Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, segala persoalan hukum
yang timbul, langsung ditanyakan kepadanya.Ia memberikan jawaban hukum
dengan menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak
ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an, ia memberikan jawaban melalui
penetapannya yang disebut Hadits atau Sunnah. Al-Quran dan penjelasannya
dalam bentuk Hadits disebut “Sumber Pokok Hukum Islam”.
Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dan
Hadits isinya dalam bentuk bahasa Arab. Para sahabat Nabi mempunyai
pengetahuan yang sangat baik terhadap bahasa Arab sebagai bahasa ibu
mereka. Mereka mengetahui arti dan ungkapan setiap lafadznya.
Pada saat para sahabat Nabi menemukan kejadian yang timbul dalam
kehidupan merekadan memerlukan ketentua hukumnya, mereka mencari
jawabannya dalam al-Quran. Bila mereka tidak menemukan jawabannya
secara harfiyah dalam al-Quran, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi
hadits Nabi. Bila mereka tidak menemukan jawabannya dalamhadits Nabi,
mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad
itu, mereka mencari tiitk kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu
dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan hadits. Mereka
selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha “memelihara kemashlahatan
umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hukum syara’.
Allah SWT. telah berfirman dalam surat al-Nisa ayat 59 sbb.:
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


1
kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Suruhan Allah dalam ayat ini untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya
berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan
hadits Nabi.. Suruhan untuk mentaati ulil amri berarti perintah untuk
mengikuti kesepakatan para ulama mujtahid dalam menetapkan hukum,
karena mereka adalah orang-orang yang mengurus kepentingan umat islam
dalam bidang hukum. Suruhan untuk mengembalikan hal dan urusan yang
diperselisihkan kepada Allah dan Rasul berarti perintah untuk menggunakan
qiyas (daya nalar) dalam hal-hal yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-
Qur’an, hadits dan tidak ada pula ijma’ atau kesepakatan ulama mujtahid.
Dengan demikian, dalil hukum syara’ yang disepakati di kalangan ulama
jumhur adalah empat,yaitu al-Qur’an, Hadits atau Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Seiring dengan itu, para ulama mujtahid pun merasa perlu menetapkan
dan menyusun kaidah atau aturan permainan yang dijadikan pedoman dalam
merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memperhatikan asas dan
kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan
syari’ah dan tujuan Allah menempatkan mukallaf dalam tanggung jawab
hukum. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang
disebut uhsul Fiqh (Amir Syarifuddin, 2008: 36-38).

A. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan qiyas ?
2. Bagaimana kedudukan qiyas ?
3. Apa saja rukun-rukun dan syarat yang yang harus dipenuhi dalam qiyas ?
4. Apa saja macam-macam qiyas itu ?
5. Apa saja jenis-jenis ‘illat itu ?
6. Apa perbedaaan ‘illat dengan sabab ?
7. Apa perbedaan ‘illat dengan hikmah ?

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


2
B. Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan
untuk mengetahui dan mendeskripsikan :
1. Pengertian qiyas
2. Kedudukan qiyas
3. Rukun dan syarat dalam qiyas
4. Macam-macam qiyas
5. Jenis-jenis ‘illat
6. Perbedaan ‘illat dengan sabab
7. Perbedaan ‘illat dengan hikmah

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


3
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Qiyas
Kata qiyas berasal dari qasa. Ia telah mengukur, yaqisu : ia
sedang mengukur, qiyas : ukuran. Jadi kata qiyas itu artinya : ukuran,
sukatan, timbangan. 1)
Pengertian qiyas menurut ulama ushul ialah menerangkan
hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadits
dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain : qiyas
ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu
yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum. 2)
Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah
mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada al-Qur’an dan Hadits.
Sebab hukum Islam, kadang tersurat jelas dalam nash al-Qur’an atau
Hadits, kadang juga bersifat implisit-analogi terkandung dalam nash
tersebut. Mengenai peristiwa ini, Imam Syafi’i mengatakan : “ setiap
peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib
melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya yang
pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan
ijtihad itu adalah qiyas”.

2. Kedudukan Qiyas
Sebagaimana diterangkan, bahwa qiyas berarti
memepertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain
yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum.

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


4
1)
Ushul Fiqih, karya Dedeng Rosidin dan Rizki Abdurahman hlm. 109
2)
Ushul Fiqih, karya Muhammad Abu Zahrah hlm. 336

Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum


sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan
hukum yang sama pula. Denga demikian qiyas itu hal yang fitri dan
diteteapkan berdasarkan penalaran yang jernih, sebab asas qiyas adalah
menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan
sebab dan sifat yang membentuknya. Apabia pendekatan analogis itu
menemukan titik persamaan anatara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua
masalah tersebut, maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang
ditetapkan.
Pendekatan rasional sesuai dengan prinsip-prinsip syillogisme,
yakni daya upaya mencari sesuatu kesimpulan dari dua macam premis itu
harus berpegang pada prinsip analogi tersebut, bahwa persamaan ‘illat
akan melahirkan persamaan hukum.
Al-Quran sesuai sekali dengan prinsip berpikir rasional :
menyamakan sesutau karena adanya factor persamaan dan membedakan
sesuatu karena adanya factor perbedaan. Hadits Rasulullah memberikan
pembenaran terhadap prinsip pengambilan hokum semacam itu, malah
pernah diajukan kepada para sahabat sebagai pedoman pengambilan
hukum.
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka ada beberapa
ulama yang berselisih paham dengan ulama jumhur, yakni mereka tidak
mempergunakan qiyas. Dikalangan ahli fiqih dalam hal qiyas ini terdapat
tiga kelompok sebagai berikut: 3)
a. Kelompok jumhur, yang mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum
pada hal-hal yang tidak jelas nash nya baik dalam al-quran, hadits,
pendapat sahabat maupun ijma’ ulama. Hal itu dilakukan dengan tidak
berlebihan dan melampaui batas.

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


5
b. Madzhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, yang sama sekali tidak
mempergunakan qiyas. Madzhab Zhahiriyah tidak mengakui adanya
3)
Ushul Fiqih, karya Muhammad Abu Zahrah hlm. 336-337

‘illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash,
termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu
kepastian hukum yang sesuai dengan ‘illat. Mereka membuang semua
itu jauh-jauh dan sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari
teks nash semata. Dengan demikian mereka mempersempit kandungan
lafadz; tidak mau memperluas wawasan untuk mengenali tujuan
legislasi Islam. Mereka terpaku pada bagian “luar” dari teks nash
semata.
c. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian Qiyas, yang berusaha
berbagai hal karena persamaan ‘illat. Bahkan dalam kondisi dan
masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsish
dari keumuman dalil al-Qur’an dan Hadits.

3. Rukun dan Syarat Rukun Qiyas 4)


Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah persamakan hukum
suatu peristiwa yang tidak ada nash nya dengan hukum suatu peristiwa
yang ada nash nya karena ‘illat serupa, maka rukun qiyas ada empat
macam yaitu:
a. Al-Ashl ( ) : sumber hukum yang berupa nash-nash yang
mejelaskan tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukum.
b. Al-Far’ ( ): sesuatu yang taka da ketentuan nash
c. Al-Hukm ( ): hokum yang dipergunakan qiyas untuk
memperluas hukum dari asal ke far’ (cabang)
d. Al-‘illat ( ): alasan serupa antara asal dan far’ (caba

Syarat-syarat rukun qiyas yaitu:

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


6
a. Syarat asal
Asal adalah sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya; atau
sesuatu yang dikenal dengan dirinya sendiri tanpa memerlukan yang
4)
Ushul Fiqih, karya ‘Atha Bin Khalil hlm. 112

lain. Asal disebut juga maqis alaih. Syarat nya adalah harus ada
ketetapan huum tentang nya, (yaitu hukumnya tidak dihapus).
b. Syarat hukum asal
1) Harus berupa hukum syara dengan dalil dari a-quran, sunnah,
atau ijma sahabat.
2) Dalil yang menunjukan hokum asal tidak boleh mencakup
cabang
3) Hukum asal harus mempunyai illat tertentu yang tidak sama
4) Hukum asal tidak boleh lebih akhir datangnya dari hukum
cabang
5) Hukum asal tidak boleh dipindahkan dari sunnah-sunnah qiyas.
c. Syarat-Syarat Cabang
1) Harus kosong dari mu’aridl rajah (perkara yang saling
bertetangan dan yang dikuatkan) yang mengharuskan
kebalikan dar perkara yang dituntut oleh ‘illat qiyas.
2) ‘illat yang terdapat didalam cabang harus bereserikat dengan
‘illat asal baik dalam zat nya ataupun jenisnya.
3) Hukum yang ada pada cabang harus menggambarkan hukum
asal dalam zatnya.
4) Hukum cabang tidak boleh dotetapkan oleh nash
5) Hukum cabang tidak boleh mendahului hukum asal.
d. Syarat-Syarat Illat
Illat adalah sesuatu yang karena (keberadaan) nya maka hukum
menjadi ada.atau perkara yang memunculkan hukum, berupa tasyri’
(pensyariatan suatu hukum). Jadi hukum itu disyari’atkan karena
adanya ‘illat.

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


7
1) ‘Illat harus syar’iyyah
2) ‘Illat tidak boleh berbentuk hukum syara dengan zatnya
3) ‘Illat harus muta’adiyyah
4) ‘Illat tidak boleh lebih akhir (datangnya) dari hukum asal
5) ‘Illat harus merupakan sifat yang berpengaruh terhadap hukum
dan memberikan arti terhadap peng-‘illatan.
6) ‘Illat tidak boleh semata-mata mengandalkan adanya kesamaan
yang mempengaruhi.
7) Dalam penta’lilan dengan ‘illat tidak boleh adnya pembatalan.
8) ‘Illat harus berpengaruh pada tempat perselisihan.
9) Tidak boleh berupa hikmah
10) ‘Illat harus selamat.
4. Macam- Macam Qiyas 5)
Qiyas dilihat dari segi tingkatannnya terbagi mejadi tiga bagian
yaitu:
a. Qiyas aulawi, yaitu tujuan penetapan yang menjadi ‘illat
hukum terwujud dalam kasus furu’ lebih kuat dari ‘illat hokum
dalam hokum asal
b. Qiyas setara, yaitu sifat hokum yang dianggap seagai ‘illat
dalam kasus hukum furu’ sama kuatnya denga ‘illat dalam
hukum asal, sebagaimana mengkiaskan budak (laki-laki)
terhadap amat (budak perempuan) dalam masalah separoh
hukuman dari hukuman orang merdeka
c. Qiyas Naqish, dimana wujud ‘illat dalam hukum furu’ kurang
tegas, sebagaimana dalam hukum asal, seperti ‘illat
‘memabukan’ bagi minum-minuman di buat dari anggur

Di lihat dari segi unsur persamaan furu’ kepada hokum asal,


Imam Syafi’I membagi Qiyas ke dalam dua bagian yaitu :

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


8
a. Qiyas Ma’na, ialah qiyas dimana unsur persamaan menjadi
sandaran qiyas antara hukum asal dan furu’ itu tunggal.
5)
Ushul Fiqih, karya Muhamad Abu Zahrah hlm. 380

b. Qiyas Syabah, ialah qiyas dimana kasus furu’ yang ketentuan


hukumnya ditetapkan dengan cara merujuk kepada hukum asal
yang ada nashnya itu mempunyai beberapa unsur persamaan
dengan beberapa hukum asal.

Kesimpulannya ialah bahwa pembiakkan atau hasil


tambahtersebut meupakan masalah yang melahirkan dua bentuk qiyas yag
saling bertentangan, yaitu :

a. Qiyasnya adalah kepada hasil kerja budak, yang berarti


pertumbuhan baru tersebut menjadi hak milik pembeli, sebab
dua bentuk pertumbuhan tersebut memiliki hubungan yang
sempurna,dua-duanya terjadi pada masa pemilikan.Itulah yang
menjadi ‘iilat adanya hak terhadap tambahan tersebut
b. Pertumbuhan tersebut di Qiyaskan kepada barang pokoknya,
sebab ia lahir daripadanya. Oleh sebab itu apabila barang pokok
dikembalikan kepada penjualnya,maka hasil tambahan harus
dikembalikan juga.
5. Jenis-jenis ‘Illat 6)
Pertama: ‘Illat yang terdapat secara jelas (shurahatan)
yaitu:
a. ‘Illat yang terdapat pada nash dengan kata (lafadz) yang
dipahami ‘illatnya secara jelas yaitu denga menggunakan lafadz
min ajli dan yang semisalnya. Contoh sabda Rasulullah SAW:

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


9
Sesungguhnya dijadikannya keharusan meminta izin (ketika akan
masuk kerumah) adalah karena (menjaga dari) penglihatan.
6)
Ushul Fiqih, karya ‘Atha Bin Khalil hlm. 116

b. ‘illat yang terdapat didalam nash dengan menggunakan kata


(lafadz) yang dipahami segbagai ‘illat secara jelas (shurahatan).
Yaitu dengan menggunakan salah satu dari huruf-huruf ta’lil
diantaranya khaydan lam.
Kedua : ‘Illat yang terdapat pada nash secara dilalah
(penunjukan)
Diantaranya adalah dilalah tandih dan ima (isyarah).
Ta’lil diambil dari lafadz (yang lazim).Yaitu dilalah iltizam.Suatu
lafadz tidak menunjukan ‘illat sejak diletakannya. ‘illat diambi dari
mafhum lafadz bukan dari manthuqnya.

Ketiga : ‘Illat yang terdapat pada nash dengan jalan instibath


Susunan nash memberikan arti adanya ‘illat melalui
instinbath atas suatu hukum. ‘illat seperti ini tidak disebutkan baik
secara sharir ataupun secara dilalah contohnya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan


shalat pada hari jumat mmaka bersegeralah kamu menuju
mengingat kepada Allah dan tinggalkan jual beli.(TQS. Al-
Jumu’ah [62]:9)

Keempat : ‘Illat melalui qiyas


Apabila didalam nash terdapat ‘illat secara dilalah ddan
terdapat hubungan implikasi antara ‘illat tersebut dengan hokum
asal, maka hubungan ini bisa digunakan untuk mengqiyaskan ‘illat
baru pada ‘illat dilalah yang ada pada nash tersebut. ‘illat yang

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


10
baru ini disebut ‘illatqiyasiyyah (illat yang dihasilkan melalui
qiyas).

Hal ini biasa digunakan dalam qiyas untu menghasilkan hukum baru,
sama seperti digunakannya ‘illat yang lai

6. Perbedaan Antara ‘Illat dan Sabab


Sabab adalah tanda (amarah) yang memberitahu adanya suau
hukum, seperti tergelicirnya matahari merupakan tanda yang
memberitahui adanya (tewujudnya)shalat. Sedangkan ‘illat adalah yang
karenanya terwujud hukum. ‘illat adalah pemicu disyariatkannya suatu
hukum. Jadi ‘illat adalah sabab pensyari’atan suatu hukum, bukan sabab
adanya hukum;sehingga’illat termssuk salah satu dalil-dalil hukum. 7)

7. Perbedaan ‘illat dengan Hikmah


Perbedaan besar antar hikmah dengan ‘illat adalah, bahwa ‘illat
itu merupakan pendorong/pemicu disyariatkannya suatu hukum. Dengan
kata lain sesuatu yang menjadi penyebab disyariatkan hukum. Sedangkan
hikmah adalah perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan dari hukum. 8)

B. Pembahasan
Diantara sekian banyak orang Islam, ada yang beranggapan
bahwa mengqiyaskan (menganalogikan) suatu permasalahan yang belum
ada hukumnya dengan permasalahan yang telah ada nashnya adalah
diperintahkan oleh agama. Atau asalnya adalah sunnah, sehingga dengan
alasan ini mereka tidak berani untuk mengeluarkan suatu pendapat. Dan
inilah yang terjadi pada masa sahabat paska meninggalnya Rasulullah.
Meskipun sebagian ahli fiqih golongan Zhahiriyah diantaranya
Ibnu Hazm tidak menyetujui dan bahkan menolak penetapan hukum
dengan cara qiyas, mereka mencoba mena’wilkan dan apa yang telah
dilakukan Umar dan sahabat-sahabat lainnya. 9)

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


11
7) & 8)
Ushul Fiqih, Karya ‘Atha Bin Khalil hlm. 131-132
9)
Metoodologi Ijtihad Umar bin Al-Khathab, karya Muhammad Baltaji hlm. 470

1. Contoh Studi Kasus Qiyas dalam Ekonomi Islam


Memahami bunga bank dari aspek legal-formal dan secara induktif,
berdasarkan pelarangan terhadap larangan riba yang diambil dari teks (nas),
dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral dalam pengharamannya 10).
Paradigma ini berpegang pada konsep bahwa setiap utang-piutang yang
disyaratkan ada tambahan atau manfaat dari modal adalah riba, walaupun
tidak berlipat ganda. Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku bunga bank
tetap haram. Karena berdasarkan teori qiyâs, kasus yang akan di-qiyas-kan
(fara’) dan kasus yang di-qiyas-kan (asal) keduanya harus disandarkan pada
illat jâlî (illat yang jelas). Dan kedua kasus tersebut (bunga bank dan riba)
disatukan oleh illat yang sama, yaitu adanya tambahan atau bunga tanpa
disertai imbalan. Dengan demikian, bunga bank sama hukumnya dengan riba.

Adapun di antara tokoh-tokoh fikih Islam kontemporer yang menganut


paradigma ini adalah Abû Zahrah, Wahbah Zuhayli, Yûsûf al-Qardawi
(masing-masing ahli fikih Timur Tengah), Abdul Mannan, Syafi’i Antonio,
Adiwarman Azwar Karim (masing-masing ahli hukum Islam dan praktisi
perbankan Islam Indonesia).
Yûsûf al-Qardawi berpendapat bahwa riba yang diharamkan dalam
Alquran tidak membutuhkan penjelasan dan pembahasan lebih lanjut, karena
tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu kepada manusia yang tidak
mereka ketahui bentuknya. Pemahaman riba sesuai yang tertuang dalam Q.S
Al-Baqarah [2]:278-279 menunjukkan segala kelebihan dari modal adalah
riba, sedikit maupun banyak. Maka setiap tambahan bagi modal yang
disyaratkan atau ditentukan terlebih dahulu, karena adanya unsur tenggang
waktu semata adalah riba11)
Adapun Syafi'i Antonio yang merupakan praktisi dan akademisi
ekonomi Islam di Indonesia, terkait dengan bunga bank, mengatakan bahwa

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


12
10)
 Mas'adi, Ghufton A, Fiqh Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
11)
Al-Qardawi, Yûsûf. 1993. Fawâ’id al-Bunûk Hiya al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat al-Fiqhiyyah fî Dau' al
Qur’ân wa al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut: Mu'assasat al-Risâlah, 1993)

kriteria berlipat-ganda bukanlah syarat terjadinya riba, tapi itu hanya sifat.
Artinya, besar atau kecil, bunga bank tetap riba, sebab sifat umum riba adalah
berlipat ganda (Antonio, 1999:82).
Sementara dari segi konteks atau illat, pengharaman riba dalam
Alquran adalah karena adanya faktor zulm, yaitu memungut tambahan utang
dari pihak-pihak yang seharusnya ditolong. Sementara konteks bank adalah
niaga (tijârah) untuk mencari keuntungan bersama antara pihak yang punya
modal (investor), pihak yang membutuhkan modal (debitur/pengusaha), dan
pihak perbankan sebagai mediator dan penyedia jasa. Sehingga sama sekali
tidak ada kaitannya dengan tolong menolong antara si kaya dan si miskin,
melainkan upaya kerjasama dalam mengembangkan modal dengan
menjadikan bank sebagai mediator antara penabung, pengusaha dan bank 12).
Karena itu, aspek aniaya (ketidakadilan) di sini amat kecil kemungkinan
terjadi sebab masing-masing pihak telah saling rela dan mengetahui hak serta
kewajibannya masing-masing.
Dengan konsep seperti itu, akhirnya ada pihak yang menyimpuulkan
bahwa antara riba dengan bunga bank memiliki konteks dan esensi yang
berbeda. Riba dianggap kelebihan yang diambil dari pinjaman yang ditujukan
untuk keperluan konsumtif, sedangkan bunga bank adalah kelebihan atas
pinjaman yang ditujukan dalam rangka, kebutuhan produktif.
Dengan analisis seperti itu, penganut paradigma ini mengharuskan
mereka, meninggalkan qiyâs dan lebih memilih mengambil
metode istihsân sebagai dasar untuk sampai kepada suatu konklusi hukum
yang dianggap lebih tepat untuk dijalanka. Di antara tokoh dan ahli hukum
Islam yang menganut paradigma kontekstual dalam menilai permasalahan
bunga bank adalah Munawir Syadzali, Quraish Shihab, Umar Shihab dan
M. Dawam Raharjo (masing-masing adalah ulama fikih dan cendekiawan

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


13
muslim Indonesia). Demikian pula, Fazlur Rahman, Mahmoud Syaltout, dan
Mustafa Ahmad al-Zarqa'.
12)
Mas'adi,  Fiqh Muamalah

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya


dalam al-Qur’an dan Hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu
yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Qiyas digunakan sebagai salah
satu sumber hukum yang disepakati oleh jumhur ulama setelah al-Qur’an,
Sunnah dan Ijma. Namun golongan ulama Zhahiriyah menentang dan bahkan
menolak adanya qiyas. Madzhab Zahiriyah tidak mengakui adanya ‘illat nash
dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk menyingkap
alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan
‘illat. Mereka membuang semua itu jauh-jauh dan sebaliknya, mereka
menetapkan hukum hanya dari teks nash semata. Dengan demikian mereka
mempersempit kandungan lafadz; tidak mau memperluas wawasan untuk
mengenali tujuan legislasi Islam. Mereka terpaku pada bagian “luar” dari teks
nash semata. Tetapi kita sebagai umat muslim sudah bisa menilai mana yang
baik dan mana yang buruk Allah tidak mempersulit hambanya dalam mencari
ketentuan hukum sesuai dengan firman Allah Q.S. An- Nisa ayat 59 :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


14
B. Saran
Dalam kehidupan ini tidak semua memiliki pandangan yang sama,
begitu pun dalam masalah pandangan hukum, sesuatu yang pasti terjadi antara
ulama satu dan ulama yang lain dalam perbedaan pendapat. Sebagai umat
muslim hendaknya dengan adanya perbedaan keyakinan dan pendapat tidak
menjadi penyebab berselisihnya umat Islam, yang akan membuat kehidupan
ini semakin kacau. Hanya Allah lah yang mempunyai hukum yang adil,
manusia hanya bisa berikhtiar dan berdo’a.

Qiyas dan ‘Illat Syar’i


15
Qiyas dan ‘Illat Syar’i
16

Anda mungkin juga menyukai