Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil
dari pengalaman atau latihan yang diperkuat. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus
dan respon
Dari suatu proses belajar diperoleh suatu hasil yang sangat signifikan, dikarenakan yang
sebelumnya tidak mengetahui menjadi mengetahui dan yang sebelumnya belum memahamin dapat
menjadi paham setelahnya.
Dalam suasana saat ini, istilah belajar tidak hanya menjadi penggambaran suatu usaha
mengetahui sesuatu begitu saja, melainkan memiliki berbagai teori dan model yang terus berkembang
sesuai dengan kemajuan zaman. Salah satu perkembangan teori belajar adalah teori belajar
konstruktivisme.
Meski bukan hal yang baru teori belajar konstruktivisme menjadi salah satu dasar teori belajar yang
sudah mengakar pada dunia pendidikan dengan berbagai karakteristik, kelebihan, maupun
kekuranganya.
Teori belajar konstruktivisme secara umum dapat didefinisikan sebagai sebagai experimental
learning, yang merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkret di lapangan, di
laboratorium, berdiskusi dengan teman, dan dikembangkan menjadi pengetahuan, konsep, serta ide
baru. Peserta didik sebagai subjek pembelajaran yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka
sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai pembelajar.
Dari pengertian secara umum tersebut masih begitu banyak hal mengenai teori belajar
konstruktivisme. Oleh karena itu perlu adanya suatu kajian lebih mendalam, sehingga memunculkan
pemahaman yang lebih luas akan teori belajar tersebut.
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang ada, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1) Apa yang dimaksud dengan teori belajar konstruktivisme?
2) Bagaimana karakteristik dari teori belajar konstruktivisme?
3) Apa kelebihan dan kekurangan dari teori belajar konstruktivisme?
4) Bagaimana pengimplikasian teori belajar konstruktivisme di kelas ?
BAB II
PEMBAHASAN
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan
kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga
dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan
atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan
bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali
struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat
(Ruseffendi 1988:133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi
suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut
konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih
tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997).
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan
masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke
dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang
memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut
pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak
bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan
masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel
dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi
dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan
strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio
ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.
Konstruktivis modern paling banyak dilandasi oleh teori Vygotsky, yang telah digunakan untuk
mendukung metode pengajaran di ruang kelas yang menekankan pembelajaran kerja sama
(pembelajaran kooperatif) dan berbasis proyek, dan pembelajaran penemuan (discovery- inquiry).
Pembelajaran Termediasi
Yang keempat, Vygotsky menekankan pada gagasan tentang perancahan atau pembelajaran termediasi.
Gagasan Penafsiran tentang gagasan Vygotsky yang satu ini adalah, siswa seharusnya diberikan tugas-
tugas yang rumit, sulit, dan realistis. Kemudian, mereka diberikan cukup bantuan untuk mencapai tugas-
tugas ini. Harus dicatat bahwa, diberikan bantuan di sini maksudnya, siswa bukannya diajarkan bagian-
bagian kecil pengetahuan. Prinsip ini digunakan untuk mendukung penggunaan tugas proyek di ruang
kelas, simulasi, penjajakan dalam komunitas, penulisan untuk pembaca yang sesungguhnya, dan tugas-
tugas otentik lainnya. Berkaitan dengan hal ini, ada istilah "pembelajaran situasi" (situated learning), yang
mengacu pada digunakannya pembelajaran yang berlangsung dalam tugas-tugas otentik kehidupan
nyata.
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:
a. Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
b. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
c. Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
d. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
e. Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
f. Mengharagai peranan pengalaman kritis dalam belajar
g. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
h. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
i. Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
j. Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran, seperti prediksi,
infernsi, kreasi, dan analisis
k. Menekankan bagaimana siswa belajar
l. Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru
m. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
n. Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
o. Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
p. Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
q. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang
didasarkan pada pengalaman nyata
2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada
siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar
orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan
mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan
4. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu
siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki
kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang
lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman
mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog
yang sangat bermakna akan terjadi di kelas
5. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan
berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat,
terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata