Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN TUTORIAL HARI 1

BLOK 4.2
KEGAWATDARURATAN DAN MEDIKOLEGAL
MINGGU 2

OLEH :
KELOMPOK 10 (B)
Nur Muhammad Ilham 1610311072
Raissa Nabilla Putri 1610313002
Rifty Zhafira Maharani 1610312059
Nadlila Frimadiah Fitri 1610313064
Nadira Edrian 1610311044
Sasqia Trizolla 1610311061
Zakiya Zar’a 1610312003
Muhammad Adam Haikal Bin Anuar 1610314003
Muhammad Arif 1610312027
Muhammad Furqan 1610312071

TUTOR :
Dr. dr. Masrul, MSc, Sp.GK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2019
Kegawatdaruratan Medis
Pengertian Pelayanan Kegawatdaruratan adalah tindakan medis yang dibutuhkan oleh
pasien gawat darurat dalam waktu segera untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan
kecacatan, (Permenkes No 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan Pasal 1
ayat (1) )
Sementara yang dimaksudkan dengan keadaan Gawat Darurat adalah keadaan klinis
yang membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan. (ayat 3)
Menurut American Hospital Association (AHA) gawat darurat adalah: An emergency is
any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever assumes the
responsibility of bringing the patient to the hospital-requires immediate medical
attention. This condition continues until a determination has been made by a health care
professional that the patient's life or well-being is not threatened.
Kriteria Gawat Darurat:

 Gawat Darurat:  Pasien yang tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi
gawat dan terancam nyawanya dan atau anggota badannya (akan menjadi cacat)
bila tidak mendapatkan pertolongan secepatnya. Contoh pasien dengan AMI
(Acut Miocart Infarc).  

 Gawat Tidak Darurat:  Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat.  

 Darurat Tidak Gawat: Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak
mengancam nyawa dan anggota badannya.  Misal : pasien luka tanpa
pendarahan,  pasien Ca stadium akhir.

 Tidak Gawat Tidak Darurat:  Pasien yang tidak mengalami kegawatan dan
kedaruratan. Misalnya: pasien batuk, pilek yang datang ke Instalasi Gawat
Darurat, maka diminta untuk menunggu sampai pasien yang lainnya tertangani.
Hubungan Dokter- Pasien dalam Kegawatdaruratan Medis.
Seperti disebutkan pada UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 51
huruf d : Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban: melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Maka pada
kegawatdaruratan medis, terjadi hubungan hukum antara dokter dan pasien yang
spesifik, pada keadaan ini tidak ada azas voluntarisme,  baik untuk dokter maupun
pasien, tetapi hubungan hukumnya adalah akibat perjanjian/perikatan karena undang-
undang -- zaakwarneming. Yang pengertiannya  adalah mengambil alih tanggung jawab
dari seseorang sampai yang bersangkutan sanggup untuk mengurus dirinya sendiri
(Pasal 1354 KUHPerdata).
Berbeda dengan hubungan hukum dokter dan pasien pada keadaan bukan
kegawatdaruratan medis dimana perikatan/perjanjian yang terjadi karena adanya
kesepakatan (UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 39: Praktik kedokteran
diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan
pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan).
Dokter yang bersedia menolong pasien gawat darurat, maka dia harus melakukannya
sampai tuntas atau sampai ada pihak lain (dokter lain) yang melanjutkan pertolongan
atau sampai pasien sudah tidak lagi memerlukan pertolongan.
Jika pertolongan yang diberikan tidak tuntas maka dokter tersebut dapat digugat karena
dianggap menghalangi kesempatan pasien untuk mendapatkan pertolongan lain (loss of
chance).
Secara yuridis kegawatdaruratan medis akan menimbulkan privilege tertentu bagi
dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya, sehingga perlu ditegaskan pengertian
kegawat daruratan medis, karena seringkali pasien dan atau keluarganya menganggap
bahwa dirinya sakit dan dalam keadaan gawat darurat, yang harus segera ditolong,
padahal sebenarnya tidak demikian. 
Sehingga timbulah apa yang disebutkan  false emergency dan true emergency dimana
A true emergency is any condition clinically determined to require immediate medical
care. Such conditions range from those requiring extensive immediate care and
admission to the hospital to those that are diagnostic problems and may or may not
require admission after work-up and observation."
Menurut Permenkes No 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan Pasal 3:
Kriteria kegawatdaruratan meliputi :
 mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan;
 adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi;
 adanya penurunan kesadaran;
 adanya gangguan hemodinamik; dan/atau
 memerlukan tindakan segera.
Untuk menentukan tingkat kegawatdaruratan pasien, maka dilakukan skrining atau
Triage.  Kata triase (triage) berarti memilih. Jadi triase adalah proses skrining secara
cepat terhadap semua pasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)  rumah
sakit, yang tujuannya adalah untuk  mengidentifikasi kegawatdaruratannya.
- Emergensi:yaitu akan meningkatkan resiko bila tidak ditangani segera,misalnya
trauma berat,Infark Miokard akut,sumbatan jalan nafas,pneumotoraks tension.
- Urgent:akan meningkatkan resiko bila tidak ditangani dalam beberapa
jam,mislanya cedera tulang belakang,patah tulang terbuka,luka
bakar,appendisitis akut.
- Non Urgent,misal luka lecet,demam,fraktur ekstremitas atas.
SYOK
adalah kondisi kurangnya perfusi jaringan sistemik yang ditandai dengan berkurangnya
delivery oksigen ke sel dan penggunaannya serta berkurangnya pembuangan sisa hasil
metabolisme.

ETIOLOGI

A. Hypovolemic shock
1. Blood loss
a. Traumatic hemorrhage
1. Exsangination (e.g. Scalp)
2. Hemothorax
3. Hemoperitoneum
4. Fracture (femur & pelvis)
b. Nontraumatic hemorrhage
1. GI bleed
2. AAA rupture
3. Ectopic pregnancy rupture
2. Volume loss
a. Burns
b. Skin integrity loss (TEN)
c. Vomiting
d. Diarrhea
e. Hyperosmolar states (DKA)
f. Third spacing (e.g., Ascites)
g. Decreased intake
B. Cardiogenic shock
1. Dysrhythmia
a. Bradycardias and blocks
b. Tachycardias
2. Cardiomyopathy
a. Infarction
b. RV infarction
c. Dilated cardiomyopathy
3. Mechanical
a. Valvular
1. Aortic insufficiency from dissection
2. Papillary muscle rupture from ischemia
b. Ventricular aneurysm rupture
c. Free wall ventricle rupture
C. Distributive shock
1. Anaphylactic shock
2. Septic shock
3. Neurogenic shock
4. Drug induced vasodilation
5. Adrenal insufficiency
D. Obstructive shock
1. Tension pneumothorax
2. Pericardial disease
a. Pericardial tamponade
b. Constrictive pericarditis
3. Massive pulmonary embolism
4. Auto PEEP from mechanical ventilation

PATOGENESIS
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis syok hipovolemik dipengaruhi oleh besarnya kehilangan cairan tubuh
dan mekanisme kompensasi. Kehilangan 5-10% berat badan umumnya masih dapat
dikompensasi. Selain tanda kehilangan cairan, mekanisme kompensasi dapat dikenali
dengan dijumpainya produksi urin yang menurun, ujung ekstremitas dingin, dan waktu
pengisian kapiler yang sedikit memanjang. Mekanisme kompensasi tidak akan
memadai pada kehilangan 15% berat badan atau lebih. Kesadaran akan menurun,
produksi urin minimal atau tidak ada, ujung ekstremitas dingin dan mottled, nadi
perifer sangat lemah atau tidak teraba, takikardia, tekanan darah menurun atau tidak
terukur. Hipoksia jaringan akan mengakibatkan asidosis dan takipnea. Dalam keadaan
lanjut akan terjadi pernapasan periodik atau apnu yang selanjutnya disusul dengan henti
jantung.
Gangguan perfusi pada syok kardiogenik menyebabkan gejala yang serupa dengan syok
hipovolemik. Tanda bendungan dapat dijumpai, seperti peningkatan tekanan vena
jugularis dan pembesaran hati pada kegagalan ventrikel kanan, ronki basah halus tidak
nyaring, takipnea sampai pink frothy sputum dapat dijumpai pada kegagalan ventrikel
kiri. Irama derap dapat dijumpai pada kegagalan ventrikel kanan maupun kiri.
Syok distributif memberikan gambaran gangguan perfusi seperti pada syok lainnya
seperti oliguria dan gangguan kesadaran. Warm shock yang umumnya dijumpai pada
awal syok septik terjadi akibat vasodilatasi vaskular, ditandai dengan perabaan kulit
yang hangat, kemerahan (flushed skin), peningkatan tekanan nadi, takikardi, dan
takipnu. Bila penyebabnya sepsis, maka akan dijumpai pula gejala sepsis lain, misalnya
gejala koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom distress pernapasan akut.
DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
telusuri faktor risiko misalnya riwayat trauma/perdarahan, penggunaan obat (b-blocker,
Ca channel blocker), alergi, aritmia (EKG), tension pneumothorax (fremitus, deviasi
trakea, perkusi), tamponade jantung (JVP, auskultasi jantung), gejala-gejala tertentu
(misal nyeri dada dan dyspnea mengarahkan pada ACS hingga syok kardiogenik, atau
penurunan/peningkatan suhu yang signifikan mengarahkan pada sepsis), dsb
Fluid challenge
kontraindikasi pada pasien dengan edema paru pada syok kardiogenik. fluid challenge
dengan kristaloid isotonik 20cc/kgBB, setelah penanganan ABC dan kausal yang dapat
cepat ditangani
Pemeriksaan Laboratorium
pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan koagulasi, elektrolit, ureum, kreatinin,
analisis gas darah arteri, laktat serum. pemeriksaan golongan darah dan crossmatch
untuk persiapan pemakaian PRC pada syok septik: kultur pemeriksaan gas darah vena
dan pulse oximetry dapat inakurat pada kondisi syok.

TATA LAKSANA
Untuk mencegah komplikasi lanjut berupa kerusakan organ, tata laksana syok harus
dilakukan dengan cepat. Dalam 1 jam pertama harus dicapai waktu pengisian kapiler
kurang dari 2 detik, denyut nadi yang normal tanpa perbedaan kualitas nadi perifer dan
sentral, produksi urin lebih dari 1 mL/kgBB/jam, kesadaran normal, tekanan darah
normal sesuai usia, dan saturasi oksigen lebih dari 95%.
SYOK HIPOVOLEMIK Pemberian cairan kristaloid 10-20 mL/kgBB secara bolus
dalam 10-30 menit dapat dilakukan sambil menilai respons tubuh. Pada syok
hipovolemik, peningkatan volume intravaskular akan meningkatkan isi sekuncup
disertai penurunan frekuensi jantung. Pada kasus yang berat, pemberian cairan dapat
diulangi 10 mL/kgBB sambil menilai respons tubuh. Pada umumnya anak dengan syok
hipovolemik mempunyai nilai tekanan vena sentral kurang dari 5 mmHg. Pemberian
cairan harus diteruskan hingga mencapai normovolemik. Kebutuhan cairan untuk
mengisi ruang intravaskuler umumnya dapat dikurangi bila digunakan cairan koloid.
SYOK KARDIOGENIK Curah jantung ditentukan oleh isi sekuncup dan frekuensi
jantung. Bayi mempunyai ventrikel yang relatif noncompliant dengan kemampuan
meningkatkan isi sekuncup yang amat terbatas. Karena itu curah jantung bayi amat
bergantung pada frekuensi. Syok kardiogenik pada penyakit jantung bawaan tidak
dibahas di sini. Isi sekuncup dipengaruhi oleh preload, afterload, dan kontraktilitas
miokardium. Sesuai dengan hukum Starling, peningkatan preload akan berkorelasi
positif terhadap curah jantung hingga tercapai plateau. Karena itu, sekalipun terdapat
gangguan fungsi jantung, mempertahankan preload yang optimal tetap harus dilakukan.
Penurunan curah jantung pasca bolus cairan menunjukkan bahwa volume loading harus
dihentikan. Upaya menurunkan afterload terindikasi pada keadaan gagal jantung
dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik yang berlebihan. Untuk tujuan ini
dapat digunakan vasodilator. Diuretik digunakan pada kasus dengan tanda kongestif
paru maupun sistemik. Untuk tujuan ini dapat digunakan loop diuretic, atau kombinasi
dengan bumetanid, tiazid atau metolazon. Berbagai kondisi yang memperburuk fungsi
kontraktilitas miokardium harus segera diatasi, seperti hipoksemia, hipoglikemia, dan
asidosis. Untuk memperbaiki fungsi kontraktilitas ini, selanjutnya dapat digunakan obat
inotropik (seperti dopamin, dobutamin, adrenalin, amrinon, milrinon). Untuk mencapai
fungsi kardiovaskular yang optimal, dengan pengaturan preload, penggunaan obat
inotropik dan vasodilator (seperti sodium nitroprusid, nitrogliserin), dibutuhkan
pemantauan tekanan darah, curah jantung, dan resistensi vaskular sistemik.
SYOK DISTRIBUTIF DAN SYOK SEPTIK Tata laksana syok distributif adalah
pengisian volume intravaskular dan mengatasi penyebab primernya. Syok septik
merupakan suatu keadaan khusus dengan patofisiologi yang kompleks. Pada syok
septik, warm shock, suatu syok distributif, terjadi pada fase awal. Penggunaan
stimulator alfa (seperti noradrenalin) dilaporkan tidak banyak memperbaiki keadaan,
bahkan menurunkan produksi urin dan mengakibatkan asidosis laktat. Pada fase lanjut,
terjadi penurunan curah jantung dan peningkatan resistensi vaskular sistemik akibat
hipoksemia dan asidosis. Karena itu tata laksana syok septik lanjut mengikuti kaidah
syok kardiogenik. Sekalipun masih kontroversial, steroid terkadang digunakan pada
syok septik yang resisten terhadap katekolamin dengan risiko insufisiensi adrenal.
KEGAWATDARURATAN PENYAKIT DALAM
(1) HIPERGLIKEMIA
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada Diabetes
Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi
serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik.Krisis
hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status
hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua
keadaan tersebut. KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat
pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperosmolalitas
berat dengan kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD.
A. Ketoasidosis Diabetik
KAD merupakan keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai dengan tria KAD
yaitu hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut atau relatif.
Dari data di AS, menunjukkan bahwa insiden KAD sebesar 8 per 1000 penderita DM
per tahun. Dengan angka kematian pada sarana yang lengkap berkisar antara 9-10%,
sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjutangka kematianny
amencapai 25-50%.
Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD :
 Infeksi
 infark miokard
 pankreatitis akut
 obat-obatan steroid
 menghentikan atau mengurangi penggunaan insulin
KAD merupakan suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif
dan peningkatan hormon kontra regulator (seperti glukagon, katekolamin, kortisol), yg
menyebabkan produksi glukosa hati meningkat namun utilisasi glukosa oleh sel rendah
--> hiperglikemia.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra-regulator akan
mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak sehingga lipolisis meningkat
dan terjadi peningkatan produksi badan keton dan asam lemak. Akumulasi badan keton
oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis
Gejala Klinis
 Gejala diabetes melitus (poliuri, polidipsi, polifagi)
 pernapasan kussmaul (cepat dan dalam)
 dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering, hipotensi)
 mual muntah, nyeri perut
 penurunan kesadaran
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti, terutama memperhatikan
patensi jalan napas, status mental, status kardiovaskular, dan status hidrasi.
Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan kadar glukosa darah, pemeriksaan urin utk
melihat keton, nitrat, dan leukosit urin, pemeriksaan kadar HCO3, anion gap, dan pH
darah
Kriteria diagnosis KAD
 Kadar glukosa >250 mg/dl
 pH <7.35
 HCO3 rendah, <15mEq/L
 Anion gap tinggi
 Keton serum +

Tatalaksana
1. Terapi cairan
NaCl 0.9% diberikan sebanyak 15–20 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pada
jam pertama ( 1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa). Pilihan berikutnya untuk
mengganti cairan tergantung pada status hidrasi, kadar elektrolit darah, dan
banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam
jika sodium serum meningkat atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah
yang sama jika Na serum rendah.
2. Koreksi elektrolit
Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar
dalam darah dibawah 5.5 mEq/l, dengan catatan output urin cukup. Biasanya, 20–
30 mEq kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk
mempertahankan konsentrasi kalium serum antara 4–5 mEq/l
3. Koreksi asam basa
Pemberian sodium bikarbonat
4. Terapi insulin
Pada pasien dewasa, jika tidak ada hipokalemia ( K+< 3.3 mEq/l, maka pemberian
insulin intravena secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg bb, diikuti pemberian
insulin reguler secara infus intravena yang kontinu dengan dosis 0.1 unit/kg/h ( 5–7
unit/jam pada orang dewasa).
5. Atasi faktor pencetus
B. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik
HHNK merupakan koplikais emergensi DM. HHNk ditandai oleh hiperglikemia,
hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya
berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari-minggu).
Data di Amerika menunjukkan bahwa insiden HHNK sebesar 17.5 per 100.000
penduduk. Dengan angka mortalitas mencapai 10-20%.

Faktor pencetus :
HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit
penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat
dibagi menjadi 6 kategori :
 Infeksi seperti infark miokard, pankreatitis, dll
 Pengobatan
 Noncompliance
 DM tidak terdiagnosis
 Penyalahgunaan obat
 Penyakit penyerta

Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa diatas ambang batas
tertentu. Namun, dengan penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan
LFG yg menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hiperglikemia --> glikosuria. Glukosa
bersifat menarik air, sehingga dgn adanay glikosuria maka cairan yang keluar akan
lebih banyak.
Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah,
terutama jika terdapat resistensi insulin.
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak
dikompensasi dengan masukan cairan, maka akan timbul dehidrasi --> hipovolemia -->
hipotensi dan gangguan perfusi jaringan.
Stadium akhir dari hiperglikemi ini dapat terjadi koma dengan gangguan elektrolit dan
hipotensi

Gejala Klinis
Gajala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan sering disertai
gangguan neurologis seperti kejang karena kekurangan elektrolit.
Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap penyakit ginjal atau
kardiovaskular.
Keluhan pasien : lemah, gangguan penglihatan, kejang, mual muntah, kesadaran
menurun

Pemeriksaan labor
Kadar glukosa sangat tinggi >600mg/dl
osmolaritas serum tinggi >320mOsm/kg air (N: 290mOsm/kg air)

Tatalaksana
1. Terapi cairan
Diberikan 1L normal saline per jam. Jika pasien mengalami syok hipovolemik,
mungkin dibutuhkan plasma expander.
2. Elektrolit
Jika kadar awal kalium antara 3.3-5 mEq/L maka diberikan 220-30 mEq dalam tiap
liter cairan intravena yang diberikan.
3. Insulin
Bolus awal 0.12IU/kgBB secara intravena dan diikuti dengan drip 0.1
IU/kgBB/jam sampai kadar glukosa darah turun antara 250-300 mg/dl.
HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah <70 mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya
gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad:
§ Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
§ Kadar glukosa darah yang rendah
§ Gejala berkurang dengan pengobatan

Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terkait dengan derajat


keparahannya, yaitu :
 Hipoglikemia berat: Pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian
karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya.
 Hipoglikemia simtomatik apabila GDS <70mg/dL disertai gejala hipoglikemia.
 Hipoglikemia asimtomatik apabila GDS <70mg/dL tanpa gejala hipoglikemia.
 Hipoglikemia relatif apabila GDS >70mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
 Probable hipoglikemia apabila gejala hipogllikemia tanpa pemeriksaan GDS.
Tatalaksana
Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah terapi pilihan
pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar. Pemeriksaan glukosa darah dengan
glukometer harus dilakukan setelah 15 menit pemberian terapi.
Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa pemberian
dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan dextore 40% sebanyak 25
cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%.
Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila kadar glukosa darah
belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian dextrose 20%.
Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1-2 jam kalau masih terjadi
hipoglikemia berulang pemberian Dekstrose 20% dapat diulang.

Steroid
Hidrokortison injeksi 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV
bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam.

KERACUNAN ORGANOFOSFAT
Pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat antara lain :
Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl, Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton,
Ethion, Palathion, Malathion, Parathion, Diazinon dan Chlorpyrifos.
Komposisi organofosfat diabsorpsi sangat baik melalui paru-paru, saluran cerna, kulit,
membran mukosa, dan konjunctiva melalui kontak inhalasi, tertelan, atau kontak
tipikal.
Organofosfat bekerja sebagai kolinesterase inhibitor. Kolinesterase merupakan enzim
yang bertanggung jawab terhadap metabolisme asetilkolin (ACh) pada sinaps setelah
ACh dilepaskan oleh neuron presinaptik. Adanya inhibisi kolinesterase akan
menyebabkan ACh tertimbun di sinaps sehingga terjadi stimulasi yang terus menerus
pada reseptor post sinaptik.
Inhibisi kolinesterase pada ganglion simpatis akan meningkatkan rangsangan simpatis
dengan manifestasi klinis midriasis, hipertensi dan takikardia. Inhibisi kolinesterase
pada ganglion parasimpatis akan menghasilkan peningkatan rangsangan saraf
parasimpatis dengan manifestasi klinis miosis, hipersalivasi dan bradikardi.
Aktivitas muskarinik yang berlebihan menimbulkan gejala DUMBBLES (defecation,
urination, miosis, bronchospasm, emesis, lacrimation, salivation)
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau 12 jam
kontak.
Adapun gejala keracunan pestisida golongan organofosfat adalah sebagai berikut :

 Gejala awal
Gejala awal akan timbul : mual / rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas, sakit
kepala dan gangguan penglihatan.
 Gejala Lanjutan
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang
berlebihan,pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui
hidung), kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang berlebihan,
kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.
 Gejala Sentral
Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah sukar bicara, kebingungan, hilangnya
reflek, kejang dan koma.
 Kematian
Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian
dikarenakankelumpuhan otot pernafasan.

Tatlaksana
 Dekontaminasi kulit
Cuci bagian kulit yang terkena dengan air mengalir dan sabun selama 10
menit.
 Dekontaminasi gastrointestinal

 Antidotum
Sulfas atropin 1-2 mg IV ulang 10-15 menit, max 50 mg/hari
KRISIS HIPERTENSI
Merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi
dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target.
Krisis hipertensi meliputi 2 kelompok :
1. Hipertensi darurat (Emergency hypertension)
Tekanan darah yang sangat tinggi dan terdapat kelainan atau kerusakan organ
target yang bersif progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera untuk
membatasi kerusakan organ target
2. Hipertensi mendesak (Urgency hypertension)
Tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak disertai dengan kerusakan organ
target.

Gejala organ target yang terganggu diantaranya nyeri dada dan sesak napas pada
gangguan jantung dan diseksi aorta, mata kabur pada edema papila mata, sakit kepala
hebat dan gangguan kesadaran pada gangguan otak, gagal ginjal akut pada gangguan
ginjal. Pada pemeriksaan labor bisa didapatkan proteinuria, hematuria, ureum dan
kreatinin meningkat, jika terjadi gangguan ginjal

Tatalaksana
Kegawatdaruratan pada Anak
1. Syok
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sistim sirkulasi dengan akibat
ketidakcukupan pasokan oksigen dan substrat metabolic lain ke jaringan serta
kegagalan pembuangan sisa metabolisme. Berdasarkan komponen sistim sirkulasi,
terdapat 3 jenis syok yaitu syok hipovolemik, kardiogenik dan distributif.
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan syok yang paling sering dijumpai pada anak, terjadi
akibat kehilangan cairan tubuh yang berlebihan. Penyebab tersering syok hipovolemik
pada anak adalah muntah, diare, glikosuria, kebocoran plasma (misalnya pada demam
berdarah dengue), sepsis, trauma, luka bakar, perdarahan saluran cerna, perdarahan
intrakranial. Akibat kehilangan cairan, terjadi penurunan preload. Sesuai dengan hukum
Starling, penurunan preload ini akan berakibat pada penurunan isi sekuncup,
selanjutnya penurunan curah jantung. Baro receptor akan merangsang syaraf simpatik
untuk meningkatkan denyut jantung dan vasokonstriksi untuk mempertahankan curah
jantung dan tekanan darah. Syok hipovolemik yang lama dapat mengakibatkan
gangguan fungsi organ-organ. Dalam keadaan normal, Ginjal menerima 25 persen
curah jantung. Pada syok hipovolemik akan terjadi redistribusi aliran darah dari korteks
ke medula Bila keadaan ini berlangsung lama akan terjadi tubular nekrosis akut serta
gangguan glomerulus dengan akibat gagal ginjal akut. Depresi miokardium juga sering
terjadi, sementara hipotensi yang lama dapat pula menyebabkan gangguan hati.
Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi akibat kegagalan pompa jantung, yang dapat diakibatkan
akibat preload, afterload atau kontraktilitas miokardium. Curah jantung juga
menurun pada disritmia. Gangguan preload dapat terjadi akibat pneumotoraks,
efusi perikardium, hemoperikardium atau penumoperikardium. Gangguan afterload
dapat terjadi akibat kelainan obstruktif congenital, emboli, peningkatan resistensi
vaskular sistemik (misalnya pada pheochromocytoma). Gangguan kontraktilitas
miokardium dapat diakibatkan infeksi virus, gangguan metabolik seperti asidosis,
hipoglikemia, hipokalsemia, penyakit kolagen dll. Disritmia, misalnya blok
arterioventrikular atau paroxysmal atrial takikardia dapat mengakibatkan syok
kardiogenik. Respon neurohumoral seperti terjadi pada syok hipovolemik juga terjadi
pada syok kardiogenik. Peningkatan resistensi vaskular sistemik akan meningkatkan
afterloadyang lebih lanjut akan berakibat penurunan curah jantung.
Syok Distributif
Syok distributif terjadi akibat berbagai sebab seperti blok syaraf otonom pada
anesthesia (syok neurogenik), anafilaksis dan sepsis. Penurunan resistensi
vaskular sistemik secara mendadak akan berakibat penumpukan darah dalam
pembuluh darah perifer dan penurunan tekanan vena sentral. Pada syok septik,
keadaan ini diperberat dengan adanya peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
volume intravaskular berkurang.
Dasar Diagnosis :
Anamnesis:

 Kejadian akut atau tiba-tiba

 Trauma

 Perdarahan

 Riwayat penyakit jantung bawaan atau penyakit jantung rematik

 Riwayat diare

 Beberapa penyakit yang disertai demam

 KLB Demam Berdarah Dengue

 Demam

 Apakah bisa makan/minum

Pemeriksaan fisik:

 Kesadaran

 Kemungkinan perdarahan

 Vena leher (vena jugularis)

 Pembesaran hati

 Petekie

 Purpura

Pemeriksaan Penunjang :

 Tes darah

 Foto Rontgen

 Elektrokardiografi

 Endoskopi

 CT scan
 MRI

Tatalaksana Awal
Sasaran Klinis
Pasien harus diresusitasi sampai status mental normal, kualitas nadi normal baik
proksimal maupun distal, suhu sentral dan perifer sama, capillary refill < 2 detik, dan
jumlah urin > 1 mL/kg/jam.
Syok Hipovolemik
Pemberian cairan kristaloid 10 ml/kg secara bolus dapat dilakukan sambil menilai
respon tubuh. Pada syok hipovolemik, maka peningkatan volume intravaskular
akan meningkatkan isi sekuncup disertai penurunan frekuensi jantung. Pada kasus
yang berat, pemberian ini dapat diulangi 10 ml/kg sambil menilai respon tubuh.
Pada umumnya anak dengan syok hipovolemik mempunyai nilai CVP kurang dari 5
mm Hg. Pemberian cairan harus diteruskan hingga mencapai normovolemik.
Kebutuhan cairan untuk mengisi ruang intravaskular umumnya dapat dikurangi
bila digunakan cairan koloid.
Syok Kardiogenik
Curah jantung merupakan fungsi isi sekuncup dan frekuensi. Bayi mempunyai
ventrikel yang relatif noncompliantdengan kemampuan meningkatkan isi sekuncup
amat terbatas. Karena itu curah jantung bayi amat bergantung pada frekuensi. Syok
kardiogenik pada penyakit jantung bawaan tidak dibahas di sini.Isi sekuncup
dipengaruhi oleh preload, afterloaddan kontraktilitas miokardium. Sesuai dengan
hukum Starling, peningkatan preloadakan berkorelasi positif terhadap curah
jantung hingga tercapai plateau. Karena itu, sekalipun pada gangguan fungsi
jantung, mempertahankan preload yang optimal tetap harus dilakukan. Penurunan
curah jantung pasca bolus cairan menunjukan bahwa volume loading harus
dihentikan. Upaya menurunkan afterload terindikasi pada keadaan gagal jantung
dengan peningkatan systemic vascular resistanceyang berlebihan. Untuk tujuan ini
dapat digunakan vasodilator. Diuretik digunakan pada kasus dengan tanda kongestif
paru maupun sistemik. Untuk tujuan ini dapat digunakan loop diuretic, atau
kombinasi dengan bumetanide, thiazide atau metolazone.
Berbagai kondisi yang memperburuk fungsi kontraktilitas miokardium harus
segera diatasi, seperti hipoksemia, hipoglikemia dan asidosis. Untuk memperbaiki
fungsi kontraktilitas ini, selanjutnya, dapat digunakan obat inotropik (contoh:
dopamine, dobutamin, adrenalin, amrinone, milrinone). Untuk mencapai fungsi
kardiovaskular yang optimal, dengan pengaturan preload, penggunaan obat inotropik
dan vasodilator (contoh: sodium nitropruside, nitrogliserine), dibutuhkan pemantauan
tenanan darah, curah jantung dan systemic vascular resistance.
Dopamin dan dobutaminDopamin dan dobutamin merupakan obat inotropik yang
diberikan secara parenteral. Kedua obat di atas mempunyai awitan kerja yang cepat
dan lama kerja yang singkat sehingga lebih disukai dibanding digoksin untuk
menangani gagal jantung akut dan berat apalagi jika disertai gangguan fungsi
ginjal.Dopamin maupun dobutamin bersifat simpatomimetik sehingga meningkatkan
curah jantung, tekanan darah, dan denyut jantung. Dopamin mempunyai efek
vasodilatasi renal yang bermanfaat untuk mempertahankan fungsi ginjal pada penderita
gagal jantung. Pada dosis tinggi, dopamin dapat menimbulkan takikardia dan bahkan
vasokonstriksi. Efek vasodilatasi renal tidak dimiliki oleh dobutamin namun dobutamin
relatif tidak menimbulkan takikardia seperti dopamin. Atas dasar ini penggunaan
gabungan dobutamin dan dopamin dosis rendah memberi hasil yang cukup baik.
Dobutamin juga dapat meningkatkan aliran darah koroner. Dosis dopamin (IV drip)
biasanya 5-10 mg/kgBB/menit. Pada dosis 2-5 mg/kgBB/menit, dopamin menimbulkan
vasodilatasi ginjal, pada dosis 5-8 mg/kgBB/menit bersifat inotropik, pada dosis >8
mg/kgBB/menit dapat menyebabkan takikardia, pada dosis >10 mg/kgBB/menit
menyebabkan vasokonstriksi ringan, dan pada dosis 15-20 mg/kgBB/menit
menyebabkan vasokonstriksi. Dosis dobutamin (IV drip) yang direkomendasikan
adalah 5-8 mg/kgBB/menit.
Syok Distributif dan Syok Septik
Tatalaksana syok distributif adalah pengisian volume intravaskular dan
mengatasi penyebab primernya. Syok septik merupakan suatu keadaan khusus
dengan patofisiologi yang kompleks. Pada syok septik, ‘warm syok’, suatu syok
distributif, terjadi pada fase awal. Penggunaan stimulator alpha (contoh
noradrenalin) dilaporkan tidak banyak memperbaiki keadaan, malahan
menurunkan produksi urine dan mengakibatkan asidosis laktat. Pada fase lanjut terjadi
penurunan curah jantung dan peningkatan systemic vascular resistanceakibat
hipoksemia dan acidosis. Karena itu tatalaksana syok septik lanjut, mengikuti
kaidah syok kardiogenik. Sekalipun masih kontroversi, steroid terkadang
digunakan pada syok septik yang resisten terhadap katekolamin dengan risiko
insufisiensi adrenal.
Komplikasi dan Prognosis
Syok dapat menyebabkan komplikasi bahkan kematian. Beberapa kondisi yang dapat
muncul akibat syok adalah:

 Gangguan ginjal

 Henti jantung

 Aritmia

 Gangguan pada otak

Prognosis syok kardiogenik ditentukan oleh kelainan dasar yang mendasari


timbulnya syok kardiogenik. Jika disebabkan oleh penyakit jantung bawaan
umumnya memerlukan tindakan bedah. Pada kondisi yang disebabkan oleh
penyakit jantung bawaan kompleks seperti hypoplastic left heart syndrome ,
prognosis tidak bagus.
Pencegahan Syok
Untuk mencegah terjadinya syok, penyakit tertentu perlu segera ditangani, misalnya
penyakit jantung, diare, atau perdarahan hebat.
Penderita alergi yang pernah mengalami syok anafilaktik, perlu menghindari hal-hal
yang dapat memicu alergi, misalnya makanan atau minuman tertentu. Penderita juga
dianjurkan untuk selalu membawa epinephrine dalam bentuk autoinjector (berbentuk
seperti pen), sebagai pertolongan pertama saat terpapar alergen yang dapat
menimbulkan syok anafilaktik. Konsultasikan dengan dokter sebelum menggunakan
obat tersebut.
Status Epileptikus pada Anak
Definisi
SE merupakan kejang yang berlangsung terus atau berulang tanpa pulihnya kesadaran
selama 30 menit atau lebih. SE berdasarkan semiologi dibagi atas: SE konvulsivus
(parsial / fokal motorik dan tonik-klonik umum) dan SE bukan konvulsivus (absens dan
parsial kompleks). SE konvulsivus terdiri atas kejang tonik atau klonik yang
berlangsung terus, mungkin asimetri, subtle, atau gerakan bilateral yang kadangkala
asimetri. Umumnya kejang akan berlangsung sebentar dan berhenti sendiri. Oleh
karena itu definisi operasional yang digunakan untuk pengobatan kejang adalah kejang
yang berlangsung lebih dari 5 menit atau kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran.
Klasifikasi
Setiap tipe kejang yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi SE. Klasifikasi
SE ditegakkan bardasarkan observasi klinis dan gambaran elektroensefalografi bila
memungkinkan. Untuk tatalaksana pasien, yang terpenting adalah membedakan apakah
status pasien konvulsivus atau bukan. Klasifikasi ini menentukan tata laksana dan
intervensi selanjutnya. Klasifikasi SE dapat dibagi atas konvulsivus dan bukan
konvulsivus. Klasifikasi SE konvulsivus terbagi atas parsial dan umum. Pembagian
klasifikasi SE konvulsivus dapat dilihat dalam Tabel 2. di bawah ini.

Pemeriksaan penunjang :
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang ditujukan selain untuk mencari
etiologi kejang, juga untuk mencari komplikasi akibat kejang yang lama. Jenis
pemeriksaan laboratorium ditentukan sesuai kebutuhan.
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama kali adalah kadar
glukosa darah, elektrolit, hitung jenis, dan protrombin time. Beberapa peneliti lain
menganjurkan standar pemeriksaan laboratorium yaitu darah tepi lengkap, elektrolit
serum, glukosa, ureum, kreatinin, kalsium, dan magnesium.
b. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang disertai penurunan
status kesadaran / mental, perdarahan kulit, kuduk kaku, kejang lama, gejala infeksi,
paresis, peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya faktor pencetus yang jelas.
Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam untuk memastikan adanya
infeksi SSP. Bila didapatkan kelainan neurologis fokal dan adanya peningkatan tekanan
intrakranial, dianjurkan memeriksakan CT scan kepala terlebih dahulu, untuk mencegah
terjadinya risiko herniasi.12 Menurut rekomendasi American Academy of Pediatrics,
pungsi lumbal sangat dianjurkan pada serangan pertama kejang disertai demam pada
anak usia di bawah 12 bulan, karena meningitis pada kelompok usia ini dapat
menunjukkan gejala klinis yang minimal atau bahkan tidak ada. Pada anak usia 12 – 18
bulan lumbal pungsi dianjurkan, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan lumbal pungsi
dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi intrakranial (meningitis).
c. Neuroimaging
Pemeriksaan CT scan kepala dilakukan pada anak dengan kecurigaan trauma kepala,
infeksi susunan saraf pusat, tumor, perdarahan intrakranial pada kelainan pembekuan
darah (APCD – aquired prothrombine complex deficiency). MRI dilakukan bila
kelainannya mengenai batang otak, atau dicurigai adanya adanya tumor otak atau
gangguan mielinisasi.
d. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) segera setelah kejang dalam 24 – 48 jam, atau
sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan.
Beratnya kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya manifestasi klinis.
Gambaran EEG akan memperlihatkan gelombang iktal epileptiform. Normal atau
kelainan ringan pada EEG merupakan indikasi baik terhadap kemungkinan bebasnya
kejang setelah obat antiepilepsi dihentikan.
Tatalaksana
SE konvulsivus pada anak adalah kegawatan yang mengancam jiwa dengan risiko
terjadinya gejala sisa neurologis. Risiko ini tergantung dari penyebab dan lamanya
kejang berlangsung. Makin lama kejang berlangsung, makin sulit untuk
menghentikannya. Oleh karenanya, tata laksana kejang toni-klonik umum lebih dari 5
menit, adalah menghentikan kejang dan mencegah terjadinya status epileptikus.
Penghentian kejang dibagi berdasarkan waktu: 0 – 5 menit, 5 – 10 menit, 10 – 30 menit
dan > 30 menit. Pembagian ini untuk membedakan tindakan yang dilakukan, pemberian
obat-obatan dan menilai apakah pasien sudah masuk kedalam SE atau bahkan sudah
menjadi SE refrakter.

Penghentian kejang
Pembagian waktu penghentian kejang dapat dilihat di bawah ini:
0-5 menit :
• Longgarkan pakaian pasien, dan miringkan. Letakkan kepala lebih rendah dari
tungkai untuk mencegah aspirasi bila pasien muntah
• Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik, berikan oksigen bila ada.
• Pada saat di rumah dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kg (berat badan < 10 kg =
5 mg; sedangkan bila berat badan > 10 kg =10 mg) dosis maksimal adalah 10 mg /
dosis.
• Maksimal dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit
• Bila keadaan pasien stabil, pasien dibawa ke rumah sakit terdekat.
5-10 menit
• Bila saat tiba di rumah sakit pasien kejang kembali. Dapat diberikan diazepam rektal
1 kali dengan dosis yang sama.
• Lakukan pemasangan akses intravena. Pengambilan darah untuk pemeriksaan : darah
rutin, glukosa, dan elektrolit
• Bila masih kejang berikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgbb secara intravena (kecepatan 5
mg/menit),
• Jika didapatkan hipogikemi, berikan glukosa 25% 2 mL/kg berat badan
10 – 30 menit
• Cenderung menjadi status konvulsifus
• Berikan fenitoin 20 mg/kg intravena dengan pengenceran setiap 10 mg fenitoin
diencerkan dengan 1 mL NaCl 0,9 % dan diberikan dengan kecepatan 50 mg/menit.
Dosis maksimal adalah 1000 mg fenitoin.
• Bila kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20 mg/kg intravena bolus perlahan–
lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dosis maksimal yang diberikan adalah 1000 mg
fenobarbital.
> 30 menit
• Bila kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan timbul kejang
kembali diberikan fenitoin tambahan dengan dosis 10 mg/kg intravena dengan
pengenceran. Dosis rumatan fenitoin selanjutnya adalah 5 – 7 mg/kg intravena dengan
penegnceran diberikan 12 jam kemudian.
• Bila kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul kejang
kembali diberikan fenobarbital tambahan dengan dosis 10 mg/kg intravena secara bolus
langsung. Dosis rumatan fenobarbital adalah 5 – 7 mg/kg intravena diberikan 12 jam
kemudian
• Bila kejang berhenti dengan midazolam, maka rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap
diberikan.
• Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan kebutuhan seperti analisis gas darah,
elektrolit, gula darah. Dilakukan koreksi terhadap kelainan yang ada dan awasi tanda-
tanda depresi pernapasan.
Prognosis
Prognosis pasien dengan SE tergantung dari etiologi, usia, lamanya kejang.dan
tatalaksana kejang teratasi. Tata laksana penyebab kejang memegang peranan penting
dalam mencegah kejang berulang setelah kejang teratasi. Kemungkinan teratasinya SE
konvulsivus dapat menjadi SE bukan konvulsivus. Gejala sisa yang sering terjadi pada
SE konvulsivus adalah gangguan intelektual, deficit neurologi atau epilepsi. Angka
kematian berkisar 16 – 32 %
Kegawatdaruratan Dermatho
Defenisi Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksis (NET) ialah
reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis luas,
disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Makula eritem, terutama pada
badan dan tungkai atas, berkembang progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat
pengelupasan epidermis. Karena kesamaan dalam temuan klinis dan histopatologis,
etiologi obat, dan mekanisme terjadinya penyakit, SSJ dan NET mewakili keparahan
varian dari proses identik yang berbeda hanya dalam persentasi luas permukaan tubuh
yang terlibat, maka kedua penyakit dikelompokkan sebagai nekrolisis epidermal
(NE)..1 Pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh dokter anak A.M. Stevens dan
F.C. Johnson setelah mendiagnosa seorang anak dengan keterlibatan okular dan oral
akibat reaksi obat. Hampir seluruh obat-obatan dapat menyebabkan SSJ, seperti
ibuprofen. Pada umumnya obat tersebut adalah obat anti konvulsan, antibiotik (seperti
sulfa, penicillin dan sefalosporin), dan antiinflamasi.1,2,3 Baik SSJ maupun NET
ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa. Karena kemiripan penemuan
klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta mekanisme, SJS dan NET ini dianggap
variasi dan kontinu penyakit yang dibedakan dengan melihat tingkat keparahan serta
persentase permukaan tubuh yang terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan
menggunakan istilah eritema multiforme mayor untuk SSJ dan NET.3  SJS
menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana pelepasan kulit < 10% dari
permukaan tubuh  NET melibatkan perluasan > 30% dari luas permukaan tubuh
Universitas Sumatera Utara 2  SJS/NET menampilkan pasien dengan perluasan kulit
10-30% dari luas permukaan
Etiologi dan Faktor Resiko Etiologi Etiologi SSJ/NET masih belum diketahui secara
pasti, namun sekarang diketahui obat-obatan adalah etiologi utama yang dapat terjadi
pada orang dewasa atau anak-anak. Terdapat lebih dari 100 obat yang dikenal sebagai
penyebab SSJ/NET. Sebuah penelitian case control mengevaluasi resiko SSJ dan NET
yang berhubungan dengan pengobatan. Antibiotik sulfonamide (khususnya
sulfametoksazol kombinasi dengan trimetoprim), karbamazepin, fenitoin, fenobarbital,
obat-obat antiinflamasi nonsteroid tipe oksikam, allopurinol, klormezanon,
aminopenisillin, sefalosporin,lamotrigin,Nevirapin, kuinolon, dan antibiotik siklik
dihubungkan dengan resiko relatif tertinggi. 1,2,5,14 Tabel 3. Obat-obatan yang dapat
beresiko menyebabkan SSJ dan NET
Patofisiologi & Patogenesis Patogenesis NE belum diketahui secara jelas. Penerapan
teknik farmakogenomik dan biologi molekular pada studi sebelumnya lebih lanjut
mengungkapkan bahwa disposisi genetik sebagaimana mediator imun adalah hal yang
penting dalam perkembangan SSJ dan NET. Walaupun interaksi Fas-FasL sudah
dipertimbangkan sebagai efektor utama yang menyebabkan apoptosis keratinosit. 7
Terdapat beberapa penelitian yang menduga terjadinya reaksi sitotoksik yang
diperantarai sel melawan keratinosit dan menyebabkan apoptosis yang masif. Reaksi ini
dicetuskan sel T CD4+ dan CD 8+ yang menghasilkan mediator sitotoksik yang
berakibat apoptosis keratinosit. Penelitian imunopatologis dijumpai adanya CD8+ killer
lymphocytes (sel NK) pada epidermis dan CD4+ pada dermis pada reaksi bulosa yang
berat, dijumpai sel CD8+ pada epidermis. Jumlah sel CD4+ ini dijumpai meninggi pada
darah perifer penderita SSJ ataupun NET. Sel sitotoksik CD8+ mengekspresikan
reseptor α, ᵦ yang dapat membunuh melalui perforin dan granzyme B, tidak melalui Fas
atau Trail. Jadi ikatan obat dan protein akan diproses, kemudian akan dipresentasikan
oleh sel penyaji antigen (APC) ke sel naive yang akan menghasilkan reaksi toleran atau
reaksi efektor seperti gejala hipersensitivitas. Ekspansi dari CD8+ ini spesifik terhadap
obat, MHC (major histocompatibility complex - restricted cytotoxic reactions) melawan
keratinosit.5,7 Sekarang telah diterima dengan baik bahwa ekspansi oligoklonal CD 8+
bereaksi terhadap obatobatan tertentu, memiliki kecocokan mayor dengan jaringan
sitotoksik yang rumit dan terbatas berlawanan dengan keratinosit. Selanjutnya, regulasi
CD4+ CD 25+ sel T telah menunjukkan pentingnya pencegahan kerusakan epidermal
hebat yang diinduksi limfosit T sitotoksik reaktif. Sitokin penting seperti IL-6, Tumor
Necrosis Factor-α (TNF-α), dan Fas ligand (Fas-L) juga ada pada lesi kulit
SSJ/NET..1,2,5,7 Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih kontroversial. Fas
dikatakan menyebabkan kematian sel melalui ikatannya. Tampaknya makin jelas saat
ini bahwa peningkatan level FasL dapat ditemukan pada serum pasien dengan SSJ dan
NET, dan levelnya meningkat secara konsisten ketika sebelumnya terdapat pelepasan
kulit.1,7 Viard et al. mengatakan bahwa aktivasi Fas menyebabkan apoptosis
keratinosit. Ketika limfosit T sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi aktivasi
kaskade enzim intraseluler yang disebut kaspase yang kemudian menyebabkan
kematian sel. Limfosit T sitotoksik dapat menginduksi kaskade kaspase melalui
perforin/granzyme atau jalur Fas-Fas-L. Fas-L akan menginduksi perubahan pada Fas
yang menyebabkan pengambilan FADD (Fassociated Death Domain Protein). FADD
merupakan molekul yang melekat pada Fas dan prokaspase 8, yang fungsinya
membawa bersama-sama cetakan-cetakan prokaspase 8. Cetakan ini kemudian
mengalami 8 autoaktivasi membentuk kaspase 8 yang selanjutnya mengaktifkan
kaskade kaspase yang berujung pada apoptosis keratinosit.1,2,7 Jalur lainnya yaitu
melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali, sel T sitotoksik mengeluarkan
perforin yang akan membuat saluran 16 nm pada membran sel target. Kemudian
granzyme B melewati saluran ini dan mengaktifkan kaskade kaspase.
Obat-obatan dapat mengaktifkan sel T dengan bertindak sebagai hapten, prohapten atau
dengan interkasi farmakologi langsung antar obat, molekul MHC dan reseptor sel T.7
Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa alel Human Leukocyte Antigen (HLA-
B*1502) berhubungan kuat pada subyek etnik Cina/Asia dengan SSJ dan NET yang
diinduksi karbamazepin tetapi tidak dengan erupsi eksantematosa diinduksi
karbamazepin atau sindroma hipersensitivitas obat (juga dikenal sebagai reaksi obat
dengan eosinofilia dan gejala sistemik atau DRESS). Satu dari laporan pertama
menunjukkan bahwa HLA-B*1502 dijumpai pada 100% pasien SSJ yang diinduksi
karbamazepin tetapi hanya sebesar 3% dari pasien yang mentoleransi karbamazepin
dan pada 9% populasi umum. HLA-B*1502 terjadi pada 10-15% individu dari Cina
selatan, Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina, Taiwan, dan mempunyai angka
prevalensi 2-4% lebih tinggi di kelompok Asia selatan lainnya termasuk India

Kasus Emergensi Neurologi


1. Jaringan otak : jaringan dengan tingkat metabolisme tinggi, butuh aliran darah
yang adekuat dan substrat energi optimal
2. Banyak area otak yang rentan hipoksia dan hipoglikemia
3. Fungsi sel otak sangat tergantung pada ketersediaan O 2 & energi (glukosa) yang
kontinyu
4. Tidak ada cadangan O2 dan sumber energi di otak
5. Sedikit saja gangguan akan menimbulkan gangguan fungsi

A. PERUBAHAN STATUS MENTAL DAN KOMA


Istilah "koma" secara luas digunakan untuk merujuk pada perubahan kesadaran.
Kesadaran penuh membutuhkan integrasi dari keinginan dan kognisi
Sistem pengaktif retikuler asenden (ARAS), yang terletak di pons, terutama
bertanggung jawab untuk membangkitkan korteks serebral.
Gangguan kognisi disebabkan oleh disfungsi total atau hampir total kedua belahan otak
korteks serebral.
ETIOLOGI
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Pasien biasanya tidak dapat memberikan keterangan yang dapat diandalkan.
b. Kapan, dan dalam kondisi apa, pasien kehilangan kesadaran? Kapan
terakhir kali pasien diamati dalam keadaan kesehatannya yang biasa?
Kelaianan Vaskular sering berkembang selama detik atau menit. Beberapa
proses metabolisme berkembang selama beberapa menit hingga berjam-
jam, sementara gangguan metabolisme dan infeksi lainnya berkembang dari
jam ke hari. Tumor SSP, abses, atau hematoma subdural kronis dapat
terjadi mengakibatkan gejala berkembang dari hari ke minggu.
c. Adakah gejala atau kejadian sebelumnya? Keadaan kebingungan
sebelumnya, tanpa gejala neurologis fokal, biasanya menunjukkan etiologi
metabolik.
d. Apa obat dan alergi pasien?
e. Apakah ada riwayat narkoba atau alkohol penyalahgunaan?
f. Bagaimana riwayat medis pasien?
g. Pernahkah ada episode serupa sebelumnya?
2. Pemeriksaan fisik
a. Suhu dubur sangat penting pada pasien dengan perubahan status mental.
Hipotermia, hipoglikemia, sepsis, Wernicke atau ensefalopati hati, atau
miksedema. Hipertermia mungkin karena stroke panas, kejang, hipertermia
ganas, keracunan antikolinergik, perdarahan pontine, sepsis atau karena
tiroid.
b. TD dan nadi bervariasi tergantung penyebab
c. Laju pernapasan dan karakter dapat bervariasi tetapi hanya sesekali
membantu dalam menentukan patologi yang bertanggung jawab atas
perubahan kesadaran pasien. Beberapa pola pernapasan yang umum
dijelaskan adalah:
i. hiperventilasi — menghasilkan mengurangi pCO2 — terkait dengan
hipoksia, asidosis metabolik, herniasi batang otak, overdosis salisilat,
dan ensefalopati heptik;
ii. hipoventilasi — dengan depresan SSP, uremia, koma diabetes, dan
peningkatan ICP;
iii. pernapasan ataksik — tidak teratur tingkat dan kedalaman inspirasi dan
kedaluwarsa — sering mendahului henti napas;
iv. Cheyne-Stokes — tingkat pernapasan dan kedalaman pernapasan
crescendo-decrescendo, secara bergantian dengan periode apnea; dan
v. pernapasan apneustik — bradypnea dengan jeda di akhir inspirasi
d. Imobilisasi C-spine harus dipertahankan pada setiap pasien dengan dugaan
trauma, dan pasien yang berisiko mengalami cedera serviks dengan
manipulasi ringan (mis., reumatoid radang sendi).
e. Pemeriksaan awal harus fokus pada stabilitas pasien. Apakah pasien
merawatnya jalan nafas? Apakah pernapasan pasien teratur dan efektif?
Apakah dia memiliki denyut nadi teraba? 90 Pengobatan Darurat 4 Apakah
ada bukti eksternal dari patologi yang mengancam jiwa yang perlu
ditangani segera (mis., pupil melebar yang menyarankan herniasi)?
f. Penampilan umum: Perhatikan postur pasien. Pasien dengan disfungsi
hemisfer umumnya berbaring dalam posisi normal. Lesi batang otak
cenderung dikaitkan dengan postur yang tidak normal. Nafas pasien
mungkin berbau aseton (pada ketoasidosis diabetik) atau alkohol.
Menanggalkan pakaian sepenuhnya, memeriksa dengan cermat, dan
meraba-raba pasien.
g. HEENT: Periksa kulit kepala apakah ada tanda-tanda trauma, bekas luka
bedah, atau pirau ventrikel. Lihatlah konjungtiva untuk icterus atau pucat.
Telinga harus diperiksa hemotympanum. Apakah ada laserasi lidah atau
trauma gigi yang menunjukkan kejang aktivitas?
h. Leher: Dengarkan bruit. Periksa rentang gerak (hanya jika tulang belakang
leher telah dibersihkan). Tidak adanya kekakuan tidak mengesampingkan
kemungkinan SAH atau meningitis. Apakah pasien memiliki bekas luka
bedah, menunjukkan tiroidektomi (dan mungkin pengangkatan kelenjar
paratiroid insidental)?
i. Dada: Palpasi untuk bukti trauma. Dengarkan suara nafas yang sama
sepanjang dada. Adakah bukti penyakit paru akut atau kronis?
j. Jantung: Apakah ada bukti syok kardiogenik (mis., Disritmia, murmur,
ekstra suara jantung)?
k. Abdomen: Palpasi untuk cairan intraperitoneal, organomegali, dan massa
pulsatil
l. Ekstremitas: Apakah pasien memiliki denyut nadi yang sama secara
bilateral? Apakah ada "tanda jejak," menunjukkan penyalahgunaan obat
intravena? Rentang semua sendi untuk mengecualikan cedera (mis.,
Posterior dislokasi bahu yang terjadi selama kejang).
m. Kulit: Pemeriksaan kulit dapat mengungkapkan bukti gagal ginjal (frost
uremik); hipertiroidisme (kulit hangat, lembab, halus); atau hipotiroidisme
(kulit kering dan sejuk dengan warna kuning).
3. Neurologis: Pemeriksaan neurologis terbatas pada tingkat kesadaran pasien,
mata, gerakan spontan, dan refleks.
a. Skala Koma Glasgow pada awalnya dirancang untuk digunakan dalam
menggambarkan secara akurat respons terbaik dari pasien yang mengalami
trauma kepala. Namun, meski begitu keterbatasannya, banyak digunakan
dalam pengaturan nontrauma juga. Skor berkisar dari 3 (terburuk) hingga
15, dengan koma didefinisikan sebagai skor <8 (kecuali pasien memiliki
spontan membuka mata)

Periksa mata saat istirahat. Pandangan diskonjugasi dapat melokalisasi lesi ke pons atau
otak kecil (vertikal, "condong" deviasi), CN VI (adduksi satu mata yang persisten), CN
III (penculikan satu mata yang persisten), atau cedera difus (konjugasi ke atas tatapan
terlihat pada ensefalopati anoksik). Perhatikan ukuran, simetri, dan reaktivitas pupil.
Murid kecil menunjukkan gangguan jalur simpatis, organofosfat keracunan, overdosis
opiat, atau lesi pontine. Diindikasikan pupil pupil kompresi CN III, overdosis
antikolinergik, atau simpatomimetik kemabukan. Murid yang ukurannya normal tetapi
tidak reaktif terlihat dengan batang otak lesi (otak tengah). Pemeriksaan kelopak mata
dapat mengungkapkan bilateral atau unilateral ptosis. Ptosis bilateral terjadi pada lesi
otak tengah (mis., Emboli arteri basilar); ptosis unilateral terlihat dengan sindrom
Horner dan CN III palsy. Luar Biasa Pergerakan dapat dinilai dengan memunculkan
refleks okulocephalic atau oculovestibular. Manuver oculocephalic (atau mata boneka)
tidak boleh dilakukan jika pasien berisiko mengalami cedera serviks; sebaliknya,
oculovestibular lebih sensitif (atau kalori air dingin) refleks harus diuji. Respons
normal (mis., Konjugasi, gerakan mata horizontal menjauh dari arah gerakan kepala,
atau ke sisi irigasi air dingin) menunjukkan batang otak yang utuh. Abnormal
tanggapan (mis., tidak ada gerakan mata atau penyimpangan mata ke bawah)
menyarankan keterlibatan batang otak atau keracunan obat penenang
Saraf kranial: Refleks kornea melibatkan anggota aferen CN V dan anggota badan CN
VII. Ada atau tidak adanya refleks muntah (CN IX dan X), meskipun penting untuk
perlindungan jalan napas, tidak memiliki nilai pelokalan. • Motorik: Amati pasien
untuk gerakan spontan. Gerakan unilateral mungkin menyarankan defisit neurologis
fokal. Satu-satunya bukti status nonconvulsive epileptikus mungkin gerakan halus.
Amati respons pasien terhadap a stimulus berbahaya. • Refleks: Hyperreflexia dan
clonus menunjukkan disfungsi hemisfer. Asimetri refleks dapat melokalisasi defisit.

DIAGNOSIS BANDING
1. Psikosis akut
2. Psikogenik tidak responsif
a. Reaksi konversi
b. Malingering

TATALAKSANA
1. Pertahankan saturasi oksigen yang memadai. Pertimbangkan intubasi untuk
perlindungan jalan napas atau pemeliharaan ventilasi yang memadai.
2. Semua pasien dengan status mental yang berubah dari etiologi yang tidak diketahui
harus menerima tiamin 100 mg IV. Pasien dengan hipoglikemia (juga
pertimbangkan pada pasien dengan samping tempat tidur normal rendah) hasil)
harus menerima 25 g dekstrosa 50% IV (dosis pediatrik: dekstrosa 25%, 0,5 g /
kg). Meskipun beberapa referensi merekomendasikan pemberian empiris nalokson
3. Flumazenil hanya diindikasikan untuk overdosis benzodiazepine akut. Penggunaan
sembarangan dapat menyebabkan kejang pada pasien dengan kokain atau toksisitas
trisiklik atau menyebabkan penarikan kejang pada pengguna benzodiazepin kronis.
4. Hipotensi harus diobati dengan cairan isotonik dan agen vasopresor, sesuai
kebutuhan. Tekanan arteri rata-rata target yang tepat adalah 90 hingga 100 mm Hg.
5. Menentukan etiologi hipertensi, hipertensi maligna, stroke iskemik, atau respons
terhadap peningkatan ICP sangat penting untuk memandu pengobatan (jika ada).
6. Tekanan intrakranial yang meningkat harus dikenali sejak dini dan dikelola dengan
head-of-bed ketinggian hingga 30 derajat (bila praktis), hiperventilasi (target CO2
30-35), manitol 0,5 g / kg (20% larutan) diinfuskan selama 5-15 menit, dan
furosemide 1 mg / kg IV. Penggunaan obat-obatan kemungkinan akan sesuai
dengan konsultasi bedah saraf.

PROGNOSIS DAN RUJUKAN


1. Pasien yang benar-benar koma perlu masuk ICU dengan konsultasi neurologis atau
bedah saraf, yang sesuai. Pasien tanpa etiologi yang jelas untuk perubahan mental
mereka status harus diterima, bahkan jika semua gejala telah diatasi
2. Pasien dengan hipoglikemia, yang tidak terkait dengan penggunaan insulin, harus
dirawat untuk evaluasi untuk menentukan penyebab episode (mis., stroke, MI,
sepsis pada lansia).
3. Meskipun rawat inap kadang direkomendasikan untuk overdosis narkotika (karena
durasi panjang aksi sebagian besar narkotika dibandingkan dengan nalokson), ini
biasanya tidak praktis. Periode pengamatan di UGD (yaitu, 4-6 jam) sudah cukup
untuk mencegah kekambuhan gejala
4. Keracunan etanol akut membutuhkan pengamatan sampai pasien dapat “berjalan
dan bicara. ”Ini memungkinkan penilaian ulang untuk penyakit atau cedera yang
menyertainya dan memastikan bahwa pasien aman untuk pergi.
5. Pasien dengan "koma" psikogenik dapat keluar setelah resolusi gejala. Konsultasi
psikiatrik diindikasikan sebelum keluar.
6. Pasien yang dipulangkan ke rumah harus melakukan tindak lanjut dengan dokter
utama dalam 24-48 jam.

B. NYERI KEPALA
Nyeri yang dirasakan di berbagai lokasi di kepala, tidak terbatas pada area distribusi
saraf apa pun.
Sakit kepala disebabkan oleh distensi, traksi, perpindahan, peradangan, spastik
pembuluh darah, pelebaran, atau kompresi struktur peka nyeri di kepala dan leher.
Struktur peka nyeri dari ruang supratentorial meneruskan nyeri melalui saraf trigeminal,
yang menginervasi kulit kepala dan wajah anterior. Struktur peka nyeri pada ruang
infratentorial meneruskan nyeri melalui saraf kranial IX, dan X, C2 dan C3. Dengan
demikian, rasa sakit yang berasal dari fossa posterior dapat dirujuk ke telinga atau
tenggorokan, atau daerah posterior kepala dan leher.
Sumber nyeri kepala intrakranial termasuk sinus kranial dan vena aferen, arteri
meningeal anterior, trigeminal (V), glossopharyngeal (IX), dan saraf vagus (X), falx
cerebr, dura di dasar tengkorak, arteri utama di pangkal otak, gray matter, batang otak
dan sensorik inti thalamus.
Otot yang sering terlibat dalam penyebab cephalgia ekstrakranial termasuk masseter,
frontalis, temporal, oksipital, trapezius, sternocleidomastoid, dan otot serviks yang
dalam. Selain itu, kulit, periosteum tengkorak, jaringan subkutan dan arteri, mata,
telinga, gigi, sinus, orofaring, dan selaput lendir hidung rongga bisa menjadi sumber
rasa sakit.
ETIOLOGI
1. Sakit kepala primer bersifat jinak, biasanya berulang, dan tidak memiliki penyebab
mendasar. (migrain, cluster, dan TTH)
2. Sakit kepala sekunder, ada gejala penyakit organik yang mendasarinya. Faktor
risiko untuk gangguan sakit kepala sekunder meliputi :
a. Merupakan sakit kepala yang sangat sakit untuk pertama kalinya
b. Onset sangat tiba-tiba
c. Mual dan muntah
d. Penyakit sistemik
e. Keluhan mata/penglihatan
f. Riwayat trauma kepala
g. Riwayat imonodefisiensi
h. Peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan
i. Onset nya > 50 tahun atau < 3 tahun
j. Kaku kuduk, tanda rangsang meningeal
k. Sakit timbul dipeangaruhi posisi

DIAGNOSIS
1. Anamnesis :
Identifikasi atau mengeluarkan patologi yang mendasari berdasarkan riwayat dan
pemeriksaan fisik. Termasuk :
a. Apakah onsetnya tiba-tiba, bertahap, atau subakut?
b. Apakah pasien terbangun dari tidur?
c. Adakah faktor pencetus atau yang memberatkan (mis., Aktivitas, stres, menstruasi /
hormonal) terapi, obat / penarikan obat, makanan, manuver batuk / Valsava, paparan
lingkungan, perubahan posisi, trauma)? (Episode migrain sering terjadi
terkonsentrasi di sekitar periode menstruasi. Paparan mengandung tyramine atau
yang mengandung amina makanan, nitrat, MSG, atau etanol dapat memicu migrain;
stres, perubahan cuaca, perubahan pola tidur, dan penarikan kafein juga merupakan
pemicu potensial. TTH seringkali berkaitan dengan stres. Alkohol dilaporkan
mengendapkan kluster. Penggunaan kokain merupakan faktor risiko perdarahan
subaraknoid (SAH))
d. Apakah ada faktor yang meringankan?
e. Apakah ada prodrome (mis., Aura atau halusinasi visual, pendengaran, atau
penciuman; mati rasa, parestesia atau kelemahan motorik; gangguan bicara)? Aura
dapat mendahului migrain sakit kepala hingga satu jam; pasien tanpa aura mungkin
memiliki gejala lain yang menunjukkan timbulnya migrain, termasuk lesu, depresi,
hiperaktif, atau keinginan makan.
f. Di mana letak nyeri (mis., Unilateral atau bilateral; okular / retro okular; paranasal;
frontal atau oksipital; di puncak; di faring atau meatus auditorius eksternal)?
g. Apakah yang karakter rasa sakit (mis., tajam, menusuk; pegal, sakit mantap;
terbakar; melancap; "terburuk sakit kepala selamanya ”)? TTH digambarkan sebagai
tekanan difus atau sesak. Migrain biasanya unilateral, dengan kualitas yang
berdenyut. Sakit kepala cluster sangat menyiksa, sakit kepala yang tajam dan
unilateral
h. Apakah rasa sakit itu menjalar?
i. Adakah gejala terkait (mis., Demam / kedinginan; mual / muntah; sakit leher atau
kekakuan; kejang; defisit neurologis fokal; ataxia; defisit bicara; pusing / vertigo;
perubahan visual atau sakit mata; perubahan status mental atau hilangnya kesadaran
sementara; rahang klaudikasio; mialgia; penurunan berat badan)?
j. Sakit kepala migrain sering dikaitkan dengan fotofobia atau fonofobia. Gejala yang
menyertai sakit kepala cluster termasuk injeksi konjungtiva, lakrimasi, rinore, ptosis,
miosis, dan dahi ipsilateral berkeringat. Kecurigaan harus dimunculkan untuk SAH
ketika mual dan muntah, fotofobia, kekakuan leher, atau hilangnya kesadaran
menyertai sakit kepala.
k. Berapa frekuensi rasa sakit (mis., Intermiten, kronis, musiman)?
l. Apakah sakit kepala peningkatan frekuensi atau tingkat keparahan?
m. Berapa lama rasa sakit itu bertahan? Sakit kepala cluster terjadi sekali atau dua kali
sehari — umumnya pada waktu yang sama setiap hari — dan bertahan sekitar 30
hingga 90 menit. Gejala-gejalanya mungkin berulang selama beberapa minggu, dan
kemudian pasien mungkin tetap bebas rasa sakit selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Sakit kepala yang bertahan selama lebih dari 10 minggu, tanpa
gejala yang terkait, tidak mungkin disebabkan oleh neoplasma
n. Apakah ada riwayat keluarga sakit kepala?
o. Apakah ada masalah medis yang sedang berlangsung atau penyakit baru-baru ini?
Adanya penyakit ginjal polikistik, Ehlers-Danlos atau Marfan sindrom, penyakit
Grave, displasia fibromuskular, koarktasio aorta atau perut aneurisma aorta, penyakit
sel sabit, aterosklerosis, atau tempat hipertensi pasien dengan peningkatan risiko
untuk SAH atau aneurisma yang tidak rusak.
p. Apakah ada riwayat HIV atau risiko?
q. Apakah ada kontak dekat dengan gejala yang sama? Pasien dengan karbon ringan
keracunan monoksida dapat mengeluhkan sakit kepala yang tidak spesifik dan gejala
seperti flu; sering, anggota rumah tangga yang sama akan memiliki paparan dan
racun yang sama dengan demikian hadir dengan gejala yang sama.
2. Pemeriksaan fisik
a. Vital Sign
i. Pemeriksaan lengkap pada kepala termasuk konsistensi scalp, arteri, vena, riwayat
trauma, kelainan mata, telinga, hidung dan gigi
ii. Nilai leher, ROM dan kekakuan
iii. Nilai kulit ada atau tidaknya infeksi, kemerahan, neurofibroma, cafe au lait spot,
angioma
iv. Nilai tingkat kesadaran, status mengtal, refleks pupil, nervus kranial, refleks tendon,
fungsi motorik dan sensorik, refleks patologis
3. Pemeriksaan penunjang
a. CBC mungkin berguna dalam kasus dugaan infeksi, kelainan hematologi, atau
vaskulitis
b. Jumlah CD4 <500 atau 200 pada orang yang terinfeksi HIV meningkatkan risiko
untuk:
i. Meningitis (kriptokokus, tuberkulosis, sifilis, dan limfomatosa);
ii. Lesi otak fokal (toksoplasmosis, limfoma SSP, PML, abses, crypotococcoma)
iii. Lesi otak difus (CMV, HSV, toksoplasmosis).
c. Tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) minimal 55 mm / jam — dan biasanya lebih dari
100— terlihat pada 90% pasien dengan arteritis temporal.
d. Kadar karboksihemoglobin diperoleh jika diduga keracunan karbon monoksida.
e. LP dengan analisis cairan serebrospinal (CSF) sangat penting di dalam evaluasi
beberapa gangguan sakit kepala:
i. Meningitis — CSF mungkin keruh, dengan peningkatan WBC dan protein, dan
glukosa rendah. Spesimen juga harus dikirim untuk pewarnaan stat Gram dan
kultur, dan — secara khusus kasus — VDRL, tinta India, antigen bakteri, dan
deteksi antibodi CSF (untuk ensefalitis virus).
ii. Perdarahan subaraknoid — tekanan pembukaan mungkin meningkat; cairan
mungkin berdarah atau xanthochromic (supernatan berubah warna dari CSF
disentrifugasi, sebagai akibat dari hemolisis), dengan peningkatan sel darah
merah dan protein, dan glukosa normal. (Dalam pengaturan negatif kepala CT,
LP masih harus dilakukan untuk mengecualikan SAH kecil yang tidak
diidentifikasi oleh CT.)
iii. Hipertensi intrakranial jinak — tekanan pembukaan meningkat (di atas 200 mm
H2O); komponen CSF lainnya normal; bantuan dari sakit kepala dengan
pengangkatan Cairan mungkin bersifat diagnostik.
f. Neuroimaging darurat dilakukan untuk mengidentifikasi lesi yang dapat diobati
(mis., Tumor, AVM, SAH, trombosis sinus serebral, hematoma subdural dan
epidural, dan hidrosefalus). Pemindaian tomografi komputer (CT) kepala tanpa
kontras diindikasikan ketika “red flags" historis atau fisik tertentu diidentifikasi
dalam evaluasi dari sakit kepala onset baru:
i. Onset akut, sakit kepala parah
ii. Setiap defisit neurologis
iii. Riwayat kejang
iv. Kelainan okular termasuk papilledema, gangguan penglihatan, atau diplopia
v. Muntah yang persisten atau sering didahului oleh sakit kepala berulang
vi. Bertukarnya karakter sakit kepala pasien
vii. Usia ekstrem (pasien <3 atau lebih dari 50) •
viii. Anak-anak dengan neurofibromatosis
ix. Diabetes insipidus, HIV
x. Trauma kepala yang mendahului
g. Pasien dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (mis., Papil edema atau
tidak adanya vena pulsasi pada pemeriksaan funduskopi, perubahan status mental,
atau defisit neurologis fokal) harus dipindai sebelum memiliki tusukan lumbal.
h. CT kepala dengan kontras ditingkatkan harus dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat defisiensi imun atau keganasan (setelah CT noncontrast negatif).
i. Pencitraan resonansi magnetik (MRI) otak mungkin lebih baik daripada CT dalam
kasus di yang fossa posterior harus dievaluasi secara spesifik tetapi umumnya tidak
mudah tersedia sebagai CT.
DIAGNOSIS BANDING
1. Nyeri kepala primer : migren, TTH, cluster
2. Nyeri kepala sekunder : trauma kepala, kelainan pembuluh darah, kelaianan
neurovaskular intrakranial, penggunaan obat-obatan, gangguan metabolik, didasari
penyakit lain, idiopatik

TATALAKSANA
1. Nyeri kepala primer
a. Migren

b. TTH : NSAIDs atau obat lain yang juga digunakan untuk mengobati
nyeri kepala
c. Cluster : Dapat menggunakan obat yg disarankan untuk penderita
migren, selain itu dapat diberikan terapi oksigen menggunakan
nonrebreathing mask selama 10-15 menit. Untuk nyeri refrakter,
intranasal 4% lidokain atau deksametason (8 mg / hari selama 3-4 hari)
seharusnya pasien yang menderita kluster kronis tanpa remisi atau
episodik serangan yang berlangsung lebih dari beberapa minggu dapat
menggunakan prednison 7-10 hari (60 hingga 80 mg / hari), tapering
dose di minggu selanjutnya
2. Nyeri kepala sekunder : Sesuai penyakit yang mendasari

PROGNOSIS DAN RUJUKAN


1. Sebagian besar pasien yang datang ke UGD dengan sakit kepala dapat
dipulangkan ke rumah setelah pereda nyeri yang memadai telah dicapai.
2. Pasien dengan status migrainosus — atau pasien mana pun yang nyeri tidak
terkontrol secara adekuat di UGD — harus diterima.
3. Pasien dengan kehilangan penglihatan yang terdokumentasi dan diduga arteritis
temporal harus dirawat untuk terapi steroid intravena.
4. Setiap pasien dengan sakit kepala onset baru harus menjalani follow-up dekat
dengan pasiennya penyedia perawatan (PCP) atau spesialis yang sesuai.
Penderita migren atau sakit kepala cluster harus didorong untuk menindaklanjuti
dengan PCP mereka untuk pertimbangan profilaksis.
5. Semua pasien harus menerima instruksi tentang penggunaan obat pelepasan
yang tepat dan tindakan pencegahan pengembalian eksplisit.
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Instalasi rawat darurat (IRD) merupakan tempat yang penuh dengan kesibukan dimana
sindrom psikiatrik akut seringkali muncul dan menimbulkan kesulitan dalam diagnostik
dan manajemen. Kedaruratan psikiatri merupakan keadaan yang tak terduga dengan
potensi katastrophic, dengan demikian diharapkan praktisi kesehatan mental harus siap
untuk mengatasi krisis seperti keinginan bunuh diri, agitasi dan agresi, serta keadaan
confusional state. Berdasarkan data yang dikumpulkan pada tahun 2001, didapatkan
30% pasien dengan depresi unipolar, 26% psikosis, 20% dengan penyalahgunaan zat,
14% bipolar, 4% gangguan penyesuaian, 3% gangguan cemas, dan 2% dengan
demensia. Sekitar 40 persen dari semua pasien terlihat di ruang gawat darurat psikiatri
memerlukan rawat inap. Sebagian besar kunjungan terjadi selama jam malam, dan tidak
ada perbedaan antara hari, minggu, bulan, atau tahun. (Allen et al., 2002; Sadock and
Sadock, 2010)
1. Kedaruratan psikiatri
Berdasarkan konsensus yang dikembangkan oleh American Psychiatric Association
(APA) menyebutkan bahwa kedaruratan psikiatri adalah gangguan yang bersifat akut,
baik pada pikiran, perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan intervensi segera
yang didefinisikan oleh pasien, keluarga pasien, atau masyarakat. Tujuan pelayanan
kedaruratan psikiatri adalah untuk :
- Memberikan perawatan tepat waktu atas kedaruratan psikiatri
- Adanya akses perawatan yang bersifat lokal dan berbasis masyarakat
- Menyingkirkan etiologi perilaku pasien yang mungkin mengancam nyawa atau
meningkatkan morbiditas medis
- Berjalannya kesinambungan perawatan

Proses evaluasi dariratan psikiatri :


- Wawancara kedaruratan psikiatri
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan penunjang

Hal ini lebih baik dievaluasi pada pasien yang dirujuk ke psikiatri adalah : risiko bunuh
diri, risiko kekerasan (violence), dan penilaian psikosisal
Hal-hal yang harus diperhatikan si seting kedaruratan yaitu :
- Agitasi dan agresi
- Withdrawal (lepas zat)
- Intoksikasi zat
- Kekerasan domestik
- Kekerasan pada anak
- Kekerasan pada lansia
- Perkosaan

2. Penatalaksanaan Kedaruratan Psikiatri

Perawatan di kedaruratan psikiatri biasanya berfokus pada manajemen perilaku dan


gejala. Proses pengobatan dilakukan bersamaan dengan proses evaluasi (jika
pemberian terapi telah memungkinkan). Wawancara awal tidak hanya berfungsi untuk
memperoleh informasi diagnostik yang penting, tetapi juga untuk terapi. Dalam
melakukan proses evaluasi, bila fasilitas tidak memadai, dapat dilakukan perujukan
pada fasilitas kesehatan terdekat yang memiliki fasilitas yang cukup untuk
penatalaksanannya.

Modalitas terapi yang digunakan untuk seting kedaruratan psikiatri antara lain: 1)
farmakoterapi, 2) seclusion (isolasi) dan restraint (fiksasi fisik), dan 3) psikoterapi.

3. Intervensi psikosisal pada kedaruratan psikiatri

Kedaruratan psikiatri memerlukan penatalaksanaan dalam waktu yang tepat dan


keahlian interpersonal. Suatu krisis merupakan kesempatan untuk membantu dan jika
memungkinkan melakukan perubahan, sehingga suatu pelayanan krisis tidak hanya
sesederhana mengumpulkan data dan mengirim pasien ke tempat lain, namun
diperlukan suatu proses interpersonal yang terjadi antara pasien dan staf di kedaruratan
Intervensi psikososial secara umum berupa beberapa bentuk psikoterapi, pelatihan
sosial, dan pelatihan vokasional. Penatalaksanaan ini sangat bermanfaat untuk
menyediakan dukungan, edukasi, dan panduan kepada orang-orang yang mengalami
gangguan mental beserta keluarganya. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa salah
satu manfaat dari terapi ini adalah dapat membantu individu mengurangi efek negatif
dari gangguan yang dideritanya dan meningkatkan fungsi hidupnya (tampak melalui
sedikitnya waktu hospitalisasi, dan kurangnya kesulitan dalam mengerjakan kegiatan di
rumah, sekolah, atau pekerjaannya)
Pada seting kedaruratan, tujuan intervensi psikososial adalah untuk keamanan pasien,
melakukan penilaian, jika memungkinkan untuk dilakukan fasilitasi terhadap perubahan
meski sedikit namun bermakna pada kondisi diri pasien
Komponen atau fase intervensi psikosisal di darurat psikiatri :
a. Membangun Hubungan (Building an Alliance)
Berartinya suatu wawancara tergantung dari sifat hubungan terapis dengan pasien.
Agar wawancara dapat menghasilkan data yang dapat diandalkan (reliable),
hendaknya senantiasa diusahakan menciptakan dan memelihara hubungan yang
optimal antara dokter dengan pasien. Wawancara tidak dapat dipisahkan antara
sifat terapeutik dan penegakan diagnosis
b. Menghadapi Krisis Melalui Proses Stabilisasi dan Intervensi
Intervensi krisis adalah suatu metode yang diberikan segera pada seseorang yang
mengalami suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan gangguan pada mental dan
fisik. Secara ringkas tujuan dari intervensi krisis adalah (1) stabilisasi, (2)
meredakan tanda dan gejala akut dari distres, dan (3) restorasi dari fungsi adaptasi
independen jika mungkin atau fasilitasi akses menuju ke perawatan lebih lanjut
Prinsip intervensi krisis menggunakan model ABC, yang dimulai dari
mengidentifikasi persepsi pasien terhadap kejadian yang memicu krisis. Intervensi
ini baik jika dimulai dalam 4-6 minggu terjadinya krisis. Model ABC merupakan
proses intervensi 3 tahap, terdiri dari A=Achieving Rapport (membangun
hubungan), B=Beginning of Problem Identification (mulai mengidentifikasi
problem yang terjadi), dan C=Coping. Model inim digunakan dengan tujuan
mengembalikan individu kepada level fungsinya sebelum krisis.
c. Melakukan Psikoterapi (Therapy Work)
Fase ketiga pada intervensi psikososial adalah pengenalan psikoterapi dan
kemudian memulai melakukan psikoterapi tersebut. Tantangan dalam mengenalkan
elemen psikoterapi di seting kedaruratan adalah banyak karakteristik terapi yang
biasanya dilakukan di klinik tidak dapat dilakukan di seting kedaruratan, hal ini
karena lingkungan kedaruratan yang berisik, privacy minimal, tuntutan kerja staf
profesional IRD yang bertumpang tindih sehingga membingungkan pasien, dan
dibutuhkan waktu yang cepat untuk membangun hubungan terapeutik
Berikut ini adalah penatalaksanaan intervensi psikososial pada kedaruratan
psikiatri tertentu, yaitu:
1. Agitasi
Strategi klinis inti untuk mengelola agitasi adalah penggunaan strategi
interpersonal yang menekankan teknik intervensi verbal atau perilaku.
Terdapat metode untuk intervensi verbal yang disebut “verbal deescalation”.
Pendekatan ini merupakan langkah awal untuk mengatasi pasien agitasi,
mencakup respon verbal dan non verbal yang digunakan untuk meredakan
atau mengurangi situasi yang potensial terjadi kekerasan.
2. Bunuh Diri
Pilihan terapi yang akan dilakukan berdasarkan penilaian risiko bunuh diri
yang didapatkan melalui evaluasi psikiatrik. Tujuan intervensi psikososial
termasuk mencapai perbaikan dalam hubungan interpersonal, keterampilan
coping, fungsi psikososial, dan manajemen afek. beberapa konsensus klinis
yang menunjukkan bahwa intervensi psikososial dan psikoterapeutik spesifik
memiliki manfaat untuk mengurangi risiko bunuh diri. Klinisi hendaknya
memperhatikan isu-isu di bawah ini untuk perencanaan penatalaksanaan
segera, yaitu 1) Do no harm. Jangan berikan medikasi kepada pasien yang
mempunyai potensi toksik dan overdosis. 2) Hindarkan pasien dari hal-hal
dan benda-benda berbahaya yang bisa menyebabkan bunuh diri berulang. 3)
Berikan harapan kepada pasien Klinisi hendaknya mencoba untuk membantu
pasien memahami problemnya dan membantu untuk penyelesaiannya. (Allen
et al, 2002; Riba et al., 2010)
3. Kekerasan Domestik
Intervensi terhadap pasien yang mengalami kekerasan domestik yang dibawa
ke IRD adalah memfasilitasi secara independen, melakukan formulasi untuk
„exit-plan‟, edukasi pasien, serta konseling dan kelompok pendukung.
4. Perkosaan
Pemeriksaan hendaknya dilakukan oleh staf profesional yang telah memiliki
kemampuan untuk tidak hanya melakukan pemeriksaan menyeluruh namun
juga mampu mengumpulkan bukti-bukti yang ada pada pasien. Pasien juga
sebaiknya juga didampingi oleh konselor krisis atau advokat selama proses
pemeriksaan evaluasi. Sesi awal intervensi psikoterapi mencakup unsur-unsur
exposure therapy dan cognitive restructuring, membantu pasien mengenai
respon stres, meminimalkan pasien menghindari kenangan yang
menyakitkan, dan memaksimalkan reintegrasi ke dalam rutinitas kehidupan.
Krisis intervensi pada pasien korban perkosaan menjadi intervensi yang
bersifat cepat, singkat, dan fokus, serta dirancang untuk menstabilkan
individu dan membantu mereka mengatasi situasi. Terapi segera diperlukan
untuk membantu pasien dalam memperbaiki distorsi persepsi, mengurangi
rasa bersalah, menggunakan koping yang efektif, dan memfasilitasi korban
untuk hubungan sosial yang lebih luas serta dukungan dari keluarga. (Riba
et.al 2010; Mezey, 1997)
5. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)
Evaluasi dilakukan secara komprehensif dan penatalaksaan awal atau
melakukan perujukan yang sesuai pada anak yang mengalami kekerasan
untuk meminimalisir konsekuensi jangka panjang akibat kekerasan yang
dialaminya. Anak yang mengalami kekerasan seksual beserta keluarganya
memerlukan penatalaksanaan yang profesional. Psikiater dapat membantu
mengembalikan rasa harga diri anak, menghadapi perasaan bersalah karena
kekerasan yang dialaminya, dan memulai proses untuk mengatasi trauma
anak. Penatalaksanaan yang baik dapat mengurangi risiko masalah pada anak
berkembang menjadi lebih serius pada saat telah dewasa. Untuk orang tua
anak dapat dilakukan terapi yang bersifat mendukung, dilakukan pelatihan
orang tua, dan manajemen marah. Dukungan dari orang tua, sekolah, dan
teman sebaya merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan
perasaan aman pada anak.
6. Kekerasan Pada Lansia (Elder Abuse)
Penatalaksanaan segera difokuskan pada penanganan manifestasi fisik akibat
kekerasan yang dialami lansia dan menjamin keamanan pasien. Tujuan
intervensi adalah agar lansia tersebut mampu mempertahankan
kemandiriannya seaman mungkin. Harus dilakukan evaluasi terhadap
kelangsungan program, terapi fisik, bantuan kesehatan di rumah, dan alat
bantu seperti kursi roda, alat bantu dengar, dan kacamata. Klinisi di IRD juga
hendaknya berkonsultasi dengan tim multidisipliner dari pekerja sosial yang
ada, klinisi lain, perawat, dan administrator untuk penanganan kasus ini.
Tujuan akhir penatalaksanaan adalah agar para lansia dapat memuaskan dan
menikmati hidupnya.
ASPEK MEDIKOLEGAL PADA KASUS GAWAT DARURAT DI
PELAYANAN PRIMER
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan
kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum
kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa.
Menurut segi pendanaan, nampaknya hal itu menjadi masalah, karena dispensasi di
bidang ini sulit dilakukan.

Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat


Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan
pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu
khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus
dan akan menimbulkan hubungan hokum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat
darurat.

Beberapa Isu Seputar Pelayanan Gawat Darurat


Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu:
- Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
- Perubahan klinis yang mendadak
- Mobilitas petugas yang tinggi

Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko
tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian. Dokter yang bertugas di gawat
darurat menempati urutan kedua setelah dokter ahli onkologi dalam menghadapi
kematian. Situasi emosional dari pihak pasien karena tertimpa risiko dan pekerjaan
tenaga kesehatan yang di bawah tekanan mudah menyulut konflik antara pihak pasien
dengan pihak pemberi pelayanan kesehatan.

Pengaturan Staf dalam Instalasi Gawat Darurat


Ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah memadai adalah syarat yang harus
dipenuhi oleh IGD. Selain dokter jaga yang siap di IGD, rumah sakit juga harus
menyiapkan spesialis lain (bedah, penyakit dalam, anak, dll) untuk memberikan
dukungan tindakan medis spesialistis bagi pasien yang memerlukannya. Dokter
spesialis yang bertugas harus siap dan bersedia menerima rujukan dari IGD. Jika dokter
spesialis gagal memenuhi kewajibannya maka tanggungjawab terletak pada dokter itu
dan juga rumah sakit karena tidak mampu mendisiplinkan dokternya.

Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Pelayanan Gawat Darurat


Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat adalah
UU No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang
Rumah Sakit.

Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat


Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur
dalam pasal 51 UU No.29/ 2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter
wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya,
walaupun dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan
gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut
sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang
optimal (pasal 4).
Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin, orang
terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat
darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam
pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai
persyaratan pemberian pelayanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal
pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit.
Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam
Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/ 1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal
23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat
darurat selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang
spesifik. Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah
pasal 7 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan
yang spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan
tersebut seyogyanya adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi
di luar sector kesehatan.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan
dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa “pelaksanaan
pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu”. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat merugikan atau
membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis
yang mengandung risiko.

Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat


Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan
hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat
Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu
bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat.
Menurut The American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah:
An emergency is any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever
assumes the responsibility of bringing the patient to the hospital-requires immediate
medical attention. This condition continues until a determination has been made by a
health care professional that the patient’s life or well-being is not threatened.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat walaupun
sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara false
emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah:
A true emergency is any condition clinically determined to require immediate medical
care. Such conditions range from those requiring extensive immediate care and
admission to the hospital to those that are diagnostic problems and may or may not
require admission after work-up and observation.”
Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi pasien
diselenggarakanlah triage. Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal
adalah dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh perawat
melalui standing order yang disusun rumah sakit. Selain itu perlu pula dibedakan antara
penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah sakit dengan fase di rumah sakit.
Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda, di mana pada fase pra-
rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang awam, sedangkan pada
fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan, khususnya tenaga
medis dan perawat. Kewenangan dan tanggungjawab tenaga kesehatan dan orang awam
tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan ketepatan tindakan pada fase pra-
rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien.

Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat


Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-
undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan
dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik
menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien
dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang
dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah:
1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan
atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun.
Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut
tidak berlaku.
2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang
dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan
trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong.
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan
karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi
maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi
penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut
dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan
situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga
kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada
pada situasi dan kondisi yang sama pula.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent).
Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal
53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan
Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis
pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari
siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan
tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus
disimpan dalam berkas rekam medis.
Kematian pada Instalasi Gawat Darurat
Pada prinsipnya setiap pasien yang meninggal pada saat dibawa ke IGD (Death on
Arrival) harus dilaporkan kepada pihak berwajib. Di negara Anglo-Saxon digunakan
sistem koroner, yaitu setiap kematian mendadak yang tidak terduga (sudden unexpected
death) apapun penyebabnya harus dilaporkan dan ditangani oleh Coroner atau Medical
Examiner. Pejabat tersebut menentukan tindakan lebih lanjut apakah jenazah harus
diautopsi untuk pemeriksaan lebih lanjut atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat
keterangan kematian (death certificate) diterbitkan oleh Coroner atau Medical
Examiner. Pihak rumah sakit harus menjaga keutuhan jenazah dan benda-benda yang
berasal dari tubuh jenazah (pakaian dan benda lainnya) untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Indonesia tidak menganut sistem tersebut, sehingga fungsi semacam coroner
diserahkan pada pejabat kepolisian di wilayah tersebut. Dengan demikian pihak POLRI
yang akan menentukan apakah jenazah akan diautopsi atau tidak. Dokter yang bertugas
di IGD tidak boleh menerbitkan surat keterangan kematian dan menyerahkan
permasalahannya pada POLRI.
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas
Kesehatan DKI Nomor 3349/1989 tentang berlakunya Petunjuk Pelaksanaan
Pencatatan dan Pelaporan kematian di Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB di wilayah
DKI Jakarta yang telah disempurnakan tanggal 9 Agustus 1989 telah ditetapkan bahwa
semua peristiwa kematian rudapaksa dan yang dicurigai rudapaksa dianjurkan kepada
keluarga untuk dilaporkan kepada pihak kepolisian dan selanjutnya jenazah harus
dikirim ke RS Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan visum et repertum.

Kasus yang tidak boleh diberikan diberikan surat keterangan kematian adalah:
- meninggal pada saat dibawa ke IGD
- meninggal akibat berbagai kekerasan
- meninggal akibat keracunan
- meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan

Kematian yang boleh dibuatkan surat keterangan kematiannya adalah yang cara
kematiannya alamiah karena penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan.

Pembiayaan dalam Pelayanan Gawat Darurat


Dalam pelayanan kesehatan prestasi yang diberikan tenaga kesehatan sewajarnyalah
diberikan kontra-prestasi, paling tidak segala biaya yang diperlukan untuk menolong
seseorang. Hal itu diatur dalam hukum perdata. Kondisi tersebut umumnya berlaku
pada fase pelayanan gawat darurat di rumah sakit. Pembiayaan pada fase ini diatasi
pasien tetapi dapat juga diatasi perusahaan asuransi kerugian, baik pemerintah maupun
swasta. Di sini nampak bahwa jasa pelayanan kesehatan tersebut merupakan private
goods sehingga masyarakat (pihak swasta) dapat diharapkan ikut membiayainya.
Kondisi tersebut berbeda dengan pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit yang
juga berupa jasa, namun lebih merupakan public goods. Jasa itu dapat disejajarkan
dengan prasarana umum (misalnya jalan raya) yang harus diselenggarakan dan dibiayai
oleh pemerintah. Pihak swasta sulit diharapkan untuk membiayai sesuatu yang bersifat
prasarana umum. Dengan demikian pelayanan gawat darurat pada fase pra-rumah sakit
sewajarnyalah dibiayai dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Realisasi pembiayaan
melalui pengaturan secara hukum yang mewajibkan anggaran untuk pelayanan yang
bersifat public goods tersebut. Bentuk peraturan perundang-undangan tersebut dapat
berupa peraturan pemerintah yang merupakan jabaran dari UU No.23/ 1992 dan atau
peraturan daerah tingkat I (Perda Tk.I).

DAFTAR PUSTAKA

1. Young JR WF, CURRENT DIAGNOSIS & TREATMENT EMERGENCY


MEDICINE. Edisi 6. McGraw Hill. 2008.
2. Brown J, et al. Oxford American Handbook of Emergency Medicine. New York.
Oxford University Press. 2008.
3. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
4. Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus.American Diabetes
Association.Diabetes Care vol27 supplement1 2004, S94-S102.
5. Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med
Cli NAm 88: 1063-1084, 2004.
6. Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB , Rumbak MJ : Diabetic ketoacidosis and
thehyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslin’s Diabetes Mellitus. 13th
ed. Kahn CR, Weir GC, Eds. Philadelphia, Lea & Febiger, 1994, p. 738–770
7. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia tahun
2015
8. http://eprints.undip.ac.id/43717/3/Anangga_Aristantyo_KTI_BAB_II.pdf
9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV tahun 2014
10. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV tahun 2014
11. Joseph A Carcillo. Syok pada Anak (Goal Directed Management of Pediatric Shock
in the Emergency Department). Farmedia : 2009
12. Tatalaksana berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak FKUI 2013
13. http://www.ichrc.org/142-anak-dengan-syok
14. Riviello JJ. Convulsive status epilepticus. Dalam: Duchowny M, Cross JH,
Arzimanoglou A, penyunting. Pediatric Epilepsy. New York: Mc Graw Hill
Medical, 2013. h. 288-96.2.
15. Morton LD, Pellock JM. Status epilepticus. Dalam : Swaiman, KF, Ashwal
S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Swaiman’s Pediatric neurology principles
and practice. Edisi ke-5. China: Elsevier Saunders, 2012. h. 798-810.
16. Kaplan & Sadock Edisi 2
17. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Anda mungkin juga menyukai