Anda di halaman 1dari 8

PIODERMA

1. Etiologi
Pioderma merupakan penyakit yang menyerang kulit disebabkan oleh Staphylococcus,
Streptococcus, atau keduanya.

2. Epidemiologi
Perkiraan insiden infeksi kulit dan jaringan lunak adalah 24,6/1000 penduduk per tahun,
prevalensi bervariasi berdasarkan jenis penyakit. Saat ini belum ada angka kejadian pioderma
secara keseluruhan.

3. Faktor predisposisi
Faktor yang mempengaruhi penyakit pioderma antara lain:
a. Kurangnya higienitas atau kebersihan, seperti tempat tinggal penderita yang kotor dan
banyak debu.
b. Turunnya daya tahan tubuh
TSeperti: malnutrisi, anemia, dibetes melitus, penyakit kronik (TBC, cerebral palsy,
epilepsi), dan neoplasma ganas.
c. Terdapat penyakit lain di kulit

4. Klasifikasi
A. Infeksi Primer
lnfeksi terjadi pada kulit yang normal. Gambaran klinisnya tertentu, biasanya
disebabkan oleh satu macam mikroorganisme.

B. Infeksi skunder
Pada kulit telah ada penyakit kulit lain. Gambaran klinis tak khas dan meng-ikuti
penyakit yang telah ada. Jika penyakit kulit disertai piodenna sekunder disebut
impetigenisata, contohnya: dennatitis impetigenisata, skabies impetigenisata. Tanda
impetigenisata, ialah jika terdapat pus, pustul, bula purulen, krusta berwama kuning
kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening regional, leukositosis, dapat pula disertai
demam.

5. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari penyakit pioderma sangat bervariasi. Dari bakteri yang
menyerang epidermis disebut impetigo, atau mengenai jaringan lebih dalam disebut ektima.
Atau seperti pada folikulitis yaitu bakteri yang menyerang folikel rambut, atau karbunkel,
sekelompok folikel- folikel.
6. Pemeriksaan Pembantu
Pada kasus-kasus yang kronis dan sukar sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada
kemungkinan penyebabnya bukan staphylococcuss atau streptococcus melainkan kuman
negatif-Gram.

7. Pengobatan umum
A. Penisilin dan semisintetiknya
a. Ampisilin: Dosis 4x500 mg sejam sebelum makan
b. Amoksisilin: Dosis sama dengan Ampisilin.
c. penisilin resisten-penisilinase: oksasilin, kloksasilin, diklokasilin, dan flukloksasilin
i. Dosis kloksasilin 3 x 250 mg per hari sebelum makan.
ii. Golongan obat ini mempunyai kelebihan karena juga berkhasiat bagi
Staphylococcus aureus yang telah membentuk penisilinase.
d. Linkomisin dan klindamisin
e. Dosis linkomisin 3 x 500 mg sehari.
f. Klindamisin diabsorbsi lebih baik karena itu dosisnya lebih kecil, yakni 4 x 150 mg
sehari per oral. Pada infeksi berat dosisnya 4 x 300-450 mg sehari. Obat ini efektif
untuk pioderma di samping golongan obat penisilin resisten-penisilinase.
g. Linkomisin tidak dianjurkan lagi dan diganti dengan klindamisin karena potensi
antibakterialnya lebih besar, efek samping lebih sedikit, pada pemberian per oral
tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan dalam lambung.
B. Eritromisin
a. Dosisnya 4 x 500 mg sehari per oral. Efektivitasnya kurang dibandingkan dengan
linkomisin/klindamisin dan obat golongan penisilin resisten-penisilinase. Obat ini
cepat menyebabkan resistensi. Sering memberi rasa tak enak di lambung.
C. Sefalosporin
a. Pada pioderma yang berat atau yang tidak memberi respons dengan obat-obat
tersebut di atas, dapat digunakan sefalosporin.
b. Ada empat generasi yang berkhasiat untuk kuman positif-Gram ialah generasi I, juga
generasi IV. Contohnya sefadroksil dari generasi I dengan dosis untuk orang dewasa
2 x 500 mg atau 2 x 1000 mg sehari
D. Topikal
Bermacam-macam obat topikal dapat digunakan untuk pengobatan pioderma. Obat topical
antimikrobial hendaknya yang tidak dipakai secara sistemik agar kelak tidak terjadi resistensi
dan hipersensitivitas, contohnya ialah basitrasin, neomisin dan mupirosin.
a. Basitrasin: Oleskan tipis ke area infeksi 1-3 kali sehari
b. Neomisin: Bersihkan area infeksi lalu aplikasikan 2 kali sehari
c. Mupirosin: Secondary skin infections: 2% cream aplikasikan ke area infeksi 3 kali
sehari selama 10 hari
d. Mupirosin: Bacterial skin infections(impetigo): 2% ointment aplikasikan ke area
infeksi 2-3 kali sehari sampai 10 hari

8. Bentuk-bentuk Pioderma
A. Impetigo
Impetigo ialah pioderma superfisialis (terbatas pada epidermis)
 Patofisiologi: pada immpetigo bulosa, bakteri menghasilkan toksin eksfoliatif
sehingga dapat berkembang di bawah stratum korneum, dan epidermis membelah di
bawah stratum granulosum. Dengan demikian, bula terbentuk pada epidermis.
Seringkali, bakteri bermigrasi ke dalam rongga bula
 Klasifikasi
1. Impetigo krustosa (Impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, impetigo Tillbury Fox)
 Etiologi: Streptococcus B hemolyticus.

 Gejala klinis: Tidak disertai gejala umum, hanya terdapat pada anak. Tempat
predileksi di wajah, yakni di sekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap
sumber infeksi dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel
yang cepat memecah sehingga jika penderita datang berobat yang terlihat ialah
krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak erosi di
bawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian tengah.
 Komplikasi: glomerulonefritis (2-5%),yang disebabkan oleh serotipe tertentu.

 Diagnosis banding: Ektima


 Pengobatan: Jika krusta sedikit, dilepaskan dan diberi salap antibiotik. Kalau
banyak diberi pula antibiotik sistemik.
2. Impetigo bulosa (Impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet)
 Etiologi: Staphylococcus aureus.
 Gejala klinis: Keadaan umum tidak dipengaruhi. Tempat prediksi di aksila, dada,
punggung. Sering bersama sama miliaria. Terdapat pada anak dan orang dewasa.
Kelainan kulit berupa eritema, bula, dan bula hipopion. Kadang-kadang waktu
penderita datang berobat, vesikel/bula telah memecah sehingga yang tampak
hanya koleret dan dasarnya masih eritematosa.
 Diagnosis banding: Jika vesikel/bula telah pecah dan hanya terdapat koleret dan
eritema, maka mirip dermatofitosis. Pada anamnesis hendaknya ditanyakan,
apakah sebelumnya terdapat lepuh. Jika ada, diagnosisnya ialah impetigo bulosa.
 Pengobatan: Jika terdapat hanya beberapa vesikel bula, dipecahkan lalu diberi
salep antibiotik atau cairan antiseptik. Kalau banyak diberi pula antibiotik
sistemik. Faktor predisposisi dicari, jika karena banyak keringat, ventilasi
diperbaiki.
3. Impetigo neonatorum
Penyakit ini merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonatus. Kelainan
kulit berupa impetigo bulosa hanya lokasinya menyeluruh, dapat disertai demam.
 Diagnosis banding: Sifilis kongenital. Pada penyakit ini bula juga terdapat di telapak
tangan dan kaki, terdapat pula snuffle nose, saddle nose, dan pseudo paralisis Parrot.
 Pengobatan: Antibiotik harus diberikan secara sistemik. Topikal dapat diberikan
bedak salisil 2%.

B. Folikulitis, furunkel, kabunkel


 Etiologi: Staphylococcus aureus.
 Patofisiologi: faktor resiko adalah trauma (cukur dan ekstrasi rambut) karena
menggangu sawar kulit. Pada infesi S.aureus terjadi infiltrasi neutrofil pada
infundibulum folikel rambut. Jika inflamasi mencapai regio perifolikular, akan terbentuk
abses besar yang disebut furunkel
1. Folikulitis
Radang folikel rambut.
Klasifikasi
1. Folikulitis superfisialis: terdapat di dalam epidermis.
 Sinonim: Impetigo Bockhart
 Gejala klinis: Tempat predileksi di tungkai bawah. Kelainan berupa papul atau
pustul yang eritematosa dan di tengahnya terdapat rambut, biasanya multipel.
2. Folikulitis profunda: sampai ke subkutan
 Gambaran klinis: Hanya teraba infiltrat di subkutan. Contohnya sikosis barbe
yang berlokasi di bibir atas dan dagu, bilateral.
 Diagnosis banding: Tinea barbe, lokalisasinya di mandibula atau submandibula,
unilateral. Pada tinea barbe sediaan dengan KOH positif.
 Pengobatan: Antibiotik sistemik/topikal. Cari faktor predisposisi.

2. Furunkel/karbunkel
Furunkel ialah radang folikel rambut dan sekitamya. Jika lebih dari satu disebut
furunkulosis. Karbunkel ialah kumpulan furunkel.
 Etiologi: Staphylococcus aureus.
 Gejala klinis: Keluhan nyeri, dengan kelainan berupa nodus eritematosa berbentuk
kerucut, di tengah terdapat pustul. Kemudian melunak menjadi abses yang berisi pus
dan jaringan nekrotik, lalu memecah membentuk fistel. Tempat predileksi ialah
tempat yang banyak friksi, misalnya aksiladan bokong.
 Pengobatan: Jika sedikit cukup dengan antibiotik topikal. Jika banyak digabung
dengan antibiotik sistemik. Kalau berulang-ulang mendapat furunkulosis atau
karbunkel, cari faktor predisposisi, misalnya diabetes melitus.

C. Ektima
 Etiologi: Streptococcus B hemolyticus.
 Gejala klinis: Tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning, biasanya berlokasi di
tungkai bawah, yaitu tempat yang relatif banyak mendapat trauma. Jika krusta
diangkat ternyata lekat dan tampak ulkus yang dangkal.
 Diagnosis banding: Impetigo krustosa. Persamaannya, keduaduanya berkrusta
berwarna kuning. Perbedaannya, impetigo krustosa terdapat pada anak, berlokasi di
wajah, dan dasarnya ialah erosi. Sebaliknya ektima terdapat baik pada anak maupun
dewasa, tempat predileksi di tungkai bawah, dan dasarnya ialah ulkus.
 Pengobatan: Jika hanya sedikit, krusta diangkat lalu diolesi dengan salap antibiotik.
Kalau banyak, juga diobati dengan antibiotik sistemik

D. Pionikia (Paronikia, cantengan)

Pionikia adalah infeksi kulit di sekitar kuku tangan atau kuku kaki.
 Etiologi: Staphylococcus aureus dan/atau Streptococcus B hemolyticus.
 Gejala klinis: Penyakit ini didahului trauma. Diawali infeksi pada lipat kuku,
terlihat tanda-tanda radang (eritema, edema), kemudian menjalar ke matriks dan
lempeng kuku (nail plate), dapat terbentuk abses (kumpulan nanah) subungual
(bawah kuku) dan akan terasa nyeri.
 Pengobatan: Kompres dengan larutan antiseptik dan berikan antibiotik sistemik.
Jika abses sudah terbentuk dan bengkak di jari kaki atau tangan yang terinfeksi
sudah sangat besar, maka perlu dilakukan operasi untuk membuang nanah.
E. Erisipelas, selulitis, flegmon
 Etiologi: Streptococcus B hemolyticus.
 Patofisiologi: umumnya didahului oleh trauma terutama pada ekstremitas bawah.
Pada erisipelas, infeksi mengenai epidermis dan dermis, sementara pada selulitis
mengenai subkutan. Pada selulitis penting mencari riwayat imunokompremais
atau diabetes militus.
1. Erisipelas
Erisipelas merupakan infeksi jaringan lunak yang disebabkan oleh bakteri yang
mengenai pembuluh limfatik dermis superfisial dan jaringan sekitarnya.
 Gejala Klinis: Terdapat gejala konstitusi: demam, malese. Lapisan kulit yang
diserang ialah epidermis dan dermis. Penyakit ini didahului trauma, karena
itu biasanya tempat predileksinya di tungkai bawah. Kelainan kulit yang
utama ialah eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas, dan
pinggirnya meninggi dengan tanda-tanda radang akut. Dapat disertai edema,
vesikel, dan bula.Terdapat leukositosis (peningkatan jumlah leukosit).
 Pengobatan: lstirahat, tungkai bawah dan kaki yang diserang ditinggikan
(elevasi). Pengobatan sistemik ialah antibiotik; topikal diberikan kompres
terbuka dengan larutan antiseptik. Jika terdapat edema diberikan diuretika.
2. Selulitis
Etiologi, gejala konstitusi, tempat predileksi, kelainan pemeriksaan laboratorik,
dan terapi tidak berbeda dengan erisipelas. Kelainan kulit berupa infiltrat yang
difus di subkutan dengan tanda-tanda radang akut.
Gejala klinis: infiltrat difus di subkutan, batas tidak tegas, nyeri, terdapat tanda
inflamasi. Biasanya terdapat edema pada ekstremitas yang terkena.
3. Flegmon
Flegmon ialah selulitis yang mengalami supurasi. Terapi sama dengan selulitis,
bila perlu dilakukan insisi.
F. Hidradenitis

Hidradenitis ialah infeksi kelenjar apokrin. penyakit yang ditandai dengan timbulnya
benjolan kecil sebesar kacang di bawah kulit.
 Etiologi: Staphylococcus aureus.
 Gejala klinis: lnfeksi terjadi pada kelenjar apokrin, seperti di ketiak, selangkangan,
lipat paha, bokong, dan payudara. Penyakit ini disertai gejala konstitusi: demam,
malese. Nampak ruam berupa nodus (massa padat sirkumskrip) dengan kelima
tanda radang akut yang kemudian dapat melunak menjadi abses, dan memecah
membentuk fistula. Terdapat leukositosis.
 Patofisiologi: sering kali didahului oleh trauma atau mikrotrauma, seperti cukur
rambut ketiak/pemakaian deodoran.
 Pengobatan: Diberikan Antibiotik sistemik. Jika telah terbentuk abses, dilakukan
insisi (penyayatan untuk mengeluarkan nanah). Kalau belum melunak diberi
kompres terbuka. Pada kasus yang kronik residif, kelenjar apokrin dieksisi (operasi
pengangkatan).

G. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome


 Etiologi: Staphylococcus aureus
 Patofisiologi: sumber infeksi adalah tenggorok (droplet), telinga, dan mata. Gejala
timbul akibat eksositosin yang dihasilkan bakteri pada populasi berisiko (neunatus
dan anak usia <5 tahun) karena fungsi imunologi dan ginjal belum sempurna,
padahal penting untuk ekskresi eksotoksin.
 Gejala klinis: Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi di saluran
napas bagian atas. Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema yang timbul
mendadak pada wajah, leher, aksila, dan lipat paha, kemudian menye- luruh dalam
waktu 24 jam. Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula-bula besar berdinding
kendur. Jika kulit yang tampaknya normal ditekan dan digeser kulit tersebut akan
terkelupas sehingga memberi tanda Nikolsky positif. Dalam 2-3 hari terjadi
pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga
tampak daerah-daerah erosif. Akibat epidermolisis tersebut, gambarannya mirip
kombustio. Daerah-daerah tersebut akan mengering dalam beberapa hari dan terjadi
deskuamasi. Deskuamasi pada daerah yang tidak eritematosa yang tidak mengelupas
terjadi dalam waktu 10 hari. Meskipun bibir sering dikenai, tetapi mukosa jarang
diserang. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai
sikatriks.
 Komplikasi: Meskipun S.S.S.S. dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi
komplikasi, misalnya: selulitis
 Diagnosis banding: Penyakit ini sangat mirip N.E.T. Perbedaannya, S.S.S.S.
umumnya menyerang anak di bawah usia 5 tahun, mulainya kelainan kulit di wajah,
leher, aksila dan lipat paha; mukosa umumnya tidak dikenai, alat-alat dalam tidak
diserang, dan angka kematiannya lebih rendah. Kedua penyakit tersebut agak sulit
dibedakan, oleh karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan histopatologik secara
frozen section agar hasilnya cepat diketahui, karena prinsip terapi kedua penyakit
tersebut berbeda. Perbedaannya terletak pada letak celah, pada S.S.S.S. di stratum
granulosum, sedangkan pada N.E.T. di sub epidermal. Perbedaan lain, pada N.E.T.
terdapat sel-sel nekrosis di sekitar celah dan banyak terdapat sel radang .
 Pengobatan: Berbeda dengan pengobatan pada N.E.T., maka kortikosteroid tidak
perlu diberikan. Pengobatannya ialah antibiotik, jika dipilih derivat penisilin
hendaknya yang juga efektif bagi Staphylococcus aureus yang membentuk
penisilinase, misalnya kloksasilin dengan dosis 3 x 250 mg untuk orang dewasa
sehari peroral. Pada neonatus (penyakit Ritter) dosisnya 3 x 50 mg sehari peroral.
Obat Lain yang dapat diberikan ialah klindamisin dan sefalosporin generasi I.
Topikal dapat diberikan sofratul/e atau krim antibiotik. Selain itu juga harus
diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit.

DAFTAR PUSTAKA
• Djuanda, Adhi. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan. Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.
• Ferry liwang, et al., 2020. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta: Media Aesculapius.

Anda mungkin juga menyukai