Anda di halaman 1dari 12

REVIEW JURNAL

I. Review Jurnal 1
A. Identitas Jurnal

Judul Jurnal : Evaluasi Pemilu Serentak 2019: Distorsi


Asumsi Akademik Dan Praktik
Penulis/Editor : Moch. Nurhasim
Volume dan Halaman : Edisi 7, Hal. 61 – 81
Publikasi : Jurnal Majelis Media Aspirasi
Tahun Publikasi : Juli 2019
Gambar Halaman Pertama

B. Latar Belakang
Pada jurnal ini, dijelaskan beberapa analisis masalah yang terjadi pada Pemilihan
Umum Tahun 2019. Jadi, untuk pertama kalinya Indonesia melakukan pemilu serentak
yang diselenggarakan pada tanggal 17 April 2019. Pemilu tersebut dilakukan untuk
memilih anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden-Wakil Presiden.
Pemilihan umum secara serentak dilakukan karena adanya anggapan bahwa
anggaran yang dikeluarkan tidak akan banyak dan diharapkan terjadinya efek ekor jas
(coattail effect), yakni para calon anggota perwakilan akan berpengaruh terhadap
penentuan pilihan bagi peserta pemilih. Nantinya, hal tersebut dapat menjadi acuan
bagi partai politik untuk meningkatkan taktik berpolitiknya agar menarik simpati
rakyat hingga terpilih menjadi anggota.
Selain itu, menurut MK, efek ekor jas akan memperkuat sistem presidensil karena
adanya pengaruh kuat dari calon anggota presiden/wakil presiden akan mengikuti
pilihan calon anggota wakil rakyat. Sehingga akan tercipta suasana kondusif di dalam
sistem pemerintahan sebab seluruh partai yang akan terpilih merupakan partai yang
berkoalisi.
Namun, dalam kenyataan di lapangan, tujuan dari pemilihan serentak ini tidak
terbukti. Pertama, biaya anggaran untuk melaksanakan pemilihan serentak ternyata
tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan biaya pemilihan umum pada tahun
2014. Kedua, efek ekor jas (coattail effect) yang dinilai akan berhasil memperkuat
sistem presidensil tidak terbukti. Hal ini terjadi karena banyaknya perbedaan suara
yang cukup signifikan dan tidak adanya kolerasi antara hasil pemilu pilpres dengan
hasil pemilu pileg. Ketiga, isu yang diperbincangkan hanya terfokus pada perseteruan
antara pihak calon presiden/wakil presiden nomor urut 01 dan calon presiden/wakil
presiden nomor urut 02. Sementara, isu seperti calon anggota DPR/DPRD tidak
terlihat di permukaan. Maka dari itu, di dalam jurnal ini akan dijelaskan terkait alasan
ketidaksesuaian antara harapan pelaksanaan dengan fakta yang terjadi di lapangan
mengenai masalah yang terjadi terkait dengan pelaksaan pemilu serentak pada tanggal
17 April 2019. Selain itu, topik yang terkait dalam jurnal ini belum banyak dibahas
atau diteliti sehingga perlu menjadi perhatian khusus.
C. Tujuan
Tujuan dari jurnal ini adalah menjelaskan alasan ketidaksesuaian antara harapan
pemangku kepentingan mengenai pemilihan serentak yang dilaksanakan pada April
2019 dengan fakta yang ada di lapangan. Kemudian, alasan penyebab anggaran yang
dikeluarkan lebih banyak daripada pemilu tahun 2014. Juga, model pemilihan umum
yang seperti apa yang tepat untuk dilaksanakan sesuai dengan kultur masyarakat di
Indonesia.
D. Metode
Metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah sistematik review, yaitu
penelusuran melalui kajian atau riset dengan menggunakan data sekunder yang sudah
ada. Kemudian, hasil temuannya disusun dan dirangkai menjadi sebuah penelitian.
E. Hasil dan Diskusi Pembahasan
Pelaksanaan pemilihan umum secara serentak yang diselenggarakan tahun 2019
merupakan kali pertama di Indonesia. Keputusan tersebut ditafsirkan oleh para ahli
atas dasar Keputusan MK Nomor 14 Tahun 2013 dan UUD 1945 pasal 6A ayat 2
yang jika disimpulkan berbunyi: pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih
anggota DPR, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden.
Pemilu serentak diselenggarakan karena menurut para ahli dapat meminimalisasi
pembiayaan anggaran yang dikeluarkan dan terjadinya efek ekor jas (coattail effect)
yang dapat memperkuat sistem presidensil di lembaga pemerintahan.
Pembiayaan anggaran untuk pemilu serentak tahun 2019, naik tiga kali lipat dari
pembiayaan anggaran untuk pemilu tahun 2014. Dalam hal ini tidak dijelaskan lebih
lanjut oleh penulis mengapa kenaikan anggaran dapat terjadi. Hanya saja penulis
menjelaskan bahwa efek banyaknya anggaran yang dikeluarkan tidak sepadan dengan
ekspektasi atas perolehan suara para partai politik. Bahkan, ada beberapa partai yang
memperoleh penurunan suara sebanyak 2 – 3% lebih rendah daripada tahun
sebelumnya, yaitu Golkar, Demokrat, PPP, dan Hanura.
Namun, tidak sedikit juga partai yang memperoleh kenaikan suara, seperti PDIP,
Gerindra, PKB, Nasdem, PKS, Perindo, Berkarya, PSI, dan Garuda. Selain itu, penulis
juga menjelaskan bahwa satu-satunya implikasi positif dari anggaran biaya yang
dikeluarkan oleh pemilu serentak ini adalah banyaknya peserta pemilu yang
menggunakan hak suara mereka. Karena sudah jelas, mereka yang awalnya ingin
golput karena tidak ingin memilih akan memikirkannya kembali setelah mereka tahu
bahwa selain pemilihan presiden, akan diakan juga pemilihan anggota DPR/DPRD.
Selanjutnya, untuk permasalahan efek ekor jas (coattail effect) yang diharapkan
akan terjadi oleh para ahli. Ternyata hal tersebut hanyalah asumsi belaka. Penulis
menjabarkan alasannya dengan keterkaitan antara perbandingan perolehan suara atas
pemilu pilpres dengan pileg. Seperti yang telah diketahui bahwa kubu 01 (Jokowi-
Ma’ruf) memperoleh suara sebanayak 55,5%. Namun, partai koalisi kubu 01
memperoleh suara sebanyak 62,1%. Sementara kubu 02 (Prabowo-Sandi) memperoleh
suara sebanyak 44,5%. Namun, partai koalisinya mencapai 37,98%. Sehingga penulis
menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara pilihan presiden dengan pilihan legislatif.
Penulis juga menjelaskan, suara perolehan pilpres pada kubu 01 seharusnya sama atau
paling tidak mendekati presentase yang sama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
ada 6,51% suara yang memilih partai koalisi kubu 01 atau pilihan legislatifnya
merupakan partai yang mengusung calon presiden kubu 01—seperti PDIP, Golkar,
Hanura, dan PPP—tetapi peserta pemilu tidak memilih calon presiden kubu 01. Begitu
juga yang terjadi dengan perolehan suara atas kubu 02 antara hasil pilpres dengan
pileg.
Kemudian, penulis menjelaskan permasalahan yang terjadi mengenai asumsi
pemilu serentak dapat membangun sistem presidensil yang kuat. Dalam hal ini penulis
menjelaskannya melalui teori yang dikemukakan oleh Mainwaring, yaitu dukungan
atas parlemen yang tidak seirama dengan presiden akan menghasilkan jalan buntu bagi
sistem pemerintahan.
Namun, pada kenyataannya hal tersebut tidak terjadi atau tidak sampai kepada
hubungan yang tidak harmonis antara parlemen dengan presiden. Misalnya, pada kasus
era Presiden SBY dan Boediono pada tahun 2009 – 2014, yang saat itu kursi pada
parlemen lebih banyak diduki oleh anggota dari partai oposisi dibandingkan dengan
partai koalisis. Namun, tidak ada konflik yang terjadi dalam masa pemerintahan SBY
yang kedua. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Jokowi-Kalla, pada
tahun 2014 – 2019, dan tidak ada konflik yang terjadi pada masa itu.
Sehingga penulis berasumsi bahwa, hubungan antara partai koalisi dengan
presiden memang membantu kekuatan pemerintahan. Tetapi, apabila banyak partai
oposisi dibanding koalisi pada suatu era pemerintahan, tidak selalu menjamin akan
terjadi konflik. Karena adanya kerja sama dalam kabinet dan selalu mengutamakan
kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Maka dari itu, penulis memberikan saran dan model pemilihan yang cocok untuk
diterapkan di Indonesia, di antaranya: (1) pemilu serentak antara nasional dan lokal
harus terpisah. (2) pemilu terpisah antara lembaga legislatif dan eksekutif. Namun,
tetap dari kedua model tersebut memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-
masing.
F. Kesimpulan
Berdasarkan pembasahan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pemilu serentak yang dilaksanakan pada 17 April 2019 memiliki biaya anggaran
tiga kali lipat lebih banyak daripada pemilu tahun 2014. Namun, hal ini
menyebabkan adanya peningkatan peserta pemilu daripada tahun sebelumnya.
2. Efek ekor jas (coattail effect) tidak berhubungan dengan kondisi penurunan dan
kenaikan suara, baik dari partai politik, maupun pemilihan presiden dan wakilnya.
3. Untuk menjaga hubungan yang harmonis antara presiden dan parlemen, tidak harus
selalu berasal dari keputusan bersama dengan partai koalisi. Karena sistem pada
pemerintahan sudah seharusnya bekerja sama dan mengutamakan kepentingan
umum/masyarakat.
4. Dua model pemilu yang dapat dilaksanakan di Indonesia ada dua, yaitu: pemilu
nasional dan lokal terpisah atau pemilu legislatif dan eksekutif terpisah.
G. Kelebihan dan Kekurangan Jurnal
Kelebihan dari penulis terhadap penelitian ini adalah penelitian ini dinilai update
atau merupakan hal baru yang akhir-akhir sedang terjadi. Selain itu, masih sedikitnya
peneliti yang mengulas tentang masalah yang terjadi pada pemilu tahun 2019.
Sementara, kelemahan penelitian ini adalah bahasa yang digunakan untuk
menulis penelitian ini terlalu tinggi dan ada banyak istilah yang kurang dipahami.
Sehingga penelitian ini mungkin kurang dimengerti bagi orang awam yang membaca
penelitian ini karena butuh pemahaman yang cukup kuat untuk mengerti istilah-istilah
yang ada di dalam penelitian ini. Selain itu, ada beberapa tujuan dalam penelitian tidak
dijelaskan secara detail dan jawabannya masih menggantung antara benar atau tidak.
Sebaiknya, peneliti lebih menyederhanakan kalimat atau istilahnya menjadi
kalimat yang mudah dimengerti sehingga pembaca dapat mencermati dan
menafsirkannya dengan baik.
II. Review Jurnal 2
A. Identitas Jurnal
Judul Jurnal : Kajian Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu,
dan Sistem Presidensil
Penulis/Editor : Sekretariat Jenderal Bawaslu RI
Volume dan Halaman : Hal. 16 – 22
Publikasi : Jurnal Majelis Media Aspirasi
Tahun Publikasi : 2015
Gambar Halaman Pertama

B. Latar Belakang
Sejak masa reformasi, perubahan atas sistem pemilihan umum terus dibentuk.
Perubahan tersebut merupakan penyempurnaan atas model pemilu sebelumnya yang
banyak mendapat kritikan. Saat itu, Presiden Habibie melakukan pengubahan besar
terhadap undang-undang. Namun, masa kepemimpinan Habibie yang masih
mengalami transisi, dinilai belum demokratis dan masih otoriter. Sampai akhirnya
Habibie menerapkan undang-undang baru mengenai pemilu dan partai politik pada 1
Februari 1999. Singkatnya, undang-undang tersebut dinilai lebih demokratis dan adil
bagi masyarakat. Hingga pada tahun 2004, pemerintah menyelenggaran pemilihan
umum presiden yang secara langsung dipilih oleh rakyat.
Namun, ketidakpuasan dalam sistem penyelenggaraan pemilu masih berlangsung.
Masyarakat merasa pemilihan ini tidak transparan. Maka dari itu, masih perlu
dilakukan pengkajian mengenai sistem penyelenggaraan pemilu yang dapat
memperkuat stabilitas sistem pemerintahan.
Selanjutnya, peneliti juga mengungkapkan kondisi sistem pemilu dapat memiliki
potensi adanya pelanggaran dalam kinerja sistem pemilu. Asumsi yang dikaitkan
dengan peneliti adalah dampak efektivitas yang terjadi pada kinerja pemerintahan.
Peneliti juga menjelaskan sistem lembaga partai politik dirasa perlu dilakukan
penyederhanaan agar tidak hanya mayoritas partai yang memperoleh kedudukan suara
paling banyak. Selain itu, proses melakukan pengorganisasian terhadap partai juga
harus dilakukan.
Salah satu kekhawatiran dari penulis adalah terkotak-kotaknya sistem pemilihan
sehingga mempengaruhi perilaku dari peserta pemilih yang hanya terkesan ‘ikut-
ikutan’ dalam memilih calon anggota wakil tanpa mengetahui secara jelas kriteria yang
ada pada wakil yang dipilih. Juga, kurangnya literasi dan pengetahuan pada
masyarakat yang memunculkan perilaku yang sama.
Maka dari itu, penulis berharap agar dilakukan adanya pengawasan oleh lembaga
yang terkait agar pemilu di Indonesia bisa berjalan dengan baik tanpa adanya kendala.
Tetapi, dalam review untuk jurnal ini, tidak akan dijelaskan terlalu detail apa yang
menjadi masalah pada sistem pemilihan umum di Indonesia. Karena review ini khusus
untuk membahas bagian konsep dari sistem pemilu.
C. Tujuan
Secara keseluruhan, tujuan peneliti melakukan kajian ini adalah untuk membahas
mengenai dampak yang terjadi akibat penyelenggaraan sistem pemilu. Peneliti juga
ingin menjelaskan adakah hubungan antara sistem pemilihan umum dengan efektivitas
terhadap sistem pemerintahan di Indonesia. Selanjutnya, peneliti juga akan
memberikan saran terkait undang-undang yang mengatur sistem pemilihan di
Indonesia.
Namun, dalam jurnal ini hanya akan dibahas sub bab terkait dengan sistem
pemilu, seperti unsur apa saja yang harus ada dalam sebuah pemilu, sistem pemilu apa
saja yang berkembang di seluruh dunia, serta kelebihan dan kekurangan yang ada pada
masing-masing model sistem pemilihan.
D. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistematik review dengan
menggunakan penelusuran materi yang terkait dengan pembahasan. Peneliti
menggunakan bahasan dari berbagai sumber data sekunder yang sebelumnya sudah
dikaji, seperti artikel, jurnal, majalah, atau buku bacaan yang terkait dengan judul
penelitian.
E. Hasil dan Pembahasan
Sebenarnya, dalam review ini tidak membahas jurnal secara keseluruhan. Tetapi
hanya sebagian halaman yang akan direview, yaitu pada halaman 16 – 22 yang
merupakan bagian dari pendahuluan dan masuk ke dalam sub bab kerangka
konseptual. Pada halaman tersebut, dibahas mengenai sistem pemilu yang ada di
Indonesia.
Jadi, peneliti menjelaskan bahwa pemilu adalah sebuah metode yang dilakukan
oleh warga negara sebagai upaya untuk memilih secara bebas wakil rakyat yang akan
menduduki jabatan di dalam pemerintahan. Secara prinsip, pemilihan dilakukan atas
asas bebas dan adil. Yang dimaksud bebas di sini adalah melakukan pemilihan tanpa
ada paksaan dari suatu pihak tertentu. Sementara, adil merupakan hak bagi warga
negara untuk melaksanakan pemilihan tanpa ada rasa terkekang untuk memilih pilihan
tertentu.
Secara umum, sub bab pada jurnal ini tidak membahas secara eksplisit mengenai
sistem pemilihan umum yang ada di Indonesia. Tetapi, dalam sub bab ini akan dibahas
mengenai elemen yang ada pada sistem pemilihan umum, prinsip apa saja yang harus
ditaati oleh penyelenggara pemilihan umum dan masyarakat, serta kondisi yang
bagaimana untuk suatu negara mengadopsi suatu pilihan sistem pemilu.
Negara yang melakukan pemilu pastinya harus memperhatikan kondisi yang
sesuai dengan sistem politik yang ada wilayahnya. Menurut peneliti sistem politik
yang ada di dunia terbagi menjadi 3, yaitu:
1) Sistem distrik
Merupakan sistem pemilu dengan anggota yang terpilih hanya satu pada setiap
wilayahnya.
2) Sistem proporsional
Merupakan sistem pemilu yang mentransformasikan jumlah perolehan suara
menjadi jumlah kursi yang tersedia di dalam parlemen.
3) Sistem Campuran
Merupakan campuran antara sistem distrik dan sistem proporsional.
Menurut peneliti, terdapat satu jenis sistem pemilihan yang tidak termasuk ketiga
sistem yang sudah dijelaskan sebelumnya. Namun, secara prinsip sistem pemilihan
tersebut memiliki kerja yang sama dengan sistem pemilihan campuran.
Pemilu memiliki komponen yang kompleks. Banyak syarat yang diperlukan oleh
suatu negara untuk mengadopsi suatu sistem pemilu, di antaranya adalah: memiliki
pertanggungjawaban yang baik, adil, mewakili suatu pemilihan, dan dapat diterima
oleh masyarakat. Selain itu, peneliti juga menjelaskan unsur apa saja yang harus ada
dalam sebuah pemilu, yaitu:
1) Memiliki hukum yang pasti tentang cara memberikan suara. Dalam hal ini peneliti
menjelaskan pemilik suara berhak menentukan siapa calon anggota wakil yang
dipilih secara bebas.
2) Kursi yang ada di lembaga legislatif harus ditentukan terlebih dahulu sebelum
dilakukan pemilihan.
3) Penyelenggara pemilihan umum juga memberikan batas terhadap pemberian kursi
di parlemen dalam suatu wilayah. Tujuannya agar tidak terjadi adanya perebutan
kursi di parlemen.
4) Sebelum melakukan pemilihan, formula pemilihan umum sebaiknya ditentukan.
Maksudnya adalah menentukan model sistem pemilihan yang seperti apa yang
cocok untuk diterapkan.
5) Kemudian, agar model sistem pemilihan berlangsung dengan baik, perlu adanya
pertimbangan untuk menentukan kondisi yang representatif dengan suara.
6) Agar sebuah partai politik dipilih untuk mendapatkan jatah kursi, perlu dibuat
sebuah ambang batas atau minimal banyak dukungan yang digambarkan dalam
persentase hasil suara.
Peneliti menyebutkan bahwa ada beberapa macam sistem pemilihan yang
dilakukan di seluruh dunia di antaranya adalah:
1. Prinsip electoral law yang merupakan proses pemilihan yang terdiri dari jenis
mayoritas dan proporsional representasi.
2. Prinsip electoral process yaitu proses pemilihan yang mentransformasikan
perolehan suara menjadi banyaknya kursi yang ada di dalam parlemen.
Namun, pada bagian ini, peneliti tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai pengertian
electoral law dan electoral process.
Selanjutnya, dijelaskan juga mengenai kabinet yang berisi partai dari koalisi
dapat memperkuat sistem pemerintahan. Sehingga menjamin adanya stabilitas dan
kerja sama antar seluruh anggota parlemen.
F. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikaji oleh peneliti didapatkan bahwa:
1. Sistem pemilihan umum memiliki karakteristik yang kompleks.
2. Sistem pemilihan terdiri dari tiga, yaitu sistem pemilihan distrik, proporsional, dan
campuran.
3. Unsur yang terdapat dalam sistem pemilihan umum ada 6, yaitu memiliki hukum
yang pasti, penentuan kursi di parlemen, pembatasan kursi, adanya formula
pemilihan, mempertimbangkan kondisi agar representatif, dan partai politik
memerlukan batas minimal dukungan suara.
4. Sistem pemilihan umum dalam praktiknya memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
5. Sistem pemerintahan yang terbentuk berdasarkan partai koalisi dapat menjaga
stabilitas dan efektivitas kerja sama antar seluruh anggota parlemen.
G. Kelebihan dan Kekurangan Jurnal
Kelebihan jurnal adalah banyak kajian yang dibahas dalam permasalahan sistem
politik yang ada di Indonesia. Temuan-temuan dampak atas sistem kinerja partai yang
mempengaruhi efektivitas pemerintahan digambarkan dengan jelas. Tujuan dari
penelitian ini juga sudah digambarkan dengan jelas.
Namun, halaman yang terlalu banyak dalam jurnal ini membuat pembaca merasa
bosan dan kurang berminat untuk membaca. Lalu, sepertinya hanya kalangan tertentu
saja yang akan membaca jurnal ini hingga selesai.
Mungkin ini bukan disebut sebagai kekurangan jurnal, tetapi untuk mereview
jurnal, sebaiknya review harus terdiri dari semua hasil penelitian sehingga bahasannya
menjadi mendalam dan eksplisit. Maka dari itu, reveiw jurnal untuk topik ini
bahasannya cukup sedikit dibandingkan dengan kedua jurnal lainnya.
III.Review Jurnal 3
A. Identitas Jurnal
Judul Jurnal : Sistem Pemilu Proporsional Daftar
Terbuka Di Indonesia: Melahirkan Korupsi
Politik?
Penulis/Editor : Diah Ayu P.
Volume dan Halaman : Vol. 2, Hal. 13 – 28.
Publikasi : Jurnal Trias Politika
Tahun Publikasi : 2018
Gambar Halaman Pertama

B. Latar Belakang
Sejak pertama kali Indonesia melakukan pemilu pada tahun 1955, banyak terjadi
perubahan terhadap model pemilu yang diselenggarakan. Hal ini merupakan bentuk
penyempurnaan atas ketidakpuasan para peserta pemilu dan partai politik atas model
pemilu yang digunakan. Sejatinya, pemilu diadakan atas dasar untuk membuat
pemilihan berlangsung dengan tertib dan damai, dilakukan dalam rangka menghargai
rakyat dan menghargai haknya, serta untuk melaksanakan aspirasi rakyat dalam bentuk
perwakilan yang akan menjabat sebagai anggota legislatif.
Ada banyak model pemilihan di dunia ini, di antaranya pluralitas, proporsional,
dan campuran antara pluralitas dan proporsional. Namun, peneliti tidak menjelaskan
lebih lanjut mengenai istilah model tersebut. Tetapi menjelaskan bahwa tujuan dari
sistem pemilihan umum ini adalah untuk menunjukkan kekuatan yang ada pada
lembaga pemerintahan.
Model pemilu yang dilaksanakan di Indonesia saat pertama kali adalah sistem
proporsional, yaitu perolehan suara yang berasal rakyat akan diakumulasi dan hasilnya
akan ditransformasi menjadi jumlah kursi yang diperoleh oleh partai politik. Sistem ini
kemudian berubah saat tahun 1971 menjadi sistem mayoritas. Tetapi, karena ada
perdebatan pada parlemen tahun 1977 – 1997, Indonesia kembali menggunakan sistem
proporsional di mana tahun tersebut merupakan awal Orde Baru. Pada masa itu, setiap
kali pemilu dilaksanakan, Soeharto selalu menang dengan didukung oleh Partai
Golkar. Dari sini, semua kekuatan Soeharto terbentuk tanpa ada yang berkutik.
Kemudian, kembali ada pergolakan atas ketidakpuasan rakyat terhadap hasil
pemilu tahun 1997. Sehingga Indonesia kembali mengubah dan mengatur peraturan
yang terkait atas pemilu dan pada tahun 1999, Indonesia mengubah sistem pemilu
menjadi sistem distrik. Sistem
Berbagai perdebatan terus bermunculan karena rakyat tidak puas dengan sistem
pemilihan. Sehingga pada tahun 2004, Indonesia kembali menyelenggarakan sistem
proporsional tertutup, yaitu sebuah pemilihan di mana rakyat dapat memilih partai
politik sebagai lembaga legislatifnya. Sistem proporsional tertutup dinilai kurang puas
karena rakyat tidak mengetahui siapa yang nantinya akan menduduki kursi terpilih.
Sehingga pada tahun 2014, pemilu diselenggarakan dengan sistem proporsional
terbuka ini dinilai puas oleh rakyat karena mereka merasa yakin dan transparansi akan
terwujud. Namun, di sisi lain sistem proporsional terbuka ini dikhawatirkan dapat
menjadi sarana permainan politik atas tindakan penyalahgunaan kekuasaan.
Maka dari itu, melalui jurnal ini peneliti mencoba menjelaskan adakah hubungan
antara sistem pemilu proporsional terbuka dengan potensi melakukan korupsi pada
anggota legislatif yang telah terpilih. Kemudian, peneliti menjelaskan hasil analisanya
yang dituangkan ke dalam bentuk narasi penjelasan.
C. Tujuan
Tujuan peneliti melakukan kajian riset mengenai sistem pemilu proporsional
terbuka adalah untuk membuktikan kebenaran apakah dalam sistem pemilihan
tersebut, lembaga legislatif berpotensi untuk melakukan korupsi. Juga, apakah yang
harus dilakukan oleh penyelenggara pemilihan umum untuk mencegah terjadinya
korupsi pada anggota legislatif yang telah terpilih.
D. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan
pendekatan kualitatif. Jadi, peneliti melakukan observasi terhadap suatu fenonema
yang terjadi di masyarakat. Kemudian, menggambarkan hasilnya dengan cara
menjabarkannya, seperti narasi.
Peneliti juga dibantu dengan data yang bersumber pada dua jenis data, yaitu data
primer dan sekunder. Data primer bersumber pada hasil kajian yang dilakukan oleh
peneliti sendiri, seperti hasil pengamatan dan survey ke lapangan. Sementara, data
sekunder bersumber pada artikel, buku bacaan, atau kajian lainnya.
E. Hasil dan Pembahasan
Sistem pemilu proporsional terbuka merupakan sistem yang baik menurut rakyat
dan partai politik yang terpilih. Rakyat merasa bahwa mereka memiliki hak untuk
mengetahui siapa calon yang dipilihnya. Sementara, bagi partai politik penentuan ini
akan memudahkan pemilihan terhadap siapa yang akan menduduki kursi terpilih.
Meskipun sudah berjalan, sistem proporsional terbuka ini tetap memiliki pro dan
kontra dalam pemerintahan dan masyarakat.
Dalam parlemen, terdapat undang-undang yang sudah mengatur sistem pemilu
proporsional terbuka, yaitu UU No. 8 Tahun 2012 yang menetapkan bahwa pada tahun
2014, sistem pemilu dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka.
Tujuan dari diselenggarakannya sistem pemilu ini adalah agar rakyat dapat mengetahui
karakteristik dari calon anggota yang dipilihnya. Sehingga nantinya, wakil rakyat yang
benar terpilih adalah mereka yang benar-benar dapat menampung aspirasi rakyat.
Namun, peneliti menduga adanya praktik permainan politik yang mungkin saja
terjadi akibat sistem pemilu proporsional terbuka, seperti korupsi. Menurut peneliti,
adanya korupsi disebabkan karena tingginya biaya kampanye calon anggota. Calon
anggota yang diikutsertakan ke dalam pemilu, bertanggung jawab secara mandiri atas
biaya kampanye yang dikeluarkan. Karena partai politik tidak menyediakan anggaran
bagi calon kandidatnya.
Tetapi, karena keinginan untuk menjadi anggota terpilih sangat tinggi, para calon
anggota berlomba-lomba mengeluarkan biaya sebanyak mungkin dengan harapan akan
terpilih menjadi wakil rakyat dan dapat mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan
selama masa kampanye. Sehingga mereka bisa mendapatkan untung.
Menurut peneliti, yang diambil dari hasil kajian LPEM-FEUI, biaya kampanye
yang dikeluarkan oleh calon anggota berada pada interval Rp1,18 – Rp4,6 miliar.
Anggaran kampanye tersebut diakomodisi untuk biaya jasa transportasi, komunikasi,
dan pengarahan massa. Sementara, pendapatan yang diperoleh anggota wakil rakyat
selama masa jabatannya kurang lebih sekitar Rp5,3 – Rp5,4 miliar. Hal tersebut
kemungkinan tidak sesuai dengan ekspektasi para anggota sehingga mereka
melakukan korupsi untuk mengembalikan modal mereka selama kampanye. Selain itu,
peneliti juga menjelaskan bahwa setiap tahunnya, sejak tahun 2014, sebanyak 560
anggota DPR melakukan tindakan korupsi. Dugaannya adalah para anggota DPR ini
menerima suap proyek atau event tertentu.
Namun, ada hal yang tidak dijelaskan lebih rinci oleh peneliti mengenai jumlah
kenaikan dari anggota DPR yang melakukan korupsi. Peneliti sebaiknya perlu
membandingkan jumlah tindakan korupsi tahun-tahun yang terdahulu, yang
sebelumnya belum menyelenggarakan sistem pemilu proporsional terbuka. Sehingga
jawaban dari tujuan penelitian ini dapat terjawab dengan jelas dan bukan asumsi dari
peneliti.
Selanjutnya, peneliti menjelaskan selain adanya korupsi, sistem pemilu
proporsional terbuka akan berpotensi memunculkan fenomena jual-beli kursi di
parlemen. Karena dengan sistem proporsional, partai politik memiliki kuasa untuk
menetapkan calon anggota tersebutlah yang dapat menduduki kursi terpilih. Sehingga
kondisi ini akan menimbulkan perebutan kursi yang tidak sehat.
Dalam jurnal ini juga dibahas mengenai sistem proporsional terbuka akan
melahirkan calon anggota yang tidak kompeten dengan jabatannya. Karena adanya
kampenya secara terbuka akan membuat calon anggota melakukan money politic atau
menyogok peserta pemilu dengan uang agar mereka dapat dipilih sebagai anggota
politik. Nanti ketika mereka terpilih sebagai anggota, bisa saja mereka tidak dapat
menjalankan tugas karena tidak memiliki kapabilitas sebagai wakil rakyat. Selain itu,
menurut peneliti, money politic juga dapat membuat wakil rakyat yang terpilih
melakukan penyelewengan hak dan kewajibannya sebagai anggota legislatif.
Tindakan seperti ini, dapat membuat suatu partai politik menjadi terkenal karena
kesalahan anggotanya dan berakibat kurangnya kepercayaan rakyat terhadap suatu
partai politik. Sehingga apabila suatu saat partai tersebut mencalonkan anggota
kembali, dikhawatirkan tidak akan ada yang memilih calon dari partai tersebut.
Sementara itu calon anggota yang sudah bergabung karena tidak terpilih sebagai
anggota parlemen, mereka pindah ke partai yang berpotensi mengusung nama mereka.
Hal ini tentu akan membuat lingkaran berputar yang tidak akan ada habisnya. Jadi,
anggota parlemen yang tidak berkompeten melakukan kampanye dengan money
politic. Kemudian, mereka terpilih dan menjabat sebagai anggota parlemen akan
melakukan korupsi untuk mengembalikan anggaran kampanye yang sudah mereka
keluarkan sebelumnya.
Jadi, itulah sebabnya peneliti menghubungkan adanya tindakan potensi korupsi
dan penyelewengan hak jabatan sebagai akibat dari diselenggarakannya sistem
proporsional daftar terbuka.
Tetapi, menurut peneliti kelebihan yang ditawarkan oleh sistem proporsional
terbuka adalah rakyat, sebagai peserta pemilu dapat mengetahui siapa yang anggota
yang menjadi wakil rakyat mereka. Peserta pemilu juga dapat melakukan skrining
tentang karakteristik calon anggota apakah mereka dapat menyalurkan aspirasi
masyarakat ketika nantinya mereka terpilih sebagai anggota legislatif.
F. Kesimpulan
Jadi, berdasarkan hasil dan pembahasan dapat dijelaskan bahwa:
1. Sistem proporsional terbuka dapat berpotensi memunculkan anggota parlemen
yang melakukan tindakan korupsi. Hal ini disebabkan karena anggaran biaya
kampanye lebih besar daripada pendapatan mereka selama masa menjabat.
2. Sistem proporsional terbuka dapat berpotensi memunculkan tindakan money
politic dengan cara menyogok peserta pemilu dengan uang agar mereka mau
memilih calon anggota dari partai tertentu.
3. Sistem proporsional terbuka kemungkinan akan menyebabkan anggota parlemen
yang terpilih tidak memiliki kapabilitas dalam menjalankan tugasnya karena
mereka dipilih dengan cara yang tidak sehat.
G. Kelebihan dan Kekurangan Jurnal
Kelebihan dari jurnal yang diteliti ini adalah penjabarannya cukup lengkap. Satu
per satu sub bab yang akan dibahas juga dijabarkan dengan lengkap. Sehingga
pembaca mudah mengerti dan tertarik dengan penelitian ini. Istilah yang digunakan
dalam penelitian ini juga tidak terlalu sulit untuk dicermati karena peneliti menjelaskan
lebih lanjut tentang istilah tersebut.
Namun, karena penjabarannya yang terbilang cukup lengkap ini, mendapat kesan
seolah tulisannya bertele-tele dan pembaca bisa saja menjadi bosan karena kata yang
dijelaskan merupakan banyak pengulangan dari sub bab sebelumnya. Mungkin
sebaiknya, penulis tidak terlalu banyak menjabarkan kata pengulangan dengan
menggunakan banyak kalimat.

Anda mungkin juga menyukai