Anda di halaman 1dari 12

Aturan Prediksi Klinis untuk Membedakan Meningitis Bakteri dari

Meningitis Aseptik

Latar Belakang: Biomarker baru seperti prokalsitonin dan protein reaktif C (C-
reactive protein) dapat membantu mengidentifikasi anak-anak dengan pleositosis
pada risiko rendah atau tinggi meningitis bakteri. Tujuan kami adalah
mengembangkan dan memvalidasi sebuah skor (yang kami sebut skor meningitis
untuk gawat darurat [MSE]) untuk membedakan meningitis bakteri dari
meningitis aseptik pada anak-anak dengan pleositosis ketika dilakukan evaluasi
awal di unit gawat darurat.
Metode: Kami melibatkan anak-anak dari usia 29 hari hingga 14 tahun dengan
meningitis yang dirawat pada 25 unit gawat darurat. Sebuah kohort retrospektif
dari antara 2011 dan 2016 digunakan sebagai set derivasi dan sebuah kohort
prospektif yang direkrut selama 2017 dan 2018 digunakan sebagai set validasi.
Hasil: Dari 109 pasien yang ada, terdapat 917 kasus meningitis aseptik dan 92
meningitis bakteri. Dengan menggunakan analisis regresi logistik multivariabel,
kami mengidentifikasi beberapa prediktor meningitis bakteri dari set turunan:
prokalsitonin > 1,2 ng/ml, protein cairan serebrospinal (CSF) > 80 mg/dL, hitung
neutrofil absolut CSF > 1000 sel per mm3, dan protein reaktif C (CRP) > 40 mg/L.
Dengan menggunkan set turunan, kami mengembangkan MSE, menambahkan 3
poin untuk prokalsitonin, 2 poin untuk protein CSF, dan 1 poin untuk setuap
variabel lainnya. Sebuah MSE ≥1 memprediksi meningitis bakteri dengan
sensitivitas 100% (95% CI: 95%-100%), spesifisitas 83,2 (95% CI: 80,6-85,5),
dan nilai prediksi negative 100% (95% CI 99,4-100).
Simpulan: MSE mampu membedakan meningitis bakteri dari meningitis aspetik
secara akurat pada anak-anak dengan pleositosis CSF.

Sejak pengenalan vaksin konjugasi yang luas, kebanyakan kasus meningitis pada
pediatric adalah aseptik, dan virus masih menjadi penyebab utama. Anak-anak
dengan meningitis virus, sebuah kondisi yang dapat sembuh sendiri, hanya
membutuhkan perawatan suportif. Sebaliknya, meskipun tidak umum, meningitis
bakteri menyebabkan tingginya angka mortalitas dan morbiditas, sehingga
terdapat penekanan pada pentingnya tatalaksana cepat dan tepat. Klasiknya,
karena mereka sulit dibedakan, ketika anak dievaluasi di unit gawat darurat,
mereka yang dengan pleositosis CSF dirawat di rumah sakit untuk menerima
antibiotic ditunda hingga menunggu hasil kultur bakteri.
Tidak ada satupun variable yang membedakan meningitis bakteri dari
aspektik, dan tumpeng tindih sering ditemukan pada variabel-variabel antara
kedua jenis pasien tersebut yang membatasi kemampuan diskrimasi mereka ketika
diperlakukan sebagai prediktor multivariat. Sehingga, kombinasi beberapa
variabel telah digunakan untuk membedakan kedua jenis meningitis. Dari
beberapa aturan prediksi klinis, hanya skor meningitis bakteri (BMS) yang
ditemukan mampu mengidentifikasi anak-anak dengan pleositosis CSF dengan
risiko rendah atau tinggi alami meningitis bakteri. Skor ini sangat berguna sebagai
panduan penentuan keputusan klinis dalam tatalaksana anak-anak yang datang ke
IGD dengan pleositosis CSF, dan ini mudah untuk diterapkan. Skor ini
dikembangkan setelah diperkenalkan secara luas dari vaksin bakteri yang
efektivitasnya tinggi melawan Haemophilus influenzae tipe b dan divalidasi pada
kohort vaksin konjugasi postpneumokokus. Namun, beberapa kasus meningitis
bakteri dapat terlewatkan dengan penggunaan BMS.
Pada beberapa decade terakhir, CRP dan prokalsitonin telah ditambahkan
sebagai uji screening pada anak-anak dengan febris. Secara global, nilai CRP dan
prokalsitonin merupakan parameter yang menyediakan nilai diagnostic paling
baik bagi anak-anak yang demam untuk mendeteksi adanya infeksi serius bakteri.
Prokalsitonin menawarkan beberapa keuntungan dalam mengidentifikasi pasien-
pasien dengan infeksi bakteri invasif, terutama penyakit meningokokus, meliputi
meningitis. Pada seri sebelumnya, digantinya hitung netrofil absolut perifer
(ANC) dengan prokalsitonin secara signifikan meningkatkan spesifisitas BMS.
Tujuan utama kami dalam studi ini adalah untuk mengembangkan dan
memvalidasi sebuah skor, yang kami sebut dengan meningitis score for
emergencies (MSE), untuk membedakan meningitis bakteri dari meningitis
aseptic pada anak-anak dengan pleositosis ketika dievaluasi pertama kali di IGD.
Tujuan kedua kami adalah untuk membandingkan performa alat bantu pengambil
keputusan ini dibandingkan BMS.
Hipotesis kami adalah bahwa dengan melibatkan prokalsitonin dan CRP
mampu mendapatkan keputusan yang lebih akurat dalam membedakan meningitis
bakteri dari aseptic pada anak-anak dengan pleositosis CSF.

METODE
Desain Studi
Ini merupakan studi kohort anak-anak usia 29 hari hingga 14 tahun yang
terdiagnosa dengan meningitis pada 25 IGD pediatric yang merupakan anggota
dari Infectious Diseases Working Group of the Spanish Society of Pediatric
Emergencies.

Kriteri Inklusi
Yang dilibtkan, anak-anak tersebut harus memiliki pleositosis CSF dan data dari
hal-hal berikut: kultur darah dan CSF bakteri, hitung sel darah putih (WBC),
serum CRP, dan prokalsitonin.

Kriteria Eksklusi
Kami mengeksklusi anak-anak berikut: mereka yang <29 hari, sakit berat, dengan
purpura, dan sebelummya tidak sehat dan/atau sudah diterapi dengan antibiotic
dalam 72 jam sebelum pungsi lumbar.

Identifikasi Pasien dan Pengumpulan Data


Untuk membuat set derivasi, pasien dimasukkan secara retrospektif dari tanggal
31 Desember 2016, mundur hingga maksimal 6 tahun (hingga Januari 2011),
tergantung pada kapan pengujian prokalsitonin dilakukan di setiap rumah sakit.
Terlepas dari tanggal ketika kadar prokalsitonin mulai diukur, periode penelitian
untuk setiap rumah sakit harus dilakukan selama 12 bulan untuk menghindari
kemungkinan bias karena variasi musiman. Dalam fase penelitian retrospektif,
pasien diidentifikasi dengan menggunakan catatan elektronik rumah sakit yang
termasuk dalam penelitian. Data pasien dan episode diperoleh dari catatan
kesehatan elektronik dari ED pediatrik dan sistem kesehatan. Peneliti diminta
untuk meninjau semua episode yang sesuai dengan anak-anak yang didiagnosis
dengan meningitis mengikuti sistem pengkodean dari Spanish Society of Pediatric
Emergencies (berdasarkan International Classification of Diseases, Ninth
Revision). Kasus anak-anak yang didiagnosis dengan meningitis dan ditemukan
memiliki pleositosis CSF ditinjau.
Set validasi dibuat secara prospektif termasuk pasien pada tahun 2017 dan
2018. Pada fase prospektif, pasien diidentifikasi oleh dokter yang bertanggung
jawab yang mengisi kuesioner setelah keluar dari UGD untuk pasien yang keluar
dari UGD dan setelah keluar dari rumah sakit untuk pasien yang dirawat. ke
rumah sakit untuk mendapatkan informasi pasien yang lengkap dan hasil DE dan
rumah sakit.
Untuk semua pasien yang masuk kriteria, data untuk variabel-variabel
berikut dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam lembar data terstruktur: tanggal
lahir, jenis kelamin, tanggal dirawat dan dipulangkan, riwayat medis sebelumnya
dan saat itu meliputi kejang, durasi dan puncak demam ketika dirawat, antibiotic
sebelum tatalaksana, WBC dan ANC perifer, WBC CSF dan ANC, hitung sel
darah merah CSF, glukosa CSF, protein CSF, pengecatan Gram bila didaptkan,
hasil kultur darah dan CSF, hasil dari uji PCR (baik bakteri dan virus) bila
dilakukan, dan disposisi ketika dipulangkan. Hasil laboratorium yang dimasukkan
didapatkan ketika anak datang pertama di UGD.
Sebuah kuisioner elektronik dibuat melalui Google Drive untuk semua
anak yang dimasukkan. Kuisioner, sebagai tambahan manual studi,
didistribusikan ke lokasi investigasi (Dokter-dokter IGD) sebelum dimulainya
studi untuk mengecek mudahnya tulisan dipahami dan pantas tidaknya untuk
pengumpulan data sehingga memastikan kejelasan dari data-data final yang
dikumpulkan. Kuisioner yang sudah lengkap kemudian dikirimkan secara
elektronik ke investigator prinsipal.

Definisi
Meningitis Bakteri
Meningitis bakteri didefinisikan sebagai pasien-pasien yang memenuhi satu dari
dua kriteria berikut: (1) identifikasi pathogen bakteri pada CSF dari tumbuhnya
bakteri pada kultur dan/atau, untuk Neisseria meningitidis atau Streptococcus
pneumonia, deteksi genomic pada CSF menggunakan teknik PCR (RealCycler
MENE dan RealCycler MENELI; Progenie Molecular, Valencia, Spanyol); atau
(2) adanya pleositosis CSF (≥10 WBC per mm3) dan baik adanya hasil kultur
darah positif dan/atau, untuk N meningitidis atau S pneumoniae, deteksi genomik
pada darah menggunakan teknik PCR. Beberapa spesies bakteri (meliputi
Staphylococcus epidermidis, Propionibacterium acnes, Streptococcus viridans,
Corynebacterium spp., dan difteroid lainnya) diisolasi pada pasien sehat dianggap
sebagai kontaminan.
Meningitis Aseptik
Meningitis aseptic meliputi pasien-pasien dengan pleositosis CSF dan CSF negatif
serta kultur darah bakteri serta deteksi genomik negative dari N meningitidis dan
S pneumonia menggunakan teknik PCR, jika dilakukan.

Pleositosis
Pleositosis didefinisikan sebagai CSF WBC ≥10 sel per μL, dikoreksi untuk
adanya sel darah merah pada CSF menggunakan rasio 1:500 dari leukositosis
banding eritrosit yang biasanya ditemukan pada darah perifer. Kami juga
mengoreksi protein CSF (untuk setiap peningkatan 1000 sel pada sel-sel darah
merah CSF per mm3, kami mempertimbangkan bahwa protein CSF meningkat
sebesar 1,1 mg/dL).

Tampak Baik
Kami mendefinisikan anak-anak yang tampak baik sebagai mereka yang memiliki
kajian segitiga pediatri normal pada kasus UGD di mana data-data ini secara
sistematis direkam dan, jika tidak, bila temuan pemeriksaan fisik yang terekam
pada rekam medis mengindikasikan adanya kecurigaan klinis adanya sepsis.
Deskriptor yang berujung pada eksklusi dilibatkan namun tidak terbatas hanya
pada “tampak sakit berat,” “irritable,” “sianosis,” “hipotonik,” dan “kutis
marmorata.”

Anak Tampak Sakit Kritis


Anak tampak sakit berat adalah mereka dengan gangguan mental berat, adanya
herniasi serebral, atau membutuhkan bantuan pernapasan atau hemodinamik.

Anak Yang Sebelumnya Sehat


Anak yang sebelumnya sehat didefinisikan sebagai mereka yang tanpa adanya
faktor-faktor risiko berikut: (1) immunosupresi (berhubungan dengan kanker,
gagal ginjal kronis, penyakit sel darah bulan sabit, atau menjadi resipien
transplantasi); (2) adanya bantuan mekanis (kateter, ventriculoperitoneal shunt,
alat bantu dengar); (3) riwayat diagnosis invasif atau prosedur terapi dalam 10
hari terakhir; atau (4) fistula CSF. Pada set turunan, ini ditentukan setelah
mengkaji keseluruhan bagan pasien, tidak hanya dari dokumentasi di IGD. Pada
set validasi, setelah mengkaji keseluruhan bagan dan bertanya pada pasien.

Metode Statistik
Kami melibatkan pasien-pasien yang teridentifikasi retrospektif pada set turunan.
Kemudian, set validasi terdiri dari pasien yang direkrut secara prospektif.

Set Turunan
Kami membuat analisis kurva receiver operating characteristic (ROC) yang
melibatkan variabel-variabel berikut: CSF ANC, CSF WBC, protein CSF, glukosa
CSF, serum CRP, serum prokalsitonin, serum WBC, dan serum ANC. Mereka
kemudian menunjukkan sebuah area di bawah kurva receiver operating
characteristic (AUC) lebih dari 0,90 sebagai skor. Kami menggunakan indeks
Youden untuk mengidentifikasi poin optimal batas variabel-variabel ini. Terakhir,
variabel-variabel yang berhubungan independent dengan meningitis bakteri
disusun berdasarkan magnitudo β-koefisien.
Performa skor kemudian diuji pada set validasi. Secara khusus, aturan
keputusan klinis yang diturunkan dari set derivasi diterapkan pada kohort validasi.
Kami menggunakan AUC sebagai ukuran kinerja diskriminatif. Untuk
menetapkan akurasi diagnostik dari skor, sensitivitas, nilai prediksi negatif (NPV),
dan rasio kemungkinan negatif ditentukan.

Perbandingan dengan BMS


Kami membandingkan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan NPV dari
kedua skor dan jumlah kasus meningitis bakteri yang terlewatkan termasuk semua
pasien-pasien pada set validasi di mana pengecatan Gram dilakukan. Kami juga
membandingkan AUC dari skor baru dan BMS.
Semua analisis dilakukan menggunakan SPSS versi 23 (IBM SPSS
Statistics, IBM Corporation).
Estimasi Ukuran Sampel
Set Turunan
Dalam sebuah studi multisenter termasuk anak-anak dengan meningitis yang
dilakukan oleh Research Network of the Spanish Society of Pediatric
Emergencies, prevalensi meningitis bakteri adalah 6,2%. Untuk mencapai akurasi
5,0% dalam perkiraan persentase dengan interval kepercayaan asimtotik bilateral
(CI) 95% normal, kami perlu memasukkan 90 pasien dalam penelitian; oleh
karena itu, dengan asumsi tingkat putus sekolah 10%, kami perlu merekrut 100
pasien yang didiagnosis dengan meningitis bakterial.
Dalam penelitian yang disebutkan di atas, kami mendiagnosis 1 anak usia
>2 tahun dengan meningitis bakteri per 20.000 episode UGD, dan 1 pasien per
51.000 episode UGD akan memenuhi kriteria inklusi untuk penelitian ini.
Berdasarkan data ini, kami membutuhkan ∼5 100 000 episode UGD. Mengingat
bahwa dalam penelitian ini, kami juga memasukkan bayi berusia antara 2 bulan
dan 2 tahun, jumlah episode UGD diharapkan lebih rendah.

Set Validasi
Kami memperikarakan bahwa akan cukup melibatkan 30 anak yang terdiagnosa
dengan meningitis bakteri dalam periode 2 tahun.

Peran Sumber Pendanaan


Kami tidak menerima pendanaan.

Etika dan Subjek Manusia


Kami menerima persetujuan keseluruhan dari Clinical Research Ethics
Committee of Basque Country. Tanda tangan persetujuan dibutuhkan untuk
peserta pada fase prospektif dari studi.

HASIL
Karakteristik Pasien
Secara global, kami memasukkan 5,167,945 presentasi di UGD pada anak-anak
usia <14 tahun di 25 UGD pediatric. Dari semua ini, 1,509 pasien berusia antara
29 hari hingga 14 tahun yang memiliki pleositosis dan didiagnosis dengan
meningitis (1,341 kasus meningitis aseptik dan 168 meningitis bakteri), namun
488 dieksklusi (412 dengan meningitis aseptik dan 76 meningitis bakteri).
Sehingga, akhirnya, kami memasukkan 1,009 pasien-pasien usia 29 hari hingga
14 tahun (917 dengan meningitis aseptik dan 92 meningitis bakteri). Meningitis
bakteri disebabkan oleh beberapa pathogen berikut: N meningitidis pada 38 kasus
(41,3%), S pneumoniae pada 35 kasus (38,5%), group B Streptococcus pada 5
kasus (5,5%), Streptococcus pyogenes pada 4 kasus (4,3%), Enterococcus faecalis
pada 2 kasus (2,2%), H influenzae pada 2 kasus (2,2%), Escherichia coli pada 1
kasus (1,1%), Listeria monocytogenes pada 1 kasus (1,1%), Salmonella
typhimurium pada 1 kasus (1,1%), Kingella kingae pada 1 kasus (1,1%), dan
Fusobacterium necrophum pada 2 kasus (1,1%). Dari semua pasien yang
dimasukkan, 819 (759 meningitis aseptik dan 61 meningitis bakteri) berada pada
set turunan dan 190 (159 meningitis aseptik dan 31 meningitis bakteri) berada
pada set validasi. Karakteristik utama dari pasien-pasien terlibat ini ditunjukkan
dalam Tabel 1.

Pemilihan Variabel untuk Skor dengan Menggunakan Kurva AUC pada Set
Turunan
Pada analisis kurva ROC, CSF ANC, protein CSF, serum CRP, dan serum
prokalsitonin menunjukkan AUC>90%.

Pemilihan Titik Potong Optimal dengan Menggunakan Indeks Youden pada


Set Turunan
Dengan menggunakan indeks Youden, kami menentukan titik potong berikut:
serum prokalsitonin 1,2 ng/ml, serum CRP 40 mg/L, protein CSF 80 mg/dL, CSF
ANC 1000 per μL. Perbandingan bivariat dari prediktor ini ditunjukkan dalam
Tabel 2.

Pengembangan Model Prediksi Berdasarkan Magnitudo Koefisien β


Kami mengembangkan MSE berbasis hasil regresi logistic (Tabel 3). Kami
memasukkan poin-poin ke 4 variabel pada magnitude relative dari koefisien β.
Terutama, 3 poin diberikan kepada kenaikan serum prokalsitonin >1,2 ng/mL, 2
poin untuk protein CSF >80 mg/dL, dan 1 poin untuk setiap variabel lain (CSF
ANC >1000 per μL dan serum CRP >40 mg/L). Rentang hasil MSE adalah 0
hingga 7 poin.

Set Validasi
Kami menguji performa MSE pada set validasi. MSE ≥1 memprediksi meningitis
bakteri dengan sensitivitas 100% (95% CI: 90%-100%) dan spesifisitas 77,4 (95%
CI: 70,3-83,2). Nilai serupa juga ditemukan ketika menerapkan MSE pada baik
set turunan maupun validasi. Distribusi semua pasien yang dilibatkan dalam studi
dengan meningitis bakteri dan aseptic yang berhubungan dengan nilai MSE
ditunjukkan dalam Gbr. 1. Tidak ada anak yang terdiganosis dengan meningitis
bakteri dalam set turunan atau set validasi yang memiliki MSE <2.

Perbandingan Terhadap BMS


Akhirnya, kami membandingkan performa MSE terhadap BMS (Tabel 5) dan
AUC skor baru dan BMS.
Pada set turunan, 2 pasien dengan BMS = 0 didiagnosis dengan meningitis
bakteri: bayi berusia 1 bulan dengan meningitis oleh Streptococcus agalactiae
(tidak ada kejang, hasil negative pengecatan Gram, protein CSF = 74,5 mg/dL,
SCF ANC = 127 per μL, ANC perifer = 2590 per μL, serum prokalsitonin = 92,4
ng/mL, dan serum CRP = 122,7 mg/L) dan anak perempuan berusia 3 tahun
dengan meningitis meningococcal (tidak kejang, hasil pengecatan Gram negative,
protein CSF = 60 mg/dLm CSF ANC = 900 per μL, ANC perifer = 9600 per μL,
serum prokalsitonin = 20,50 ng/mL, dan serum CRP = 123,7 mg/L).

DISKUSI
Pada studi multisenter besar ini, MSE secara akurat mengidentifikasi meningitis
bakteri dan aseptic pada anak-anak berusia antara 2 bulan dan 14 tahun dengan
CSF pleositosis, tanpa salah klasifikasi mereka dengan meningitis bakteri. Seperti
telah ditunjukkan pada set validasi, inklusi prokalsitonin dan CRO meningkatkan
keakuratan alat pendukung keputusan tervalidasi sebelumnya untuk konteks ini,
BMS.
Kami menganjurkan agar dokter menerima dan memberikan antibiotik
kepada semua anak demam dengan pleositosis dan MSE ≥1. Di sisi lain,
penatalaksanaan yang kurang konservatif dapat dipertimbangkan untuk anak-anak
yang sebelumnya tampak sehat dan demam tanpa purpura dengan pleositosis dan
MSE, yang tidak menerima antibiotik dalam waktu 72 jam sebelum pungsi
lumbal. Pada kelompok pasien ini, pemulangan tanpa antibiotik mungkin
direkomendasikan jika tindak lanjut pasien rawat jalan yang memadai dapat
dipastikan.
Prokalsitonin dan CRP telah umum digunakan dalam penanganan anak-
anak yang berisiko mengalami infeksi bakteri yang serius. Faktanya, prokalsitonin
dan CRP telah menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada jumlah WBC dan
ANC untuk membedakan infeksi bakteri serius dari penyakit virus. Selain itu,
prokalsitonin menawarkan beberapa keuntungan dalam mengidentifikasi pasien
dengan infeksi bakteri invasif, khususnya pasien dengan penyakit meningokokus,
termasuk meningitis. Sejalan dengan ini, pada seri sebelumnya, penggantian ANC
perifer dengan prokalsitonin secara signifikan meningkatkan spesifisitas BMS.
BMS mencakup 5 prediktor dikotomis (kejang selama atau sebelum presentasi,
ANC dalam darah perifer dan dalam CSF, protein CSF, dan pewarnaan CSF
Gram). Dalam penelitian kami, 2 pasien dengan meningitis bakterial memiliki
BMS 0. Salah satunya adalah seorang gadis berusia 3 tahun dengan meningitis
meningokokus. Hal ini mendukung bahwa beberapa anak dengan meningitis
meningokokus mungkin tidak diklasifikasikan dengan benar dengan BMS.
Hal ini mengkhawatirkan karena sebagian besar pasien dengan meningitis
meningokokus mungkin tidak mengalami ruam; ini juga mendukung
dimasukkannya prokalsitonin, yang memiliki kinerja yang baik dalam
mengidentifikasi pasien dengan infeksi meningokokus. Pasien kedua yang
terlewat adalah seorang anak laki-laki berusia 1 bulan dengan meningitis S
agalactiae. Pada bayi muda yang demam, prokalsitonin telah menunjukkan
kinerja yang lebih baik daripada tes tradisional dalam mengidentifikasi bayi yang
berisiko tinggi terkena infeksi bakteri invasif, termasuk meningitis. Namun
demikian, mengingat bahwa beberapa bayi <2 bulan dengan meningitis bakterial
mungkin salah diklasifikasikan, kemudian disarankan agar BMS digunakan pada
anak usia> 2 bulan.
Seperti Nigrovic dkk, kami mengeluarkan pasien tertentu untuk penelitian
kami: bayi <29 hari, mereka yang sakit kritis, mereka dengan purpura, dan mereka
yang sebelumnya tidak sehat. Ini sepertinya masuk akal. Padahal, bila dokter
sangat mencurigai adanya bakteri meningitis, pemberian antibiotik intravena tidak
boleh ditunda. Di sisi lain, kami juga mengecualikan, seperti yang dilakukan
Nigrovic dkk, anak-anak yang diobati dengan antibiotik dalam waktu 72 jam
sebelum pungsi lumbal karena akan sulit untuk mengetahui apakah mereka benar-
benar menderita meningitis aseptik.
Pewarnaan Gram adalah alat yang sangat baik untuk membedakan
meningitis aseptik bentuk bakteri. Hasil pewarnaan Gram CSF positif pada 75%
kasus meningitis bakterial. Jika hasil pewarnaan Gram positif, spesifisitas lebih
tinggi dari 97%. Selain itu, pewarnaan Gram CSF cepat, murah, dan divalidasi
dengan baik untuk mendeteksi bakteri. Kami memutuskan untuk tidak
memasukkan Gram-stain dalam skor MSE karena dua alasan. Pertama, ini tidak
tersedia 24 jam sehari dan 7 hari seminggu di semua ED. Selain itu, tampaknya
sulit untuk tidak menempatkan anak dengan pleositosis CSF dan hasil Gramstain
positif pada antibiotik. Faktanya, terapi antimikroba spektrum luas harus
dilanjutkan sampai hasil kultur CSF tersedia. Kami merekomendasikan untuk
meresepkan antibiotik pada anak dengan pleositosis dan hasil pewarnaan Gram
positif terlepas dari nilai MSE. Namun demikian, kami tidak menemukan kasus
anak-anak yang didiagnosis dengan meningitis bakterial dan hasil pewarnaan
Gram positif dan MSE <2.
Studi ini memiliki keterbatasan tertentu. Kami hanya memasukkan anak-
anak dengan pleositosis yang dianggap oleh Nigrovic dkk cocok untuk dinilai
dengan menggunakan skor di UGD. Karenanya, skor ini tidak boleh diterapkan
pada pasien tertentu: mereka yang berusia <29 hari, sakit kritis, dengan purpura,
sebelumnya tidak sehat, dan / atau diobati dengan antibiotik dalam waktu 72 jam
sebelum pungsi lumbal. Di sisi lain, kami melakukan penelitian di 25 UGD
Spanyol. Ada kemungkinan bahwa distribusi penyebab meningitis bakterialis
bervariasi di negara lain dan akan mengubah kinerja MSE dan BMS. Namun
demikian, kami menganggap bahwa distribusi patogen utama yang terlibat dalam
meningitis bakterial cenderung serupa di negara lain dengan kebijakan dan
cakupan vaksinasi yang serupa dan bahwa MSE dapat membantu
mengidentifikasi populasi yang sesuai untuk manajemen rawat jalan tanpa
antibiotik. Selain itu, kami pertama kali mengembangkan aturan prediksi klinis ini
dan, setelah itu, kami melakukan validasi prospektif, yang biasanya merupakan
pendekatan yang lebih disukai untuk alat tersebut meskipun hal ini sulit dilakukan
dalam kasus meningitis bakterial karena jarang terjadi di negara berpenghasilan
tinggi. Namun demikian, validasi eksternal akan sesuai untuk mengkonfirmasi
hasil kami. Di sisi lain, pada set turunan, mungkin beberapa pasien dengan
demam dan CSF pleositosis yang terlewatkan dan tidak dikode sebagai
“meningitis.” Tidak mungkin bagi semua rumah sakit melakukan pengecekan
pungsi lumbar dilakukan pada set turunan, namun semua kultur darah dan CSF
dicek dan tidak didapati anak dengan pathogen bakteri pada CSF dan darah yang
terlewatkan. Selain itu, kami beranggapan dengan tidak memberi kode meningitis
untuk anak-anak dengan pleositosis tidak diharapkan pada UGD di Spanyol
termasuk pada Infectious Diaseases Working Group of the Spanish Society of
Pediatric Emergencies. Kami tidak menganggap bahwa hal ini menjadi bias bagi
hasil studi ini. Terakhir, distribusi meningitis aseptic dan bakteri berbeda pada set
turunan dan validasi. Meskipun begitu, kami tidak yakin bahwa hal ini
dipengaruhi oleh hasil dan simpulan utama studi.

SIMPULAN
MSE secara akurat mampu membedakan meningitis bakteri dari aseptik
pada anak-anak dengan pleositosis CSF. Inklusi prokalsitonin dan CRP
meningkatkan performa BMS. MSE dapat digunakan sebagai panduan pembuat
keputusan klinis awal pada anak-anak dengan pleositosis CSF tanpa salah
klasifikasi anak dengan meningitis bakteri.

Anda mungkin juga menyukai