Anda di halaman 1dari 60

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KUSTA

A. Konsep Dasar Kusta


1. Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mikobakterium leprae)
yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998).
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi Mikobakterium leprae.
(Mansjoer Arif, 2000).
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan
jaringan tubuh lainnya.

2. Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler,
menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati,
sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri Mikobakterium leprae 12-21
hari dan masa tunasnya antara 40 hari sampai 40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-
satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam
media buatan dan BTA.

3. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian, tersering
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae
pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non
toksis.

M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh
darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh
bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk
memfagosit.

Tipe LL ; terjadi kelumpulan system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan
kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah
kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu
membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa
epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

Timbulnya penyakit pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal ini
bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan tubuh,
sosial ekonomi dan iklim.

Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi
Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat.
Bila seseorang terinfeksi M. leprae sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5% akan
menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30% bermanifestasi klinis menjadi determinate
dan 70% sembuh.

Insiden tinggi pada daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Insiden penyakit kusta di
Indonesia pada Mret 1999 sebesar 1,01 per 10.000 penduduk.

Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Frekuensi
tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25 – 35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur
10 – 12 tahun.

4. Patofisiologi
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada
kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem
imunitas selular (cellular mediated immune) paien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit
berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. M. leprae
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi
yang sedikit.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon imun pada tiap
pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada intensitas
infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.

5. Klasifikasi Kusta
Menurut Ridley dan Jopling membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
TT (Tipe Tuberkoloid)

BT (Borderline Tuberkoloid)

BL (Borderline Lepromatus)

LL (Lepromatosa)
1. Lesi berupa makula hipopigmentasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang dengan
skuama di atasnya.

2. Jumlah biasanya yang satu dengan yang besar bervariasi.

3. Gejala berupa gangguan sensasibilita, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat.

4. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.

1. Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering.


2. Jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ).

3. Gangguan sensibilitas sedikit.

4. BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).

1. Lesi infiltrat eritematosa.

2. Jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris.

3. Gangguan sensibilitas sedikit/( - ).

4. BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).

1. Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil.

2. Jumlah sangat banyak dan simetris.

3. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

Klasifikasi menurut WHO (1995) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:


a. Pause Basiler (PB) : I, TT, BT
b. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
Perbedaan antara kusta Pause Basiler (PB) dengan Multi Basiler (MB) menurut WHO
No.

Kelainan kulit & hasil pemeriksaan

Pause Basiler

Multiple Basiler
1.

Bercak (makula)
a. Jumlah
b. Ukuran
c. Distribusi

d. Konsistensi
e. Batas
f. Kehilangan rasa pada bercak

g. Kehilangan berkemampuan berkeringat, berbulu rontok pada bercak


a. 1-5
b. Kecil dan besar
c. Unilateral atau bilateral asimetris
d. Kering dan kasar
e. Tegas
f. Selalu ada dan jelas

g. Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak

a. Banyak
b. Kecil-kecil
c. Bilateral, simetris

d. Halus, berkilat
e. Kurang tegas
f. Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut
g. Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok
2.

Infiltrat
a. Kulit

b. Membrana mukosa tersumbat perdarahan dihidung

a. Tidak ada

b. Tidak pernah ada

a. Ada, kadang-kadang tidak ada


b. Ada, kadang-kadang tidak ada
3.

Ciri hidung

”central healing” penyembuhan ditengah

a. Punched out lession


b. Medarosis
c. Ginecomastia
d. Hidung pelana
e. Suara sengau
4.
Nodulus

Tidak ada

Kadang-kadang ada
5.

Penebalan saraf tepi

Lebih sering terjadi dini, asimetris

Terjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari 1 dan simetris


6.

Deformitas cacat

Biasanya asimetris terjadi dini

Terjadi pada stadium lanjut


7.

Apusan

BTA negatif

BTA positif

6. Gambaran Klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling, gambaran klinis penyakit kusta, diantaranya:
a. Tipe Tuberkoloid (TT)
1) Mengenai kulit dan saraf.
2) Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol
healing ( + ).
3) Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau
tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
4) Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu
yang adekuat terhadap basil kusta.

b. Tipe Borderline Tuberkoloid (BT)


1) Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
2) Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT.
3) Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
4) Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

c. Tipe Mid Borderline (BB)


1) Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
2) Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
3) Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung
simetris.
4) Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
5) Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah
dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

d. Tipe Borderline Lepromatus (BL)


Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih
jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag
tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan
penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.

e. Tipe Lepromatosa (LL)


Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau tidak
ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
1) Distribusi lesi khas:
a) Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
b) Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
2) Stadium lanjutan:
a) Penebalan kulit progresif
b) Cuping telinga menebal
c) Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan
keratitis.
3) Lebih lanjut:
a) Deformitas hidung
b) Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
c) Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
d) Penyakit progresif, makula dan popul baru.
e) Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
4) Stadium lanjut:
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan
tangan dan kaki.
f. Tipe Interminate (tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
1) Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
2) Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan
makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
3) Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
4) Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain:


a. Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
b. Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
c. Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
d. Lidah : ulkus, nodus
e. Larings : suara parau
f. Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
g. Kelenjar limfe : limfadenitis
h. Rambut : alopesia, madarosis
i. Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut:
a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi
kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan
sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi,
bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
b. BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.
c. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas
dua jenis yaitu:
a. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
1) Merupakan bentuk yang tidak menular
2) Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya
hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering,
perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi
3) Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak
begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas
4) Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada
bentuk basah
5) Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman
penyebab
6) Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang
yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi

b. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)


1) Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir
hidung, kulit maupun organ tubuh lain
2) Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya
tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta
3) Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan
ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak.
Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan
daun telinga
4) Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi
hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung
5) Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit
6) Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina)
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe
borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam
pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
7. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan fungsi
saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

8. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat
lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi
kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a) Tidak menyenangkan pasien
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus
kulit negatif.
d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari
pada sediaan kulit ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a) Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten
terhadap obat
d) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau
kinyoun gabett.
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z,
dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk
utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

b. Indeks Bakteri (IB):


Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk
menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala
logaritma RIDLEY sebagai berikut :
0 : Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 : Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 : Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 : Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 : Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 : Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 : Bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
c. Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui
daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi
terhadap obat.

9. Penatalaksanaan
a. Terapi Medik

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah
timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang
menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
1) Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
a) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b) DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan
RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan
RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam
pengawasan.
2) Tipe MB (Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b) Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari
diminum di rumah
c) DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24
dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri
positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam
12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
Dosis untuk anak:
a) Klofazimin:
Umur dibawah 10 tahun :
1) Bulanan 100mg/bln
2) Harian 50mg/2kali/minggu
Umur 11-14 tahun :
1) Bulanan 100mg/bln
2) Harian 50mg/3kali/minggu
b) DDS : 1-2mg/Kg BB
c) Rifampisin : 10-15mg/Kg BB
Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta tipe PB
dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600mg, ofloksasim 400mg dan
minosiklin 100mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5
lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan
dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka
dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis
dari yang seharusnya.
b. Perawatan Umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya cacat pada
kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena
peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
1) Perawatan mata dengan lagophthalmos
a) Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
b) Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
c) Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
2) Perawatan tangan yang mati rasa
a) Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka, melepuh
b) Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah jam
c) Keadaan basah diolesi minyak
d) Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
e) Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
f) Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
3) Perawatan kaki yang mati rasa
a) Penderita memeriksa kaki tiap hari
b) Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
c) Masih basah diolesi minyak
d) Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
e) Jari-jari bengkok diurut lurus
f) Kaki mati rasa dilindungi
4) Perawatan luka
a) Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
b) Luka dibalut agar bersih
c) Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
d) Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:


a. Kulit halus dan berminyak
b. Tidak ada kulit tebal dan keras
c. Luka dibungkus dan bersih
d. Jari-jari bengkak menjadi kaku

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa
pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan
tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta
adalah dari golongan ekonomi lemah.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal
atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum
penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan,
malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi

d. Riwayat Kesehatan Keluarga


Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (
mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota
keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

e. Riwayat Psikososial
fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu
karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan

f. Pola Aktivitas Sehari-hari


Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun
kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena
kondisinya yang tidak memungkinkan.

g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi
ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1) Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi
motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus
hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan
irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
2) Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
3) Sistem persarafan:
a) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa
pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/
hilangnya reflek kedip.
b) Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil
(atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya
dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata
tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
c) Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga
kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

4) Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

5) Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi
otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika
terdapat bercak.

2. Diagnosa
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan
fungsi tubuh

3. Intervensi
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.

Kriteria :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1) Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.
R/ Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi
daerah yang terdapat lesi.

2) Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi.


R/ Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.

3) Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada
jaringan sekitar.
R/ Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.

4) Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam.


R/ Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi.
5) Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan.
R/ Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan.

b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang.

Kriteria :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang
dan beraangsur-angsur hilang.

Intervensi :
1) Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri.
R/ Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.

2) Observasi tanda-tanda vital.


R/ Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien.

3) Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi.


R/ Dapat mengurangi rasa nyeri.

4) Atur posisi senyaman mungkin.


R/ Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri.

5) Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.


R/ Menghilangkan rasa nyeri.

c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat
dilakukan.
Kriteria :
1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
2) Kekuatan otot penuh

Intervensi :
1) Pertahankan posisi tubuh yang nyaman.
R/ Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas.

2) Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit.


R/ Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas.

3) Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif
R/ Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi
otot/sendi.
4) Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat.
R/ Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas.

5) Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/orang yang terdekat pada latihan.


R/ Menampilkan keluarga/orang terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan
terapi lebih konstan.

d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan
fungsi tubuh.

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri
meningkat.

Kriteria :
1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif

Intervensi :
1) Kaji makna perubahan pada pasien.
R/ Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam
perbaikan optimal.

2) Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku
menarik diri.
R/ Penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan.
3) Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang
salah.
R/ Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan
rencana untuk masa depan berdasarkan realitas.

4) Berikan penguatan positif.


R/ Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif.

5) Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat.


R/ Meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien.
Diposkan oleh Yogi Giantara di 04.18
Askep kusta

 KUSTA

DEFINISI

Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit yang disebabkan oleh

infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) penyakit ini menular yang menahun yang

menyerang saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya

  

ETIOLOGI

M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraseluler,

menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa salurean napas bagian

atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.Masa membelah diri M.

leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun. M. Leprae atau

kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana

dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan

asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya

ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman

ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.

EPIDEMIOLOGI

            Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar

ahli melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan

erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat,

dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat

lesi pertama.

            Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu

ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan,

kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi dan iklim.

            Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien

tipe MB (multy basiler) yang belum di obati atau tidak berobat secara teratur.

            Bila seseorang terinfeksi M. Leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh

sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30%

bermanisfestasi klinis menjadi determinate  dan 70% sembuh. 

Insiden tinggi pada daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab. Insidens

penyakit kusta di indonesia pada maret 1999 sebesar 1,01 per 10.000 penduduk.
            Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang

dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun,

sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun.

PATOGENESIS

            Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa

penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan

melalui mukosa nasal.

            Setelah M. Leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta

bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui

tergantung pada derajat sistem imunitas seluler ( cellular mediated immune) pasien.

Kalau sistem imunitas seluler tinggi. Penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan

bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M. Leprae berpredileksi di daerah-

daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasiyang

sedikit.

M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag

sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila

kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit

darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.


Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu

menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman

hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak

aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera

diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan

jaringan sekitar.

            Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena

respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat

reaksi seluler daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat

disebut sebagai penyakit imunologis.

MANIFESTASI KLINIS

            Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan

histopatologis. Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu

dari tanda kardinal berikut.

Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.


Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-

kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi

umumnya berupa makula, papul, atau nodul.

Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf

terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan

kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas

dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.

BTA positif.

Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.

Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulangn setiap 3

bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.

KLASIFIKASI

            Klasifikasi berdasarkan Ridley dan Joping adalah tipe TT (tuberkoloid), BT

(borderkine tuberkoloid), BB (mid borderline), BL (borderline lepromatous), dan LL

(lepromatosa). Sedangkan departemen kesehatan Dirjen P2MPLP (1999) dan WHO

(1995) membagi tipe menjadi tipe pause basiler (PB) dan multy basiler (MB). Dan

membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo

patologik, dan status imun penderita menjadi


1.      TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering

dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar

bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan

sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.

2.      BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering

bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )

3.      Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat.

Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada

tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.

Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan

uji lepromin ( - ).

4.      BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi,

bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji

Lepromin ( - ).

5.      LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil,

jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan

kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :

1.      Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT


2.      Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

PEMERIKSAAN KLINIS

inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan

tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit diseluruh tubuh

diperhatikan seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput,

penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).

Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba),

jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam

tabung reaksi (rasa suhu).

Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. Auricularis, n. Ulnaris, n.

Radialis, n. Medianus, n. Peroneus, dan n. Tibialis posterior. Hasis pemeriksaan yang

perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan.

Erhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba.

Pemeriksaan fungsi saraf otonom. Yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada

lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta.

GAMBARAN KLINIS

Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling

1.      Tipe Tuberkoloid ( TT )
·         Mengenai kulit dan saraf.

·         Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas,

regresi, atau, kontrol healing ( + ).

·         Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan

psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,

kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

·         Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya

respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

2.      Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )

·         Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

·         Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.

·         Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

·         Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

3.      Tipe Mid Borderline ( BB )

·         Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.

·         Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.

·         Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi

tipe BT, cenderung simetris.

·         Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.


·         Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada

bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

4.      Tipe Borderline Lepromatus ( BL )

Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh.

Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian

tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa

hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih

cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada

tempat prediteksi.

5.      Tipe Lepromatosa ( LL )

·         Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas

tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

·         Distribusi lesi khas :

o        Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

o        Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.

·         Stadium lanjutan :

o        Penebalan kulit progresif

o        Cuping telinga menebal


o        Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai

madarosis, intis dan keratitis.

·         Lebih lanjut

o        Deformitas hidung

o        Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

o        Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

o        Penyakit progresif, makula dan popul baru.

o        Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

·         Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi

dan pengecilan tangan dan kaki.

6.      Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &

Jopling)

·         Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

·         Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat

ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

·         Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

·         Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain


·         Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan

·         Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana

·         Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis

·         Lidah : ulkus, nodus

·         Larings : suara parau

·         Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi

·         Kelenjar limfe : limfadenitis

·         Rambut : alopesia, madarosis

·         Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGIS

Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :

sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.

kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi

di tempat lain.

pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kkulit yang sama dan bila perlu ditambah

dengan lesi kulit yang baru timbul.

lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. Leprae ialah :

cuping telinga kanan/kiri

dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain.


sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena :

Tidak menyenangkan pasien

Positif palsu karena ada mikrobakterium yang lain

Tidak pernah ditemukan M. Leprae pada selaput lendir hidung apabila sediaan apus

kulit negatif

Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dahulu

negatif daripada sediaan kulit ditempat lain

indikasi pengambilan sediaan apus kulit :

semua orang dicurugai menderita kusta

semua pasien baru yang di diagnosis secara klinis sebagai pasien kusta.

Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman

resisten terhadap obat.

Semua pasien MB setiap satu tahun sekali.

pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,

yaitu Ziehl Neelsen  atau Kinyoun-Gabett

cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig zag,

huruf z, dan setengah/seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan

adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular (granulates),

globus, dan chumps.


PENATALAKSANAAN

            Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien

kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari

pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan

insidens penyakit.

            Program multy drug therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,

dan DDS dimulai tahun 1981. program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi

dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan

angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

            Rejimen pengobatan MDT di indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995)

sebagai berikut :

Tipe B

Jenis obat dan dosis untuk dewasa :

rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.

DSS tablet 100 mg/hari diminum dirumah.

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis

dinyatakan RFT (released from treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun

secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT
tetapi menggunakan istilah completion of treatment cure dan pasien tidak lagi

dalam pengawasan.

Tipe MB

Jenis

rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.

klofazimin 300 mg/bulan diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50

mg/hari diminum dirumah.

DSS 100 mg/hari diminum dirumah.

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai

minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan

pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan  MB diberikan untuk

12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

Dosis untuk anak

- klofazimin :     umur dibawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan

                                                                 Harian 50 mg/2 kali/minggu

                        Umur 11-14 tahun             bulanan 100 mg/bulan

                                                                 Harian 50 mg/3 kali/minggu

- DDS                                                       1-2 mg/kg berat badan


- rifampisin                                                10-15 mg/kg berat badan

Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta

tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,

ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,

sedanngkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk

tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan di anjurkan digunakan sebanyak 24

dosis dalam 24 bulan.

Putus obat.

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang

seharusnya maka dinyatakan DO< sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO

bila tidak minum obat sebanyak 12 dosis dari yang seharusnya.

Evaluasi

Evaluasi pengobatan menurut buku panduan pemberantasan penyakit kusta depkes

(1999) adalah sebagai berikut :

pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan

dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.


pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan

dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.

RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan

laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register

pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.

masa pengamatan

pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif :

Tipe PB selama 2 tahun

Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.

hilang/out of control (OOC)

pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil

obat dan dikeluarkan dari registrasi pasien.

relaps (kambuh)

terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.

INDIKASI RUJUKAN

memastikan diagnosis penyakit kusta

neuritis akut dan sebakut

reaksi reversal berat

reaksi ENL berat


komplikasi pada mata

reaksi terhadap antikusta

tersangka resisten terhadap antikusta

pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medik

pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat

pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi

pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi

luka lebar dan dalam pada anggota gerak

pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah septik

pasien yang memerlukan protese

indikasi sosial

KOMPLIKASI

            Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta akibat

kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta 

REAKSI KUSTA

            Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan

kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respon seluler) atau reaksi

antigen-antibodi (respon humoral) dengan akibat merugikan pasien.


            Reaksi ini dapat  terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan, selama

pengobatan dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai

setahun esudah mulai pengobatan.

JENIS REAKSI

reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi boederline )

Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebakan seluler

secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor

pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan

reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada

saraf), dan/atau gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi).

reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum)

Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana basil

kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi

dan komplemen sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara

antigen, antibodi, dan komplemen. Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di

kulit berbentuk nodul yang dikenal sebagai eritema nodosum leprosum ( ENL), mata
(iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi

seperti demam dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh lainnya.

Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik (kondisi

lemah, menstruasi, hamil, setelah melahirkan, pembedahan, sesudah mendapat

imunisasi, dan malaria) dan stres mental. Perjalanan reaksi dapat berlangsung

sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama.

PENATALAKSANAAN

prinsip pengobatan

pemberian obat anti reaksi

obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon

sebagai anti implamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :

Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari

Klorokuin         3x150 mg/hari

Prednison         30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesugah makan atau

dapat juga diberikan secara dosis tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari, berangsur-

angsur diturunkan 5-10 mg/2 minggu setelah terjadi respon maksimal.

Untuk melepas ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II digunanakan

talidomid. Dosis talidomid 400 mg/hari yang berangsur-angsur ditirunkan sampai 50


mg/hari. Tidak dianjurkan untuk wanita usia subur karena talidomid bersifat

teratogenik.

Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk mellihat keadaan klinis. Bila

tidak ada perbaikan maka dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4

minggu atau dapat ditingkatkan (misalnya dari 15 mg menjadi 20 mg sehari). Setelah

ada perbaikan dosis diturunkan.

Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin.

Klofazimin hanya diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis klofazimin

ditinggikan dari dosis pengobatan kusta. Untuk orang dewasa 3x100 mg/hari selama

1 bulan. Bila reaksi sudah berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2

x 100 mg/hari, selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi 1 x 100 mg/ hari selama 1

bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan kembali ke dosis semula, yaitu 50 mg/hari

Istirahat/imobilisasi

Pemberian analgesik dan sedatif

Obat yang digunakan sebagai analgesik adalah aspirin, parasetamol, dan antimon.

Aspirin masih merupakan obat yang terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri

(aspirin digunakan sebagai antiinflamasi dan analgesik). Menurut WHO (1998),

parasetamol juga dapat digunakan sebagai analgesik. Sedangkan antimon yang

digunakan pada reaksi tipe II untuk mengatasi rasa nyeri sendi dan tulang kini
jarang dipakai karena kurang efektif dan toksin. Dosis obat yang digunakan sebagai

berikut.

Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari

Parasetamol      300-1000 mg yang diberikan tiap 4-6 x sehari (dewasa)

Antimon           2-3 ml diberikan secara selangn seling, maksimum 30 ml

Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah

Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra indikasi, semua obat anti kusta dosis

penuh harus tetap diberikan.

pengobatan reaksi ringan

pemberian obat antireaksi.

Aspirin dan talidomin biasa digunakan untuk reaksi. Bila dianggap perlu dapat

diberikan klorokuin selama 3-5 hari.

Istirahat/imobilisasi

Berobat jalan dan istirahat dirumah

Pemberian analgetik dan sedatif

Pemberian obat analgetik dan penenang bila perlu

Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak di ubah.

pengobatan reaksi berat

pemberian obat antireaksi


pada reaksi berat diberikan preednison dalam dosis tunggal atau terbagi

istirahat/imobilisasi

imobilisasi lokal pada anggota tubuh yang mengalami neuritis. Bila memungkinkan

pasien dirawat inap di rumah sakit.

Pemberian analgetik dan sedatif

Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah

REHABILITASI

            Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, dan sosial. Usaha medis

yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi.

Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki.

Lapangan pekerjaan dapat diusahakan untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat

tubuh. Tetapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada

setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan

semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur

dan benar sampai dinyatakan sembuh sacara medis. Rehabilitasi sosial bertujuan

memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya dengan

memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil

usaha pasien.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KUSTA

PENGKAJIAN

Dasar data pengkajian klien

·         aktivitas atau istirhat

1.      gejala :malaise

·         sirkulasi

tanda : td normal/sedikit dari jangkauan normal ( selama curah jantung tetap

meningkat ), kulit hangat kering, bercahaya,pucat, lembab, burik ( vasokontriksi )

·         eliminasi

1.      gejala : diare

·         makanan/cairan

1.      gejala : anoreksia, mual/muntah

2.      tanda : penurunan BB, penurunan lemak subkutan/massa otot ( malnutrisi ),

pengeluaran haluaran, konsentrasi urine, perkembangan ke arah oliguri, anuria

·         neurosensori

1.      gejala : sakit kepala, pusing, pinsang

2.      tanda : gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma

o        nyeri/kenyamanan

1.      gejala : kejang abdominal, lokalisasi rasa sakit, urtikaria/pruritas umum


·         pernapasan

1.      tanda : takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan, suhu : umunya

meningkat ( 37.95 oc atau lebih ), tetapi kadang sub normal ( <>

§         seksualitas

1.      gejala : pruritas perineal

2.      tanda : maserasi vulva, pengeringan vgina purulen

·         penyuluhan/pembelajaran

1.      gejala : masalah kesehatan kronis/melemahkan, misalnya : hati, ginjal, DM,

kecanduan alkohol, penggunaan anti biotik ( baru saja atau jangka panjang )

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.      Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu

2.      Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses reaksi

3.      Gangguan aktivitas b/d post amputasi

4.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman pada kulit dan

jaringan subkutan.

5.      Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan berkurangnya elastisitas

kulit

INTERVENSI
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping

indifidu

Tujuan :

Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan kriteria

hasil :

·         Klien dapat menerima perubahan dirinya

·         Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)

·         Klien tidak merasa malu

Intervensi :

·         Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan

bahwa perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.

·         Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan

latihan otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.

·         Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.

Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi

Tujuan :

Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan

keperawatan, dengan kriteria hasil :

·         Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi


·         Klien tenang

·         Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari

Intervensi :

1.      Kaji skala nyeri klien

2.      Alihkan perhatian klien terhadap nyeri

3.      Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital

4.      Awasi keadaan luka operasi

5.      Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk mengurangi nyeri

6.      Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.

Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi

Tujuan :

Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan

tindakan keperaatan dengan kriteria hasil :

·         Klien dapat beraktivitas mandiri

·         Klien tidak diam di tempat tidur terus

Intervensi :

1.      Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri

2.      mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi

3.      Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya.


Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman pada kulit dan

jaringan subkutan

Tujuan:

Klien mampu merawat luka/lesi yang ada di kulit sehingga tidak mempengaruhi

konsep diri dengan kriteria hasil :

1.      klien mampu beradaptasi dengan orang-orang disekitarnya

2.      klien tidak lagi merasa malu karena luka/lesi yang ada

3.      klien mampu mengetahui bahwa lesi harus selalu dirawat agar tidak bertambah

parah

Intervensi :

·         kaji/catat ukuran, warna, dan kedalaman luka

·         gunakan krim kulit 2xsehari setelah mandi

·         pijat kulit dengan lembut untuk memperbaiki sirkulasi kulit

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan berkurangnya elastisitas kulit

Tujuan :

Klien mengetahui dengan keadaan sekarang maka sangat rentan terhadap berbagai

macam bakteri dan virus yang akan masuk kedalam tubuh sehingga klien akan lebih

berhati-hati dan juga merawat diri. Dengan kriteria hasil :

1. tidak ada bakteri/virus lain yang ada dalam tubuh klien


Intervensi :

·         cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan

sarung tangan seteril

·         pantau adanya tanda-tanda infeksi

·         gunakan selalu alas kaki dan jangan berjalan terlalu cepat

DAFTAR PUSTAKA

·        Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia : Jakarta.

·        Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.

EGC : Jakarta.

Carpenito, L. J. 1999. Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi, keperawatan,

Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2. Jakarta. EGC.

Mansjoer, Arif M. Kapita selekta kedokteran, jilid 1. 2000. Media aesculapius.

Jakarta

http://askepkusta.blogspot.com/
PENYAKIT KUSTA DAN ASUHAN PERAWATAN
OLEH : ERFANDI

A. DEFINISI

Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
(Depkes RI, 1998)

Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium


leprae. (Mansjoer Arif, 2000)

A. ETIOLOGI

Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat


intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas
bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri
mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman
kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya
berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.

A. MANIFESTASI KLINIS

Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal
berikut:

1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas

Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang
lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan
kelemahan otot.

2) BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.

3) Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.

A. KLASIFIKASI

Dibagi menjadi 2 :

Kelainan kulit & hasil


No. Pause Basiler Multiple Basiler
pemeriksaan
1. Bercak (makula) 1-5 Banyak

jumlah Kecil dan besar Kecil-kecil

ukuran Unilateral atau Bilateral, simetris


bilateral asimetris
distribusi Halus, berkilat
Kering dan kasar
konsistensi Kurang tegas
Tegas
batas Biasanya tidak jelas, jika
Selalu ada dan jelas ada terjadi pada yang
kehilangan rasa pada sudah lanjut
bercak

Bercak tidak
berkeringat, ada Bercak masih berkeringat,
kehilangan bulu rontok pada bulu tidak rontok
berkemampuan bercak
berkeringat,berbulu
rontok pada bercak
2. Infiltrat Tidak ada Ada,kadang-kadang tidak
ada
kulit Tidak pernah ada
Ada,kadang-kadang tidak
membrana mukosa ada
tersumbat
perdarahan
dihidung
3. Ciri hidung ”central healing” a. punched out lession
penyembuhan ditengah
b. medarosis

c. ginecomastia

d. hidung pelana

e. suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi Terjadi pada yang lanjut
dini, asimetris biasanya lebih dari 1 dan
simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris Terjadi pada stadium lanjut
terjadi dini
7. Apusan BTA negatif BTA positif

Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup
dibedakan atas dua jenis yaitu:

1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)

Merupakan bentuk yang tidak menular

Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih,
jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau
lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang
tepinya meninggi

Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala
kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas

Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal
dari pada bentuk basah

Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya


kuman penyebab

Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi
pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi

2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)

Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di


selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain
Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada
orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta

Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar
diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang
tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah
sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga

Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-
kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung

Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan
penyakit

Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina)

Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe
borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini
dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.

A. PATOGENESIS

Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta


bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung
pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem
imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah
berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah
yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap
pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada
intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.

A. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Bakteriologis

Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:

1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.

2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan
lesi ditempat lain.

3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah
dengan lesi kulit yang baru timbul.

4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:

a. Cuping telinga kiri atau kanan

b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain

5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:

a. Tidak menyenangkan pasien

b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain

c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung


apabila sedian apus kulit negatif.

d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu


negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.

6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:

a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta

b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman
resisten terhadap obat

d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali

7. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl


neelsen atau kinyoun gabett

8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig
zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang
mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),
granula (granulates), globus dan clumps.

Indeks Bakteri (IB):

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB


digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:

0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang

3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM)


Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan
untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.

A. PENATALAKSANAAN

1. TERAPI MEDIK

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan
DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang
semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,
dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai


berikut:

a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :

Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas

DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6
dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut
WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion
Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

b) Tipe MB ( MULTI BASILER)


Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas

Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin


50 mg /hari diminum di rumah

DDS 100 mg/hari diminum dirumah

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai


minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan
untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung
dinyatakan RFT.

c) Dosis untuk anak

Klofazimin:

Umur dibawah 10 tahun :

o Bulanan 100mg/bln

o Harian 50mg/2kali/minggu

Umur 11-14 tahun

o Bulanan 100mg/bln

o Harian 50mg/3kali/minggu

DDS:1-2mg /Kg BB

Rifampisin:10-15mg/Kg BB

d) Pengobatan MDT terbaru


Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien
kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600
mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan
RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan.
Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan
sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.

e) Putus obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

2. PERAWATAN UMUM

Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya


cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman
kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.

a) Perawatan mata dengan lagophthalmos

Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran

Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat

Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu

b) Perawatan tangan yang mati rasa

Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka,
melepuh

Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang
setengah jam
Keadaan basah diolesi minyak

Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus

Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku

Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

c) Perawatan kaki yang mati rasa

Penderita memeriksa kaki tiap hari

Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam

Masih basah diolesi minyak

Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus

Jari-jari bengkok diurut lurus

Kaki mati rasa dilindungi

d) Perawatan luka

Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam

Luka dibalut agar bersih

Bagian luka diistirahatkan dari tekanan

Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:

1) Kulit halus dan berminyak

2) Tidak ada kulit tebal dan keras


3) Luka dibungkus dan bersih

4) Jari-jari bengkak menjadi kaku

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

a. BIODATA

Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat
sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya
bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.

b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya
lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang
gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada
organ tubuh

c. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi
lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.

d. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan


oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5
tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen
akan tertular.

e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,
sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi
yang diderita.

f. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan

g. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada
tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan
saraf tepi motorik.

Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika
ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan
pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.

Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.

Sistem persarafan:

a. Kerusakan fungsi sensorik


Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat
kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada
kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

b. Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur),
bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).

c. Kerusakan fungsi otonom

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan


sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya
dapat pecah-pecah.

Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya


kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu),


bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika
ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-
pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

A. DIAGNOSA

1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi

2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan

3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik


4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh

A. INTERVENSI

Diagnosa 1

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan


berangsur-angsur sembuh.

Kriteria :

1) Menunjukkan regenerasi jaringan

2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi

Intervensi:

1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar
luka

Rasional:Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan


atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.

2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi

Rasional:menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.

3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar

Rasional :Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan


mengidentifikasi terjadinya komplikasi.

4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam


Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi

5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan

Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan

Diagnosa 2

Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan


berangsur-angsur hilang

Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat


berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang

Intervensi:

1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri

Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan


intervensi.

2. Observasi tanda-tanda vital

Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien

3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi

Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri

4. Atur posisi senyaman mungkin

Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri

5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi


Rasional:menghilangkan rasa nyeri

Diagnosa 3

Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi


dan aktivitas dapat dilakukan

Kriteria:

1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari

2) Kekuatan otot penuh

Intervensi:

1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman

Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas

2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit

Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas

3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif


kemudian aktif

Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan,


meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi

4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode


istirahat

Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas

5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam
perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan

Diagnosa 4

Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara


optimal dan konsep diri meningkat

Kriteria:

1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri

2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif

Intervensi

1. Kaji makna perubahan pada pasien

Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini


memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal

2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan


perilaku menarik diri.

Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang


terjadi membantu perbaikan

3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan


kenyakinan yang salah

Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk


menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas

4. Berikan penguatan positif


Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping
positif

5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat

Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang


lebih membantu pasien

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII, Depkes
Jakarta

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius,
Jakarta.

Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II,
EGC. Jakarta, 1995

Simposium Penyakit Kusta, FKUA Surabaya

Marrilyn, Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai