PENDAHULUAN
A. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan qiyas ?
2. Bagaimana kedudukan qiyas ?
3. Apa saja rukun-rukun dan syarat yang yang harus dipenuhi dalam qiyas ?
4. Apa saja macam-macam qiyas itu ?
5. Apa saja jenis-jenis ‘illat itu ?
6. Apa perbedaaan ‘illat dengan sabab ?
7. Apa perbedaan ‘illat dengan hikmah ?
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Qiyas
Kata qiyas berasal dari qasa. Ia telah mengukur, yaqisu : ia
sedang mengukur, qiyas : ukuran. Jadi kata qiyas itu artinya : ukuran,
sukatan, timbangan. 1)
Pengertian qiyas menurut ulama ushul ialah menerangkan
hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadits
dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain : qiyas
ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu
yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum. 2)
Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah
mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada al-Qur’an dan Hadits.
Sebab hukum Islam, kadang tersurat jelas dalam nash al-Qur’an atau
Hadits, kadang juga bersifat implisit-analogi terkandung dalam nash
tersebut. Mengenai peristiwa ini, Imam Syafi’i mengatakan : “ setiap
peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib
melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya yang
pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan
ijtihad itu adalah qiyas”.
2. Kedudukan Qiyas
Sebagaimana diterangkan, bahwa qiyas berarti
memepertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain
yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum.
‘illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash,
termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu
kepastian hukum yang sesuai dengan ‘illat. Mereka membuang semua
itu jauh-jauh dan sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari
teks nash semata. Dengan demikian mereka mempersempit kandungan
lafadz; tidak mau memperluas wawasan untuk mengenali tujuan
legislasi Islam. Mereka terpaku pada bagian “luar” dari teks nash
semata.
c. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian Qiyas, yang berusaha
berbagai hal karena persamaan ‘illat. Bahkan dalam kondisi dan
masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsish
dari keumuman dalil al-Qur’an dan Hadits.
lain. Asal disebut juga maqis alaih. Syarat nya adalah harus ada
ketetapan huum tentang nya, (yaitu hukumnya tidak dihapus).
b. Syarat hukum asal
1) Harus berupa hukum syara dengan dalil dari a-quran, sunnah,
atau ijma sahabat.
2) Dalil yang menunjukan hokum asal tidak boleh mencakup
cabang
3) Hukum asal harus mempunyai illat tertentu yang tidak sama
4) Hukum asal tidak boleh lebih akhir datangnya dari hukum
cabang
5) Hukum asal tidak boleh dipindahkan dari sunnah-sunnah qiyas.
c. Syarat-Syarat Cabang
1) Harus kosong dari mu’aridl rajah (perkara yang saling
bertetangan dan yang dikuatkan) yang mengharuskan
kebalikan dar perkara yang dituntut oleh ‘illat qiyas.
2) ‘illat yang terdapat didalam cabang harus bereserikat dengan
‘illat asal baik dalam zat nya ataupun jenisnya.
3) Hukum yang ada pada cabang harus menggambarkan hukum
asal dalam zatnya.
4) Hukum cabang tidak boleh dotetapkan oleh nash
5) Hukum cabang tidak boleh mendahului hukum asal.
d. Syarat-Syarat Illat
Illat adalah sesuatu yang karena (keberadaan) nya maka hukum
menjadi ada.atau perkara yang memunculkan hukum, berupa tasyri’
(pensyariatan suatu hukum). Jadi hukum itu disyari’atkan karena
adanya ‘illat.
Hal ini biasa digunakan dalam qiyas untu menghasilkan hukum baru,
sama seperti digunakannya ‘illat yang lai
B. Pembahasan
Diantara sekian banyak orang Islam, ada yang beranggapan
bahwa mengqiyaskan (menganalogikan) suatu permasalahan yang belum
ada hukumnya dengan permasalahan yang telah ada nashnya adalah
diperintahkan oleh agama. Atau asalnya adalah sunnah, sehingga dengan
alasan ini mereka tidak berani untuk mengeluarkan suatu pendapat. Dan
inilah yang terjadi pada masa sahabat paska meninggalnya Rasulullah.
Meskipun sebagian ahli fiqih golongan Zhahiriyah diantaranya
Ibnu Hazm tidak menyetujui dan bahkan menolak penetapan hukum
dengan cara qiyas, mereka mencoba mena’wilkan dan apa yang telah
dilakukan Umar dan sahabat-sahabat lainnya. 9)
kriteria berlipat-ganda bukanlah syarat terjadinya riba, tapi itu hanya sifat.
Artinya, besar atau kecil, bunga bank tetap riba, sebab sifat umum riba adalah
berlipat ganda (Antonio, 1999:82).
Sementara dari segi konteks atau illat, pengharaman riba dalam
Alquran adalah karena adanya faktor zulm, yaitu memungut tambahan utang
dari pihak-pihak yang seharusnya ditolong. Sementara konteks bank adalah
niaga (tijârah) untuk mencari keuntungan bersama antara pihak yang punya
modal (investor), pihak yang membutuhkan modal (debitur/pengusaha), dan
pihak perbankan sebagai mediator dan penyedia jasa. Sehingga sama sekali
tidak ada kaitannya dengan tolong menolong antara si kaya dan si miskin,
melainkan upaya kerjasama dalam mengembangkan modal dengan
menjadikan bank sebagai mediator antara penabung, pengusaha dan bank 12).
Karena itu, aspek aniaya (ketidakadilan) di sini amat kecil kemungkinan
terjadi sebab masing-masing pihak telah saling rela dan mengetahui hak serta
kewajibannya masing-masing.
Dengan konsep seperti itu, akhirnya ada pihak yang menyimpuulkan
bahwa antara riba dengan bunga bank memiliki konteks dan esensi yang
berbeda. Riba dianggap kelebihan yang diambil dari pinjaman yang ditujukan
untuk keperluan konsumtif, sedangkan bunga bank adalah kelebihan atas
pinjaman yang ditujukan dalam rangka, kebutuhan produktif.
Dengan analisis seperti itu, penganut paradigma ini mengharuskan
mereka, meninggalkan qiyâs dan lebih memilih mengambil
metode istihsân sebagai dasar untuk sampai kepada suatu konklusi hukum
yang dianggap lebih tepat untuk dijalanka. Di antara tokoh dan ahli hukum
Islam yang menganut paradigma kontekstual dalam menilai permasalahan
bunga bank adalah Munawir Syadzali, Quraish Shihab, Umar Shihab dan
M. Dawam Raharjo (masing-masing adalah ulama fikih dan cendekiawan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan