Skenario
Skenario
BLOK 4.2
KEGAWATDARURATAN DAN MEDIKOLEGAL
MINGGU 2
OLEH :
KELOMPOK 10 (B)
Nur Muhammad Ilham 1610311072
Raissa Nabilla Putri 1610313002
Rifty Zhafira Maharani 1610312059
Nadlila Frimadiah Fitri 1610313064
Nadira Edrian 1610311044
Sasqia Trizolla 1610311061
Zakiya Zar’a 1610312003
Muhammad Adam Haikal Bin Anuar 1610314003
Muhammad Arif 1610312027
Muhammad Furqan 1610312071
TUTOR :
Dr. dr. Masrul, MSc, Sp.GK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2019
Kegawatdaruratan Medis
Pengertian Pelayanan Kegawatdaruratan adalah tindakan medis yang dibutuhkan oleh
pasien gawat darurat dalam waktu segera untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan
kecacatan, (Permenkes No 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan Pasal 1
ayat (1) )
Sementara yang dimaksudkan dengan keadaan Gawat Darurat adalah keadaan klinis
yang membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan. (ayat 3)
Menurut American Hospital Association (AHA) gawat darurat adalah: An emergency is
any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever assumes the
responsibility of bringing the patient to the hospital-requires immediate medical
attention. This condition continues until a determination has been made by a health care
professional that the patient's life or well-being is not threatened.
Kriteria Gawat Darurat:
Gawat Darurat: Pasien yang tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi
gawat dan terancam nyawanya dan atau anggota badannya (akan menjadi cacat)
bila tidak mendapatkan pertolongan secepatnya. Contoh pasien dengan AMI
(Acut Miocart Infarc).
Gawat Tidak Darurat: Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat.
Darurat Tidak Gawat: Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak
mengancam nyawa dan anggota badannya. Misal : pasien luka tanpa
pendarahan, pasien Ca stadium akhir.
Tidak Gawat Tidak Darurat: Pasien yang tidak mengalami kegawatan dan
kedaruratan. Misalnya: pasien batuk, pilek yang datang ke Instalasi Gawat
Darurat, maka diminta untuk menunggu sampai pasien yang lainnya tertangani.
Hubungan Dokter- Pasien dalam Kegawatdaruratan Medis.
Seperti disebutkan pada UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 51
huruf d : Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban: melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Maka pada
kegawatdaruratan medis, terjadi hubungan hukum antara dokter dan pasien yang
spesifik, pada keadaan ini tidak ada azas voluntarisme, baik untuk dokter maupun
pasien, tetapi hubungan hukumnya adalah akibat perjanjian/perikatan karena undang-
undang -- zaakwarneming. Yang pengertiannya adalah mengambil alih tanggung jawab
dari seseorang sampai yang bersangkutan sanggup untuk mengurus dirinya sendiri
(Pasal 1354 KUHPerdata).
Berbeda dengan hubungan hukum dokter dan pasien pada keadaan bukan
kegawatdaruratan medis dimana perikatan/perjanjian yang terjadi karena adanya
kesepakatan (UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 39: Praktik kedokteran
diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan
pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan).
Dokter yang bersedia menolong pasien gawat darurat, maka dia harus melakukannya
sampai tuntas atau sampai ada pihak lain (dokter lain) yang melanjutkan pertolongan
atau sampai pasien sudah tidak lagi memerlukan pertolongan.
Jika pertolongan yang diberikan tidak tuntas maka dokter tersebut dapat digugat karena
dianggap menghalangi kesempatan pasien untuk mendapatkan pertolongan lain (loss of
chance).
Secara yuridis kegawatdaruratan medis akan menimbulkan privilege tertentu bagi
dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya, sehingga perlu ditegaskan pengertian
kegawat daruratan medis, karena seringkali pasien dan atau keluarganya menganggap
bahwa dirinya sakit dan dalam keadaan gawat darurat, yang harus segera ditolong,
padahal sebenarnya tidak demikian.
Sehingga timbulah apa yang disebutkan false emergency dan true emergency dimana
A true emergency is any condition clinically determined to require immediate medical
care. Such conditions range from those requiring extensive immediate care and
admission to the hospital to those that are diagnostic problems and may or may not
require admission after work-up and observation."
Menurut Permenkes No 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan Pasal 3:
Kriteria kegawatdaruratan meliputi :
mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan;
adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi;
adanya penurunan kesadaran;
adanya gangguan hemodinamik; dan/atau
memerlukan tindakan segera.
Untuk menentukan tingkat kegawatdaruratan pasien, maka dilakukan skrining atau
Triage. Kata triase (triage) berarti memilih. Jadi triase adalah proses skrining secara
cepat terhadap semua pasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah
sakit, yang tujuannya adalah untuk mengidentifikasi kegawatdaruratannya.
- Emergensi:yaitu akan meningkatkan resiko bila tidak ditangani segera,misalnya
trauma berat,Infark Miokard akut,sumbatan jalan nafas,pneumotoraks tension.
- Urgent:akan meningkatkan resiko bila tidak ditangani dalam beberapa
jam,mislanya cedera tulang belakang,patah tulang terbuka,luka
bakar,appendisitis akut.
- Non Urgent,misal luka lecet,demam,fraktur ekstremitas atas.
SYOK
adalah kondisi kurangnya perfusi jaringan sistemik yang ditandai dengan berkurangnya
delivery oksigen ke sel dan penggunaannya serta berkurangnya pembuangan sisa hasil
metabolisme.
ETIOLOGI
A. Hypovolemic shock
1. Blood loss
a. Traumatic hemorrhage
1. Exsangination (e.g. Scalp)
2. Hemothorax
3. Hemoperitoneum
4. Fracture (femur & pelvis)
b. Nontraumatic hemorrhage
1. GI bleed
2. AAA rupture
3. Ectopic pregnancy rupture
2. Volume loss
a. Burns
b. Skin integrity loss (TEN)
c. Vomiting
d. Diarrhea
e. Hyperosmolar states (DKA)
f. Third spacing (e.g., Ascites)
g. Decreased intake
B. Cardiogenic shock
1. Dysrhythmia
a. Bradycardias and blocks
b. Tachycardias
2. Cardiomyopathy
a. Infarction
b. RV infarction
c. Dilated cardiomyopathy
3. Mechanical
a. Valvular
1. Aortic insufficiency from dissection
2. Papillary muscle rupture from ischemia
b. Ventricular aneurysm rupture
c. Free wall ventricle rupture
C. Distributive shock
1. Anaphylactic shock
2. Septic shock
3. Neurogenic shock
4. Drug induced vasodilation
5. Adrenal insufficiency
D. Obstructive shock
1. Tension pneumothorax
2. Pericardial disease
a. Pericardial tamponade
b. Constrictive pericarditis
3. Massive pulmonary embolism
4. Auto PEEP from mechanical ventilation
PATOGENESIS
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis syok hipovolemik dipengaruhi oleh besarnya kehilangan cairan tubuh
dan mekanisme kompensasi. Kehilangan 5-10% berat badan umumnya masih dapat
dikompensasi. Selain tanda kehilangan cairan, mekanisme kompensasi dapat dikenali
dengan dijumpainya produksi urin yang menurun, ujung ekstremitas dingin, dan waktu
pengisian kapiler yang sedikit memanjang. Mekanisme kompensasi tidak akan
memadai pada kehilangan 15% berat badan atau lebih. Kesadaran akan menurun,
produksi urin minimal atau tidak ada, ujung ekstremitas dingin dan mottled, nadi
perifer sangat lemah atau tidak teraba, takikardia, tekanan darah menurun atau tidak
terukur. Hipoksia jaringan akan mengakibatkan asidosis dan takipnea. Dalam keadaan
lanjut akan terjadi pernapasan periodik atau apnu yang selanjutnya disusul dengan henti
jantung.
Gangguan perfusi pada syok kardiogenik menyebabkan gejala yang serupa dengan syok
hipovolemik. Tanda bendungan dapat dijumpai, seperti peningkatan tekanan vena
jugularis dan pembesaran hati pada kegagalan ventrikel kanan, ronki basah halus tidak
nyaring, takipnea sampai pink frothy sputum dapat dijumpai pada kegagalan ventrikel
kiri. Irama derap dapat dijumpai pada kegagalan ventrikel kanan maupun kiri.
Syok distributif memberikan gambaran gangguan perfusi seperti pada syok lainnya
seperti oliguria dan gangguan kesadaran. Warm shock yang umumnya dijumpai pada
awal syok septik terjadi akibat vasodilatasi vaskular, ditandai dengan perabaan kulit
yang hangat, kemerahan (flushed skin), peningkatan tekanan nadi, takikardi, dan
takipnu. Bila penyebabnya sepsis, maka akan dijumpai pula gejala sepsis lain, misalnya
gejala koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom distress pernapasan akut.
DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
telusuri faktor risiko misalnya riwayat trauma/perdarahan, penggunaan obat (b-blocker,
Ca channel blocker), alergi, aritmia (EKG), tension pneumothorax (fremitus, deviasi
trakea, perkusi), tamponade jantung (JVP, auskultasi jantung), gejala-gejala tertentu
(misal nyeri dada dan dyspnea mengarahkan pada ACS hingga syok kardiogenik, atau
penurunan/peningkatan suhu yang signifikan mengarahkan pada sepsis), dsb
Fluid challenge
kontraindikasi pada pasien dengan edema paru pada syok kardiogenik. fluid challenge
dengan kristaloid isotonik 20cc/kgBB, setelah penanganan ABC dan kausal yang dapat
cepat ditangani
Pemeriksaan Laboratorium
pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan koagulasi, elektrolit, ureum, kreatinin,
analisis gas darah arteri, laktat serum. pemeriksaan golongan darah dan crossmatch
untuk persiapan pemakaian PRC pada syok septik: kultur pemeriksaan gas darah vena
dan pulse oximetry dapat inakurat pada kondisi syok.
TATA LAKSANA
Untuk mencegah komplikasi lanjut berupa kerusakan organ, tata laksana syok harus
dilakukan dengan cepat. Dalam 1 jam pertama harus dicapai waktu pengisian kapiler
kurang dari 2 detik, denyut nadi yang normal tanpa perbedaan kualitas nadi perifer dan
sentral, produksi urin lebih dari 1 mL/kgBB/jam, kesadaran normal, tekanan darah
normal sesuai usia, dan saturasi oksigen lebih dari 95%.
SYOK HIPOVOLEMIK Pemberian cairan kristaloid 10-20 mL/kgBB secara bolus
dalam 10-30 menit dapat dilakukan sambil menilai respons tubuh. Pada syok
hipovolemik, peningkatan volume intravaskular akan meningkatkan isi sekuncup
disertai penurunan frekuensi jantung. Pada kasus yang berat, pemberian cairan dapat
diulangi 10 mL/kgBB sambil menilai respons tubuh. Pada umumnya anak dengan syok
hipovolemik mempunyai nilai tekanan vena sentral kurang dari 5 mmHg. Pemberian
cairan harus diteruskan hingga mencapai normovolemik. Kebutuhan cairan untuk
mengisi ruang intravaskuler umumnya dapat dikurangi bila digunakan cairan koloid.
SYOK KARDIOGENIK Curah jantung ditentukan oleh isi sekuncup dan frekuensi
jantung. Bayi mempunyai ventrikel yang relatif noncompliant dengan kemampuan
meningkatkan isi sekuncup yang amat terbatas. Karena itu curah jantung bayi amat
bergantung pada frekuensi. Syok kardiogenik pada penyakit jantung bawaan tidak
dibahas di sini. Isi sekuncup dipengaruhi oleh preload, afterload, dan kontraktilitas
miokardium. Sesuai dengan hukum Starling, peningkatan preload akan berkorelasi
positif terhadap curah jantung hingga tercapai plateau. Karena itu, sekalipun terdapat
gangguan fungsi jantung, mempertahankan preload yang optimal tetap harus dilakukan.
Penurunan curah jantung pasca bolus cairan menunjukkan bahwa volume loading harus
dihentikan. Upaya menurunkan afterload terindikasi pada keadaan gagal jantung
dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik yang berlebihan. Untuk tujuan ini
dapat digunakan vasodilator. Diuretik digunakan pada kasus dengan tanda kongestif
paru maupun sistemik. Untuk tujuan ini dapat digunakan loop diuretic, atau kombinasi
dengan bumetanid, tiazid atau metolazon. Berbagai kondisi yang memperburuk fungsi
kontraktilitas miokardium harus segera diatasi, seperti hipoksemia, hipoglikemia, dan
asidosis. Untuk memperbaiki fungsi kontraktilitas ini, selanjutnya dapat digunakan obat
inotropik (seperti dopamin, dobutamin, adrenalin, amrinon, milrinon). Untuk mencapai
fungsi kardiovaskular yang optimal, dengan pengaturan preload, penggunaan obat
inotropik dan vasodilator (seperti sodium nitroprusid, nitrogliserin), dibutuhkan
pemantauan tekanan darah, curah jantung, dan resistensi vaskular sistemik.
SYOK DISTRIBUTIF DAN SYOK SEPTIK Tata laksana syok distributif adalah
pengisian volume intravaskular dan mengatasi penyebab primernya. Syok septik
merupakan suatu keadaan khusus dengan patofisiologi yang kompleks. Pada syok
septik, warm shock, suatu syok distributif, terjadi pada fase awal. Penggunaan
stimulator alfa (seperti noradrenalin) dilaporkan tidak banyak memperbaiki keadaan,
bahkan menurunkan produksi urin dan mengakibatkan asidosis laktat. Pada fase lanjut,
terjadi penurunan curah jantung dan peningkatan resistensi vaskular sistemik akibat
hipoksemia dan asidosis. Karena itu tata laksana syok septik lanjut mengikuti kaidah
syok kardiogenik. Sekalipun masih kontroversial, steroid terkadang digunakan pada
syok septik yang resisten terhadap katekolamin dengan risiko insufisiensi adrenal.
KEGAWATDARURATAN PENYAKIT DALAM
(1) HIPERGLIKEMIA
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada Diabetes
Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi
serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik.Krisis
hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status
hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua
keadaan tersebut. KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat
pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperosmolalitas
berat dengan kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD.
A. Ketoasidosis Diabetik
KAD merupakan keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai dengan tria KAD
yaitu hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut atau relatif.
Dari data di AS, menunjukkan bahwa insiden KAD sebesar 8 per 1000 penderita DM
per tahun. Dengan angka kematian pada sarana yang lengkap berkisar antara 9-10%,
sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjutangka kematianny
amencapai 25-50%.
Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD :
Infeksi
infark miokard
pankreatitis akut
obat-obatan steroid
menghentikan atau mengurangi penggunaan insulin
KAD merupakan suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif
dan peningkatan hormon kontra regulator (seperti glukagon, katekolamin, kortisol), yg
menyebabkan produksi glukosa hati meningkat namun utilisasi glukosa oleh sel rendah
--> hiperglikemia.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra-regulator akan
mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak sehingga lipolisis meningkat
dan terjadi peningkatan produksi badan keton dan asam lemak. Akumulasi badan keton
oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis
Gejala Klinis
Gejala diabetes melitus (poliuri, polidipsi, polifagi)
pernapasan kussmaul (cepat dan dalam)
dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering, hipotensi)
mual muntah, nyeri perut
penurunan kesadaran
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti, terutama memperhatikan
patensi jalan napas, status mental, status kardiovaskular, dan status hidrasi.
Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan kadar glukosa darah, pemeriksaan urin utk
melihat keton, nitrat, dan leukosit urin, pemeriksaan kadar HCO3, anion gap, dan pH
darah
Kriteria diagnosis KAD
Kadar glukosa >250 mg/dl
pH <7.35
HCO3 rendah, <15mEq/L
Anion gap tinggi
Keton serum +
Tatalaksana
1. Terapi cairan
NaCl 0.9% diberikan sebanyak 15–20 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pada
jam pertama ( 1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa). Pilihan berikutnya untuk
mengganti cairan tergantung pada status hidrasi, kadar elektrolit darah, dan
banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam
jika sodium serum meningkat atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah
yang sama jika Na serum rendah.
2. Koreksi elektrolit
Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar
dalam darah dibawah 5.5 mEq/l, dengan catatan output urin cukup. Biasanya, 20–
30 mEq kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk
mempertahankan konsentrasi kalium serum antara 4–5 mEq/l
3. Koreksi asam basa
Pemberian sodium bikarbonat
4. Terapi insulin
Pada pasien dewasa, jika tidak ada hipokalemia ( K+< 3.3 mEq/l, maka pemberian
insulin intravena secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg bb, diikuti pemberian
insulin reguler secara infus intravena yang kontinu dengan dosis 0.1 unit/kg/h ( 5–7
unit/jam pada orang dewasa).
5. Atasi faktor pencetus
B. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik
HHNK merupakan koplikais emergensi DM. HHNk ditandai oleh hiperglikemia,
hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya
berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari-minggu).
Data di Amerika menunjukkan bahwa insiden HHNK sebesar 17.5 per 100.000
penduduk. Dengan angka mortalitas mencapai 10-20%.
Faktor pencetus :
HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit
penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat
dibagi menjadi 6 kategori :
Infeksi seperti infark miokard, pankreatitis, dll
Pengobatan
Noncompliance
DM tidak terdiagnosis
Penyalahgunaan obat
Penyakit penyerta
Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa diatas ambang batas
tertentu. Namun, dengan penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan
LFG yg menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hiperglikemia --> glikosuria. Glukosa
bersifat menarik air, sehingga dgn adanay glikosuria maka cairan yang keluar akan
lebih banyak.
Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah,
terutama jika terdapat resistensi insulin.
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak
dikompensasi dengan masukan cairan, maka akan timbul dehidrasi --> hipovolemia -->
hipotensi dan gangguan perfusi jaringan.
Stadium akhir dari hiperglikemi ini dapat terjadi koma dengan gangguan elektrolit dan
hipotensi
Gejala Klinis
Gajala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan sering disertai
gangguan neurologis seperti kejang karena kekurangan elektrolit.
Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap penyakit ginjal atau
kardiovaskular.
Keluhan pasien : lemah, gangguan penglihatan, kejang, mual muntah, kesadaran
menurun
Pemeriksaan labor
Kadar glukosa sangat tinggi >600mg/dl
osmolaritas serum tinggi >320mOsm/kg air (N: 290mOsm/kg air)
Tatalaksana
1. Terapi cairan
Diberikan 1L normal saline per jam. Jika pasien mengalami syok hipovolemik,
mungkin dibutuhkan plasma expander.
2. Elektrolit
Jika kadar awal kalium antara 3.3-5 mEq/L maka diberikan 220-30 mEq dalam tiap
liter cairan intravena yang diberikan.
3. Insulin
Bolus awal 0.12IU/kgBB secara intravena dan diikuti dengan drip 0.1
IU/kgBB/jam sampai kadar glukosa darah turun antara 250-300 mg/dl.
HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah <70 mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya
gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad:
§ Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
§ Kadar glukosa darah yang rendah
§ Gejala berkurang dengan pengobatan
Steroid
Hidrokortison injeksi 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV
bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam.
KERACUNAN ORGANOFOSFAT
Pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat antara lain :
Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl, Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton,
Ethion, Palathion, Malathion, Parathion, Diazinon dan Chlorpyrifos.
Komposisi organofosfat diabsorpsi sangat baik melalui paru-paru, saluran cerna, kulit,
membran mukosa, dan konjunctiva melalui kontak inhalasi, tertelan, atau kontak
tipikal.
Organofosfat bekerja sebagai kolinesterase inhibitor. Kolinesterase merupakan enzim
yang bertanggung jawab terhadap metabolisme asetilkolin (ACh) pada sinaps setelah
ACh dilepaskan oleh neuron presinaptik. Adanya inhibisi kolinesterase akan
menyebabkan ACh tertimbun di sinaps sehingga terjadi stimulasi yang terus menerus
pada reseptor post sinaptik.
Inhibisi kolinesterase pada ganglion simpatis akan meningkatkan rangsangan simpatis
dengan manifestasi klinis midriasis, hipertensi dan takikardia. Inhibisi kolinesterase
pada ganglion parasimpatis akan menghasilkan peningkatan rangsangan saraf
parasimpatis dengan manifestasi klinis miosis, hipersalivasi dan bradikardi.
Aktivitas muskarinik yang berlebihan menimbulkan gejala DUMBBLES (defecation,
urination, miosis, bronchospasm, emesis, lacrimation, salivation)
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau 12 jam
kontak.
Adapun gejala keracunan pestisida golongan organofosfat adalah sebagai berikut :
Gejala awal
Gejala awal akan timbul : mual / rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas, sakit
kepala dan gangguan penglihatan.
Gejala Lanjutan
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang
berlebihan,pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui
hidung), kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang berlebihan,
kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.
Gejala Sentral
Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah sukar bicara, kebingungan, hilangnya
reflek, kejang dan koma.
Kematian
Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian
dikarenakankelumpuhan otot pernafasan.
Tatlaksana
Dekontaminasi kulit
Cuci bagian kulit yang terkena dengan air mengalir dan sabun selama 10
menit.
Dekontaminasi gastrointestinal
Antidotum
Sulfas atropin 1-2 mg IV ulang 10-15 menit, max 50 mg/hari
KRISIS HIPERTENSI
Merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi
dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target.
Krisis hipertensi meliputi 2 kelompok :
1. Hipertensi darurat (Emergency hypertension)
Tekanan darah yang sangat tinggi dan terdapat kelainan atau kerusakan organ
target yang bersif progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera untuk
membatasi kerusakan organ target
2. Hipertensi mendesak (Urgency hypertension)
Tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak disertai dengan kerusakan organ
target.
Gejala organ target yang terganggu diantaranya nyeri dada dan sesak napas pada
gangguan jantung dan diseksi aorta, mata kabur pada edema papila mata, sakit kepala
hebat dan gangguan kesadaran pada gangguan otak, gagal ginjal akut pada gangguan
ginjal. Pada pemeriksaan labor bisa didapatkan proteinuria, hematuria, ureum dan
kreatinin meningkat, jika terjadi gangguan ginjal
Tatalaksana
Kegawatdaruratan pada Anak
1. Syok
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sistim sirkulasi dengan akibat
ketidakcukupan pasokan oksigen dan substrat metabolic lain ke jaringan serta
kegagalan pembuangan sisa metabolisme. Berdasarkan komponen sistim sirkulasi,
terdapat 3 jenis syok yaitu syok hipovolemik, kardiogenik dan distributif.
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan syok yang paling sering dijumpai pada anak, terjadi
akibat kehilangan cairan tubuh yang berlebihan. Penyebab tersering syok hipovolemik
pada anak adalah muntah, diare, glikosuria, kebocoran plasma (misalnya pada demam
berdarah dengue), sepsis, trauma, luka bakar, perdarahan saluran cerna, perdarahan
intrakranial. Akibat kehilangan cairan, terjadi penurunan preload. Sesuai dengan hukum
Starling, penurunan preload ini akan berakibat pada penurunan isi sekuncup,
selanjutnya penurunan curah jantung. Baro receptor akan merangsang syaraf simpatik
untuk meningkatkan denyut jantung dan vasokonstriksi untuk mempertahankan curah
jantung dan tekanan darah. Syok hipovolemik yang lama dapat mengakibatkan
gangguan fungsi organ-organ. Dalam keadaan normal, Ginjal menerima 25 persen
curah jantung. Pada syok hipovolemik akan terjadi redistribusi aliran darah dari korteks
ke medula Bila keadaan ini berlangsung lama akan terjadi tubular nekrosis akut serta
gangguan glomerulus dengan akibat gagal ginjal akut. Depresi miokardium juga sering
terjadi, sementara hipotensi yang lama dapat pula menyebabkan gangguan hati.
Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi akibat kegagalan pompa jantung, yang dapat diakibatkan
akibat preload, afterload atau kontraktilitas miokardium. Curah jantung juga
menurun pada disritmia. Gangguan preload dapat terjadi akibat pneumotoraks,
efusi perikardium, hemoperikardium atau penumoperikardium. Gangguan afterload
dapat terjadi akibat kelainan obstruktif congenital, emboli, peningkatan resistensi
vaskular sistemik (misalnya pada pheochromocytoma). Gangguan kontraktilitas
miokardium dapat diakibatkan infeksi virus, gangguan metabolik seperti asidosis,
hipoglikemia, hipokalsemia, penyakit kolagen dll. Disritmia, misalnya blok
arterioventrikular atau paroxysmal atrial takikardia dapat mengakibatkan syok
kardiogenik. Respon neurohumoral seperti terjadi pada syok hipovolemik juga terjadi
pada syok kardiogenik. Peningkatan resistensi vaskular sistemik akan meningkatkan
afterloadyang lebih lanjut akan berakibat penurunan curah jantung.
Syok Distributif
Syok distributif terjadi akibat berbagai sebab seperti blok syaraf otonom pada
anesthesia (syok neurogenik), anafilaksis dan sepsis. Penurunan resistensi
vaskular sistemik secara mendadak akan berakibat penumpukan darah dalam
pembuluh darah perifer dan penurunan tekanan vena sentral. Pada syok septik,
keadaan ini diperberat dengan adanya peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
volume intravaskular berkurang.
Dasar Diagnosis :
Anamnesis:
Trauma
Perdarahan
Riwayat diare
Demam
Pemeriksaan fisik:
Kesadaran
Kemungkinan perdarahan
Pembesaran hati
Petekie
Purpura
Pemeriksaan Penunjang :
Tes darah
Foto Rontgen
Elektrokardiografi
Endoskopi
CT scan
MRI
Tatalaksana Awal
Sasaran Klinis
Pasien harus diresusitasi sampai status mental normal, kualitas nadi normal baik
proksimal maupun distal, suhu sentral dan perifer sama, capillary refill < 2 detik, dan
jumlah urin > 1 mL/kg/jam.
Syok Hipovolemik
Pemberian cairan kristaloid 10 ml/kg secara bolus dapat dilakukan sambil menilai
respon tubuh. Pada syok hipovolemik, maka peningkatan volume intravaskular
akan meningkatkan isi sekuncup disertai penurunan frekuensi jantung. Pada kasus
yang berat, pemberian ini dapat diulangi 10 ml/kg sambil menilai respon tubuh.
Pada umumnya anak dengan syok hipovolemik mempunyai nilai CVP kurang dari 5
mm Hg. Pemberian cairan harus diteruskan hingga mencapai normovolemik.
Kebutuhan cairan untuk mengisi ruang intravaskular umumnya dapat dikurangi
bila digunakan cairan koloid.
Syok Kardiogenik
Curah jantung merupakan fungsi isi sekuncup dan frekuensi. Bayi mempunyai
ventrikel yang relatif noncompliantdengan kemampuan meningkatkan isi sekuncup
amat terbatas. Karena itu curah jantung bayi amat bergantung pada frekuensi. Syok
kardiogenik pada penyakit jantung bawaan tidak dibahas di sini.Isi sekuncup
dipengaruhi oleh preload, afterloaddan kontraktilitas miokardium. Sesuai dengan
hukum Starling, peningkatan preloadakan berkorelasi positif terhadap curah
jantung hingga tercapai plateau. Karena itu, sekalipun pada gangguan fungsi
jantung, mempertahankan preload yang optimal tetap harus dilakukan. Penurunan
curah jantung pasca bolus cairan menunjukan bahwa volume loading harus
dihentikan. Upaya menurunkan afterload terindikasi pada keadaan gagal jantung
dengan peningkatan systemic vascular resistanceyang berlebihan. Untuk tujuan ini
dapat digunakan vasodilator. Diuretik digunakan pada kasus dengan tanda kongestif
paru maupun sistemik. Untuk tujuan ini dapat digunakan loop diuretic, atau
kombinasi dengan bumetanide, thiazide atau metolazone.
Berbagai kondisi yang memperburuk fungsi kontraktilitas miokardium harus
segera diatasi, seperti hipoksemia, hipoglikemia dan asidosis. Untuk memperbaiki
fungsi kontraktilitas ini, selanjutnya, dapat digunakan obat inotropik (contoh:
dopamine, dobutamin, adrenalin, amrinone, milrinone). Untuk mencapai fungsi
kardiovaskular yang optimal, dengan pengaturan preload, penggunaan obat inotropik
dan vasodilator (contoh: sodium nitropruside, nitrogliserine), dibutuhkan pemantauan
tenanan darah, curah jantung dan systemic vascular resistance.
Dopamin dan dobutaminDopamin dan dobutamin merupakan obat inotropik yang
diberikan secara parenteral. Kedua obat di atas mempunyai awitan kerja yang cepat
dan lama kerja yang singkat sehingga lebih disukai dibanding digoksin untuk
menangani gagal jantung akut dan berat apalagi jika disertai gangguan fungsi
ginjal.Dopamin maupun dobutamin bersifat simpatomimetik sehingga meningkatkan
curah jantung, tekanan darah, dan denyut jantung. Dopamin mempunyai efek
vasodilatasi renal yang bermanfaat untuk mempertahankan fungsi ginjal pada penderita
gagal jantung. Pada dosis tinggi, dopamin dapat menimbulkan takikardia dan bahkan
vasokonstriksi. Efek vasodilatasi renal tidak dimiliki oleh dobutamin namun dobutamin
relatif tidak menimbulkan takikardia seperti dopamin. Atas dasar ini penggunaan
gabungan dobutamin dan dopamin dosis rendah memberi hasil yang cukup baik.
Dobutamin juga dapat meningkatkan aliran darah koroner. Dosis dopamin (IV drip)
biasanya 5-10 mg/kgBB/menit. Pada dosis 2-5 mg/kgBB/menit, dopamin menimbulkan
vasodilatasi ginjal, pada dosis 5-8 mg/kgBB/menit bersifat inotropik, pada dosis >8
mg/kgBB/menit dapat menyebabkan takikardia, pada dosis >10 mg/kgBB/menit
menyebabkan vasokonstriksi ringan, dan pada dosis 15-20 mg/kgBB/menit
menyebabkan vasokonstriksi. Dosis dobutamin (IV drip) yang direkomendasikan
adalah 5-8 mg/kgBB/menit.
Syok Distributif dan Syok Septik
Tatalaksana syok distributif adalah pengisian volume intravaskular dan
mengatasi penyebab primernya. Syok septik merupakan suatu keadaan khusus
dengan patofisiologi yang kompleks. Pada syok septik, ‘warm syok’, suatu syok
distributif, terjadi pada fase awal. Penggunaan stimulator alpha (contoh
noradrenalin) dilaporkan tidak banyak memperbaiki keadaan, malahan
menurunkan produksi urine dan mengakibatkan asidosis laktat. Pada fase lanjut terjadi
penurunan curah jantung dan peningkatan systemic vascular resistanceakibat
hipoksemia dan acidosis. Karena itu tatalaksana syok septik lanjut, mengikuti
kaidah syok kardiogenik. Sekalipun masih kontroversi, steroid terkadang
digunakan pada syok septik yang resisten terhadap katekolamin dengan risiko
insufisiensi adrenal.
Komplikasi dan Prognosis
Syok dapat menyebabkan komplikasi bahkan kematian. Beberapa kondisi yang dapat
muncul akibat syok adalah:
Gangguan ginjal
Henti jantung
Aritmia
Pemeriksaan penunjang :
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang ditujukan selain untuk mencari
etiologi kejang, juga untuk mencari komplikasi akibat kejang yang lama. Jenis
pemeriksaan laboratorium ditentukan sesuai kebutuhan.
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama kali adalah kadar
glukosa darah, elektrolit, hitung jenis, dan protrombin time. Beberapa peneliti lain
menganjurkan standar pemeriksaan laboratorium yaitu darah tepi lengkap, elektrolit
serum, glukosa, ureum, kreatinin, kalsium, dan magnesium.
b. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang disertai penurunan
status kesadaran / mental, perdarahan kulit, kuduk kaku, kejang lama, gejala infeksi,
paresis, peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya faktor pencetus yang jelas.
Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam untuk memastikan adanya
infeksi SSP. Bila didapatkan kelainan neurologis fokal dan adanya peningkatan tekanan
intrakranial, dianjurkan memeriksakan CT scan kepala terlebih dahulu, untuk mencegah
terjadinya risiko herniasi.12 Menurut rekomendasi American Academy of Pediatrics,
pungsi lumbal sangat dianjurkan pada serangan pertama kejang disertai demam pada
anak usia di bawah 12 bulan, karena meningitis pada kelompok usia ini dapat
menunjukkan gejala klinis yang minimal atau bahkan tidak ada. Pada anak usia 12 – 18
bulan lumbal pungsi dianjurkan, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan lumbal pungsi
dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi intrakranial (meningitis).
c. Neuroimaging
Pemeriksaan CT scan kepala dilakukan pada anak dengan kecurigaan trauma kepala,
infeksi susunan saraf pusat, tumor, perdarahan intrakranial pada kelainan pembekuan
darah (APCD – aquired prothrombine complex deficiency). MRI dilakukan bila
kelainannya mengenai batang otak, atau dicurigai adanya adanya tumor otak atau
gangguan mielinisasi.
d. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) segera setelah kejang dalam 24 – 48 jam, atau
sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan.
Beratnya kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya manifestasi klinis.
Gambaran EEG akan memperlihatkan gelombang iktal epileptiform. Normal atau
kelainan ringan pada EEG merupakan indikasi baik terhadap kemungkinan bebasnya
kejang setelah obat antiepilepsi dihentikan.
Tatalaksana
SE konvulsivus pada anak adalah kegawatan yang mengancam jiwa dengan risiko
terjadinya gejala sisa neurologis. Risiko ini tergantung dari penyebab dan lamanya
kejang berlangsung. Makin lama kejang berlangsung, makin sulit untuk
menghentikannya. Oleh karenanya, tata laksana kejang toni-klonik umum lebih dari 5
menit, adalah menghentikan kejang dan mencegah terjadinya status epileptikus.
Penghentian kejang dibagi berdasarkan waktu: 0 – 5 menit, 5 – 10 menit, 10 – 30 menit
dan > 30 menit. Pembagian ini untuk membedakan tindakan yang dilakukan, pemberian
obat-obatan dan menilai apakah pasien sudah masuk kedalam SE atau bahkan sudah
menjadi SE refrakter.
Penghentian kejang
Pembagian waktu penghentian kejang dapat dilihat di bawah ini:
0-5 menit :
• Longgarkan pakaian pasien, dan miringkan. Letakkan kepala lebih rendah dari
tungkai untuk mencegah aspirasi bila pasien muntah
• Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik, berikan oksigen bila ada.
• Pada saat di rumah dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kg (berat badan < 10 kg =
5 mg; sedangkan bila berat badan > 10 kg =10 mg) dosis maksimal adalah 10 mg /
dosis.
• Maksimal dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit
• Bila keadaan pasien stabil, pasien dibawa ke rumah sakit terdekat.
5-10 menit
• Bila saat tiba di rumah sakit pasien kejang kembali. Dapat diberikan diazepam rektal
1 kali dengan dosis yang sama.
• Lakukan pemasangan akses intravena. Pengambilan darah untuk pemeriksaan : darah
rutin, glukosa, dan elektrolit
• Bila masih kejang berikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgbb secara intravena (kecepatan 5
mg/menit),
• Jika didapatkan hipogikemi, berikan glukosa 25% 2 mL/kg berat badan
10 – 30 menit
• Cenderung menjadi status konvulsifus
• Berikan fenitoin 20 mg/kg intravena dengan pengenceran setiap 10 mg fenitoin
diencerkan dengan 1 mL NaCl 0,9 % dan diberikan dengan kecepatan 50 mg/menit.
Dosis maksimal adalah 1000 mg fenitoin.
• Bila kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20 mg/kg intravena bolus perlahan–
lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dosis maksimal yang diberikan adalah 1000 mg
fenobarbital.
> 30 menit
• Bila kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan timbul kejang
kembali diberikan fenitoin tambahan dengan dosis 10 mg/kg intravena dengan
pengenceran. Dosis rumatan fenitoin selanjutnya adalah 5 – 7 mg/kg intravena dengan
penegnceran diberikan 12 jam kemudian.
• Bila kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul kejang
kembali diberikan fenobarbital tambahan dengan dosis 10 mg/kg intravena secara bolus
langsung. Dosis rumatan fenobarbital adalah 5 – 7 mg/kg intravena diberikan 12 jam
kemudian
• Bila kejang berhenti dengan midazolam, maka rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap
diberikan.
• Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan kebutuhan seperti analisis gas darah,
elektrolit, gula darah. Dilakukan koreksi terhadap kelainan yang ada dan awasi tanda-
tanda depresi pernapasan.
Prognosis
Prognosis pasien dengan SE tergantung dari etiologi, usia, lamanya kejang.dan
tatalaksana kejang teratasi. Tata laksana penyebab kejang memegang peranan penting
dalam mencegah kejang berulang setelah kejang teratasi. Kemungkinan teratasinya SE
konvulsivus dapat menjadi SE bukan konvulsivus. Gejala sisa yang sering terjadi pada
SE konvulsivus adalah gangguan intelektual, deficit neurologi atau epilepsi. Angka
kematian berkisar 16 – 32 %
Kegawatdaruratan Dermatho
Defenisi Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksis (NET) ialah
reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis luas,
disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Makula eritem, terutama pada
badan dan tungkai atas, berkembang progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat
pengelupasan epidermis. Karena kesamaan dalam temuan klinis dan histopatologis,
etiologi obat, dan mekanisme terjadinya penyakit, SSJ dan NET mewakili keparahan
varian dari proses identik yang berbeda hanya dalam persentasi luas permukaan tubuh
yang terlibat, maka kedua penyakit dikelompokkan sebagai nekrolisis epidermal
(NE)..1 Pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh dokter anak A.M. Stevens dan
F.C. Johnson setelah mendiagnosa seorang anak dengan keterlibatan okular dan oral
akibat reaksi obat. Hampir seluruh obat-obatan dapat menyebabkan SSJ, seperti
ibuprofen. Pada umumnya obat tersebut adalah obat anti konvulsan, antibiotik (seperti
sulfa, penicillin dan sefalosporin), dan antiinflamasi.1,2,3 Baik SSJ maupun NET
ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa. Karena kemiripan penemuan
klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta mekanisme, SJS dan NET ini dianggap
variasi dan kontinu penyakit yang dibedakan dengan melihat tingkat keparahan serta
persentase permukaan tubuh yang terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan
menggunakan istilah eritema multiforme mayor untuk SSJ dan NET.3 SJS
menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana pelepasan kulit < 10% dari
permukaan tubuh NET melibatkan perluasan > 30% dari luas permukaan tubuh
Universitas Sumatera Utara 2 SJS/NET menampilkan pasien dengan perluasan kulit
10-30% dari luas permukaan
Etiologi dan Faktor Resiko Etiologi Etiologi SSJ/NET masih belum diketahui secara
pasti, namun sekarang diketahui obat-obatan adalah etiologi utama yang dapat terjadi
pada orang dewasa atau anak-anak. Terdapat lebih dari 100 obat yang dikenal sebagai
penyebab SSJ/NET. Sebuah penelitian case control mengevaluasi resiko SSJ dan NET
yang berhubungan dengan pengobatan. Antibiotik sulfonamide (khususnya
sulfametoksazol kombinasi dengan trimetoprim), karbamazepin, fenitoin, fenobarbital,
obat-obat antiinflamasi nonsteroid tipe oksikam, allopurinol, klormezanon,
aminopenisillin, sefalosporin,lamotrigin,Nevirapin, kuinolon, dan antibiotik siklik
dihubungkan dengan resiko relatif tertinggi. 1,2,5,14 Tabel 3. Obat-obatan yang dapat
beresiko menyebabkan SSJ dan NET
Patofisiologi & Patogenesis Patogenesis NE belum diketahui secara jelas. Penerapan
teknik farmakogenomik dan biologi molekular pada studi sebelumnya lebih lanjut
mengungkapkan bahwa disposisi genetik sebagaimana mediator imun adalah hal yang
penting dalam perkembangan SSJ dan NET. Walaupun interaksi Fas-FasL sudah
dipertimbangkan sebagai efektor utama yang menyebabkan apoptosis keratinosit. 7
Terdapat beberapa penelitian yang menduga terjadinya reaksi sitotoksik yang
diperantarai sel melawan keratinosit dan menyebabkan apoptosis yang masif. Reaksi ini
dicetuskan sel T CD4+ dan CD 8+ yang menghasilkan mediator sitotoksik yang
berakibat apoptosis keratinosit. Penelitian imunopatologis dijumpai adanya CD8+ killer
lymphocytes (sel NK) pada epidermis dan CD4+ pada dermis pada reaksi bulosa yang
berat, dijumpai sel CD8+ pada epidermis. Jumlah sel CD4+ ini dijumpai meninggi pada
darah perifer penderita SSJ ataupun NET. Sel sitotoksik CD8+ mengekspresikan
reseptor α, ᵦ yang dapat membunuh melalui perforin dan granzyme B, tidak melalui Fas
atau Trail. Jadi ikatan obat dan protein akan diproses, kemudian akan dipresentasikan
oleh sel penyaji antigen (APC) ke sel naive yang akan menghasilkan reaksi toleran atau
reaksi efektor seperti gejala hipersensitivitas. Ekspansi dari CD8+ ini spesifik terhadap
obat, MHC (major histocompatibility complex - restricted cytotoxic reactions) melawan
keratinosit.5,7 Sekarang telah diterima dengan baik bahwa ekspansi oligoklonal CD 8+
bereaksi terhadap obatobatan tertentu, memiliki kecocokan mayor dengan jaringan
sitotoksik yang rumit dan terbatas berlawanan dengan keratinosit. Selanjutnya, regulasi
CD4+ CD 25+ sel T telah menunjukkan pentingnya pencegahan kerusakan epidermal
hebat yang diinduksi limfosit T sitotoksik reaktif. Sitokin penting seperti IL-6, Tumor
Necrosis Factor-α (TNF-α), dan Fas ligand (Fas-L) juga ada pada lesi kulit
SSJ/NET..1,2,5,7 Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih kontroversial. Fas
dikatakan menyebabkan kematian sel melalui ikatannya. Tampaknya makin jelas saat
ini bahwa peningkatan level FasL dapat ditemukan pada serum pasien dengan SSJ dan
NET, dan levelnya meningkat secara konsisten ketika sebelumnya terdapat pelepasan
kulit.1,7 Viard et al. mengatakan bahwa aktivasi Fas menyebabkan apoptosis
keratinosit. Ketika limfosit T sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi aktivasi
kaskade enzim intraseluler yang disebut kaspase yang kemudian menyebabkan
kematian sel. Limfosit T sitotoksik dapat menginduksi kaskade kaspase melalui
perforin/granzyme atau jalur Fas-Fas-L. Fas-L akan menginduksi perubahan pada Fas
yang menyebabkan pengambilan FADD (Fassociated Death Domain Protein). FADD
merupakan molekul yang melekat pada Fas dan prokaspase 8, yang fungsinya
membawa bersama-sama cetakan-cetakan prokaspase 8. Cetakan ini kemudian
mengalami 8 autoaktivasi membentuk kaspase 8 yang selanjutnya mengaktifkan
kaskade kaspase yang berujung pada apoptosis keratinosit.1,2,7 Jalur lainnya yaitu
melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali, sel T sitotoksik mengeluarkan
perforin yang akan membuat saluran 16 nm pada membran sel target. Kemudian
granzyme B melewati saluran ini dan mengaktifkan kaskade kaspase.
Obat-obatan dapat mengaktifkan sel T dengan bertindak sebagai hapten, prohapten atau
dengan interkasi farmakologi langsung antar obat, molekul MHC dan reseptor sel T.7
Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa alel Human Leukocyte Antigen (HLA-
B*1502) berhubungan kuat pada subyek etnik Cina/Asia dengan SSJ dan NET yang
diinduksi karbamazepin tetapi tidak dengan erupsi eksantematosa diinduksi
karbamazepin atau sindroma hipersensitivitas obat (juga dikenal sebagai reaksi obat
dengan eosinofilia dan gejala sistemik atau DRESS). Satu dari laporan pertama
menunjukkan bahwa HLA-B*1502 dijumpai pada 100% pasien SSJ yang diinduksi
karbamazepin tetapi hanya sebesar 3% dari pasien yang mentoleransi karbamazepin
dan pada 9% populasi umum. HLA-B*1502 terjadi pada 10-15% individu dari Cina
selatan, Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina, Taiwan, dan mempunyai angka
prevalensi 2-4% lebih tinggi di kelompok Asia selatan lainnya termasuk India
Periksa mata saat istirahat. Pandangan diskonjugasi dapat melokalisasi lesi ke pons atau
otak kecil (vertikal, "condong" deviasi), CN VI (adduksi satu mata yang persisten), CN
III (penculikan satu mata yang persisten), atau cedera difus (konjugasi ke atas tatapan
terlihat pada ensefalopati anoksik). Perhatikan ukuran, simetri, dan reaktivitas pupil.
Murid kecil menunjukkan gangguan jalur simpatis, organofosfat keracunan, overdosis
opiat, atau lesi pontine. Diindikasikan pupil pupil kompresi CN III, overdosis
antikolinergik, atau simpatomimetik kemabukan. Murid yang ukurannya normal tetapi
tidak reaktif terlihat dengan batang otak lesi (otak tengah). Pemeriksaan kelopak mata
dapat mengungkapkan bilateral atau unilateral ptosis. Ptosis bilateral terjadi pada lesi
otak tengah (mis., Emboli arteri basilar); ptosis unilateral terlihat dengan sindrom
Horner dan CN III palsy. Luar Biasa Pergerakan dapat dinilai dengan memunculkan
refleks okulocephalic atau oculovestibular. Manuver oculocephalic (atau mata boneka)
tidak boleh dilakukan jika pasien berisiko mengalami cedera serviks; sebaliknya,
oculovestibular lebih sensitif (atau kalori air dingin) refleks harus diuji. Respons
normal (mis., Konjugasi, gerakan mata horizontal menjauh dari arah gerakan kepala,
atau ke sisi irigasi air dingin) menunjukkan batang otak yang utuh. Abnormal
tanggapan (mis., tidak ada gerakan mata atau penyimpangan mata ke bawah)
menyarankan keterlibatan batang otak atau keracunan obat penenang
Saraf kranial: Refleks kornea melibatkan anggota aferen CN V dan anggota badan CN
VII. Ada atau tidak adanya refleks muntah (CN IX dan X), meskipun penting untuk
perlindungan jalan napas, tidak memiliki nilai pelokalan. • Motorik: Amati pasien
untuk gerakan spontan. Gerakan unilateral mungkin menyarankan defisit neurologis
fokal. Satu-satunya bukti status nonconvulsive epileptikus mungkin gerakan halus.
Amati respons pasien terhadap a stimulus berbahaya. • Refleks: Hyperreflexia dan
clonus menunjukkan disfungsi hemisfer. Asimetri refleks dapat melokalisasi defisit.
DIAGNOSIS BANDING
1. Psikosis akut
2. Psikogenik tidak responsif
a. Reaksi konversi
b. Malingering
TATALAKSANA
1. Pertahankan saturasi oksigen yang memadai. Pertimbangkan intubasi untuk
perlindungan jalan napas atau pemeliharaan ventilasi yang memadai.
2. Semua pasien dengan status mental yang berubah dari etiologi yang tidak diketahui
harus menerima tiamin 100 mg IV. Pasien dengan hipoglikemia (juga
pertimbangkan pada pasien dengan samping tempat tidur normal rendah) hasil)
harus menerima 25 g dekstrosa 50% IV (dosis pediatrik: dekstrosa 25%, 0,5 g /
kg). Meskipun beberapa referensi merekomendasikan pemberian empiris nalokson
3. Flumazenil hanya diindikasikan untuk overdosis benzodiazepine akut. Penggunaan
sembarangan dapat menyebabkan kejang pada pasien dengan kokain atau toksisitas
trisiklik atau menyebabkan penarikan kejang pada pengguna benzodiazepin kronis.
4. Hipotensi harus diobati dengan cairan isotonik dan agen vasopresor, sesuai
kebutuhan. Tekanan arteri rata-rata target yang tepat adalah 90 hingga 100 mm Hg.
5. Menentukan etiologi hipertensi, hipertensi maligna, stroke iskemik, atau respons
terhadap peningkatan ICP sangat penting untuk memandu pengobatan (jika ada).
6. Tekanan intrakranial yang meningkat harus dikenali sejak dini dan dikelola dengan
head-of-bed ketinggian hingga 30 derajat (bila praktis), hiperventilasi (target CO2
30-35), manitol 0,5 g / kg (20% larutan) diinfuskan selama 5-15 menit, dan
furosemide 1 mg / kg IV. Penggunaan obat-obatan kemungkinan akan sesuai
dengan konsultasi bedah saraf.
B. NYERI KEPALA
Nyeri yang dirasakan di berbagai lokasi di kepala, tidak terbatas pada area distribusi
saraf apa pun.
Sakit kepala disebabkan oleh distensi, traksi, perpindahan, peradangan, spastik
pembuluh darah, pelebaran, atau kompresi struktur peka nyeri di kepala dan leher.
Struktur peka nyeri dari ruang supratentorial meneruskan nyeri melalui saraf trigeminal,
yang menginervasi kulit kepala dan wajah anterior. Struktur peka nyeri pada ruang
infratentorial meneruskan nyeri melalui saraf kranial IX, dan X, C2 dan C3. Dengan
demikian, rasa sakit yang berasal dari fossa posterior dapat dirujuk ke telinga atau
tenggorokan, atau daerah posterior kepala dan leher.
Sumber nyeri kepala intrakranial termasuk sinus kranial dan vena aferen, arteri
meningeal anterior, trigeminal (V), glossopharyngeal (IX), dan saraf vagus (X), falx
cerebr, dura di dasar tengkorak, arteri utama di pangkal otak, gray matter, batang otak
dan sensorik inti thalamus.
Otot yang sering terlibat dalam penyebab cephalgia ekstrakranial termasuk masseter,
frontalis, temporal, oksipital, trapezius, sternocleidomastoid, dan otot serviks yang
dalam. Selain itu, kulit, periosteum tengkorak, jaringan subkutan dan arteri, mata,
telinga, gigi, sinus, orofaring, dan selaput lendir hidung rongga bisa menjadi sumber
rasa sakit.
ETIOLOGI
1. Sakit kepala primer bersifat jinak, biasanya berulang, dan tidak memiliki penyebab
mendasar. (migrain, cluster, dan TTH)
2. Sakit kepala sekunder, ada gejala penyakit organik yang mendasarinya. Faktor
risiko untuk gangguan sakit kepala sekunder meliputi :
a. Merupakan sakit kepala yang sangat sakit untuk pertama kalinya
b. Onset sangat tiba-tiba
c. Mual dan muntah
d. Penyakit sistemik
e. Keluhan mata/penglihatan
f. Riwayat trauma kepala
g. Riwayat imonodefisiensi
h. Peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan
i. Onset nya > 50 tahun atau < 3 tahun
j. Kaku kuduk, tanda rangsang meningeal
k. Sakit timbul dipeangaruhi posisi
DIAGNOSIS
1. Anamnesis :
Identifikasi atau mengeluarkan patologi yang mendasari berdasarkan riwayat dan
pemeriksaan fisik. Termasuk :
a. Apakah onsetnya tiba-tiba, bertahap, atau subakut?
b. Apakah pasien terbangun dari tidur?
c. Adakah faktor pencetus atau yang memberatkan (mis., Aktivitas, stres, menstruasi /
hormonal) terapi, obat / penarikan obat, makanan, manuver batuk / Valsava, paparan
lingkungan, perubahan posisi, trauma)? (Episode migrain sering terjadi
terkonsentrasi di sekitar periode menstruasi. Paparan mengandung tyramine atau
yang mengandung amina makanan, nitrat, MSG, atau etanol dapat memicu migrain;
stres, perubahan cuaca, perubahan pola tidur, dan penarikan kafein juga merupakan
pemicu potensial. TTH seringkali berkaitan dengan stres. Alkohol dilaporkan
mengendapkan kluster. Penggunaan kokain merupakan faktor risiko perdarahan
subaraknoid (SAH))
d. Apakah ada faktor yang meringankan?
e. Apakah ada prodrome (mis., Aura atau halusinasi visual, pendengaran, atau
penciuman; mati rasa, parestesia atau kelemahan motorik; gangguan bicara)? Aura
dapat mendahului migrain sakit kepala hingga satu jam; pasien tanpa aura mungkin
memiliki gejala lain yang menunjukkan timbulnya migrain, termasuk lesu, depresi,
hiperaktif, atau keinginan makan.
f. Di mana letak nyeri (mis., Unilateral atau bilateral; okular / retro okular; paranasal;
frontal atau oksipital; di puncak; di faring atau meatus auditorius eksternal)?
g. Apakah yang karakter rasa sakit (mis., tajam, menusuk; pegal, sakit mantap;
terbakar; melancap; "terburuk sakit kepala selamanya ”)? TTH digambarkan sebagai
tekanan difus atau sesak. Migrain biasanya unilateral, dengan kualitas yang
berdenyut. Sakit kepala cluster sangat menyiksa, sakit kepala yang tajam dan
unilateral
h. Apakah rasa sakit itu menjalar?
i. Adakah gejala terkait (mis., Demam / kedinginan; mual / muntah; sakit leher atau
kekakuan; kejang; defisit neurologis fokal; ataxia; defisit bicara; pusing / vertigo;
perubahan visual atau sakit mata; perubahan status mental atau hilangnya kesadaran
sementara; rahang klaudikasio; mialgia; penurunan berat badan)?
j. Sakit kepala migrain sering dikaitkan dengan fotofobia atau fonofobia. Gejala yang
menyertai sakit kepala cluster termasuk injeksi konjungtiva, lakrimasi, rinore, ptosis,
miosis, dan dahi ipsilateral berkeringat. Kecurigaan harus dimunculkan untuk SAH
ketika mual dan muntah, fotofobia, kekakuan leher, atau hilangnya kesadaran
menyertai sakit kepala.
k. Berapa frekuensi rasa sakit (mis., Intermiten, kronis, musiman)?
l. Apakah sakit kepala peningkatan frekuensi atau tingkat keparahan?
m. Berapa lama rasa sakit itu bertahan? Sakit kepala cluster terjadi sekali atau dua kali
sehari — umumnya pada waktu yang sama setiap hari — dan bertahan sekitar 30
hingga 90 menit. Gejala-gejalanya mungkin berulang selama beberapa minggu, dan
kemudian pasien mungkin tetap bebas rasa sakit selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Sakit kepala yang bertahan selama lebih dari 10 minggu, tanpa
gejala yang terkait, tidak mungkin disebabkan oleh neoplasma
n. Apakah ada riwayat keluarga sakit kepala?
o. Apakah ada masalah medis yang sedang berlangsung atau penyakit baru-baru ini?
Adanya penyakit ginjal polikistik, Ehlers-Danlos atau Marfan sindrom, penyakit
Grave, displasia fibromuskular, koarktasio aorta atau perut aneurisma aorta, penyakit
sel sabit, aterosklerosis, atau tempat hipertensi pasien dengan peningkatan risiko
untuk SAH atau aneurisma yang tidak rusak.
p. Apakah ada riwayat HIV atau risiko?
q. Apakah ada kontak dekat dengan gejala yang sama? Pasien dengan karbon ringan
keracunan monoksida dapat mengeluhkan sakit kepala yang tidak spesifik dan gejala
seperti flu; sering, anggota rumah tangga yang sama akan memiliki paparan dan
racun yang sama dengan demikian hadir dengan gejala yang sama.
2. Pemeriksaan fisik
a. Vital Sign
i. Pemeriksaan lengkap pada kepala termasuk konsistensi scalp, arteri, vena, riwayat
trauma, kelainan mata, telinga, hidung dan gigi
ii. Nilai leher, ROM dan kekakuan
iii. Nilai kulit ada atau tidaknya infeksi, kemerahan, neurofibroma, cafe au lait spot,
angioma
iv. Nilai tingkat kesadaran, status mengtal, refleks pupil, nervus kranial, refleks tendon,
fungsi motorik dan sensorik, refleks patologis
3. Pemeriksaan penunjang
a. CBC mungkin berguna dalam kasus dugaan infeksi, kelainan hematologi, atau
vaskulitis
b. Jumlah CD4 <500 atau 200 pada orang yang terinfeksi HIV meningkatkan risiko
untuk:
i. Meningitis (kriptokokus, tuberkulosis, sifilis, dan limfomatosa);
ii. Lesi otak fokal (toksoplasmosis, limfoma SSP, PML, abses, crypotococcoma)
iii. Lesi otak difus (CMV, HSV, toksoplasmosis).
c. Tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) minimal 55 mm / jam — dan biasanya lebih dari
100— terlihat pada 90% pasien dengan arteritis temporal.
d. Kadar karboksihemoglobin diperoleh jika diduga keracunan karbon monoksida.
e. LP dengan analisis cairan serebrospinal (CSF) sangat penting di dalam evaluasi
beberapa gangguan sakit kepala:
i. Meningitis — CSF mungkin keruh, dengan peningkatan WBC dan protein, dan
glukosa rendah. Spesimen juga harus dikirim untuk pewarnaan stat Gram dan
kultur, dan — secara khusus kasus — VDRL, tinta India, antigen bakteri, dan
deteksi antibodi CSF (untuk ensefalitis virus).
ii. Perdarahan subaraknoid — tekanan pembukaan mungkin meningkat; cairan
mungkin berdarah atau xanthochromic (supernatan berubah warna dari CSF
disentrifugasi, sebagai akibat dari hemolisis), dengan peningkatan sel darah
merah dan protein, dan glukosa normal. (Dalam pengaturan negatif kepala CT,
LP masih harus dilakukan untuk mengecualikan SAH kecil yang tidak
diidentifikasi oleh CT.)
iii. Hipertensi intrakranial jinak — tekanan pembukaan meningkat (di atas 200 mm
H2O); komponen CSF lainnya normal; bantuan dari sakit kepala dengan
pengangkatan Cairan mungkin bersifat diagnostik.
f. Neuroimaging darurat dilakukan untuk mengidentifikasi lesi yang dapat diobati
(mis., Tumor, AVM, SAH, trombosis sinus serebral, hematoma subdural dan
epidural, dan hidrosefalus). Pemindaian tomografi komputer (CT) kepala tanpa
kontras diindikasikan ketika “red flags" historis atau fisik tertentu diidentifikasi
dalam evaluasi dari sakit kepala onset baru:
i. Onset akut, sakit kepala parah
ii. Setiap defisit neurologis
iii. Riwayat kejang
iv. Kelainan okular termasuk papilledema, gangguan penglihatan, atau diplopia
v. Muntah yang persisten atau sering didahului oleh sakit kepala berulang
vi. Bertukarnya karakter sakit kepala pasien
vii. Usia ekstrem (pasien <3 atau lebih dari 50) •
viii. Anak-anak dengan neurofibromatosis
ix. Diabetes insipidus, HIV
x. Trauma kepala yang mendahului
g. Pasien dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (mis., Papil edema atau
tidak adanya vena pulsasi pada pemeriksaan funduskopi, perubahan status mental,
atau defisit neurologis fokal) harus dipindai sebelum memiliki tusukan lumbal.
h. CT kepala dengan kontras ditingkatkan harus dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat defisiensi imun atau keganasan (setelah CT noncontrast negatif).
i. Pencitraan resonansi magnetik (MRI) otak mungkin lebih baik daripada CT dalam
kasus di yang fossa posterior harus dievaluasi secara spesifik tetapi umumnya tidak
mudah tersedia sebagai CT.
DIAGNOSIS BANDING
1. Nyeri kepala primer : migren, TTH, cluster
2. Nyeri kepala sekunder : trauma kepala, kelainan pembuluh darah, kelaianan
neurovaskular intrakranial, penggunaan obat-obatan, gangguan metabolik, didasari
penyakit lain, idiopatik
TATALAKSANA
1. Nyeri kepala primer
a. Migren
b. TTH : NSAIDs atau obat lain yang juga digunakan untuk mengobati
nyeri kepala
c. Cluster : Dapat menggunakan obat yg disarankan untuk penderita
migren, selain itu dapat diberikan terapi oksigen menggunakan
nonrebreathing mask selama 10-15 menit. Untuk nyeri refrakter,
intranasal 4% lidokain atau deksametason (8 mg / hari selama 3-4 hari)
seharusnya pasien yang menderita kluster kronis tanpa remisi atau
episodik serangan yang berlangsung lebih dari beberapa minggu dapat
menggunakan prednison 7-10 hari (60 hingga 80 mg / hari), tapering
dose di minggu selanjutnya
2. Nyeri kepala sekunder : Sesuai penyakit yang mendasari
Hal ini lebih baik dievaluasi pada pasien yang dirujuk ke psikiatri adalah : risiko bunuh
diri, risiko kekerasan (violence), dan penilaian psikosisal
Hal-hal yang harus diperhatikan si seting kedaruratan yaitu :
- Agitasi dan agresi
- Withdrawal (lepas zat)
- Intoksikasi zat
- Kekerasan domestik
- Kekerasan pada anak
- Kekerasan pada lansia
- Perkosaan
Modalitas terapi yang digunakan untuk seting kedaruratan psikiatri antara lain: 1)
farmakoterapi, 2) seclusion (isolasi) dan restraint (fiksasi fisik), dan 3) psikoterapi.
Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko
tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian. Dokter yang bertugas di gawat
darurat menempati urutan kedua setelah dokter ahli onkologi dalam menghadapi
kematian. Situasi emosional dari pihak pasien karena tertimpa risiko dan pekerjaan
tenaga kesehatan yang di bawah tekanan mudah menyulut konflik antara pihak pasien
dengan pihak pemberi pelayanan kesehatan.
Kasus yang tidak boleh diberikan diberikan surat keterangan kematian adalah:
- meninggal pada saat dibawa ke IGD
- meninggal akibat berbagai kekerasan
- meninggal akibat keracunan
- meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan
Kematian yang boleh dibuatkan surat keterangan kematiannya adalah yang cara
kematiannya alamiah karena penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA