Tugas Mandiri
Stase Praktik Keperawatan Medikal Bedah
Disusun Oleh:
Alifvia Nurintansari
20/469758/KU/22696
2. Epidemiologi
Insiden bibir sumbing di Indonesia belum diketahui diketahui secara pasti, hanya
disebutkan terjadi satu kejadian setiap 1000 kelahiran. Hidayat dan kawan-kawan di
propinsi Nusa Tenggara Timur antara April 1986 sampai Nopember 1987 melakukan
operasi pada 1004 kasus bibir sumbing atau celah langit-langit pada bayi, anak maupun
dewasa di antara 3 juta penduduk.
Bibir Sumbing memiliki frekuensi yang berbeda-beda pada berbagai budaya dan
ras serta negara. Diperkirakan 45% dari populasi adalah non-Kaukasia. Fogh Andersen
di Denmark melaporkan kasus bibir sumbing dan celah langit-langit 1,47/1000 kelahiran
hidup. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di Amerika
Serikat serta Wilson untuk daerah Inggris. Neel menemukan insiden 2,1/1000 penduduk
di Jepang.
3. Etiologi
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing. faktor tersebut
antara lain, yaitu :
a. Faktor Genetik atau keturunan
Dimana material genetik dalam kromosom yang mempengaruhi. Dimana dapat
terjadi karena adanya mutasi gen ataupun kelainan kromosom. Pada setiap sel
yang normal mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom
non-sex (kromosom 1 s/d 22) dan 1 pasang kromosom sex (kromosom X dan Y)
yang menentukan jenis kelamin. Pada penderita bibir sumbing terjadi Trisomi
13 atau Sindroma Patau dimana ada 3 untai kromosom 13 pada setiap sel
penderita, sehingga jumlah total kromosom pada tiap selnya adalah 47. Jika
terjadi hal seperti ini selain menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan
gangguan berat pada perkembangan otak, jantung, dan ginjal. Namun kelainan
ini sangat jarang terjadi dengan frekuensi 1 dari 8000-10000 bayi yang lahir.
b. Kurang Nutrisi, contohnya defisiensi Zn dan B6, vitamin C pada waktu hamil,
kekurangan asam folat.
c. Radiasi.
d. Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama.
e. Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin contohnya seperti infeksi
rubella dan sifilis, toxoplasmosis dan klamidia.
f. Pengaruh obat teratogenik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal, akibat
toksisitas selama kehamilan, misalnya kecanduan alkohol, terapi penitonin.
g. Multifaktoral dan mutasi genetik.
h. Diplasia ektodermal.
4. Tanda dan Gejala
Ada beberapa gejala dari bibir sumbing / labiognatopalatoschisis yaitu :
a. Terjadi pemisahan langit – langit.
b. Terjadi pemisahan bibir.
c. Terjadi pemisahan bibir dan langit – langit.
d. Infeksi telinga berulang.
e. Berat badan tidak bertambah.
f. Pada bayi terjadi regurgitasi nasal ketika menyusui yaitu keluarnya air susu dari
hidung. (Florentia, 2018)
5. Klasifikasi
Berdasarkan lengkap/tidaknya celah terbentuk, tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi,
mulai dari yang ringan hingga yang berat. Beberapa jenis bibir sumbing yang diketahui
adalah :
a. Unilateral Incomplete. Jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan
tidak memanjang hingga ke hidung.
b. Unilateral Complete. Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi bibir
dan memanjang hingga ke hidung.
c. Bilateral Complete. Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang
hingga ke hidung
6. Patofisiologi
Secara umum, labiognatopalatoschisis bisa terjadi karena :
a. Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama
fase embrio pada trimester I.
b. Terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nosal medial dan
maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8 minggu.
c. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh
kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu.
d. Penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara 7-8 minggu masa kehamilan.
Penyebab terjadinya labiognatopalatoschisis belum diketahui dengan pasti.
Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa labiognatopalatoschisis muncul sebagai
akibat dari kombinasi faktor genetik dan factor-faktor lingkungan. Di Amerika Serikat
dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai
riwayat keluarga labiognatopalatoschisis akan mengalami labiognatopalatoschisis.
Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labiognatopalatoschisis
meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai
riwayat labiognatopalatoschisis. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan narkotika,
kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau
menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan
labiognatopalatoschisis.
Menurut Mansjoer dan kawan-kawan, hipotesis yang diajukan antara lain:
a. Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal
kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi asam
folat, vitamin C, dan Zn)
b. Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal
c. Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia.
d. Faktor genetic
Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak
terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu
(prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali.Pada hewan percobaan vitamin A
dikenal sebagai "teratogen universal". Namun kemungkinan teratogenitas pada manusia
yang mengkonsumsi suplemen vitamin A masih kontroversi. Vitamin B-6 memiliki
peran vital dalam metabolisme asam amino. Defisiensi vitamin B-6 tunggal telah
terbukti dapat menyebabkan langit-langit mulut sumbing dan kelainan defek lahior
lainnya pada tikus percobaan. Dan Miller (1972) menunjukkan bahwa pemberian
vitamin B-6 dapat mencegah terjadinya celah orofasial. Salah satu penyebab terjadinya
celah orofasial ialah heterogenitas, sebanyak sekitar 20% menyertai sindrom yang
disebabkan mutasi yang spesifik. Namun juga terjadinya celah orofasil juga
berhubungan dengan asam folat dan multivitamin lainnya. Beberapa mungkin memiliki
etiologi karena asam folat namun sebagian lagi tidak, sehingga menyulitkan untuk
mencari efeknya.
7. Komplikasi
Keadaan kelainan pada wajah seperti bibir sumbing ada beberapa komplikasi
karenannya, yaitu :
a. Masalah asupan makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita
labiognatopalatoschisis. Adanya labiognatopalatoschisis memberikan kesulitan
pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot. Tekanan lembut
pada pipi bayi dengan labiognatopalatoschisis mungkin dapat meningkatkan
kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah reflex hisap
dan reflek menelan pada bayi dengan labiognatopalatoschisis tidak sebaik bayi
normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu.
Memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu proses
menyusu bayi. Menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala juga dapat
membantu. Bayi yang hanya menderita labiognatopalatoschisis atau dengan celah
kecil pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan
labioplatoschisis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus
(cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk
bayi dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan/
asupan makanan tertentu.
b. Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labiognatopalatoschisis mungkin mempunyai masalah
tertentu yang berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi dari
gigi geligi pada arean dari celah bibir yang terbentuk.
c. Infeksi telinga
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga
karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol
pembukaan dan penutupan tuba eustachius.
d. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada
perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak
dapat menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara
dengan kualitas nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun
telah dilakukan reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk
menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali
sepenuhnya normal. Penderita celah palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian
karena palatum lunak cenderung pendek dan kurang dapat bergerak sehingga
selama berbicara udara keluar dari hidung. Anak mungkin mempunyai kesulitan
untuk menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, dan ch", dan terapi bicara
(speech therapy) biasanya sangat membantu.
9. Therapy
Terapi untuk pasien dengan labiognatopalatoschisis meliputi perbaikan melalui
pembedahan, untuk memperbaiki penampilan anak, biasanya antara usia 1-3 bulan
10. Penatalaksanaan
Penanganan untuk bibir sumbing adalah dengan cara operasi. Operasi ini dilakukan
setelah bayi berusia 2 bulan, dengan berat badan yang meningkat, dan bebas dari
infeksi oral pada saluran napas dan sistemik. Dalam beberapa buku dikatakan juga
untuk melakukan operasi bibir sumbing dilakukan hukum Sepuluh (rules of Ten) yaitu,
Berat badan bayi minimal 10 pon, Kadar Hb 10 g%, dan usianya minimal 10 minggu
dan kadar leukosit minimal 10.000/ui.
Pembedahan
a. Dilakukan bedah elektif yang melibatkan beberapa disiplin ilmu untuk penanganan .
Bayi akan memperoleh operasi untuk memperbaiki kelainan, tetapi waktu yang
tepat untuk operasi tersebut bervariasi.
b. Tindakan pertama dikerjakan untuk menutup celah bibir berdasarkan kriteria rule
often yaitu umur > 10 mgg, BB > 10 pon/ 5 Kg, Hb > 10 gr/dl, leukosit > 10.000/ui.
c. Tindakan operasi selanjutnya adalah menutup langitan/palatoplasti dikerjakan sedini
mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mampu bicara lengkap seingga pusat bicara
otak belum membentuk cara bicara. Pada umur 8-9 tahun dilaksanakan tindakan
operasi penambahan tulang pada celah alveolus/maxilla untuk memungkinkan ahli
ortodensi mengatur pertumbuhan gigi dikanan dan kiri celah supaya normal.
d. Operasi terakhir pada usia 15-17 tahun dikerjakan setelah pertumbuhan tulang-
tulang muka mendeteksi selesai.
e. Operasi mungkin tidak dapat dilakukan jika anak memiliki “kerusakan horseshoe”
yang lebar. Dalam hal ini, suatu kontur seperti balon bicara ditempl pada bagian
belakang gigi geligi menutupi nasofaring dan membantu anak bicara yang lebih
baik.
f. Anak tersebut juga membutuhkan terapi bicara, karena langit-langit sangat penting
untuk pembentukan bicara, perubahan struktur, juga pada sumbing yang telah
diperbaiki, dapat mempengaruhi pola bicara secara permanen.
Prinsip perawatan secara umum :
a. Lahir : bantuan pernafasan dan pemasangan NGT (Naso Gastric Tube) bila perlu
untuk membantu masuknya makanan kedalam lambung.
b. Umur 1 minggu : pembuatan feeding plate untuk membantu menutup langit-langit
dan mengarahkan pertumbuhan, pemberian dot khusus.
c. Umur 3 bulan : labioplasty; tindakan operasi untuk bibir, alanasi (untuk hidung) dan
evaluasi telingga.
d. Umur 18 bulan - 2 tahun : palathoplasty atau tindakan operasi langit-langit bila
terdapat sumbing pada langit-langit.
e. Umur 4 tahun : dipertimbangkan repalatorapy atau pharingoplasty.
f. Umur 6 tahun : evaluasi gigi dan rahang, evaluasi pendengaran.
g. Umur 11 tahun : alveolar bone graft augmentation (cangkok tulang pada pinggir
alveolar untuk memberikan jalan bagi gigi caninus), perawatan otthodontis. alveolar
bone graft merupakan bagian integral dari prosedur pembedahan dalam pengelolaan
celah alveolar pada pasien dengan celah bibir dan langit-langit. Prosedur alveolar
bone graft memiliki beberapa tujuan dan manfaat untuk pasien: (a) untuk
mendapatkan kontinuitas di rahang atas lengkungan dan memaksimalkan dukungan
tulang untuk gigi atau rehabilitasi prostodontik di daerah sumbing, (b) untuk
membentuk morfologi alveolar yang lebih baik, (c) untuk mencegah regurgitasi
hidung dengan penutupan dari fistula oronasal
h. Umur 12-13 tahun : final touch; perbaikan-perbaikan bila diperlukan.
i. Umur 17-18 tahun : orthognatik surgery bila perlu (Widodo et al., 2018).
11. Pengkajian
1. Identitas klien
Identitas penderita meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk
rumah sakit dan diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Adanya gangguan rasa nyaman untuk makan
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat Kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan perjalanan penyakit serta upaya yang telah dilakukan oleh
penderita untuk mengatasinya.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain seperti jantung,
obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun
obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga
menderita bibir sumbing atau penyakit keturunan lainnya.
d. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami penderita
sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit
penderita.
e. Pola fungsional gordon
1) Pola management kesehatan/persepsi kesehatan
Persepsi terhadap penyakit yang dialaminya
2) Pola nutrisi dan metabolik
Kebiasaan klien dalam memenuhi kebutuhan meliputi : jenis makanan dan
minuman yang dikonsumsi, frekuensi makan dan minum, porsi makan,
makanan yang disukai, nafsu makan (normal,meningkat, menurun),
pantangan atau alergi, penurunan sensasi kecap, mual-muntah, stomatitis,
kesulitan menelan (disfagia). riwayat masalah kulit/penyembuhan (ruam,
kering, keringat berlebihan, penyembuhan abnormal, jumlah minum/24 jam
dan jenis (kehausan yang sangat), mengkaji ABCD yaitu :A (Antropometri:
BB, TB, sebelum dan sesudah sakit fluktuasi BB 6 bulan terakhir (naik/turun),
B (Biocemicle): Hemoglobin, Leukosit, Trombosit, Hematoktit (cairan),
Albumin edema, C (Clinicel) : turgor kulit, konjungtiva, CRT, D (Diet) :
diet/suplment khusus, Instruksi diet sebelumnya.
3) Pola eliminasi
Buang air besar (BAB) : Frekuensi, waktu, Warna, konsistensi, Kesulitan
(diare, konstipasi, inkontinensia), Buang Air Kecil (BAK) : Frekuensi,
Kesulitan/keluhan (disuria, noktiria, hematuria, retensia, inkontinensia).
4) Pola aktivitas dan kebersihan diri kemampuan perawatan diri
0 : Mandiri
1: dengan alat bantu
2: dibantu orang lain
3: dibantu orang lain dan peralatan
4: ketergantian / ketidakmampuan
5) Pola istirahat dan tidur
Lama tidur : (jam/malam, tidur siang , tidur sore), waktu kebiasaan menjelang
tidur, masalah tidur (insomnia, terbangun dini, mimpi buruk), perasaan setelah
bangun (merasa segar / tidak setelah tidur).
6) Pola kognitif dan Persepsi sensori
Status mental (sadar / tidak, orientasi baik atau tidak ), bicara: normal, genap,
aphasia ekspresif, kemampuan berkomunikasi, kemampuan memahami,
tingkat ansietas , Pendengaran: DBN, Tuli, tinitis, alat bantu dengar,
Penglihatan (DBN, Buta, katarak, kacamata, lensa kontak, dll), vertigo,
ketidaknyamanan/nyeri /akut/ kronis, penatalaksaan nyeri
7) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan klien tentang dirinya, gambar dirinya, ideal dirinya, harga dirinya,
peran dirinya, ideal dirinya.
8) Pola hubungan peran
Sistem pendukung : (pasangan, tetangga, keluarga serumah, keluarga tinggal
berjauhan, maslah keluarga berkenaan dengan perawatan RS, kegiatan sosial :
bagaimana hubungan dengan masyarakat.
9) Pola seksual dan reproduksi
Tanggal Menstruasi Terakhir (TMA), masalah-masalah dalam pola
reproduksi, Pap smear terakhir, kepuasan dan tidak puasan klien dalam pola
seksualitas, kesulitan dalam pola seksualitas, masalah seksual berhubungan
dengan penyakit.
10) Pola koping dan toleransi stres
Perawat mengkaji kemampuan klien dalam mengelola stess,
Kehilangan/perubahan besar dimasa lalu, Hal yang dilakukan saat ada
masalah, Pengguanaan obat saat menghilangkan stres, Keadaan emosi dalam
sehari-hari (santai/tegang), keefektifan dalam mengelola stress.
11) Pola nilai dan Keyakinan
Keyakinan Agama, budaya, Pengaruh agama dalam kehidupan.
f. Pemeriksaan fisik
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria M; Butcher, Howard K; Dochterman, Joanne McCloskey. (2018). Nursing
Intervention Classification edisi keenam edisi bahasa Indonesia. USA: Mosby.
Florentia, N. (2018). Karakteristik Pasien Labiopalatoschisis pada Anak di RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang Periode 2015-2017. 121.
Widodo, D. W., Anatriera, R. A., & Cornain, T. Z. (2018). Tatalaksana komprehensif
prosedur Millard modifikasi dengan nasoalveolar molding pada labiognatopalatoskizis
komplit bilateral. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 48(1), 88.
https://doi.org/10.32637/orli.v48i1.259
Moorhead, Sue; Johnson, Marison; Maas, Meridean L; Swanson, Elizabeth. (2018). Nursing
Outcomes Classification (NOC) edisi kelima edisi bahasa Indonesia. USA: Mosby
Wilkinson, J.M, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. EGC: Jakarta.
Smeltzer C. Suzanne, Bare G. Brendo, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, vol. 3, EGC :
Jakarta.
Speer, Kathleen Morgan. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC