Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji Dan seeker kite panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas limpahan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah

Sejarah umum  ini yang berjudul “SISTEM EKONOMI TERPIMPIN”. Makalah ini disusun

agar dapat bermanfaat sebagai media sumber informasi dan pengetahuan.

Teima  kasih tidak lupa saya ucapkan kepada Guru pembimbing saya selama ini

Bapak Abu Harang SH , teman-teman dan semua pihak yang

telah terlibat dan memberikan bantuan dalam bentuk moril maupun materil dalam proses

penyusunan makalah ini, sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.

Saya sangat menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik

dan saran yang bersifat konstruktif sangat dibutuhkan.Semoga makalah ini dapat

bermanfaat dan berguna serta bisa digunakan sebagaimana mestinya.

Air Salek, Maret 2021

SITI FATIMAH

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................................1


PENDAHULUAN .............................................................................................................................3
PEMBAHASAN
A. KEADAAN EKONOMI INDONESIA ...............................................................................5
B. KEBIJAKAN PEMERNTAH MENGATASI MASALAH EKONOMI .........................6
PENUTUP ........................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................15

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem ekonomi adalah suatu aturan dan tata cara untuk mengatur perilaku
masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi untuk menraih suatu tujuan. Sedangkan
sistem perekonomian adalah sistem yang dipakai oleh sebuah negara untuk mengalokasikan
sumber daya yang dikuasainya baik untuk perorangan ataupun instansi di negara itu. Sistem
perekonomian di setiap negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara  lain ideologi
bangsa, sifat dan jati diri bangsa, dan struktur ekonomi Perbedaan utama antara satu sistem
ekonomi dengan sistem ekonomi yang lain yaitu bagaimana cara sistem itu mengelola faktor
produksinya. Dalam beberapa sistem, seorang individu diizinkan memiliki seluruh faktor
produksi. Sementara dalam sistem lainnya, semua faktor tersebut dikuasai oleh pemerintah.
Setiap negara menganut sistem ekonomi yang berbeda-beda terutama Indonesia dan
Amerika serikat, dua negara ini pun menganut sistem ekonomi yang berbeda. Awalnya
Indonesia menganut sistem ekonomi liberal, yang mana seluruh kegiatan ekonomi
diserahkan kepada masyarakat. Akan tetapi karena ada pengaruh komunisme yang
disebarkan oleh Partai Komunis Indonesia, maka sistem ekonomi di Indonesia berubah dari
sistem ekonomi liberal menjadi sistem ekonomi sosialis. Pada masa Orde Baru, sistem
ekonomi yang dianut oleh bangsa Indonesia diubah kembali menjadi sistem demokrasi
ekonomi. Namun sistem ekonomi ini hanya bertahan hingga masa Reformasi. Setelah masa
Reformasi sitem perekonomian yang diterapkan oleh negara Indonesia adalah sistem
perekonomian Pancasila. Ini artinya sistem perekonomian yang dijalankan di Indonesia
harus berpedoman pada Pancasila. Sehingga secara normatif Pancasila dan UUD 1945
adalah landasaan idiil sistem perekonomian di Indonesia.
Pemikiran ekonomi pada era 1950an pada umumnya merupakan upaya
mengembangkan struktur perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional.
Hambatan yang dihadapi dalam mewujudkan hal tersebut adalah sudah berakarnya sistem
perekonomian kolonial yang cukup lama. Warisan ekonomi kolonial membawa dampak
perekonomian Indonesia banyak didominasi oleh perusahaan asing dan ditopang oleh
kelompok etnis China sebgai penggerak perekonomian Indonesia. Kondisi inilah yang ingin
diubah oleh para pemikir ekonomi nasional di setiap kabinet pada era demokrasi
parlementer.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan ekonomi Indonesia pada masa demokrasi Parlementer?

3
2. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi pada masa
demokrasi Parlementer?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui keadaan ekonomi Indonesia pada masa demokrasi Parlementer
2. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi pada masa
demokrasi Parlementer

D. Penegasan Judul
1. Sistem
Susunan yang teratur dari suatu pandangan, teori, ataupun asas
2. Ekonomi
Tata kehidupan keuangan suatu negara
3. Demokrasi
Mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan
rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut
4. Liberal
Berpandangan bebas

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keadaan Ekonomi Indonesia Masa Demokrasi Parlementer


Di awal masa kemerdekaan, sistem perekonomian kolonial masih mengakar pada
rakyat Indonesia. Selain itu, meskipun Indonesia telah merdeka tetapi kondisi ekonomi
Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke
ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat. Hal
itu disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, Bangsa
Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan
dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan
utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
2. Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
3. Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian
dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan
memukul perekonomian Indonesia.
4. Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang
oleh Belanda.
5. Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem
ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6. Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki
tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
7. Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya
pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah
untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9. Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah
direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10. Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Maka dari itu, masalah jangka pendek yang harus diatasi oleh Pemerintah Indonesia
yaitu mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengatasi kenaikan biaya hidup.
Sementara masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah pertambahan penduduk dan

5
tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah. Beban berat ini merupakan konsekuensi dari
pengakuan kedaulatan. Defisit ini sebagian besar berhasil dikurangi dengan pinjaman
pemerintah dan kebijakan ekspor impor barang, terutama ketika pecah perang Korea.
Sejak tahun 1951, penerimaan pemerintah mulai berkurang disebabkan menurunnya
volume perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara yang berkembang tidak
memiliki komoditas ekspor lain kecuali hasil perkebunan. Kondisi ini membawa dampak
perkembangan perekonomian Indonesia yang tidak mengarah pada stabilitas ekonomi,
bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Di sisi lain pengeluaran pemerintah semakin
meningkat akibat tidak stabilnya situasi politik sehingga angka defisit semakin meningkat.
Disamping itu, pemerintah belum berhasil meningkatkan produksi dengan memanfaatkan
pendapatan nasional. Kelemahan pemerintah lainnya adalah politik keuangannya tidak
dirancang oleh Pemerintah Indonesia sendiri, namun dirancang oleh Pemerintah Belanda.
Hal ini terjadi akibat dari politik kolonial Belanda yang tidak mewariskan ahli-ahli yang
cukup sehingga usaha mengubah sistem ekonomi dari ekonomi liberal ke ekonomi nasional
tidak mampu menghasilkan perubahan yang drastis.

B. Kebijakan Pemerintah Untuk Mengatasi Masalah Ekonomi pada Masa Demokrasi


Parlementer
1. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Program Benteng adalah kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah
Indonesia bulan April 1950 dan secara resmi dihentikan tahun 1957. Program ini
dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo
(menteri perdagangan). Tujuannya adalah membina pembentukan suatu kelas pengusaha
Indonesia pribumi, dalam arti non-Tionghoa. Bantuan dalam kebijakan Sistem Ekonomi
Gerakan Bernteng ini berupa pemberian modal pada para pengusaha pribumi.
Sistem Ekonomi Gerakan Bernteng sebagai pendirian kelompok perusahaan
pribumi tidak lain dan tidak bukan merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda
di Indonesia. Upaya ini diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta
pribumi yang tangguh dengan menempatkan satu sektor ekonomi yang penting, yaitu
perdagangan impor. Untuk mencapai tujuan ini, berbagai lisenisi impor disalurkan
kepada pengusaha nasional, khususnya pengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal
yang dapat dipupuk, pengusaha pribumi mampu melakukan diversifikasi ke bidang-
bidang lain, seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi dan indutri
subtitusi-impor.

6
Pertama, pada kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng bertujuan agar
pemerintah memberikan modal kepada para pengusaha pribumi serta melindunginya
agar pengusaha pribumi ini bisa menjadi berkembang dan maju. Nasionalisasi ekonomi
dalam program benteng yang dicanangkan dan diumumkan pada bulan April tahun 1950
diperlihatkan oleh intensitas intervensi negara atas lembaga ekonomi dan perundang-
undangan yang diterapkan pada tahun 1950-an.
Kedua, implementasi pokok dari program benteng yang kelihatan adalah
mendorong para importir nasional agar dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha
asing termasuk Cina. Karena masalah keterbatasan anggaran dana dan juga keterbatasan
wawasan pengusaha pribumi yang melekat pada Program Benteng tersebut, pemerintah
melakukan penyaringan ketat guna mengeliminasi importer semu atau tidak mampu,
misalnya dengan melakukan modal aktif atau pasif. Pemerintah mengadakan seleksi
terhadap pengusaha atau pedagang baru dibidang ekspor dan impor, dengan tujuan
menyehatkan perdagangan Indonesia. Pada masa itu, sulit bagi pengusaha atau pedagang
baru yang belum manjadi anggota Benteng Group untuk mencatat diri sebagai
anggotanya. Pemerintah berniat agar pengusaha-pengusaha baru dapat tersebar di
seluruh Indonesia. Politik ini bukan saja mengenai importer, bahkan perusahaan dan
dunia perdagangan harus tersebar di seluruh Indonesia.
Akibat penyaringan ini jumlah importer yang terdaftar berhasil dikurangi dari
4.300 orang menjadi kurang lebih 2.000. Akan tetapi situasi politik dalam negeri setelah
pertengahan 1950-an, khususnya setelah pecah pergolakan di daerah, mengalihkan
perhatian pemerintah kepada bahaya perpecahan bangsa. Penyelundupan komoditas
ekspor dari daerah-daerah luar Jawa mengakibatkan pasokan devisa bagi pemenrintah
Indonesia banyak berkurang, sehingga mengurangi pula dana untuk menunjang Program
Benteng. Beban defisit anggaran belanja pada 1952 sebanyak 3 miliar rupiah ditambah
sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri
keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan
pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para
pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi
volume impor.
Program Benteng ditinjau kembali bulan September 1955 oleh Kabinet
Burhanuddin Harahap dan menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo. Syarat
berdasarkan suku dicabut dan diganti dengan persyaratan ketat mengenai pembayaran
uang muka. Dibentuknya Kabinet Karya di bawah Djuanda Kartawidjaja bulan Maret

7
dan April 1957 ditandai dengan pengalihan ke ekonomi terpimpin. Program Benteng
resmi dihentikan.
2. Gerakan Asaat
Gerakan Assat yang terjadi pada tahun 1956 adalah suatu gerakan ekonomi
bangsa Indonesia yang memberikan perlindungan khusus bagi warga Negara Indonesia
asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan
pengusaha asing pada umumnya dan warga keturunan Cina pada khususnya.
Dikarenakan langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah belum mencapai hasil
sebagaimana yang diharapkan, keadaan ini kemudian mengilhami para pengusaha
Indonesia untuk mencari jalan pemecahan bagi kesenjangan ekonomi yang ada. Untuk
itu, maka dibentuk suatu organisasi sebagai wadah perjuangannya atau Badan
Perjuangan KENSI yang kemudian terkenal sebagai Gerakaan Assaat. Nama dari
gerakan ini diambil dari nama Mr. Assaat (Presiden RI pada masa RIS) sebagai orang
yang dinilai sangat bersimpati terhadap penderitaan bangsanya. Sebenarnya yang
dipersoalkan oleh gerakan ini tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga tentang sikap
hidup golongan Cina dalam masyarakat Indonesia yang cenderung eksklusif dan tidak
memiliki rasa nasionalis Indonesia.
Walaupun Gerakan Assaat menyebabkan kekerasan terhadap golongan Cina,
tetapi sebenarnya Gerakan Assaat bukanlah Gerakan rasdiskriminasi sebagaimana
dituduhkan oleh golongan Cina. Pada dasarnya, yang dikehendaki oleh gerakan ini
bukanlah kekerasan, tetapi keseimbangan ekonomi dan rasa kesetiakawanan sosial yang
tinggi dari golongan Cina terhadap bangsa Indonesia. Semua itu hanyalah merupakan
ungkapan emosional masyarakat pribumi terhadap suatu golongan yang selama ini telah
dinilai kurang mampu membaurkan diri dan mengancam eksistensinya, khususnya
dalam dunia ekonomi.
3. Gunting Syafruddin

Gunting Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin


Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam
20.00 tanggal 10 Maret 1950.

Menurut kebijakan itu, uang merah (uang NICA) dan uang De Javasche


Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku
sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai
tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus
ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk.
Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan
8
dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah
dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh tahun kemudian dengan bunga 3%
setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50
ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik
Indonesia).

Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu


sedang terpuruk, utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan
kebijaksanaan yang kontroversial itu, Sjafruddin bermaksud sekali pukul menembak
beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang
baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian
menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang
besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 miliar.

Satu minggu sebelumnya Sjafruddin juga mengeluarkan kebijakan kontroversial,


yang disebut dengan Sertifikat Devisa (SD). Kebijaksanaan ini bermaksud
mendorong ekspordan sebaliknya menekan impor.

Berdasarkan kebijaksanaan tersebut, selain mendapatkan uang sebanyak harga


barangnya, setiap eksportir juga memperoleh SD sebesar 50% dari harga ekspornya.
Sebaliknya, orang yang hendak impor harus membeli SD senilai harga barang yang
hendak diimpor. Jadi, selain menyediakan uang senilai harga barang yang akan dibeli,
setiap importir harus membeli SD dengan kurs yang ditetapkan pemerintah.

Sebagai permulaan, pemerintah menetapkan kursnya 200 persen. Artinya, kalau


orang akan membeli SD sebesar Rp 10.000, dia harus membayar Rp 20.000. Kurs itu
akan naik-turun sesuai dengan perkembangan pasar. Dengan demikian, tanpa mengubah
kurs resmi, kurs efektif bagi penghasil devisa adalah 200% kurs resmi, sedangkan bagi
para pemakai devisa adalah 300% dari kurs resmi. Selisih ini masuk ke dalam kas
pemerintah.

Sudah tentu, dua kebijakan yang radikal itu menyulut pro-kontra. Sjafruddin pun
mengakui, kebijakannya itu memberatkan para importir. Namun, ia tidak mau
mengabaikan kepentingan para petani yang menghasilkan sebagian besar barang ekspor.
Hasilnya ternyata mujarab. Kedudukan rupiah menguat, harga barang terutama
kebutuhan pokok tidak naik, dan pemasukan pemerintah naik berlipat-lipat, dari Rp
1,871 miliar menjadi Rp 6,990 miliar.

4. Nasionalisasi De Javanese Bank

9
Terselenggaranya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada
1949 telah menandai berakhirnya permusuhan antara Republik Indonesia dan Kerajaan
Belanda. Pada tahun 1949 Belanda telah mengakui kedaulatan Republik Indonesia
sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu De Javasche Bank
masih di percaya menjadi bank sentral di Indonesia. Seiring meningkatnya rasa
nasionalisme, maka timbul keinginan untuk merubah De Javasche Bank yang masih
berstatus swasta untuk menjadi milik negara. Pada tanggal 28 Mei 1951 Perdana Menteri
Sukiman Wirjosandjojo di hadapan parlemen mengumumkan keinginan pemerintah
untuk menasionalisasikan De Javasche Bank. Mendengar berita tersebut, Presiden De
Javasche Dr. Houwink merasa terkejut karena tidak di beritahu terlebih dahulu tentang
rencana tersebut. Dan akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya
dengan hormat dan Mr. Syarifuddin Prawiranegara menggantikan Dr. Houwink sebagai
presiden De Javasche Bank yang baru.
Pada 19 Juni 1951 pemerintah membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche
Bank yang akan mengkaji usulan langkah nasionalisasi, menyusun RUU nasionalisasi
dan sekaligus merancang undang-undang bank sentral. Selanjutnya pada 15 Desember
1951diumumkan undang-undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche
Bank. Rancangan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pun diajukan ke parlemen
pada bulan September 1952. Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui oleh
parlemen pada 10 April 1953, kemudian disahkan oleh Presiden pada tanggal 29 Mei
1953 dan De Javasche Bank milik negara pun mulai berlaku pada 1 Juli 1953. Sejak saat
itu bangsa Indonesia memiliki sebuah lembaga bank sentral dengan nama Bank
Indonesia.
5. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954 - Agustus
1955), menteri prekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem
ekonomi baru yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Artinya, bentuk kerjasama
ekonomiantara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha
Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba.
Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi-China. Sistem
Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba
digambarkan sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.
Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk
memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia
agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi
bagi usaha-usaha swasta nasional dan memberikan perlindungan agar mampu bersaing
dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan
baik sebab pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk

10
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih
berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Tujuan dari program ini adalah untuk memajukan pengusaha pribumi, agar para
pengusaha pribumi bekerjasama dalam memajukan ekonomi nasional, pertumbuhan dan
perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi
kolonial menjadi ekonomi nasional, dan memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya
kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Sistem ekonomi ini kemudian didukung dengan adanya kontribusi pemerintah
yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha  swasta nasional serta
memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha
asing
Sistem ekonomi ini lebih menekankan pada kebijakan indonesianisasi yang
mendorong tumbuh berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi.
Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para
pengusaha pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa
untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Memasuki zaman pemerintahan Demokrasi Terpimpin, berbagai upaya
dilakukan oleh pemerintah. Namun, kondisi kehidupan rakyat tetap menderita. Kondisi
buruk ini diperparah dengan tidak berjalannya distribusi bahan makanan dari pusat
produksi kedaerah konsumsi akibat pemberontakan diberbagai daerah.  Sementara itu,
jumlah uang yang beredar semakin banyak karena pemerintah terus mencetak uang
tanpa kendali. Uang tersebut digunakan uang mebiayai proyek-proyek mercusuar,
seperti Games of the New Emerging forces (Ganefo) dan Conference of the New
Emerging Forces (Conefo). Akibatnya, Inflasi semakin tinggi dan mencapai hingga
300%. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan dengan
pemotongan nilai mata uang. Misalnya, uang Rp.500,00 dihargai Rp.50,00 dan uang
Rp.1000,00 dihargai Rp.100,00. Tindakan pemerintah tersebut ternyata tidak menambah
perbaikan kehidupan ekonomi rakyat.
Sistem Ali-Baba pada awalnya bertujuan untuk memberikan peluang kepada
para pengusaha agar bisa memajukan perekonomian indonesia dengan cara pemberian
dana segar pada pengusaha. Namun, sistem ini akhirnya mengalami kegagalan karena :
a. Kredit yang digunakan ternyata tidak digunakan secara benar oleh para pengusaha
pribumi (Indonesia) dalam rangka mencari keuntungan tetapi malah dipindahkan
kepada pengusaha tionghoa secara sepihak

11
b. Kredit yang diberikan pada awalnya dimaksudkan untujk mendorong kegiatan
produksi tapi malah diselewengkan untuk kegiatan konsumsi 
c. Kegagalan pengusaha pribumi dalam memanfaatkan kredit secara maksimal
sehingga kurang berdampak positif terhadap perekonomian indonesia waktu itu.
6. Persaingan Finansial Ekonomi
Pada masa Kabinet, Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk
merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak
Belanda.Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956
dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:
a. Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
b. Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
c. Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat
oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia
mengambil langkah secara sepihak.Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin
Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak.Tujuannya
untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda.Sehingga, tanggal 3
Mei 1956, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan
KMB.Dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya,
sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda
tersebut.
7. Rencana Pembangunan Lima Tahun
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang
silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan
terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek,
tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara.Tugas biro
ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri
perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun
(RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR
pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah
melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan
12,5 miliar rupiah. RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :

12
1. Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun
1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
2.   Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-
perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
3. Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang
melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
8. Musyawarah Nasional Pembangunan
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah.
Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional
Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana
pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk
jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat
dilaksanakan dengan baik karena adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas,
terjadinya ketegangan politik yang tak dapat diredakan, timbulnya pemberontakan
PRRI/Permesta, dibutuhkannya biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/
Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia, serta memuncaknya ketegangan
politik Indonesia-Belanda menyangkut masalah Irian Barat yang mencapai konfrontasi
bersenjata.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemikiran ekonomi pada era 1950an merupakan upaya untuk mengembangkan struktur
perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional. Meskipun Indonesia telah merdeka
tetapi kondisi ekonomi Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi
kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-
sendat. Berbagai upaya yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah
ekonomi pada masa demokrasi liberal diantaranya sistem ekonomi Gerakan Benteng, Gerakan
Asaat, Gunting Syarifuddin, Nasionalisasi De Javanese Bank, sistem ekonomi Ali-Baba,
Persaingan Finansial Ekonomi (Finek), Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT), dan
Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap).
B. Saran
Penerapan paham demokrasi liberal (parlementer) saat itu hendaknya dijadikan pembelajaran
dan acuan bagi demokrasi saat ini agar kejadian yang tidak diinginkan tidak terulang kembali.
Seperti masalah krisis ekonomi yang terjadi pada masa demokrasi parlementer yang
menyebabkan kesejahteraan rakyat terabaikan. Untuk itu kita harus dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi kita di berbagai sektor. Khususnya sektor lokal yang dapat membantu
perekonomian rakyat.

14
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com

15

Anda mungkin juga menyukai