Anda di halaman 1dari 4

Untuk dapat menjadi BLU, suatu instansi harus memenuhi tiga persyaratan pokok,

yaitu persyaratan substantif, yang terkait dengan penyelenggaraan layanan umum,


persyaratan teknis yang terkait dengan kinerja pelayanan dan kinerja keuangan,
serta persyaratan administratif terkait dengan terpenuhinya dokumen seperti pola
tata kelola, rencana strategi bisnis, standar pelayanan minimal, laporan keuangan
pokok, dan laporan audit atau pernyataan bersedia untuk diaudit.

Konsekuensi yang lain dari perubahan menjadi BLU adalah rumah sakit harus
melakukan penyesuian dalam penyusunan anggaran, penetapan tarif, dan lain-lain
yang harus berbasis pada kinerja. Pelaporan harus memiliki akuntabilitas yang
tinggi dengan adanya tuntutan bahwa laporan keuangan harus diaudit oleh audit
independen. Dengan menjadi BLU ini diharapkan rumah sakit menjadi suatu
organisasi yang memiliki tata kelola yang transparansi dan auditable sehingga akan
berujung pada peningkatan kualitas layanan yang memberi kepuasan kepada
pasien. Sehingga dampak terhadap kinerja keuangan, kinerja pelayanan dan mutu
layanan dan manfaat terlihat terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) adalah unit kerja atau SKPD pemerintah
daerah yang paling banyak diubah statusnya menjadi BLUD (Badan Layanan
Umum Daerah). Karakter RSUD memang sangat cocok dengan status BLUD,
diantaranya 1) Memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat
2) Menarik bayaran atas jasa yang diberikannya
3) Memiliki lingkungan persaingan yang berbeda dengan SKPD biasa
4) Pendapatan yang diperoleh dari jasa yang diberikannya cukup signifikan
5) Adanya spesialisasi dalam hal keahlian karyawannya.
Perubahan RSUD menjadi BLUD dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk
keprofesional pelayanan publik di pemerintahan daerah.
Namun banyak pihak yang mengkritik karena sebenarnya menunjukkan
bahwa Pemda belum mampu mengelola dan memberdayakan dana berlimpah
yang dimilikinya untuk menyediakan pelayanan publik yang berkualitas. Bahkan
ada yang pesimis bahwa BLUD tidak akan berhasil kecuali hanya menjadi sumber
penghasilan bagi para pengelolanya.
Esensi dari BLUD adalah peningkatan pelayanan dan efisiensi anggaran. Hal
ini dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah,
disebutkan bahwa BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit
Kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau
jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam
melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi, sebagai salah satu aspek yang mempengaruhi implementasi
kebijakan, merupakan faktor yang memiliki peranan penting dalam menentukan
berhasil tidaknya sebuah kebijakan yang akan dilaksanakan. Struktur birokrasi
yang dibahas dalam penelitian ini adalah yaitu mekanisme. Mekanisme
implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui standar operating
procedure (SOP) yang dicantumkan dalam program/kebijakan.
Prosedur (SOP) BLUD pada RSUD telah dibuat. SOP ini sudah termuat dalam
pola tata kelola BLUD yang mengacu pada Permendagri No. 61 Tahun 2007 dan
Keputusan Gubernur No. 445/498/RSUDGST/2010 yang menunjuk RSUD Undata
sebagai rumah sakit BLUD.

Dari sisi pemerintah, masih banyak yang menganggap bahwa jika telah menjadi
BLUD maka RSUD akan bisa mandiri dan tidak lagi tergantung pada subsidi dari
pemerintah daerah. Hal ini tentu perlu pengkajian lebih dalam. Pada daerah yang
masyarakatnya memiliki kemampuan ekonomi tinggi, RSUD dapat “hidup” dengan
mengembangkan produk pelayanan inovatif, misalnya yang terkait dengan
estetika. Namun pada daerah yang kemampuan ekonomi masyarakatnya rendah,
tentu pembiayaan kesehatan akan sangat mengandalkan subsidi dari APBD dan
APBN. Jika jumlah masyarakat miskin lebih dari 50%, subsidi diperlukan bukan
saja untuk investasi dan biaya SDM, melainkan sampai pada biaya operasional
(misalnya untuk membeli obat).

KETIDAKSIAPAN RS MENERAPKAN BLUD


Meskipun kebijakan dan regulasi terkait BLUD sudah berjalan kurang lebih 5
tahun, dan tahun 2011 merupakan batas akhir untuk pelaksanaan Permendagri
61/2007, masih banyak RS Daerah yang belum menerapkan PPK BLUD. Banyak
faktor yang menyebabkan, antara lain ketidaksiapan RSUD yang bersangkutan,
maupun ketidaksiapan Pemda sebagai pemilik RSUD. Ketidaksiapan dari RSUD
selain masalah kelengkapan syarat administratif, juga terkait dengan komitmen
manajemen dan staf di RSUD yang bersangkutan untuk mengubah perilaku
menjadi lebih profesional, sadar biaya, kerja tim untuk mencapai tujuan bersama,
dan sebagainya

Tips untuk Survive


Banyak RS akhirnya harus mengembangkan kreatifitas seluasluasnya untuk
mempertahankan kemampuan hidup dan berkembang, setelah subsidi dari
pemerintah daerah semakin berkurang. Salah satu strategi yang ditempuh adalah
meningkatkan efisiensi dan mengurangi idle capacity. Berikut ini adalah tips yang
telah dilakukan di beberapa RSUD untuk meningkatkan penerimaan:
1. Ruang rawat jalan yang kosong pada sore hari dimanfaatkan untuk membuka
layanan poliklinik sore dengan tarif “swasta”
2. Outsourcing alat medis. RS tidak memiliki modal yang cukup untuk membeli
USG, peralatan uji kinia klinik, tes kolesterol dan sebagainya. Padahal karena tidak
adanya peralatan ini, banyak pasien dirujuk ke RS lain. RS kemudian bekerjasama
dengan pihak ketiga untuk pengadaan alat dengan system bagi hasil.
3. Outsourcing linen dan layanan laundry. RS hanya menyediakan ruang, listrik, air
dan pengolahan limbah. Pihak ketiga menyediakan linen, mesin laundry dan SDM.
Kapasitas mesin yang masih tersisa bisa digunakan untuk melayani kebutuhan RS
dan klinik lain di sekitar RS.
4. Ruang kosong dibawah tangga ke lantai atas dimanfaatkan untuk layanan
fotocopy, kounter koran/majalah, dan sebagainya

Anda mungkin juga menyukai