Anda di halaman 1dari 11

Laporan Praktikum Kimia Fisik II

Persamaan Arrhenius dan Energi Aktivasi


Tanggal Percobaan : 11 Juni 2020

Kelas : A1

Nama : Ahmad Shofie Ashfiya (11180960000011)

Kelompok :3

Nadhifa Chaerani (11180960000005)

Safitri Azzahra (11180960000021)

Ibnu DIfa Ramadhan (11180960000037)

Dosen Pengampu :Nurmaya Arofah M,Eng

Laboratorium Kimia

Pusat Laboratorium Terpadu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2020
A. Prinsip Percobaan

Prinsip percobaan pada kali ini didasari oleh persamaan laju reaksi. Pada
persamaan laju reaksi, konstanta laju reaksi memiliki hubungan dengan waktu
yang berbanding terbalik, artinya semakin besar konstanta laju reaksi maka
semakin singkat waktu yang dibutuhkan agar reaksi dapat berjalan. Dalam
menentukan nilai energi aktivasi pada sebuah reaksi, digunakan suhu sebagai
variabel bebas untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap energi aktivasi. Nilai
energi aktivasi dapat ditentukan dengan menempatkan 1/T sebagai sumbu X dan
log 1/waktu sebagai sumbu Y

B. Tujuan percobaan
- Menjelaskan kembali hubungan antara kenaikan suhu terhadap laju reaksi
- Menghitung besarnya energi aktivasi dengan menggunakan Persamaan
Arrhenius
C. Tinjauan Pustaka

Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu reaksi
kimia agar dapat berlangsung. Energi aktivasi memiliki simbol Ea dengan E
menotasikan energi dan a yang ditulis subscribe menotasikan aktivasi. Kata
aktivasi memiliki makna bahwa suatu reaksi kimia membutuhkan tambahan
energi untuk dapat berlangsung. Dalam reaksi endoterm, energi yang diperlukan
untuk memutuskan ikatan dan sebagainya disuplai dari luar sistem. Pada reaksi
eksoterm, yang membebaskan energi, ternyata juga membutuhkan suplai energi
dari luar untuk mengaktifkan reaksi tersebut (Castellan GW. 1982).
Istilah energi aktifasi (Ea) pertama kali diperkenalkan oleh Svante
Arrhenius dan dinyatakan dalam satuan kilojule per mol. Terkadang suatu reaksi
kimia membutuhkan energi aktivasi yang teramat sangat besar, maka dari itu
dibutuhkan suatu katalis agar reaksi dapat berlangsung dengan pasokan energi
yang lebih rendah. Jika terdapat suatu reaksi reaktan menjadi produk, maka jika
reaksi diatas berlangsung secara eksoterm. Persamaan Arrhenius mendefisinkan
secara kuantitatif hubungan antara energi aktivasi dengan konstanta laju reaksi,
dimana A adalah faktor frekuensi dari reaksi, R adalah konstanta universal gas, T
adalah temperatur dalam Kelvin dan k adalah konstanta laju reaksi. Dari
persamaan diatas dapat diketahui bahwa Ea dipengaruhi oleh temperatur (Atkins
PW. 1999).
Energi aktivasi sangat dipengaruhi oleh konstanta laju reaksi, semakin besar
konstanta laju reaksi semakin kecil energi aktivasinya. Dengan energi aktivasi
yang kecil diharapkan reaksi semakin cepat berlangsung Pengaruh konstanta laju
reaksi terhadap energi aktivasi dapat dilihat dari persamaan Arrhenius k e−Ea/RT
yang semakin besar nilai konstanta laju reaksi, energi aktivasinya akan semakin
kecil (Desnelli, dkk, 2009). Menurut teori tumbukan, sebelum terjadi reaksi,
molekul pereaksi harus saling bertumbukan. Sebagian molekul pada tumbukan
ini, membentuk molekul – molekul yang aktif. Molekul ini kemudian berubah
menjadi hasil reaksi agar pereaksi dapat membentuk komplek yang aktif. Molekul
– molekul ini hanya mempunyai energi minimum yang disebut energi aktivasi
(Sukardjo, 2002).

Dalam kinetika, suatu reaksi berlangsung melalui beberapa tahap. Diawali


dengan tumbukan antar partikel reaktan. Setelah reaktan bertumbukan, maka akan
terjadi penyusunan ulang ikatan dalam senyawa reaktan menjadi susunan ikatan
yang berbeda ( membentuk senyawa produk ) (Castellan GW. 1982).
Dalam penyusunan ini, akan ada pemutusan ikatan dan pembentukan
ikatan yang baru, yang membutuhkan sejumlah energi. Ketika beberapa ikatan
reaktan putus dan beberapa ikatan baru terbentuk, tercapailah suatu keadaan
dimana dalam sistem terdapat sejumlah reaktan dan produk. Keadaan ini kita
sebut sebagai transisi kompleks. Dalam keadaan transisi kompleks, memiliki
campuran antara produk dan reaktan yang cenderung kurang stabil, karena produk
yang terbentuk dapat membentuk reaktan kembali. Keadaan ini memiliki energi
yang cukup tinggi, karena sistem tidak stabil (Vogel. 1994)
Proses untuk mencapai keadaan transisi kompleks membutuhkan energi
yang disuplai dari luar sistem. Energi inilah yang disebut dengan energi aktivasi.
Pada reaksi endoterm ataupun eksoterm, keduanya memiliki energi aktivasi yang
positif, karena keadaan transisi kompleks memiliki tingkat energi yang lebih
tinggi dari reaktan.
Pada tahun 1889 Arrhenius mengusulkan sebuah persamaan empirik yang
menggambarkan pengaruh suhu terhadap konstanta laju reaksi. Persamaan yang
diusulkan adalah :
Ea
K= A e RT
K = konstanta laju reaksi
A = faktor frekuensi
Ea = energi aktivasi
Persamaan tersebut dalam bentuk logaritma dapat ditulis :
Ea
ln K =ln A−( )
RT
−Ea 1
ln K = x + ln A
RT T
Persamaan tersebut analog dengan persamaaan garis lurus, yang sering
disimbolkan dengan y = mx +c, maka hubungan antara energi aktivasi suhu dan
laju reaksi dapat dianalisis dalam bentuk grafik ln k vs 1/T dengan gradien –
(Ea/RT) dan intersep ln A. Jika suatu reaksi memiliki reaktan dengan konsentrasi
awal adalah a, dan pada konsentrasi pada waktu t adalah a-x, maka dapat ditulis
dalam persamaan :
a
kt=ln( )
a−x
Setelah reaksi berlangsung 1/n bagian dari sempurna, x=a/n dan
1 1
k= ln ( )
t 1/n 1−1/n
Beberapa faktor yang mempengaruhi energi aktivasi adalah sebagai berikut :
1. Suhu
Fraksi molekul-molekul mampu untuk bereaksi dua kali lipat dengan
peningkatan suhu sebesar 10°C . hal ini menyebabkan laju reaksi berlipat
ganda.
2. Faktor frekuensi
Dalam persamaan ini kurang lebih konstan untuk perubahan suhu yang kecil.
Perlu dilihat bagaimana perubahan energi dari fraksi molekul sama atau lebih
dari energi aktivasi
3. Katalis
Katalis akan menyediakan rute agar reaksi berlangsung dengan energi aktivasi
yang lebih rendah.
(Atkins PW. 1999)
D. Alat dan Bahan
Alat:
 Beaker glass 100 ml
 Gelas ukur 25 ml
 Stopwatch
 Spidol hitam + kertas putih
Bahan:
 Na2S2O3 0,1 M
 HCl 1 M
 Aquades
E. Prosedur Kerja
Penentuan nilai energi aktivasi (Ea)
1. Dibuat tanda silang ±2 cm dengan menggunakan spidol pada sehelai kertas.
2. Diletakkan becker glass 100 mL di atas tanda silang tersebut.
3. Diukur 10 mL larutan HCl IM dan dimasukkan ke dalam becker glass tersebut.
Didinginkan larutan sampai suhu ±10°C, dengan menggunakan es.
4. Diukur 20 mL larutan Na2S2O3 0,1 M dengan gelas ukur lainnya, diturunkan
suhunya hingga sama dengan suhu larutan HCI kemudian dituang ke dalam
becker glass yang telah berisi larutan HCI.
5. Dijalankan stopwatch tepat pada saat penuangan. Dicatat waktu yang
diperlukan sejak mulai penuangan sampai tanda silang tepat tidak nampak.
6. Diulangi percobaan di atas dengan menggunakan kedua larutan dengan variasi
suhu yang berbeda seperti terlihat pada tabel:
Percobaan Volume HCI 1M Volume Na2S2O3 0,1M Suhu percobaan
1 10 ml 20 mL 10 °C
2 10 ml 15 mL 15 °C
3 10 ml 10 mL 25 °C
4 10 ml 5 mL 35 °C
7. Dibuat grafik hubungan antara log 1/waktu sebagai fungsi dari 1/T, dan
dihitung berapa nilai energi aktivasi berdasarkan hasil percobaan.
F. Bagan Alir
A. Standarisasi NaOH

Becker glass 100 ml

- Diletakkan diatas tanda silang pada kertas


+ 10 ml HCl
- Didinginkan larutan sampai suhu ±10°C menggunakan es
+ 20 ml Na2S2O3 0,1 M dalam suhu yang sama dengan HCl
- Dicatat waktu sejak mulai penuangan sampai tanda silang tidak tampak
- Diulangi percobaan tersebut menggunakan larutan 10 ml HCl dengan
variasi volume Na2S2O3 0,1 M: 20 mL; 15 mL; 10 mL; 5 mL pada
suhu : 10 °C; 15 °C; 25 °C; 35 °C
- Dibuat grafik hubungan antara log 1/waktu sebagai fungsi dari 1/T
- Dihitung berapa nilai energi aktivasi berdasarkan percobaan
Hasil

H. Hasil dan Perhitungan

Suhu Suhu Suhu 1 1 o 1


Percobaan Waktu (s) ( K) Log
HCl Na2S2O3 (oK) waktu T waktu
1. 10 10 283 135 0,00740741 0,003534 -2,13033377
2. 15 15 288 115 0,00869565 0,003472 -2,06069784
3. 25 25 298 76 0,01315789 0,003356 -1,88081359
4. 35 35 308 68 0,01470588 0,003247 -1,83250891
Grafik hubungan antara log 1/waktu sebagai fungsi 1/T

-1.600000
0.003200 0.003250 0.003300 0.003350 0.003400 0.003450 0.003500 0.003550 0.003600
-1.700000

-1.800000
f(x) = − 1091.78 x + 1.74
R² = 0.95
-1.900000

-2.000000

-2.100000

-2.200000

Log 1/waktu 1/T

y = -4,3455x-1,7205

Ea 1
log k = + log A
−2,303 R T

Ea
-1091,8 =
−2,303 x 8,314

Ea = 20904,85 J/mol = 20,9 kJ/mol

I. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan yang berkaitan dengan energi
aktivasi berdasarkan persamaan Arrhenius. Tujuan dari percobaan kali ini yaitu
menjelaskan hubungan antara kenaikan suhu terhadap laju reaksi dan menghitung
besarnya energi aktivasi menggunakan Persamaan Arrhenius.

Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu reaksi
kimia agar dapat berlangsung. Energi aktivasi memiliki simbol Ea dengan E
menotasikan energi dan a yang ditulis subscribe menotasikan aktivasi. Kata
aktivasi memiliki makna bahwa suatu reaksi kimia membutuhkan tambahan
energi untuk dapat berlangsung. Dalam reaksi endoterm, energi yang diperlukan
untuk memutuskan ikatan dan sebagainya disuplai dari luar sistem. Pada reaksi
eksoterm, yang membebaskan energi, ternyata juga membutuhkan suplai energi
dari luar untuk mengaktifkan reaksi tersebut (Castellan GW. 1982). Laju reaksi
dapat didefinisikan sebagai perubahan konsentrasi pereaksi atau produk persatuan
waktu. Artinya terjadi pengurangan konsentrasi pereaksi atau pertambahan
konsentrasi produk tiap satuan waktu (Keenan, dkk,1990).
Untuk mengetahui hubungan antara laju reaksi dengan suhu, maka reaksi
yang dilakukan pada percobaan kali ini digunakan suhu dengan variasi yang
berbeda. Adapun variasi suhu yang digunakan yaitu : 10 °C, 15°C, 25°C, dan
35°C. Reagen yang digunakan adalah HCl dengan konsentrasi 1 M dan Na 2S2O3
dengan konsentrasi 0,1 M. Saat ingin direaksikan, terlebih dahulu harus dipastikan
bahwa kedua reagen tersebut berada pada suhu yang sama agar dapat diketahui.
Pada saat reaksi telah berakhir, dicatat waktunya agar dapat diketahui hubungan
antara suhu dengan waktu yang dibutuhkan oleh kedua reagen tersebut untuk
bereaksi dengan sempurna. Reaksi yang terjadi yaitu :
Na2S2O3 + 2HCl → 2NaCl + S + SO2 + H2O

Jika dilihat dari reaksi diatas, terjadi pembentukan endapan pada belerang
yang ditunjukkan dengan adanya kekeruhan pada larutan. Reaksi yang
berlangsung pada suhu 10 °C berdurasi 135 detik. Pada variasi suhu 15°C, reaksi
yang berlangsung selama 115 detik. Selanjutnya pada suhu 25°C, waktu yang
dibutuhkan bereaksi yaitu 76 detik. Terakhir, waktu yang dibutuhkan kedua
reagen pada suhu 35°C yaitu 68 detik. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan
hubungan suhu dengan waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi adalah berbanding
terbalik dimana semakin tinggi suhu maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan
untuk bereaksi sedangkan hubungan antara suhu dengan laju reaksi adalah
berbanding lurus. Pada suhu tinggi, partikel dari reagen yang bereaksi memiliki
energi kinetik dan potensial yang lebih besar jika dibandingkan saat berada pada
suhu ruang. Semakin besar energi kinetik dan potensial pada sebuah partikel akan
membuat tumbukan yang terjadi antar partikel akan semakin banyak sehingga
reaksi yang berlangsung lebih cepat .

Waktu yang telah dicatat selanjutnya akan digunakan dalam menentukan


nilai k dan suhu pada saat terjadinya reaksi akan digunakan untuk menghitung 1/T
menggunakan persamaan Arrhenius. Konstanta laju reaksi merupakan laju reaksi
bila konsentrasi dari masing – masing jenis adalah satu. Satuanya tergantung
pada orde reaksi, suatu reaksi yang merupakan proses satu tahap disebut reaksi
dasar. Laju reaksi dan konstanta laju reaksi berbanding lurus karena semakin
cepat laju reaksi, maka konstanta laju reaksi semakin besar dan apabila konstanta
laju reaksi semakin kecil maka suatu reaksi akan berlangsung lambat. Setelah
kedua nilai tersebut didapatkan, diperoleh sebuah grafik yang menjelaskan
hubungan 1/T yang merupakan sumbu X dengan ln k yang merupakan sumbu Y.

Grafik hubungan antara log 1/waktu sebagai fungsi 1/T


1/T
-1.600000
0.003200 0.003250 0.003300 0.003350 0.003400 0.003450 0.003500 0.003550 0.003600
-1.700000

-1.800000
f(x) = − 1091.78 x + 1.74
R² = 0.95
-1.900000

-2.000000

-2.100000

-2.200000
Log 1/waktu 1/T

Dari grafik diatas, slope yang diperoleh yaitu : y = -1091.8x + 1.7382


dengan regresi liner yang didapatkan sebesar 0,953. Energi aktivasi dapat
ditentukan dengan mengolah data dari grafik hubungan 1/T dan ln k berdasar
persamaan Arrhenius dan energi aktivasi yang didapatkan sebesar 20,9 kJ/mol

Harga tetapan laju k dipengaruhi oleh suhu. Hubungan antara keduanya


adalah berbanding lurus dimana semakin tinggi suhu maka harga k yang
didapatkan akan semakin meningkat dan berlaku sebaliknya. Sedangkan
hubungan energi aktivasi dengan kecepatan laju reaksi berbanding terbalik
dimana semakin besar energi aktivasi maka akan semakin kecil laju reaksi yang
didapatkan dan berlaku sebaliknya. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya
nilai energi aktivasi yaitu : suhu, faktor frekuensi dan katalis.
Semakin kecil log k yang didapatkan maka nilai 1/T semakin besar, hal tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pada saat terjadinya reaksi maka energi
aktivasi untuk tercapainya reaksi tersebut semakin kecil dan waktu yang ditempuh
akan semakin singkat sehingga laju reaksinya semakin besar.
Semakin kecil harga Log k maka harga 1/T rata-rata semakin besar. Ini
membuktikan bahwa semakin tinggi temperatur maka energi aktivasinya akan
semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan sehingga akan
memperbesar harga laju reaksi. Hal ini sesuai dengan teori dimana energi aktivasi
berbanding terbalik dengan laju reaksi.

J. Kesimpulan
1. Suhu memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan laju reaksi. Semakin
tinggi suhu maka laju reaksinya semakin cepat. Hal tersebut dikarenakan pada
suhu yang lebih tinggi, partikel dari senyawa yang bereaksi memiliki energi
kinetik dan potensial yang lebih tinggi sehingga tumbukan yang terjadi antar
partikel semakin banyak.
2. Untuk menentukan energi aktivasi (Ea) dapat dilakukan dengan cara
mengalikan nilai gradien grafik (m) dengan (-2,303.R) dimana R memiliki
nilai sebesar 8,314 j/mol K. Energi aktivasi yang didapatkan berdasarkan
hasil percobaan sebesar 20,9 kJ/mol

K. Daftar Pustaka

Aziz, Isalmi dan Arofah, Nurmaya. 2017. Pedoman Praktikum Kimia Fisik II.
Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Atkins PW. 1999. Kimia Fisika. Edisi ke-2 Jakarta : Erlangga.

Castellan GW. 1982. Physichal Chemistry. Third Edition. New York : General
Graphic Services.

Desnelli, dan Zainal Fanani, 2009, “Kinetika Reaksi Oksiadsi Asam Miristat,
Stereat, dan Oleat dalam Medium Minyak Kelapa, Minyak kelapa sawit
serta Tanpa Medium,” Jurnal Penelitian Sains, vol. 12, no. 1 (C) 12107.
Vogel. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik . Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran (EGC)

Sukardjo,1990, “Kimia Anorganik,” Rineka Cipta. Jakarta.

L. Lampiran
Jawaban pertanyaan
1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan energi aktivasi?
Jawab :
Energi aktivasi yaitu jumlah energi minimum yang dibutuhkan untuk
melangsungkan terjadinya reaksi kimia.
2. Jelaskan hubungan antara kenaikan suhu terhadap laju reaksi?
Jawab :
Semakin tinggi suhu maka laju reaksinya semakin cepat. Hal tersebut
dikarenakan pada suhu yang lebih tinggi, partikel dari senyawa yang bereaksi
memiliki energi kinetik dan potensial yang lebih tinggi sehingga tumbukan
yang terjadi antar partikel semakin banyak.
3. Van Hoff, seorang ahli kimia dari Belanda menjelaskan bahwa laju reaksi
akan meningkat sebesar dua kali lipat jika temperatur dinaikkan sebesar
10⁰C. Apakah pernyataan ini berlaku untuk setiap jenis reaksi? Jelaskan!
Jawab:
Pernyataan tersebut berlaku untuk setiap reaksi yang terjadi. Hal tersebut
dikarenakan suhu merupakan sebuah faktor yang sangat berpengaruh
terhadap laju reaksi, dimana semakin tinggi suhu maka semakin cepat pula
laju reaksi yang berlangsung. Pembuktian bahwa setiap kenaikan suhu
o
sebesar 10 C mampu menaikkan 2x laju reaksi dapat dibuktikan
menggunakan persamaan Arrhenius dengan cara menentukan nilai k terlebih
dahulu sehingga dapat diketahui laju pada reaksi yang terjadi

Anda mungkin juga menyukai