Anda di halaman 1dari 37

SYOK HEMORAGIK

Laporan Kasus

Disusun Oleh:

Dara Hanifa Rahman 150100050


Muhammad Deri Pradana 150100058
Salma Khairunnisa 150100063
Hakimah Hasan Lubis 150100079

Pembimbing:

dr. Raka Jati Prasetya, Sp.An

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
penyertaannya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang bejudul “Syok
Hemoragik” ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak
kekurangan, baik dari segi struktur dan isi. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
yang berguna untuk laporan kasus ini di kemudian hari. Semoga laporan kasus ini
dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama di
bidang Ilmu Kedokteran.

Medan, 31 Januari 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Tujuan......................................................................................................2
1.3 Manfaat....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3
2.1 Definisi....................................................................................................3
2.2 Klasifikasi................................................................................................3
2.3 Etiologi.....................................................................................................4
2.4 Fisiologi...................................................................................................5
2.4.1 Fisiologi Kardiovaskuler...............................................................5
2.4.1 Fisiologi Saraf Otonom................................................................10
2.5 Patofisiologi...........................................................................................12
2.6 Manifestasi Klinis..................................................................................15
2.7 Diagnosis...............................................................................................17
2.8 Tatalaksana............................................................................................21
2.8.1 Penanganan Syok Hemoragik......................................................22
2.8.2 Akses Vaskular.............................................................................23
2.8.3 Inisiasi Terapi Cairan...................................................................23
2.8.4 Transfusi Darah............................................................................25
2.8.5 Perhatian Khusus..........................................................................25
BAB III STATUS PASIEN.............................................................................27

BAB IV KESIMPULAN.................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................33

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Syok adalah keadaan dimana tidak cukupnya perfusi dan oksigenasi


jaringan yang ditandai oleh ketidakseimbangan antara pasokan oksigen (DO 2) dan
permintaan (VO2), yang akan menyebabkan cedera pada jaringan tubuh.1 Banyak
proses klinis yang dapat menyebabkan syok sehingga terjadinya proses perfusi
yang tidak memadai ke sistem organ utama, seperti otak, jantung, ginjal, hati, dan
abdomen. Hal ini akan menyebabkan metabolisme anaerob, kegagalan
multiorgan, dan kematian ketika perfusi yang memadai tidak dipulihkan.2 Syok
dikategorikan menjadi syok hipovolemik/hemoragik, syok kardiogenik, syok
distributif, dan syok obstruktif.3
Syok hipovolemik didefinisikan sebagai kehilangan cairan yang cepat atau
kehilangan darah yang mengakibatkan disfungsi organ multipel karena volume
darah dan perfusi sirkulasi yang tidak adekuat.3 Syok ini dapat terjadi akibat
perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan
(ekstravasasi) ke ruang tubuh non-fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai
sebab seperti luka bakar dan diare berat.4
Pasien dengan syok hipovolemik mengalami hipovolemia berat disertai
dengan penurunan perfusi perifer. Jika tidak diobati, pasien ini dapat mengalami
cedera iskemik organ vital, yang menyebabkan kegagalan organ multi-sistem.
Faktor pertama yang harus dipertimbangkan adalah apakah syok hipovolemik
terjadi akibat perdarahan atau kehilangan cairan, karena ini akan menentukan
perawatan. Ketika etiologi syok hipovolemik telah ditentukan, penggantian darah
atau kehilangan cairan harus dilakukan sesegera mungkin untuk meminimalkan
iskemi jaringan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan ketika mengganti
kehilangan cairan meliputi laju penggantian cairan dan jenis cairan yang akan
digunakan.5

1
1.2 Tujuan
Tujuan dalam penulisan laporan kasus ini adalah :
1. Mengetahui alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat
khususnya pada syok hemoragik.
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Senior Program Pendidikan Profesi Kedokteran di Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan laporan kasus ini adalah
meningkatkan pemahaman terhadap kasus syok hemoragik serta penanganan
kegawatdaruratan sesuai kompentensi pada tingkat pelayanan primer.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya
volume plasma di intravaskuler. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paling
sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal
juga dengan syok hemoragik.3
Syok hipovolemik adalah suatu kondisi perfusi organ yang tidak adekuat
yang disebabkan oleh hilangnya volume intravaskular, biasanya akut. Hasilnya
adalah penurunan preload jantung ke tingkat kritis dan mengurangi sirkulasi
pembuluh darah besar dan kecil, yang mana dapat berdampak buruk terhadap
metabolisme jaringan dan memicu reaksi inflamasi.6

2.2 Klasifikasi
Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok hipovolemik dapat
dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium. Stadium syok dibagi
berdasarkan persentase kehilangan darah. Setiap stadium syok hipovolemik ini
dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis tersebut.3

Gambar 2.1 Klasifikasi syok hipovolemik


Sistem klasifikasi berikut berguna dalam menekankan tanda awal dan
patofisiologi keadaan syok :7
 Stadium I dicontohkan oleh kondisi seseorang yang telah
menyumbangkan 1 unit darah.
 Stadium II adalah perdarahan tanpa komplikasi yang membutuhkan
resusitasi cairan kristaloid.
 Stadium III adalah keadaan hemoragik yang rumit di mana setidaknya
diperlukan infus kristaloid dan mungkin juga penggantian darah.
 Stadium IV dianggap sebagai peristiwa preterminal; kecuali diambil
tindakan agresif, pasien akan mati dalam beberapa menit. Diperlukan
transfusi darah.

2.3 Etiologi
Syok hipovolemik disebabkan oleh kehilangan darah atau cairan yang tiba-
tiba di dalam tubuh. Penyebab klinis syok hipovolemik yang paling umum adalah
perdarahan, muntah, diare, luka bakar parah, dan keringat berlebih.3
Syok hipovolemik bisa terjadi karena kehilangan darah atau kehilangan
cairan ekstrasel seperti kehilangan cairan ekstrasel yang berasal dari organ
berikut:5
 Gastrointestinal
Saluran pencernaan biasanya mengeluarkan antara 3-6 liter cairan per
hari. Namun, sebagian besar cairan ini diserap kembali karena hanya
100-200 mL yang hilang dalam tinja. Berkurangnya volume penyerapan
terjadi ketika cairan yang biasanya dikeluarkan oleh saluran GI tidak
dapat diserap kembali. Ini terjadi ketika ada muntah, diare, atau
drainase eksternal yang dapat ditarik melalui stoma atau fistula.
 Ginjal
Kehilangan garam dan cairan ginjal dapat menyebabkan syok
hipovolemik. Ginjal biasanya mengeluarkan natrium dan air dengan
cara yang sesuai dengan asupan. Terapi diuretik dan diuresis osmotik
dari hiperglikemia dapat menyebabkan natrium ginjal yang berlebihan
dan kehilangan volume. Selain itu, ada beberapa penyakit tubular dan
interstitial di luar ruang lingkup artikel ini yang menyebabkan nefropati
pemborosan garam yang parah.

 Kulit
Kehilangan cairan juga bisa terjadi dari kulit. Dalam iklim panas dan
kering, kehilangan cairan kulit bisa setinggi 1-2 liter / jam. Pasien
dengan barrier kulit yang terganggu oleh luka bakar atau lesi kulit
lainnya juga dapat mengalami kehilangan cairan yang besar yang
menyebabkan syok hipovolemik.
 Penyerapan yang berlebihan disebabkan oleh keadaan patologin lain
Hal ini dapat terjadi pada obstruksi usus, pankreatitis, obstruksi sistem
vena utama, atau kondisi patologis lainnya yang menghasilkan respons
inflamasi masif.

Syok hemoragik adalah syok hipovolemik akibat kehilangan darah. Cedera


traumatis adalah penyebab paling umum dari syok hemoragik.5 Selain itu,
kehilangan darah dapat berasal dari organ lain, seperti perdarahan gastrointestinal
(varises esofagus, gastritis, ulkus gaster dan atau duodenum, kanker kolon, dan
lain-lain), rupturnya kehamilan ektopik dengan sumber perdarahan yang tidak
jelas, perdarahan post-partum akibat plasenta previa, trauma, rupturnya pembuluh
darah utama (ruptur aneurisma), fraktur, dan penggunaan obat-obatan koagulopati
dan antithrombin.8

2.4 Fisiologi
2.4.1 Fisiologi Kardiovaskuler
Jantung merupakan organ yang berfungsi untuk memompakan darah ke
seluruh tubuh. Jantung bergerak secara otonom yang diatur melalui mekanisme
sistem saraf otonom dan hormonal dengan autoregulasi terhadap kebutuhan
metabolime tubuh. Mekanisme otonom aktivitas otot jantung ini berasal dari
cetusan listrik (depolarisasi) pada otot jantung itu sendiri. Depolarisasi otonom
otot jantung berasal dari sekelompok sel-sel yang menghasilkan potensial listrik

yang disebut dengan nodus sinoatrial [sinoatratrial (SA) node]. SA node terletak
di atrium kanan berdekatan dengan muara vena cava superior.9,10
Impuls listrik yang dihasilkan oleh SA node akan dialirkan ke seluruh otot-
otot jantung (miokardium) sehingga menyebabkan kontraksi. Mekanisme
penyebaran impuls ini teratur sedemikian rupa sesuai dengan siklus kerja jantung.
Pertama impuls dialirkan secara langsung ke otot-otot atrium kiri dan kanan
sehingga menyebabkan kontraksi atrium. Atrium kanan yang berisi darah yang
berasal dari sistem vena sitemik akan dipompakan ke ventrikel kanan, dan darah
pada atrium kiri yang berasal dari paru (vena pulmonalis) akan dialirkan ke
ventrikel kiri. Selanjutnya impuls diteruskan ke ventrikel melalui sistem konduksi
nodus atrioventrikuler [atrioventricular (AV) node], terus ke atrioventricular (AV)
bundle dan oleh serabut purkinje ke seluruh sel-sel otot ventrikel jantung. Impuls
listrik yang ada di ventrikel terjadinya depolarisasi dan selanjutnya menyebabkan
otot-otot ventrikel berkontraksi. Kontraksi ventrikel inilah yang dikenal sebagai
denyut jantung. Denyut ventrikel kanan akan mengalirkan darah ke paru untuk
pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, dan denyut ventrikel kiri
akan mengalirkan darah ke seluruh tubuh melalui aorta. Denyut jantung yang
berasal dari depolarisai SA node berjumlah 60-100 kali permenit, dengan rata-rata
72 kali permenit.9,10
Kontraksi ventrikel saat mengeluarkan darah dari jantung disebut sebagai
fase sistolik atau ejeksi ventrikuler. Jumlah darah yang dikeluarkan dalam satu
kali pompaan pada fase ejeksi ventrikuler disebut sebagai volume sekuncup atau
stroke volume, dan pada dewasa rata-rata berjumlah 70 ml. Dengan jumlah
kontraksi rata-rata 72 kali permenit, maka dalam satu menit jumlah darah yang
sudah melewati dan dipompakan oleh jantung sekitar 5 liter, yang disebut sebagai
curah jantung (cardiac output). Secara matematis fisiologis dapat dirumuskan
sesuai gambar 2.2.
Gambar 2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi curah jantung.

Aktivitas listrik pada SA node yang menyebabkan kontraksi otot jantung


terjadi secara otonom tanpa kontrol pusat kesadaran yang dipengaruhi oleh sistem
saraf otonom simpatis dan parasimpatis. Dengan demikian seperti yang terlihat
pada gambar 2.2, sistem saraf otonom sangat berperan dalam pengaturan
kardiovaskuler dengan mempengaruhi frekuensi denyut dan kontraktilitas otot
jantung. Di samping itu sistem saraf otonom juga mempengaruhi pembuluh darah
terhadap perubahan resistensi pembuluh darah.
Curah jantung mempunyai peranan penting sebagai salah satu faktor untuk
memenuhi kebutuhan oksigenasi atau perfusi ke jaringan sebagai tujuan dari
fungsi kardiovaskuler. Kecukupan perfusi jaringan ditentukan oleh kemampuan
fungsi sirkulasi menghantarkan oksigen ke jaringan yang disebut sebagai oxygen
delivery (DO2). Oksigen harus ditransportasikan secara efektif dari atmosfir ke
jaringan untuk menjaga metabolisme tubuh tetap normal. Oksigen dalam darah
sebagian besar terikat pada hemoglobin (Hb) dan sebagian kecil terlarut dalam
plasma. Satu gram Hb dapat membawa 1,34 ml oksigen, bilamana saturasi Hb
(SaO2) 100%. Oksigen yang terlarut dalam plasma berkisar 0,3 mL setiap 100 ml
darah pada PaO2 100 mmHg.11
Oxygen delivery (DO2) adalah sejumlah oksigen yang diantarkan ke seluruh
tubuh dari paru-paru. Ini merupakan hasil dari total aliran darah atau cardiac
output (CO) dan oxygen content dari darah arteri (CaO2) dalam milliliter per
menit.12
Gambar 2.3 Perhitungan oxygen delivery dan hubungannya ke curah jantung.

Tabel 2.1 Pengaruh relatif anemia pada pengiriman oksigen11


Parameter Normal Anemia Anemia + Terapi Oksigen
Oksigen inspirasi 21 21 100
PaO2 (KPa) 12 12 85
SaO2 (%) 98 98 98
Konsentrasi Hb 150 75 75
(g/L)
Oksigen terlarut (ml/L) 3 3 19
Hb-terikat Oksigen (ml/L) 197 98 98
Total CaO2 (ml/L) 200 101 117
DO2 (ml/menit) 1000 505 585
Asumsi cardiac output 5
liter/menit

Gambar 2.4 Oxygen delivery11

Oxygen content arteri adalah jumlah dari hemoglobin dan saturasi. Pada
keadaan sehat >98% oksigen terikat pada hemoglobin. Secara teori, setiap satu
gram Hb dapat berikatan dengan 1,34 ml dari oksigen. Bagaimanapun, secara
praktik, keadaan abnormal dari Hb seperti karboksihemoglobin dan
methaemoglobin, mengurangi kapasitas ikatan oksigen dengan Hb. Oksigen yang
larut dalam plasma ditentukan oleh koefisien pelarut dari oksigen pada suhu tubuh
(k2 ; 0,23 ml/L/kPa).12
Secara kuantitatif dapat dihitung sebagai berikut:

DO2 = CO x Hb X SaO2 + O2 terlarut dalam plasma

Contoh: Bila CO 5000 ml/menit, Hb 15g% (15 gram/100 ml), SaO 2 100%
(1,0), PaO2 200 mmHg
DO2 = (5000/100 x 15 x 1,34 x 1,0) + (0,3 x 5000/100 x 200/100) per menit
DO2 = (50 x 15 x 1,34 x 1,0) + (0,3 x 50 x 2) per menit
DO2 = 1005 + 30 = 1035 ml/menit

Oksigen ini akan masuk ke sel jaringan sebagai bahan bakar untuk
metabolisme tubuh.12

Gambar 2.5 Diagram hemodinamik13


Gangguan pada faktor-faktor yang mempengaruhi curah jantung dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi dan berujung kepada syok. Misalnya
kehilangan volume plasma hebat akan mengurangi preload dan dapat
mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik, gangguan kontraktilitas dapat
mengakibatkan terjadinya syok kardiogenik, dan gangguan resistensi vaskuler
sistemik dapat berujung syok distributif.
2.4.2 Fisiologi Saraf Otonom
Sistem saraf otonom dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem saraf
simpatis dan para simpatis. Sistem saraf simpatis merupakan sistem saraf yang
bekerja secara otonom terhadap respon stress psikis dan aktifitas fisik. Respon
simpatis terhadap stress disebut juga sebagai „faight of flight response‟
memberikan umpan balik yang spesifik pada organ dan sistem organ, termasuk
yang paling utama adalah respon kardiovaskuler, pernafasan dan sistem imun.
Sedangkan sistem para simpatis mengatur fungsi tubuh secara otonom terutama
pada organ-organ visceral, produksi kelenjar, fungsi kardiovaskuler dan berbagai
sistem organ lainnya dan bukan respon terhadap suatu stressor ataupun aktifitas
fisik.14,15
Sistem saraf simpatis berasal dari medulla spinalis pada segmen
torakolumbal, tepatnya segmen torakal-1 sampai lumbal-2, dengan pusat ganglion
sarafnya berada di daerah paravertebre. Sistem saraf simpatis menimbulkan efek
pada organ dan sistem organ melalui perantra neurotrasmiter adrenalin (epinefrin)
atau noradrenalin (norepinefrin) endogen yang dhasilkan oleh tubuh. Adrenalin di
sekresikan oleh kelenjar adrenal bagian medula, sedangkan noradrenalin selain
dihasilkan oleh medulla adrenal juga disekresikan juga oleh sel-sel saraf (neutron)
simpatis pascaganglion.14,15
Respon yang muncul pada organ-organ target tergantung reseptor yang
menerima neurotrasmiter tersebut yang dikenal dengan reseptor alfa dan beta
adrenergik. Pada jantung terdapat resesptor beta, rangsangan simpatis pada otot
jantung atau reaksi adrenalin dengan reseptor beta-1 menyebabkan peningkatan
frekuensi (kronotropik) dan kontraktilitas otot jantung (inotropik). Efek
adrenergik pada pembuluh terjadi melalui reaksi neurotrasmiternya dengan
reseptor alfa-1, yang menyebabkan terjadinya vasokontriksi arteri dan vena.
Sedangkan efek pada saluran pernafasan terutama bronkhus adalah dilatasi
(melalui reseptor beta-2).14,15
Sistem parasismpatis dari segmen kraniosakral, yaitu dari saraf kranial dan
medulla spinalis sekmen sakralis. Saraf kranial merupakan saraf tepi yang
langsung keluar dari batang otak dan terdapat 12 pasang, namun yang
memberikan efek parasimpatis yaitu nervus-III (okulomotorius), nervus VII
(fasialis), nervus-IX (glosofaringeus) dan nervus-X (vagus). Rangsangan
parasimpatis pada masingmasing saraf tersebut memberikan efek spesifik pada
masing-masing organ target, namun yang memberikan efek terhadap fungsi
kardiovaskuler adalah nervus vagus. Sedangkan yang berasal dari medulla spinalis
yang menimbulkan efek parasimpatis adalah berasal dari daerah sakral-2 hingga 4.
Efek parasimpatis muncul melalui perantara neurotransmiter asetilkolin, yang
disekresikan oleh semua neuron pascaganglion sisitim saraf otonom parasimpatis.
Efek parasimpatis ini disebut juga dengan efek kolinergik atau muskarinik.
Sebagaimana halnya sistem saraf simpatis, sistem saraf parsimpatis juga
menimbulkan efek bermacam-macam sesuai dengan reaksi neurotransmitter
asetilkolin dengan reseptornya pada organ target. Efek yang paling dominan pada
fungsi kardiovaskuler adalah penurunan frekuensi jantung dan kontraktilitasnya
(negatif kronotropik dan inotropik) serta dilatasi pembuluh darah.
Dalam keadaan fisiologis, kedua sistem saraf ini mengatur fungsi tubuh
termasuk kardiovaskuler secara homeostatik melalui mekanisme autoregulasi.
Misalnya pada saat aktifitas fisik meningkat, tubuh membutuhkan energi dan
metabolisme lebih banyak dan konsumsi oksigen meningkat, maka sistem
simpatis sebagai respon homestatik akan meningkatkan frekuensi denyut dan
kontraktilitas otot jantung, sehingga curah jantung dapat ditingkatkan untuk untuk
mensuplai oksigen lebih banyak. Begitu juga bila terjadi kehilangan darah, maka
respon simpatis adalah dengan terjadinya peningkatan laju dan kontraktilitas
jantung serta vasokontriksi pembuluh darah, sehingga kesimbangan volume dalam
sirkulasi dapat terjaga dan curah jantung dapat dipertahankan. Namun bila
gangguan yang terjadi sangat berlebihan, maka kompensasi autoregulasi tidak
dapat lagi dilakukan sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis.10,16
2.5 Patofisiologi
Selama perdarahan hebat, terjadi ketidakseimbangan antara pengiriman
oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen. Kehilangan darah menyebabkan
ketidakstabilan hemodinamik, koagulopati, penurunan distribusi oksigen,
penurunan perfusi jaringan, dan hipoksia selular.17 Perdarahan akut menyebabkan
penurunan curah jantung dan tekanan nadi. Perubahan ini dikenali oleh
baroreseptor pada arkus aorta, karotis, dan atrium. Dengan berkurangnya volume
darah yang beredar, terjadi peningkatan rangsang simpatis. Reaksi ini
menimbulkan peningkatan frekuensi jantung, tekanan darah, kontraktilitas
jantung. α-adrenergik bertanggung jawab terhadap vasokonstriksi, dan penurunan
distribusi aliran darah pada organ-organ nonvital, seperti kulit, saluran
pencernaan, dan otot, sehingga menjaga aliran darah ke jantung dan otak.18,19
Pada perdarahan, terjadi respon-respon hormonal. Corticotropin-releasing
hormone terstimulasi secara langsung. Hal ini menyebabkan pelepasan
glukokortikoid dan β-adrenergik. Hiperglikemia sering didapatkan pada
perdarahan akut karena glukagon dan growthhormone meningkat pada
glukoneogenesis dan glikogenosis. Peredaran katekolamin menghambat pelepasan
dan aktivitas insulin secara relatif sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah.19
Kelenjar pituitari posterior akan melepas vasopressin, menyebabkan retensi
air pada tubulus distal. Renin-angiotensin-aldosteron dilepaskan oleh kompleks
juxtamedularis sebagai respon dari penurunan MAP (Mean Arterial Pressure),
sehingga meningkatkan aldosteron dan berujung resorbsi natrium dan air.19
Sistem neuroendokrin merespons syok hemoragik dengan menyebabkan
peningkatan sirkulasi hormon antidiuretik (ADH). ADH dilepaskan dari kelenjar
pituitari posterior sebagai respons terhadap penurunan TD (seperti yang dideteksi
oleh baroreseptor) dan penurunan konsentrasi natrium (seperti yang dideteksi oleh
osmoreseptor). ADH secara tidak langsung menyebabkan peningkatan reabsorpsi
air dan garam (NaCl) oleh tubulus distal, duktus pengumpul, dan lengkung
Henle.20
Otot-otot skeletal tidak aktif bermetabolisme selama syok dan mampu
bertahan dalam iskemik lebih baik dari organ yang lain. Massa otot rangka yang
besar berkontribusi besar dalam pembentukan asam laktat dan radikal bebas dari
sel iskemik. Iskemia sel otot yang berkelanjutan menyebabkan peningkatan
natrium intraseluler dan air, dengan semakin menipisnya cairan di kompartemen
vaskular dan interstisial.17
Semakin memburuknya hipovolemia dan hipoksia jaringan, terjadi
peningkatan ventilasi sebagai usaha kompensasi dan dapat menjadi asidosis
metabolik dari karbon dioksida yang diproduksi.19 Pada tingkat seluler, terjadi
perubahan dari metabolisme aerob menjadi anaerob.21 Perubahan ini menyebabkan
produksi metabolisme anaerob, seperti asam laktat, yang berakumulasi di sirkulasi
jika perfusi menurun. Senyawa ini menyebabkan perusakan langsung pada sel dan
membentuk sebagian besar racun yang dikeluarkan kembali ke sirkulasi pusat
ketika aliran kembali normal. Gejala sisa termasuk hipotensi, penurunan
kontaktilitas miokardium, aritmia, ensefalopati. Sel-sel iskemik juga
memproduksi dan melepaskan faktor inflamasi seperti prostasiklin, tromboksan,
prostaglandin, leukotrine, endotelin, complemen, interleukin, faktor tumor
nekrosis, dan lain-lain. Proses inflamasi sistemik yang menyebabkan disfungsi
berbagai organ vital dan menyebabkan tingkat kematian yang tinggi.17,21

Gambar 2.6 Mekanisme kompensasi syok hemoragik.


Gambar 2.7 Kaskade Syok. Iskemik di setiap bagian tubuh dapat memicu respon inflamasi yang
akan berdampak pada organ noniskemik bahkan setelah perfusi sitemik kembali normal.17

Fungsi jantung dipertahankan dari iskemik selama syok dengan tetap


mempertahankan atau bahkan meningkatkan aliran darah. Laktat, radikal bebas,
dan faktor humoral lainnya dilepaskan oleh sel-sel iskemik semuanya bertindak
sebagai inotropik negatif. Pada pasien dengan penyakit jantung atau trauma
jantung langsung memiliki faktor risiko besar untuk mengalami dekompensasi
karena stroke volume yang tetap menghambat kemampuan tubuh untuk
meningkatkan aliran darah sebagai respon dari hipovolemik dan anemia.17
Usus adalah salah satu organ yang pertama kali terkena dampak dari
hipoperfusi dan mungkin menjadi pemicu utama dari MOD. Vasokontriksi terjadi
lebih awal dan sering menyebabkan fenomena no-reflow, bahkan ketika
makrosirkulasi telah pulih. Kematian sel saluran cerna menyebabkan kerusakan
pada fungsi barrier dari usus dan menghasilkan peningkatan translokasi bakteri ke
hati dan paru-paru, dengan demikian berpotensi menyebabkan MOD dan ARDS.17
Paru adalah penyaring produk sampingan dari sel iskemik. Kompleks imun
dan faktor seluler berakumulasi di kapiler paru menyebabkan agregasi platelet dan
neutrofil, peningkatan permeabilitas kapiler, rusaknya jaringan paru, dan sindrom
distres pernapasan akut (ARDS).17
Hati memiliki mikrosirkulasi yang kompleks dan mungkin mengalami cedera
reperfusi selama pemulihan dari syok. Sel hepar juga aktif bermetabolisme dan
untuk penyimpangan dalam glukosa darah. Kegagalan fungsi hepar setelah syok
hampir selalu mematikan.17
Berdasarkan kemampuan respon tubuh terhadap kehilangan volume
sirkulasi tersebut maka secara klinis tahap syok hipovolemik dapat dibedakan
menjadi tiga tahapan yaitu tahapan kompensasi, tahapan dekompensasi dan
tahapan ireversibel. Pada tahapan kompensasi, mekanisme autoregulasi tubuh
masih dapat mempertahankan fungsi srikulasi dengan meningkatkan respon
simpatis. Pada tahapan dekompensasi, tubuh tidak mampu lagi mempertahankan
fungsinya dengan baik untuk seluruh organ dan sistem organ. Pada tahapan ini
melalui mekanisme autoregulasi tubuh berupaya memberikan perfusi ke jaringan
organ-organ vital terutama otak dan terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas.
Akibatnya ujung-ujung jari lengan dan tungkai mulai pucat dan terasa dingin.
Selanjutnya pada tahapan ireversibel terjadi bila kehilangan darah terus berlanjut
sehingga menyebabkan kerusakan organ yang menetap dan tidak dapat diperbaiki.
Keadaan klinis yang paling nyata adalah terjadinya kerusakan sistem filtrasi ginjal
yang disebut sebagai gagal ginjal akut.18
2.6 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala syok hemoragik sulit untuk diidentifikasi, terutama jika perdarahan
berasal dari sumber yang tersembunyi. Adanya hipotensi merupakan penanda yang tidak
sensitif karena mekanisme kompensasi sampai kehilangan volume darah mencapai 30%
dari total volume darah. Hipotensi pasca trauma dini dikaitkan dengan kegagalan multi
organ (MOF) dan perkembangan komplikasi infeksi. Gejala klinis nonspesifik termasuk
kecemasan, takipnea, dan denyut nadi perifer yang melemah serta ekstremitas berbintik-
bintik, pucat, dan dingin dapat lebih menunjukkan diagnosis syok.19
Mengenali tingkat kehilangan darah melalui tanda vital dan kelainan status mental itu
penting. Klasifikasi syok hemoragik dari American College of Surgeons Advanced
Trauma Life Support (ATLS) menghubungkan jumlah kehilangan darah dengan respons
fisiologis yang diharapkan pada pasien dengan berat badan 70 kg. Karena total volume
darah yang bersirkulasi mencapai sekitar 7% dari total berat badan, ini sama dengan kira-
kira lima liter pada rata-rata 70 kg pasien pria.20
 Kelas 1: Kehilangan volume hingga 15% dari total volume darah, kira-kira 750
mL. Satu-satunya gejala klinis mungkin adalah bentuk kecemasan ringan.
Denyut nadi meningkat minimal atau normal. Biasanya, tidak ada perubahan
tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernapasan.19,20

 Kelas 2: Kehilangan volume dari 15% sampai 30% dari total volume darah, dari
750 mL menjadi 1500 mL. Pasien terlihat agak cemas dengan denyut nadi dan
frekuensi pernapasan meningkat (100 BPM menjadi 120 BPM, 20 RR menjadi
24 RR). Denyut nadi mulai menyempit, tetapi tekanan darah sistolik mungkin
tidak berubah atau menjadi sedikit menurun.19,20

 Kelas 3: Kehilangan volume dari 30% menjadi 40% dari total volume darah, dari
1500 mL menjadi 2000 mL. Pasien terlihat sangat cemas serta mengalami
takikardia. Penurunan tekanan darah yang signifikan dan perubahan status
mental terjadi. Denyut nadi dan frekuensi pernapasan meningkat secara
signifikan (lebih dari 120 BPM). Output urin menurun. Pengisian kapiler
tertunda.19,20

 Kelas 4: Kehilangan volume lebih dari 40% dari total volume darah. Pasien
terlihat lesu, hipotensi dengan denyut nadi sempit (kurang dari 25
mmHg). Takikardia menjadi lebih parah (lebih dari 120 BPM), dan status mental
menjadi semakin berubah. Output urin minimal atau tidak ada. Pengisian kapiler
tertunda.19,20

Sumber perdarahan potensial, seperti hematemesis atau hematochezia,


perdarahan vagina yang signifikan, atau perdarahan dari aneurisma aorta
abdominal harus diidentifikasi. Pendarahan dari ekstremitas dapat dengan mudah
diamati setelah trauma; Namun, intensitas perdarahan mungkin tidak parah pada
kondisi syok. Bagian tubuh termasuk paha proksimal dan daerah retroperitoneal
dapat menumpuk banyak darah, dan kehilangan volume ini dapat dengan mudah
terlewatkan kecuali jika diperiksa selama pemeriksaan awal. Ruang intracavitary
di tubuh seperti dada, perut, dan panggul harus segera diperiksa setelah trauma
dengan pencitraan radiologis. Pemeriksaan segera pada rongga ini dengan
radiogram dada dan panggul dan penilaian terfokus dengan sonografi untuk
trauma (FAST) dapat membantu mendiagnosis lokasi potensial
perdarahan. Ultrasonografi juga digunakan dalam evaluasi diagnostik kehamilan
ektopik, ruptur aneurisma aorta abdominalis, dan perdarahan uterus, yang
mungkin tetap tersembunyi sebagai fokus perdarahan. Ekokardiografi digunakan
untuk menilai pengisian jantung dan kontraktilitas.19
2.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Syok hemoragik disebabkan oleh hilangnya volume darah yang bersirkulasi dan
kapasitas pembawa oksigen. Etiologi klinis yang paling umum adalah trauma tembus
dan tumpul, perdarahan gastrointestinal, dan perdarahan obstetris.21
Tidak ada riwayat tunggal yang dapat mendiagnosis syok. Beberapa pasien
mungkin mengeluhkan lemah, lesu atau nyeri punggung bawah (ruptur aneurisma
aorta abdominal). Orang lain mungkin datang dengan ambulans atau dalam
penjagaan penegak hukum untuk mengamati perilaku aneh.21
Sangat penting untuk mendapatkan riwayat yang jelas tentang jenis, jumlah, dan
durasi perdarahan. Banyak keputusan terkait tes diagnostik dan perawatan
berdasarkan pada tingkat jumlah kehilangan darah yang terjadi selama periode waktu
tertentu.21
Jika pendarahan terjadi di rumah atau di lapangan, perkiraan berapa banyak
darah yang hilang akan membantu.21
Untuk perdarahan GI, penting untuk mengetahui apakah darah berasal dari
rektum atau os. Karena sulit untuk menghitung perdarahan GI bagian bawah, semua
episode darah merah segar per rektum harus dianggap perdarahan mayor sampai
terbukti sebaliknya.
Pendarahan karena trauma tidak selalu mudah dikenali. Rongga pleura, rongga
abdomen, mediastinum, dan retroperitoneum adalah ruang yang dapat menampung
cukup darah untuk menyebabkan kematian akibat perdarahan.21
Pendarahan eksternal akibat trauma bisa signifikan dan bisa dianggap remeh
oleh tenaga medis darurat.21
Laserasi kulit kepala terkenal menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah
besar.21
Beberapa patah tulang terbuka dapat menyebabkan hilangnya beberapa unit
darah.21
b. Pemerikasaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien syok hemoragik sangat penting untuk menemukan
sumber perdarahan dan akan memberikan gambaran banyaknya kehilangan
darah. Terdapat perbedaan antara pasien medis dan pasien trauma dalam hal
ini. Kedua jenis pasien tersebut biasanya membutuhkan diagnosis dan pengobatan
bersamaan.21
Indikator klinis khas syok umumnya adalah adanya tanda-tanda vital yang
abnormal, seperti hipotensi, takikardia, penurunan urin output, dan perubahan status
mental. Temuan ini mewakili efek sekunder dari kegagalan sirkulasi, bukan kejadian
etiologi primer. Karena mekanisme kompensasi, pengaruh usia, dan penggunaan
obat-obatan tertentu, beberapa pasien yang mengalami syok akan mengalami tekanan
darah dan denyut nadi yang normal. Namun, pemeriksaan fisik lengkap harus
dilakukan dengan pasien menanggalkan pakaian.21
Penampilan umum pasien syok bisa sangat dramatis. Kulit mungkin berwarna
pucat, biasanya disertai diaphoresis. Pasien mungkin tampak bingung atau gelisah
dan mungkin menjadi tumpul.
Denyut nadi pertama menjadi cepat dan kemudian menjadi lembab saat tekanan
nadi berkurang. Tekanan darah sistolik mungkin berada dalam kisaran normal selama
syok kompensasi.21
Konjungtiva diperiksa untuk melihat kepucatan, tanda anemia kronis. Hidung
dan faring diperiksa apakah ada darah.21
Dada di auskultasi dan perkusi untuk mengevaluasi hemotoraks. Ini akan
menyebabkan hilangnya suara nafas dan dullness pada perkusi di sisi pendarahan.21
Pemeriksaan abdominal mencari tanda-tanda perdarahan intraabdomen, seperti
distensi, nyeri saat palpasi, dan dullness pada perkusi. Panggul diperiksa untuk
melihat ekimosis, tanda perdarahan retroperitoneal. Ruptur aneurisma aorta adalah
salah satu kondisi paling umum yang menyebabkan pasien mengalami syok yang
tidak diketahui. Tanda-tanda yang dapat dikaitkan dengan ruptur adalah berdenyut
yang teraba di perut, pembesaran skrotum dari ekspansi darah retroperitoneal, bintik-
bintik ekstremitas bawah, dan denyut femoralis yang berkurang.21
Rektum diperiksa. Jika darah ditemukan, berhati-hatilah untuk mengidentifikasi
wasir internal atau eksternal. Kadang-kadang, ini merupakan sumber perdarahan
yang signifikan, terutama pada pasien dengan hipertensi portal.
Pasien dengan riwayat perdarahan vagina menjalani pemeriksaan panggul
lengkap. Tes kehamilan diperlukan untuk menyingkirkan kehamilan ektopik.21
Pasien trauma didekati secara sistematis, menggunakan prinsip pemeriksaan
primer dan sekunder. Pasien trauma mungkin mengalami beberapa cedera yang
membutuhkan perhatian secara bersamaan, dan perdarahan dapat menyertai jenis
penghinaan lainnya, seperti syok neurogenik.21
Survei primer adalah manuver cepat yang berupaya mengidentifikasi masalah
yang mengancam jiwa, sebagai berikut:21
 Untuk menilai jalan nafas, tanyakan nama pasien. Jika jawabannya
diartikulasikan dengan jelas, jalan napas tersebut paten.
 Faring oral diinspeksi untuk darah atau benda asing.
 Leher diinspeksi apakah ada hematoma atau deviasi trakea.
 Paru-paru di auskultasi dan perkusi untuk tanda-tanda pneumotoraks atau
hemotoraks.
 Denyut radial dan femoralis dipalpasi untuk mengetahui kekuatan dan
kecepatan.
 Inspeksi cepat dilakukan untuk menyingkirkan sumber eksternal pendarahan.
 Pemeriksaan neurologis kasar dilakukan dengan meminta pasien untuk meremas
setiap tangan dan punggung kedua kaki melawan tekanan. Dukungan hidup
trauma lanjutan (ATLS) menunjukkan bahwa pemeriksaan neurologis "miniatur"
mengkategorikan tingkat kesadaran pasien berdasarkan apakah pasien waspada,
merespons suara, merespons rasa sakit, atau tidak responsif (yaitu, AVPU).
 Pasien kemudian terpapar sepenuhnya, menjaga termoregulasi dengan selimut
dan perangkat penghangat eksternal.
Pemeriksaan sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki, pemeriksaan
cermat yang mencoba mengidentifikasi semua cedera, sebagai berikut:21
 Kulit kepala diperiksa apakah ada pendarahan. Setiap perdarahan aktif dari
kulit kepala harus dikontrol sebelum melanjutkan pemeriksaan.
 Mulut dan faring diperiksa darahnya.
 Perut diperiksa dan dipalpasi. Distensi, nyeri saat palpasi, dan ekimosis
eksternal merupakan indikasi perdarahan intraabdomen.
 Panggul dipalpasi untuk stabilitas. Krepitasi atau ketidakstabilan mungkin
merupakan indikasi dari fraktur panggul, yang dapat menyebabkan perdarahan
yang mengancam jiwa ke dalam retroperitoneum.
 Fraktur tulang panjang ditandai dengan nyeri terlokalisasi pada palpasi dan
krepitasi tulang di lokasi fraktur. Semua fraktur tulang panjang harus
diluruskan dan dibidai untuk mencegah perdarahan yang berkelanjutan di
tempat tersebut. Fraktur femur sangat rentan terhadap kehilangan darah yang
besar dan harus segera diimobilisasi dengan bidai traksi.
 Tes diagnostik lebih lanjut diperlukan untuk mendiagnosis perdarahan
intratoraks, intra-abdominal, atau retroperitoneal.
c. Pemeriksaan Penunjang

a) Laboratorium

Analisis gas darah dan penanda hipoperfusi dapat membantu mengukur


defisit basa dan kadar laktat. Rasio denyut jantung terhadap tekanan arteri
sistolik disebut indeks syok dan memprediksi transfusi masif dengan lebih baik
dibandingkan dengan tanda vital tradisional pada pasien trauma. Dalam sebuah
penelitian retrospektif yang melibatkan 302 pasien perdarahan postpartum
primer, Sohn et al. menegaskan bahwa peningkatan indeks syok awal dikaitkan
dengan kebutuhan akan transfusi masif, dan juga laktat adalah prediktor yang
lebih baik untuk kebutuhan darah pada pasien trauma. Ini merupakan prediktor
yang kuat untuk menentukan kebutuhan transfusi masif pada pasien syok yang
stabil secara hemodinamik.19
Dalam sebuah penelitian, Lee et al. laktat memiliki peran prognostik pada
pasien dengan perdarahan gastrointestinal bagian atas nonvariceal tingkat
pembersihan laktat yang lebih tinggi (% / jam) dalam waktu 24 jam setelah
masuk dikaitkan dengan tingkat perdarahan ulang 30 hari yang lebih
rendah. Kadar laktat awal, maksimal, dan rata-rata yang lebih tinggi dalam 24
jam setelah masuk dikaitkan dengan tingkat kematian 30 hari yang lebih tinggi
dan lebih sering masuk selama 7 hari.19
Nilai hemoglobin dan rasio normalisasi internasional (INR) digunakan
untuk menentukan kebutuhan transfusi darah masif pada pasien dengan
perdarahan parah. Jumlah trombosit dan kadar fibrinogen harus diperiksa dan
dirawat agar kembali ke kadar normal. Kadar elektrolit, terutama kadar kalsium
dan kalium, harus dipantau secara berkala karena fluktuasi dapat terjadi selama
resusitasi dengan darah atau produk darah. Akhirnya, setiap keberadaan
koagulopati harus didiagnosis dan resusitasi dengan produk darah harus dipantau
dengan mengevaluasi kinetika pembentukan gumpalan dengan cara pengujian
viskoelastik seperti tromboelastografi atau tromboelastometri rotasi. Semua tes
ini memungkinkan untuk menentukan tingkat keparahan syok, sejauh mana
sumber daya bank darah akan digunakan, dan akan mengidentifikasi jenis
koagulopati.19
b) Radiologi

Pemindaian tomografi terkomputerisasi, yang biasanya digunakan sebagai


alat diagnostik, harus segera dilakukan pada pasien kritis yang asal
perdarahannya tidak dapat diidentifikasi setelah gambaran klinisnya stabil. CT
tetap menjadi gold standar untuk mendiagnosis cedera intra-abdominal yang
mendeteksi sedikitnya 100 cc cairan intraperitoneal. Pendekatan CT yang cepat
dengan eksplorasi intraoperatif, angiografi, embolisasi, atau endoskopi
gastrointestinal dapat membantu dalam mencapai hasil diagnostik dan
pengobatan yang lebih baik.19

Ultrasonografi memiliki manfaat besar pada evolusi dan pengobatan


pasien trauma. Pemeriksaan dilakukan di tempat tidur, mudah dan murah, tidak
memerlukan sumber kontras dan radiasi, kelebihannya adalah reproduktifitas. Di
Eropa, selama tahun 1970-an, penggunaan USG untuk mendeteksi cairan
intraperitoneal pertama kali dijelaskan. FAST adalah protokol USG untuk menilai
hemoperitoneum dan hemoperikardium. Sensitivitas protokol ini 85–96% dan
spesifisitas lebih dari 98%. Pada subset pasien trauma hipotensi, sensitivitas
pemeriksaan FAST mendekati 100%. Dokter yang berpengalaman melakukan
pemeriksaan CEPAT kurang dari 5 menit, dan penggunaannya mengurangi waktu
untuk intervensi bedah, lama rawat pasien, dan tingkat CT dan DPL. Baru-baru
ini, banyak institusi telah memperkenalkan protokol Extended FAST (eFAST) ke
dalam algoritma trauma mereka.19
2.8 Tata Laksana
Langkah pertama menangani syok adalah dengan mengenali syok.
Mengenali syok tidak dapat dilakukan hanya dari tekanan darah, karena
mekanisme kompensasi dapat mencegah penurunan signifikan tekanan darah
sampai penderita kehilangan 30% dari volume darah. Yang perlu diperhatikan
adalah denyut nadi, kualitas denyut nadi, frekuensi napas, perfusi kulit, dan
tekanan nadi (contoh: perbedaan antara tekanan darah sistolik dan diastolik).17
Pasien trauma yang kulitnya teraba dingin dan takikardia sampai terbukti
tidak. Denyut jantung normal bervariasi berdasarkan usia. Takikardia ditegakkan
apabila denyut jantung melebihi 160 kali per menit untuk bayi, 140 kali per menit
untuk anak dibawah usia sekolah, 120 kali per menit untuk anak usia sekolah dan
pubertas, dan diatas 100 kali per menit untuk dewasa. Kemampuan tubuh untuk
meningkatkan denyut jantung bisa terganggu akibat penggunaan alat pacu
jantung.17
Perdarahan adalah penyebab syok yang paling umum setelah trauma. Karena
itu, jika tanda syok dijumpai, pasien ditatalaksana seakan-akan pasien dalam
keadaan hipovolemik. Sumber perdarahan dada, abdomen, peritoneum,
ekstremitas, dan perdarahan eksternal harus dicari dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.17
2.8.1 Penanganan Syok Hemoragik
Prinsip penanganan syok hemoragik adalah menghentikan perdarahan dan
mengganti volume darah yang hilang. Pemeriksaan fisik difokuskan pada
diagnosis gangguan yang mengancam nyawa dan mengevaluasi ABCDE.17
a. Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah mengamankan jalan napas penderita dengan
ventilasi yang adekuat dan oksigenasi, bila perlu suplementasi oksigen
untuk mempertahankan saturasi oksigen diatas 95%.
b. Circulation
Prioritas dalam penanganan sirkulasi adalah mengontrol perdarahan,
membuat akses intravena, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari
luka eksternal di ekstremitas biasanya dapat dikontrol dengan
penekanan langsung ke lokasi perdarahan.
c. Disability
Pemeriksaan neurologis dapat menentukan tingkat kesadaran pasien,
yang berguna untuk menentukan perfusi serebral. Perubahan fungsi
sistem saraf pusat pada pasien yang mengalami syok hipovolemik tidak
selalu menunjukkan adanya trauma intrakranial langsung.
d. Exposure
Setelah mengatasi keadaan yang mengancam jiwa, diperlukan
pemeriksaan pada seluruh tubuh pasien dari kepala sampai kaki untuk
melihat ada tidaknya luka luar lain, dengan membuka pakaian pasien.
Perlu diperhatikan agar pasien jangan sampai mengalami hipotermia,
karena dapat menyebabkan koagulopati dan memperburuk asidosis.
Untuk mencegah hipotermia adalah dengan menggunakan penghangat.
e. Dekompresi lambung
Dilasi lambung sering terjadi pada pasien trauma, terutama pada anak-
anak. Keadaan ini dapat menyebabkan hipotensi atau disritmia jantung.
Pada pasien yang tidak sadar, ini dapat meningkatkan risiko aspirasi isi
lambung. Dekompresi lambung dengan memasukkan selang dari mulut
atau hidung yang dihubungkan dengan alat penyedot (suction).
f. Kateterisasi urin
Pemasangan kateter urin membantu memeriksa urin apakah terdapat
hematuria, jika sumber perdarahan berasal dari sistem genitourinary.
Selain itu juga dapat memonitor urine output untuk evaluasi perfusi
ginjal.17
2.8.2 Akses vaskular
Akses intravena harus dilakukan secara cepat dan dibutuhkan kateter
intravena berukuran besar. Setelah infus cairan intravena dimulai, sampel darah
dapat segera diambil untuk menentukan golongan darah dan cross match,
pemeriksaan laboratorium dan analisis gas darah.17

2.8.3 Inisiasi Terapi Cairan


Jumlah cairan ataupun darah yang dibutuhkan untuk resusitasi sulit
ditentukan pada evaluasi awal pasien. Terapi awal cairan menggunakan cairan
isotonik yang dihangatkan, biasanya sebanyak 1 liter untuk orang dewasa dan 20
mL/kg untuk anak-anak dengan berat badan <40 kg. Volume absolut cairan
resusitasi yang diberikan tergantung kepada respon pasien terhadap pemberian
cairan. Pemberian cairan ataupun darah jumlah besar secara terus-menerus untuk
mencapai tekanan darah normal bukan merupakan pengganti untuk kontrol
definitif perdarahan. Jika tekanan darah pasien meningkat secara tiba-tiba sebelum
perdarahan terkontrol secara definitif, perdarahan yang lebih hebat dapat terjadi. 17
Resusitasi cairan kristaloid telah lama digunakan dalam penatalaksanaan
perdarahan. Namun, cairan ini hanya mengisi volume intravaskular. Ketika
diberikan dalam jumlah besar, dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi,
termasuk gagal napas, sindrom kompartemen (abdomen dan ekstremitas), dan
koagulopati. Oleh karena itu, pemberian cairan kristaloid harus dibatasi maksimal
3 liter dalam 6 jam pertama sejak sampai di rumah sakit. Ini tidak berlaku untuk
produk darah.17
Kembalinya tekanan darah, denyut nadi, dan tekanan nadi yang normal
adalah tanda-tanda kembalinya perfusi yang normal, namun tanda-tanda ini tidak
mewakili tanda-tanda perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Volume output urin
adalah indikator yang sensitif untuk perfusi ginjal. Volume resusitasi yang cukup
seharusnya menghasilkan volume urin sekitar 0,5 mL/kg/jam pada orang dewasa,
dan 1 mL/kg/jam untuk anak-anak.17
Pasien pada syok hipovolemik tahap awal biasanya mengalami alkalosis
respiratoris akibat takipnea, yang diiikuti dengan asidosis metabolik ringan dan
tidak memerlukan penanganan. Namun, asidosis metabolik yang berat dapat
timbul akibat syok dalam waktu lama ataupun syok berat. Pada pasien syok,
asidosis metabolik ditangani dengan cairan, darah ataupun intervensi untuk
mengontrol perdarahan.

Tabel 2.2 Respon terhadap pemberian cairan awal


Minimal or
Rapid Response Transient Response
No Response
Perbaikan sementara,
penurunan tekanan darah Tetap tidak
Tanda vital Kembali ke normal
dan peningkatan denyut normal
jantung berulang
Perkiraan Sedang, kehilangan darah
kehilangan Minimal (<15%) sedang berlangsung (15-40%) Berat (>40%)
darah
Kebutuhan akan
Rendah Sedang ke tinggi Segera
darah

Sesuai golongan darah Pemberian


Persiapan darah Sesuai golongan darah
dan cross match darah darurat
Kebutuhan akan
intervensi Sangat
Kemungkinan kecil Mungkin
operatif mungkin

Kehadiran
dokter bedah Ya Ya Ya
dengan segera
Ada 3 pola respon pasien terhadap administrasi cairan awal, yaitu respon
cepat (rapid response), respon sementara (transient response), dan respon
minimal.15

 Rapid response: pasien merespon dengan cepat bolus cairan awal dan
hemodinamiknya kembali normal, tanpa tanda perfusi dan oksigenasi
jaringan yang inadekuat. Kehilangan darah tidak melebihi 15% dari
volume darah total (Class I hemorrhage).
 Transient response: pasien merespon terapi cairan awal, namun
kemudian menunjukkan tanda-tanda penurunan perfusi saat terapi
cairan diperlambat (tahap pemeliharaan/maintenance), yang
menandakan adanya perdarahan yang sedang terjadi ataupun resusitasi
yang tidak adekuat. Kehilangan darah tidak melebihi 40% (Class II-III
Hemorrhage).
 Minimal or No Response: kegagalan respon terhadap resusitasi cairan
akibat adanya kegagalan pompa akibat adanya trauma tumpul pada
jantung, tamponade jantung, ataupun tension pneumothorax.
Memerlukan intervensi perdarahan definitif segera
2.8.4 Transfusi darah
Tujuan transfusi darah adalah untuk mengembalikan kemampuan volume
intravaskular dalam mengantarkan oksigen. PRBC yang telah di-cross match lebih
dipilih, namun proses cross match memakan waktu. Pada pasien yang kondisinya
stabil dengan cepat, PRBC cross match sebaiknya disiapkan agar tersedia untuk
transfusi saat diindikasikan. Jika darah cross match tidak tersedia, PRBC
golongan O diindikasikan untuk pasien dengan perdarahan yang sedang
berlangsung.17

Pemeriksaan prothrombin time (PT), APTT, dan jumlah trombosit perlu


dilakukan jika pasien memiliki riwayat gangguan koagulasi atau mengonsumsi
obat-obatan yang dapat mengganggu koagulasi.17
2.8.5 Perhatian khusus
Beberapa populasi khusus memberikan respon fisiologis yang berbeda
terhadap perdarahan yang terjadi:17
 Usia lanjut: proses penuaan menyebabkan penurunan aktivitas saraf
simpatis pada sistem kardiovaskular, yang disebabkan oleh penurunan
respon reseptor katekolamin, bukan akibat penurunan produksi
katekolamin. Pasien usia lanjut tidak dapat meningkatkan denyut nadi
dan efektifitas kontraksi miokardium saat kehilangan darah.
Penyumbatan vaskular aterosklerotik membuat banyak organ vital
sangat sensitif terhadap berkurangnya aliran darah, sekecil apapun, oleh
karena itu, toleransi lansia yang mengalami trauma terhadap hipotensi
yang disebabkan oleh kehilangan darah sangat rendah.
 Atlet : latihan intensif yang rutin mengubah dinamika kardiovaskular.
Volume darah dapat meningkat sebanyak 15-20%, cardiac output dapat
meningkat sebanyak 6 kali lipat, dan peningkatan stroke volume
sebanyak 50%. Tubuh atlet yang terlatih dengan baik memiliki
kemampuan kompensasi yang baik untuk hipovolemia, oleh karena ini
mereka mungkin saja tidak menunjukkan respon yang biasa dijumpai
pada kondisi hipovolemia meskipun dengan perdarahan yang
signifikan.
 Kehamilan: hipervolemia yang terjadi saat kehamilan menyebabkan
manifestasi abnormalitas perfusi baru terlihat jika terjadi kehilangan
darah yang lebih banyak daripada orang pada umumnya.
 Obat-obatan: obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi respon
seseorang terhadap syok. Penghambat reseptor beta adrenergik dan
penghambat kanal kalsium dapat mengubah respon hemodinamik
seseorang terhadap perdarahan. Penggunaan obat-obatan NSAID dapat
mengganggu fungsi trombosit.

 Hipotermia: pasien syok hemoragik yang juga mengalami hipotermia


tidak menunjukkan respon yang diharapkan pada pemberian produk
darah ataupun resusitasi cairan
BAB III

STATUS PASIEN

I.IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn B
Umur : 33 tahun
Alamat : Sukaramai, Medan
Agama : Kristen
Tanggal masuk RS : 28 November 2020

II.ANAMNESIS
Alloanamnesis dari keluarga pasien tanggal 28 Nov 2020
Keluhan utama : Pingsan setelah kecelakaan lalu lintas 1 jam SMRS
Keluhan tambahan : Luka di kepala, tangan dan kaki kanan. Kaki patah
serta tampak tulang.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Satu jam SMRS, seorang lelaki umur 33 tahun datang dalam keadaan tidak
sadarkan diri setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Os terjatuh dari sepeda
motor dengan posisi kepala terbentur setelah ditabrak oleh mobil dari sisi kanan
pasien. Saudara Os mengatakan setelah kecelakaan os tidak muntah, tidak ada
keluar cairan dari hidung dan telinga. Keluarga Os mengaku, Os dalam keadaan
mabuk ketika itu. Os kemudiannya dibawa ke unit gawat darurat RS.

RIWAYAT PENYAKIT TERDAHULU


Tidak ada.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Sopor
Berat badan : 70 kg
GCS : E1 M4 V3
Tanda-tanda vital
- Tekanan darah : 80 / 60 mmHg
- Frekuensi nadi : 120 kali / menit
- Frekuensi napas : 16 kali / menit
- Suhu : 36,4 oc
- Saturasi O2 : 96%

Kepala : Normocephal, rambut warna hitam, pertumbuhan rambut


terdistribusi merata, muka simetris, luka robek pada dahi dan frontal,
luka lecet di pipi kanan dan dagu, .
Mata : Palpebra udem (+), pupil anisokor kanan lebih besar dari kiri, refleks
cahaya (+/+), racoon eye (-).
Hidung : Deviasi septum nasal (-), rhinorea (-).
Telinga : Liang telinga lapang, membrane timpani intak, otorhea (-).
Leher : Tiroid tidak teraba membesar, KGB tidak teraba membesar, tidak
terdapat deviasi trakea.
Thorax : Suara napas vesikuler, rhonki basah kasar di lapangan paru kanan,
wheezing (-/-).
Jantung : Bunyi jantung 1-2 murni reguler , gallop (-), murmur (-).
Abdomen : Bising usus (+) normal, massa (-)

IV. STATUS ORTOPEDIK


Regio kruris dekstra:
L : kulit  – luka (+) , merah (+), tampak sianosis di ujung2 jari, Tampak
bula2.
 jaringan lunak – bengkak (+), atrofi (-).
tulang – Tampak tulang pada daerah 1/3 media sebesar 5 cm x 2cm.
F : kulit  – suhu hangat, sensoris normal, keringat (+).
 jaringan lunak – nyeri tekan (+), deformitas (+), teraba tegang dan keras,
pulsasi A. dorsalis pedis dan A. tibialis posterior teraba
lemah, pengisian kapiler = 1 s.
tulang – nyeri tekan (+), deformitas (+).
M : aktif   – ROM terhambat oleh nyeri hebat. pasif   – ROM terhambat
oleh nyeri hebat.
tahanan – stabilitas, kekuatan lemah, refleks normal.
Regio Brachii dan Antebrachii dekstra:
L : kulit  – luka (+) , merah (+), tampak sianosis di ujung2 jari.
 jaringan lunak – bengkak (+), atrofi (-).
tulang – Tampak deformitas pada daerah 1/3 media antebrachii dan
1/3 proximal brachii.
F : kulit  – suhu hangat, sensoris normal, keringat (+),.
jaringan lunak – nyeri tekan (+), deformitas (-), teraba tegang dan keras,
pulsasi A. radialis teraba lemah, pengisian kapiler = 1 s.
tulang – nyeri tekan (+), deformitas (+).
M : aktif   – ROM terhambat oleh nyeri hebat. pasif   – ROM terhambat
oleh nyeri hebat. tahanan – stabilitas, kekuatan lemah.

V. STATUS FISIK (ASA)


ASA IV - Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.

VI. DIAGNOSA KERJA


a. Cedera kepala berat dengan perdarahan subdural.
b. Syok hipovolemik Derajat III-IV.
c. Vulnus Laceratum di region frontal-parietal, supraorbital dx, brachii dx.
d. Suspek frak tertutup 1/3 medial radius-ulna dx, 1/3 proximal
humerus dx. Suspek Fraktur terbuka 1/3 medial tibia-fibula dx.
e. Suspek Compartment syndrome di regio cruris, brachii dan antebrachii
dx.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- CT Scan Kepala non kontras.
- Foto Rontgen Regio Cruris dx, Brachii dan antebrachii dx, Pelvis, Femur
dan Tibia dx.
- CBC, PT apt, Gol darah, Ureum, Creatinine.

VIII. PENATALAKSANAAN DI UGD


i. Primary survey (ABC):
Airway : Suction dan bebaskan bendasing yg lain.
Breathing : O2 Ventury mask 5L/menit .
Circulation : IVFD RL 2 liter guyur. (2 IV line: Makro set dan
Blood set)
ii. Secondary survey:
- Imobalisasi fraktur, cari jejas / kemungkinan trauma tumpul
abdomen serta organ lain.
- Hecting VL, Debridement sementara dan Jahit situasi pada frak
terbuka (hentikan external bleeding).
- Pasang Urin Kateter dan OGT.
iii. Evaluasi TTV dan Saturasi O2 setelah 2 liter RL diguyur:
BP: 60/30 mmHg; Nadi 130x/menit; Sat O2 96%. – Tambah lagi 2
liter RL guyur.
iv. Medikamentosa:
- Analgesik: Tramadol HCL 1 x 100mg IV
- Antibiotik profilaksis: Ceftriaxone 1 x 2g IV
- Anti tetanus: Tetagam P 1 x 250iu & Tetanus Toxoid 0,5ml IM.
- H2R antagonis: Ranitidine 1 x 50 mg IV
- Brain protector: Manitol 20% 4 x 125ml/30menit.
- Piracetam 3 x 800 mg IV.

v. Konsul ke Spesialis Bedah:


Hasil Pemeriksaan Penunjang :
Hemoglobin : 13,9 g/dl
Hematokrit : 43%
Eritrosit : 4,94 juta/ul
Trombosit : 303 ribu/ul
Leukosit : 16.900/ul
Segmen : 56%
Limfosit : 37%
Monosit : 4%
Eosin : 3%
MCHC : 33 g/dl
MCH : 28 pg
MCV : 86 fl
MPV :9
Gambaran Eritrosit : Normal

Foto Thorax PA, Cruris Dx, Brachii dan Antebrachii Dx:


Kesan: Fraktur multiple Humerus 1/3 proximal, Os Radius 1/3 proksimal,
Os Ulna 1/3 distal, Os Tibia 1/3 proximal medial, Os Fibula 1/3 proximal. Cor,
pulmo, costae tampak dalam batas normal.

CT Scan Kepala:
Kesan: Gambaran fraktur multiple calvaria, disertai subdural hemorrhage,
pneumocephali, oedema cerebri, hematoma extracalvaria, hematosinus paranasalis.

- Rencana Operasi Cito (Debridement dan Fasiotomi)


- Inform consent ICU.
- Monitor TTV dan Sat O2, CBC ulang sebelum Op.
BAB IV

KESIMPULAN

Syok didefinisikan sebagai kelainan sistem sirkulasi yang mengakibatkan


tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Syok hemoragik, atau
syok perdarahan, adalah bentuk syok yang paling sering terjadi setelah adanya
cedera. Perdarahan adalah kehilangan darah yang akut.
Langkah pertama dalam penanganan syok adalah dengan mengenali tanda-
tanda syok. Syok dapat dinilai dari denyut nadi, karakteristik nadi, frekuensi
pernapasan, perfusi kulit, dan tekanan nadi. Langkah berikutnya adalah
mengidentifikasi kemungkinan penyebab syok dan menyesuaikan
penatalaksanaan.
Pada syok hemoragik, sumber perdarahan harus segera dievaluasi dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti x-ray dada, pemeriksaan
abdomen dengan FAST, atau kateterisasi kantung kemih. Derajat perdarahan
dibagi menjadi empat berdasarkan jumlah darah yang hilang saat perdarahan.
Prinsip penanganan awal pada syok hemoragik adalah ABCDE, yaitu
Airway dan Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure. Penggantian cairan
yang hilang akibat perdarahan menggunakan cairan kristaloid atau dengan
transfuse darah. Jika tekanan darah, tekanan nadi dan denyut nadi kambali ke
normal, ini merupakan tanda bahwa perfusi jaringan mulai kembali ke normal,
bisa juga dari evaluasi urine output.
Setelah pemberian cairan perlu dievaluasi respon pasien terhadap pemberian
cairan tersebut. Respon terhadap pemberian cairan terbagi 3, yaitu respon cepat
(pasien langsung menunjukkan respon terhadap pemberian cairan), respon
sementara (pasien merespon terhadap pemberian cairan namun kondisinya
kembali menurun jika cairan diturunkan menjadi kondisi pemeliharaan), dan
respon minimal (pasien tidak menunjukkan respon).
Ada beberapa kelompok yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena
respon tubuh terhadap perdarahan yang terjadi, contohnya pada kelompok lansia,
atlet, ibu hamil, dan penggunaan obat-obatan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Piras, C. (2017). Hypovolemic Shock. International Physical Medicine & Rehabilitation


Journal, 2(3).
2. Stoelting, R. K., & Miller, R. D. (2017). Basics of anesthesia. Philadelphia: Churchill
Livingstone
3. Shagana, J., Dhanraj, M., R. Jain, A., & Nir osa, T. (2018). Hypovolemic shock - A review.
Drug Invention Today, 10(7).
4. Hardisman, H. (2013). Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik:
Update dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas, 2(3).
5. Taghavi, S., & Askari, R. (2020). Hypovolemic Shock. Ncbi.nlm.nih.gov. Retrieved 30
April 2020, from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513297/.
6. Standl T, Annecke T, Cascorbi I, Heller AR, Sabashnikov A, Teske W. (2018). The
nomenclature, definition and distinction of types of shock. Dtsch Arztebl Int, 115
7. American College of Surgeons. (2018). ATLS - Advanced trauma life support Student
Coarse Manual (10th ed.).
8. Gutierrez, G., Reines, H., & Wulf-Gutierrez, M. (2004). Critical Care, 8(5), 373.
https://doi.org/10.1186/cc2851
9. Guyton A, Hall J. The Heart (Unit III, Chapter 9-13). Textbook of Medical Physiology.
12th ed. Philadelphia, Pensylvania: Saunders; 2010. p. 45- 300.
10. Preston RR, Wilson T. Physiology: Lippincott's Illustrated Reviews Series. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2012.
11. McLellan, S. ., & Walsh, T. (2004). Oxygen delivery and haemoglobin. Continuing
Education in Anaesthesia Critical Care & Pain, 4(4), 123–126.
doi:10.1093/bjaceaccp/mkh033
12. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR. 2019. Anestesiologi dan Terapi Intensif Edisi
Pertama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
13. Olson, K.R., 2011, Integrated Control and Response of The Circulatory System, Indiana
University School of Medicine, USA.
14. Silverthorn DU. Human Physiology: An Integrated Approach. 5th ed: Benjamin-Cummings
Publishing Company; 2011.
15. Hidayat JK. Fisiologi Susunan Saraf Otonom. In: Soenarto RF, Chandra S, editors. Buku
Ajar Anestesiologi. Jakarta: FKUI; 2012. p. 91-9.
16. Costanzo L. Physiology Cases and Problems. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2012.
17. Henry, S., Brasel, K., Stewart, R.M., 2018, Advanced Trauma Life Support Tenth Edition,
American College of Surgeons, USA.
18. Taghavi, S. and Askari, R. „Hypovolemic Shock‟, in StatPearls. StatPearls Publishing.
2020.pp. 2–5
19. Sarper Türker, F., 2020. Hemorrhagic Shock. Clinical Management of Shock - The Science
and Art of Physiological Restoration, [online] Available at:
<https://www.intechopen.com/books/clinical-management-of-shock-the-science-and-art-of-
physiological-restoration/hemorrhagic-shock> [Accessed 31 January 2021].
20. Hooper N, Armstrong TJ.,2020. Hemorrhagic Shock. StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2020 Jan-Nov.
21. Udeani, J., 2018. Hemorrhagic Shock Clinical Presentation: History, Physical, Causes.
[online] Emedicine.medscape.com. Available at:
<https://emedicine.medscape.com/article/432650-clinical#showall> [Accessed 31 January
2021].
22. Bastian L. Syok Hemoragik. Repositori USU. 2019
23. Kolecki, Paul. 2016. Hypoolemic Shock. Emedicine.medscape.com
24. Yao FF, Hemmings HC, Malhotra V, Fong J. Yao & Artusio‟s Anesthesiolgy Problem-
Oriented Patient Management 9th Edition. China. 2020
25. Holena DN, Gracias VH. Hemorrhagic Shock. The Intensive Care Unit Manual. 2014. 9th.
87-94
26. Turker FS. Hemorrhagic Shock. Clinical management of Shock. Turkey. 2019 January 29

Anda mungkin juga menyukai