R/ Penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan.
3) Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang
salah.
R/ Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan
rencana untuk masa depan berdasarkan realitas.
KUSTA
DEFINISI
Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit yang disebabkan oleh
ETIOLOGI
menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa salurean napas bagian
atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.Masa membelah diri M.
kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana
asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya
ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman
EPIDEMIOLOGI
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar
ahli melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan
erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat,
dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat
lesi pertama.
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu
ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan,
Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien
tipe MB (multy basiler) yang belum di obati atau tidak berobat secara teratur.
Insiden tinggi pada daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab. Insidens
penyakit kusta di indonesia pada maret 1999 sebesar 1,01 per 10.000 penduduk.
Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang
dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun,
PATOGENESIS
penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas seluler ( cellular mediated immune) pasien.
sedikit.
sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila
kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit
Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman
hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak
aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera
diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan
jaringan sekitar.
respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat
reaksi seluler daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat
MANIFESTASI KLINIS
histopatologis. Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu
kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas
BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.
Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulangn setiap 3
KLASIFIKASI
dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar
Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada
tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan
uji lepromin ( - ).
Lepromin ( - ).
jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan
PEMERIKSAAN KLINIS
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit diseluruh tubuh
diperhatikan seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput,
Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba),
jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam
perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan.
Erhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba.
Pemeriksaan fungsi saraf otonom. Yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada
lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta.
GAMBARAN KLINIS
1. Tipe Tuberkoloid ( TT )
· Mengenai kulit dan saraf.
· Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas,
· Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
· Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
· Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi
bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh.
Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian
tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa
cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada
tempat prediteksi.
5. Tipe Lepromatosa ( LL )
· Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas
tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
· Stadium lanjutan :
· Lebih lanjut
o Deformitas hidung
· Stadium lanjut
6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &
Jopling)
PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGIS
kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi
di tempat lain.
pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kkulit yang sama dan bila perlu ditambah
Tidak pernah ditemukan M. Leprae pada selaput lendir hidung apabila sediaan apus
kulit negatif
semua pasien baru yang di diagnosis secara klinis sebagai pasien kusta.
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman
yaitu Ziehl Neelsen atau Kinyoun-Gabett
cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig zag,
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insidens penyakit.
dan DDS dimulai tahun 1981. program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
sebagai berikut :
Tipe B
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis
dinyatakan RFT (released from treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun
secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT
tetapi menggunakan istilah completion of treatment cure dan pasien tidak lagi
dalam pengawasan.
Tipe MB
Jenis
minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta
tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,
ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,
sedanngkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk
Putus obat.
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
Evaluasi
pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan
masa pengamatan
relaps (kambuh)
terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.
INDIKASI RUJUKAN
indikasi sosial
KOMPLIKASI
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta
REAKSI KUSTA
kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respon seluler) atau reaksi
pengobatan dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai
JENIS REAKSI
secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor
pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan
Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada
Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana basil
kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi
dan komplemen sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara
antigen, antibodi, dan komplemen. Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di
kulit berbentuk nodul yang dikenal sebagai eritema nodosum leprosum ( ENL), mata
(iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi
seperti demam dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh lainnya.
Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik (kondisi
imunisasi, dan malaria) dan stres mental. Perjalanan reaksi dapat berlangsung
PENATALAKSANAAN
prinsip pengobatan
obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon
Klorokuin 3x150 mg/hari
Prednison 30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesugah makan atau
dapat juga diberikan secara dosis tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari, berangsur-
teratogenik.
Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk mellihat keadaan klinis. Bila
tidak ada perbaikan maka dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4
Klofazimin hanya diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis klofazimin
ditinggikan dari dosis pengobatan kusta. Untuk orang dewasa 3x100 mg/hari selama
1 bulan. Bila reaksi sudah berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2
x 100 mg/hari, selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi 1 x 100 mg/ hari selama 1
bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan kembali ke dosis semula, yaitu 50 mg/hari
Istirahat/imobilisasi
Obat yang digunakan sebagai analgesik adalah aspirin, parasetamol, dan antimon.
Aspirin masih merupakan obat yang terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri
digunakan pada reaksi tipe II untuk mengatasi rasa nyeri sendi dan tulang kini
jarang dipakai karena kurang efektif dan toksin. Dosis obat yang digunakan sebagai
berikut.
Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra indikasi, semua obat anti kusta dosis
Aspirin dan talidomin biasa digunakan untuk reaksi. Bila dianggap perlu dapat
Istirahat/imobilisasi
istirahat/imobilisasi
imobilisasi lokal pada anggota tubuh yang mengalami neuritis. Bila memungkinkan
REHABILITASI
yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi.
Lapangan pekerjaan dapat diusahakan untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat
tubuh. Tetapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada
setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan
semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur
dan benar sampai dinyatakan sembuh sacara medis. Rehabilitasi sosial bertujuan
memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil
usaha pasien.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KUSTA
PENGKAJIAN
1. gejala :malaise
· sirkulasi
· eliminasi
1. gejala : diare
· makanan/cairan
· neurosensori
o nyeri/kenyamanan
§ seksualitas
· penyuluhan/pembelajaran
kecanduan alkohol, penggunaan anti biotik ( baru saja atau jangka panjang )
DIAGNOSA KEPERAWATAN
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman pada kulit dan
jaringan subkutan.
kulit
INTERVENSI
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping
indifidu
Tujuan :
Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan kriteria
hasil :
Intervensi :
· Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan
latihan otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
Tujuan :
Intervensi :
Tujuan :
Intervensi :
jaringan subkutan
Tujuan:
Klien mampu merawat luka/lesi yang ada di kulit sehingga tidak mempengaruhi
3. klien mampu mengetahui bahwa lesi harus selalu dirawat agar tidak bertambah
parah
Intervensi :
Tujuan :
Klien mengetahui dengan keadaan sekarang maka sangat rentan terhadap berbagai
macam bakteri dan virus yang akan masuk kedalam tubuh sehingga klien akan lebih
DAFTAR PUSTAKA
· Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
EGC : Jakarta.
Jakarta
http://askepkusta.blogspot.com/
PENYAKIT KUSTA DAN ASUHAN PERAWATAN
OLEH : ERFANDI
A. DEFINISI
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
(Depkes RI, 1998)
A. ETIOLOGI
A. MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal
berikut:
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang
lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan
kelemahan otot.
2) BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.
A. KLASIFIKASI
Dibagi menjadi 2 :
Bercak tidak
berkeringat, ada Bercak masih berkeringat,
kehilangan bulu rontok pada bulu tidak rontok
berkemampuan bercak
berkeringat,berbulu
rontok pada bercak
2. Infiltrat Tidak ada Ada,kadang-kadang tidak
ada
kulit Tidak pernah ada
Ada,kadang-kadang tidak
membrana mukosa ada
tersumbat
perdarahan
dihidung
3. Ciri hidung ”central healing” a. punched out lession
penyembuhan ditengah
b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi Terjadi pada yang lanjut
dini, asimetris biasanya lebih dari 1 dan
simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris Terjadi pada stadium lanjut
terjadi dini
7. Apusan BTA negatif BTA positif
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup
dibedakan atas dua jenis yaitu:
Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih,
jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau
lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang
tepinya meninggi
Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala
kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas
Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal
dari pada bentuk basah
Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi
pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi
Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar
diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang
tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah
sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga
Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-
kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung
Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan
penyakit
Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina)
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe
borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini
dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
A. PATOGENESIS
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap
pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada
intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.
A. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Bakteriologis
2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan
lesi ditempat lain.
3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah
dengan lesi kulit yang baru timbul.
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman
resisten terhadap obat
8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig
zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang
mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),
granula (granulates), globus dan clumps.
A. PENATALAKSANAAN
1. TERAPI MEDIK
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan
DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang
semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,
dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6
dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut
WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion
Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
Klofazimin:
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/2kali/minggu
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/3kali/minggu
DDS:1-2mg /Kg BB
Rifampisin:10-15mg/Kg BB
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2. PERAWATAN UMUM
Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka,
melepuh
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang
setengah jam
Keadaan basah diolesi minyak
d) Perawatan luka
A. PENGKAJIAN
a. BIODATA
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat
sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya
bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya
lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang
gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada
organ tubuh
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi
lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,
sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi
yang diderita.
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan
g. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada
tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan
saraf tepi motorik.
Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika
ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan
pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
Sistem persarafan:
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur),
bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).
A. DIAGNOSA
1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
A. INTERVENSI
Diagnosa 1
Kriteria :
Intervensi:
1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar
luka
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar
Diagnosa 2
Intervensi:
Diagnosa 3
Kriteria:
Intervensi:
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam
perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan
Diagnosa 4
Kriteria:
Intervensi
DAFTAR PUSTAKA
Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII, Depkes
Jakarta
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius,
Jakarta.
Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II,
EGC. Jakarta, 1995