Anda di halaman 1dari 71

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A219104/Maret 2021

**Pembimbing : dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An

Kombinasi General Anestesi dan Caudal Anestesi Pada Tindakan Anoplasty Atas Indikasi
Atresia Ani

Fazilla Maulidia* dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANESTESI


RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

Kombinasi General Anestesi dan Caudal Anestesi Pada Tindakan Anoplasty Atas Indikasi
Atresia Ani

Disusun oleh:

Fazilla Maulidia

G1A219104

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANESTESI


RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan pada Maret 2021

PEMBIMBING,

dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp An


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) dalam bentuk
laporan kasus yang berjudul “Kombinasi General Anestesi dan Caudal Anestesi Pada
Tindakan Anoplasty Atas Indikasi Atresia Ani” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah laporan kasus ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Penulis
mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, 5 Maret 2021

Fazilla Maulidia
BAB I

PENDAHULUAN

Atresia ani atau anus imperforata atau malformasi anorektal adalah suatu kelainan
kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis
rekti dan atresia rekti. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb). Atresia ani paling sering
terjadi pada bayi yang baru lahir. 1

Terapi definitif atresia ani adalah pembedahan. Untuk atresia ani letak tinggi, operasi
dilakukan beberapa tahap. Tahap pertama dilakukan pembuatan saluran pembuangan sementara
di perut disebut colostomy. Tahap kedua dilakukan operasi untuk membuat anus baru disebut
anoplasty. Dan tahap ketiga adalah operasi penutupan colostomy.

Sindrom Down (juga disebut trisomi 21) adalah gangguan genetik yang terjadi pada 1
dari 800 kelahiran hidup. Ini adalah penyebab utama kerusakan kognitif. Sindrom Down terkait
dengan ketidakmampuan belajar ringan sampai sedang, perkembangan terhambat, ciri wajah dan
otot rendah nada awal masa bayi. 2
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). General anestesi merupakan teknik yang
paling banyak dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. Teknik ini menghilangkan
kesadaran yang bersifat pulih kembali (reversible) dan meniadakan nyeri secara sentral. Trias
anestesia terdiri dari analgesia, hipnotik dan relaksasi. Tahap awal dari anestesi umum adalah
induksi.3

Caudal epidural analgesia adalah salah satu regional anestesi yang paling umum
digunakan pada pasien pediatri. Pada anak-anak, anestesi kaudal sering dikombinasi
dengan anestesi umum untuk suplemen intraoperatif dan analgesia pascabedah. Teknik
ini umumny digunakan untuk  prosedur dibawah diapraghma, termasuk operasi
urogenital, rektal, inguinal, dan ekstrimitas bawah. Blok kaudal pada pediatrik paling
sering dilakukan setelah induksi anestesi umum.4

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An. Fathih
Jeniskelamin : Laki-laki
Umur : 1 Tahun 6 bulan
NO RM : 922091
Alamat : Muaro Bulian
Ruangan : Kelas III
Diagnosis : Post kolostomi atas indikasi atresia ani + sindrom down
Tindakan : Anoplasty
Masuk RS :28 Februari 2021

2.2 HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


1. ANAMNESIS
Keluhan utama:
Pasien datang untuk melakukan tindakan anoplasty atas indikas atresia ani 1 tahun SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RS untuk melakukan tindakan anoplasty atas indikas atresia ani 1 tahun
SMRS. Pada umur 5 hari pasien dirujuk ke RSUD Raden Mattaher dengan keluhan pasien tidak
pernah BAB dan didapatkan perutnya kembung dan pasien tidak memiliki lubang anus. Riwayat
muntah (-), sesak (-), demam (-), BAK dalam batas normal. Selain itu pasien juga memiliki
bentuk wajah seperti mongoloid. Pasien dirujuk ke RSUD Raden Mattaher dengan diagnosis
atresia ani dan sindrom down. Dan dilakukan kolostomy pada umur 7 hari.
Pasien lahir di sebuah RS di Bulian dengan SC. pasien merupakan anak ketiga. saat
mengandung ibu pasie berusia 39 tahun. Usia kehamilan cukup bulan 38 minggu, air ketuban
jernih. Bayi dilahirkan dengan berat badan 2,5 dan tinggi badan 48 cm. Pada saat hamil ibu
pasien tidak pernah sakit dan riwayat ANC lengkap.

Riwayat penyakit dahulu:


- Riwayat Operasi : operasi kolostomy atas indikasi atersia ani 1 tahun
SMRS.
- Riwayat Sakit jantung : (-)
- Riwayat Penyakit lain : sindrom down

Riwayat penyakit keluarga:


- Riwayat dengan keluhan yang sama (-)

Riwayat Kelahiran
Pasien lahir cukup bulan, anak lahir dibantu dokter dengan SC, dengan berat badan 2,5 kg
daan tinggi badan 48 cm.

Riwayat Imunisasi
Imunisasi lengkap.

2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4V5M6
 Vital Sign :
Nadi : 80 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 36,6 ºC
BB : 6,5 kg TB: 90 cm
 Kepala : Normochepal, mongoloid face (+).
 Mata : Konjungtivaanemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
, pupil isokor .
 THT : Perdarahan(-), gigi insisi atas dan gigi insisi bawah, mallampati I
 Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

 Thorax
Paru-paru
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, skar (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-), krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
 Palpasi : Ictus cordis terabadi ICS V linea midclavicula sinistra
 Perkusi : tidak diperiksa.
 Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
 Inspeksi : Distensi abdomen (-), skar (-), stoma (+)
 Auskultasi : Bising usus (+), 20 x/menit
 Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-)
 Perkusi : timpani (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, edema (-)

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi Lengkap
Hemoglobin 13,3 g/dL 11-16
Trombosit 480 10^9/L 100-300
Leukosit 6,42 10^9/L 4-10
Hematokrit 42,0 % 34,5-54
CT 3 Menit 1-6
BT 1,5 Menit 5-15
Faal Hati
SGOT 32 g/dl 15-37
SGPT 23 g/dl 14-63
Albumin 3,8 g/dl 3,4-5,0
Golongan darah rhesus : O+
Swab Nasofaring : negatif

4. DIAGNOSIS : Post kolostomi atas indikasi atresia ani + sindrom down

5. PENENTUAN STATUS FISIK ASA : I / II / III / IV / V

6. PERSIAPAN PRA ANESTESI :


- IVFD dipasang dari ruang bangsal bedah dengan abocath no.
- Siapkan Informed Consent dan SIO
- Puasa 6 jam sebelum operasi
2.3 LAPORAN ANESTESI
Tanggal : 2 Maret 2021
Nama : An. Fathih
Umur : 1 tahun 6 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
TB/BB : 90 cm/ 6,5 kg
Alamat : Muaro Bulian
No. RM : 922091
Ruangan : Bedah kelas III
Diagnosa : Post kolostomi atas indikasi atresia ani + sindrom down
Tindakan : anoplasty
Operator : dr. Willy Hardy Marpaung, Sp.BA
Ahli Anestesi : dr. Panal Hendric Dolok Saribu, Sp.An

1. Keterangan Pra Bedah


a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 ( E=4, M=6, V=5 )
Tanda vital :
Nadi : 80 x/i
RR : 24 x/i
Suhu : 36,60C
Berat Badan : 6,5 kg

b. Laboratorium
Darah Rutin
WBC : 6,42x 103/L
HGB : 13,3 gr/dL
HCT : 42,0%
PLT : 480 x 109/L
Masa Pendarahan (BT) : 3 menit
Masa Pembekuan (CT) : 1,5 menit

Faal Hari
SGOT : 32 g/dL
SGPT : 23 g/dL

2. Tindakan Anestesi
1. Diagnosa pra bedah : Post kolostomi atas indikasi atresia ani + sindrom down
1. Tindakan bedah : anoplasty
2. Status fisik ASA : ASA II
3. Malampati :I
4. Jenis anestesi : Anestesi umum ( General Anestesi) dan caudal anestesi
Pramedikasi :
Jam : 09.00 WIB
Dexametason 2,5 mg (IV)
Asam traneksamat 120 mg (IV)

5. Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan Laringoskop
Tube : ETT Non Kinking no 3
Airway : Goodle
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Intorducer : Mandrin
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction

Anestesi umum :
 Induksi inhalasi dengan Sevofluran 3%
 Intubasi dengan ETT no.3,5 (tanpa cuff) dengan laringoskop blade lengkung no.1 1/2
didahului oleh pelumpuh otot atrakurium 1 mg
 Maintenance dengan Sevofluran + O2

Caudal Anestesi:
 Bupivacain 3 ml+ morphine 0,1 cc+aquades

Pemeliharaan anestesi : O2, N2O, dan Sevofluran 1vol %


Posisi : pronasi
Infus : Ringer Laktat
Status fisik : ASA II
Induksi mulai : 09.15 WIB
Operasi mulai : 09.35 WIB
Operasi selesai : 10.35 WIB
Berat badan pasien : 6,5 Kg
Durasi operasi : 1 jam
Pasien puasa : 6 jam
Medikasi :
 Analgetik : Fentanyl 10 mg
 Induksi : Inhalasi sevopluron 3vol%
 Relaksan : Atracurium 10 mg

3. Keadaan Selama Operasi


a. Letak Penderita : Pronasi
b. Intubasi : Oral, No. Tube : 3,5 Balon
c. Penyulit Intubasi : Tidak ada
d. Lama Anestesi : ± ½ jam
e. Jumlah Cairan
Input :
 RL : ± 500 cc
Output :
 Urine : ± 50 cc
 Perdarahan : ± 50 cc
 Cairan pus :-

g. Kebutuhan cairan pasien ini


BB = 6,5 Kg
Terapi cairan
 Maintenance = 10 kg I = 4 cc/KgBB/jam
= 4 cc x 6,5 Kg/jam
= 26cc/jam
 Pengganti puasa = puasa x maintenance
= 6 jam x 26 cc/jam
= 156 cc
 Stress operasi = 4 cc/KgBB/jam
= 4 cc x 6,5 Kg/jam
= 26 cc/jam

 EBV = 85 cc/KgBB
= 85 cc x 6,5
= 552,5 cc

 ABL = EBV x (Hi-Hf) : Hi


= 552,5 x (42,0 % - 30 %) : 42,0
= 552,5 x 12 :42,0 = 157,85 cc

 Kebutuhan Cairan = 10 kg pertama  4 ml/kgbb


= 4 x 6,5
= 26 ml/ jam

Jadwal pemberian cairan (lama operasi 1 jam)


Jam I= ½ PP + SO + M= ½ 156+ 26+ 26= 130 cc

4. Monitoring

Jam TD Nadi RR SpO2 Keterangan

 Pasien masuk ke kamar operasi, dan dipindahkan


kemeja operasi
09.05 - 145 27 100%
 Pemasangan alat monitoring, saturasi, nadi,
oksigen 2L

09.15 - 146 25 100%  Pasien dipersiapkan untuk induksi


 Dilaukuan induksi dengan induksi inhalasi

 Dilakukan pemasangan infus dan berikan cairan RL


 Kemudian pasien dipasangkan sungkup dan mulai di
bagging, lalu diberikan relaksan yaitu atracurium 10
mg.
 Setelah di bagging selama 5 menit pasien di intubasi
dengan ETT no. 3,5.
 Dilakukan auskultasi di kedua lapang paru untuk
mengetahui apakah ETT terpasang dengan benar.
09.20 - 152 23 83%  ETT di hubungkan dengan ventilator.
 ETT difiksasi dengan plester.
 Diberikan maintenance yaitu sevoflurans 1% dan N2O
2L
 Dilakukan anestesi cauda
 Pasien dipasangkan kateter urine
 Urine bag dikosongkan
09.35 - 140 30 100%
 Pasien diposisikan pronasi
 Operasi dimulai
 Kondisi terkontrol
09.50 - 138 24 100%
 Kondisi terkontrol
10.05 - 133 17 100%
 Kondisi terkontrol
10.20 - 138 17 100%
 Operasi selesai
10.35 - 70 18 100%  Pelepasan alat monitoring
 Pasien di pindahkan keruang pemulihan

5. Ruang Pemulihan
 Masuk Jam : 10.50 WIB
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
 Tanda vital
TD :-
Nadi : 141 x/menit
RR : 17 x/menit
 Pernafasan : Baik
 Monitoring
Jam TD Nadi RR SpO2 Keterangan

 Pasien masuk ruang pemulihan

11.05 - 120 20 96%  Dilakukan pemasangan monitoring dan


dilakukan skoring dengan menggunakan
skor steward

 Dilakukan pemasangan monitoring


11.20 - 119 19
99% (oxymeter)

99%  Dilakukan pemasangan monitoring


11.35 - 129 22
(oxymeter)

99%  Dilakukan pemasangan monitoring


11.50 - 132 22
(oxymeter)

99%  Dilakukan pemasangan monitoring


 12.00 - 127 22 (oxymeter)

 Pasien keluar ruang pemulihan

Scoring steward:
pergerakan :1
Pernafasan :2
Kesadaran :1
Jumlah :4
 Instruksi Post Operasi:
- Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit
- Tirah baring tanpa menggunakan bantal
- Diit bila sadar penuh
- Instruksi lain sesuai dr. Willy, Sp.BA
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anestesi Umum5,6,7


Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum memiliki karakteristik menyebabkan
amnesia bagi pasien yang bersifat anterogardyaitu hilang ingatan kedepan dimana pasien
tidak akan bisa ingat apa yang telah terjadi saat dia dianestesi/operasi. Karakteristik
selanjutnya adalah reversible yang berarti anestesi umum akan menyebabkan pasien bangun
kembali tanpa efek samping.
Komponen dalam Anestesi Umum
General anestesi adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari:
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya nyeri)
3. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi trakeal

Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum


Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah anestisia
umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu dikonversikan menjadi anestesia
umum.
Keuntungan anestesia umum
a. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis berlangsung.
b. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas dan
berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan trauma psikologis.
c. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
d. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.
Kerugian anestesia umum
a. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul dibawah
anestesia umum.
b. Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
c. Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
d. Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
e. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.

Jenis Jenis Anestesi Umum8,9,10


Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri,
kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara
intravena.
1. Anestesi Inhalasi8,9,10
Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan berupa gas.
Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O, halotan, enfluran,
isofluran, desfluran, sevofluran. Agen ini dapat diberikan dan diserap secara terkontrol
dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-paru (alveoli). Mekanisme kerja
obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi gas dari paru ke darah dan distribusi ke
organ. Sedangkan konsentrasi uap obat anestetik dalam alveoli ditentukan oleh
konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar, koefisien gas darah, curah jantung, dan perfusi.

1. Dinitrogenoksida (N2O)
N2O merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang
kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap
SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan,
hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan
tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan
atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.

2. Halotan
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas kendali
sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Halotan
menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit
dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk
bedah otak. Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.

3.Enfluran
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan.Efek depresi nafas
lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif dibandingkan
halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik dibandingkan halotan.

4.Isofluran
Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan
aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat dikurangi dengan teknik
anestesia hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.

5.Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek
terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap
sistem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar.
Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada
laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia.

2. Anestesi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan
dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi,
dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.

1. Barbiturate
Contohnya pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat anestesi intravena yang
bekerja cepat (short acting). Bekerja menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem
sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat
pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi
dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan
berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi
jantung terhadap katekolamin.

2. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi. Propofol
memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun
pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi
umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena
propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai
induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi
bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi
berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi
pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam
keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat. Rasa
nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau
trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan
dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti selama
induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi. Propofol
menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena
vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali
normal dengan intubasi trakea.
Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam
memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi
hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan
menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi
pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi,
aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala,
pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

3. Ketamin
Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang menyerupai
keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan nistagmus lambat. Pada
saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi, terjadi amnesia dan analgesia yang
sangat baik. Ketamin meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut
jantung meningkat, kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi.
Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit,
tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu paruh 7-11
menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5 menit. Dosis bolus untuk
induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik
dicapai dengan dosis sub anestetik 0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1 ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).

4. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi.
Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis
induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

5. Benzodiazepin
Yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam, dan midazolam.
Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik (sebagai
neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal
dalam anestetik regional. Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini
menyebabkan tidur, mengurangi, cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd
(setelah pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada SSP
ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.
a) Midazolam
Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan anestesi, bekerja
cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja
kuat menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5 mg/ml. Mula
kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM 15-30
menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam
30 menit. Midazolam menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari
diazepam, penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer .Efek depresi pernafasan minimal juga menurunkan metabolisme O2 di otak
dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi 0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg
IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb IV.

b) Diazepam
Obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot, antikonvulsi dan
amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi liver. Dibandingkan dengan
barbiturate, efek anestesi diazepam kurang memuaskan karena mula kerjanya
lambat dan masa pemulihannya lama. Diazepam digunakan untuk berbagai macam
intervensi (menimbulkan sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama),
meringankan kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti
berkurangnya ingatan, juga untuk induksi anestesia terutama pada penderita dengan
penyakit kardiovaskular. Diazepam juga digunakan untuk medikasi preanestetik
dan untuk mengatasi konvulsi. Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang
disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik. Dosis
premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2
mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV
tergantung indikasi dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi
dilakukan secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena pemberian terlalu cepat dapat
menimbulkan apnea.

3.1.1 Anestesi Umum Pada Bayi (General Anestesi)


3.1.1.1 Anatomi Jalan Napas11
Terdapat beberapa perbedaan anatomi pada jaluran napas anak-anak bila
dibandingkan dengan orang dewasa. Perbedaan pertama adalah ukuran lidah anak-anak
yang lebih besar dibandingkan orofaring sehingga meningkatkan resiko terjadinya
obstruksi jalan napas dan kesulitan teknis lainnya pada saat melakukan laringoskopi.
Perbedaan kedua adalah lokasi larynx anak yang terletak lebih tinggi pada C4 bila
dibandingkan dengan orang dewasa yang berada pada C6 dan letak Glottis pada anak-
anak berada pada C2 dan lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa pada C4 dan
letak kartilago krikoid pada C4 dibandingkan dengan orang dewasa pada C6 sehingga
pemasangan dengan blade yang lurus lebih direkomendasikan dibandingkan dengan blade
yang bengkok.
Bentuk Epiglottis anak lebih pendek dan tebal dan terletak lebih dekat kepada
laryngeal inlet sehingga visualisasi pita suara akan lebih sulit dan membutuhkan
keterampilan penggunaan blade laringoskop yang lebih mahir. Bentuk pita suara lebih
bersudut sehingga pada saat memasukkan ETT (Endotracheal Tube) dapat tersangkut
pada commisure anterior pita suara. Larynx anak kecil mengalami penyempitan pada
cincin krikoid sedangkan pada orang dewasa penempitan jalan napas berada di pita suara
sehingga penggunaan ETT tanpa cuff disarankan untuk pasien pediatrik.

Gambar. Anatomi jalan napas pada pasien anak

Gambar. Bagian sagital dari orang dewasa (A) dan bayi (B) saluran napas
Selain pada jalan napas terdapat beberapa perbedaan lain pada anak-anak yakni
bagian kepala oksiput yang lebih besar akan menyulitkan untuk menempatkan pasien pada
posisi sniffing untuk mengatasi hal tersebut dapat dibetikan ganjalan bahu.16

3.1.1.2 Sistem Respirasi


Perbedaan utama yang paling mendasar pada sistem pernapasan anak-anak adalah
kebutuhan metabolik dan konsumsi oksigen yang lebih tinggi yaitu 6 ml/kg , 3 kali lipat
lebih banyak dari orang dewasa, namun karena volume tidal pada anak-anak relatif sama
dengan orang dewasa (6-8 ml/kg). bila dibandingkan dengan berat badan maka hal
tersebut dikompensasi melalui laju ventilasi yang lebih cepat (anak <1 tahun : 30-60x per
menit, 1-3 tahun: 24-40x per menit , 3-6 tahun : 22-34x per menit, 6-12 tahun : 18-30x per
menit , 12-18 tahun : 12-16x per menit).
Perbedaan lainnya adalah closing volume yang didefinisikan seabagi volume udara
yang terdapat pada paru-paru pada saat bronkioles respiratorius kolaps bila ditemukan
pada anak-anak nilainya lebih tinggi daripada kapasitas residu fungsional sehingga rentan
terjadi penutupan jalan napas pada akhir respirasi dimana kapasitas residu fungsional akan
berkurang bila terjadi apnea dan pada anestesi, hal ini menuntut adanya pemberian
ventilasi tekanan positif pada saat anestesi pasien anak-anak.
Resistensi jalan napas dapat dihitung berdasarkan hukum poiseuille dimana
resistensi = 8 Ln/r4 . Radius memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan
resistensi, dimana pada anak-anak diameter saluran napas masih kecil mulai dari lubang
hidung sampai bronkioles respiratorius sehingga resistensi pada anak-anak cenderung
lebih tinggi daripada orang dewasa, hal ini dapat diatasi dalam pemberian beberapa obat
anestesi yang memiliki efek untuk mendilatasi bronkus dan mengurangi resisten, namun
bila terjadi edema sebanyak 1 ml saja dapat mengurangi jalan napas sebanyak 60% , hal
ini menimbulkan pendapat bahwa sebaiknya terdapat sebuah bocoran disekitar ETT untuk
mencegah trauma yang dapat menyebabkan edema subglottis.
Dinding dada anak kecil banyak mengandung jaringan tulang rawan sehingga lebih
elastis dan menyebabkan compliance paru lebih tinggi, hal tersebut memudahkan paru
kolaps ketika ada peningkatan kerja ventilasi yang menuntut tekanan intra-thoracic yang
lebih negatif. Otot pernapasan bayi yang dominan adalah diafragma, dimana otot
diafragma bayi pada usia di bawah 2 tahun didominasi oleh serat otot type 2 yang
memiliki ketahanan terhadap beban berulang yang rendah dibandingkan serat otot type 1,
hal ini menyebabkan diafragma bayi lebih mudah letih bila terdapat peningkatan laju
ventilasi sedangkan laju ventilasi anak-anak sendiri sudah lebih tinggi dari dewasa
sehingga kemampuan untuk meningkatkan usaha ventilasi secara efektif akan terbatasi.
Kadar volume dead space pada anak kecil dan dewasa cenderung sama yaitu
sekitar 33% bila dibandingkan dengan volume tidal namun penggunaan alat-alat anestesi
dapat meningkatkan volume dead space dan menggangu ventilasi secara efektif sehingga
penggunaan alat-alat anestesi harus diperhatikan dengan benar. Semua faktor tersebut
akan memudahkan terjadinya gangguan pernapasan dan desaturasi pada anak kecil
sehingga pengawasan kadar oksigen harus dilakukan secara ketat.
3.1.1.3 Sistem Kardiovaskular
Ventrikel kiri pada anak-anak lebih nonkomplians dan serat-serat kontraktil yang
sedikit, namun kebutuhan metabolisme anak-anak tetap lebih tinggi dari orang dewasa
sehingga cardiac output juga harus tinggi (anak-anak : 200 ml/kg/min , dewasa : 70
ml/kg/min) , Cardiac output ditentukan dari kadar volume kuncup dan detak jantung,
karena kontraktilitas ventrikel kiri yang rendah pada anak-anak maka kompensasi dicapai
melalui peningkatan detak jantung. Karena detak jantung yang tinggi pada anak-anak
maka pada saat induksi anestesi dapat terjadi ventrikuler ekstra systole yaitu sebuah
arritmia jantung yang dapat diatasi dengan memperdalam anestesi. Di sisi lain anak-anak
rentan terhadap peningkatan tonus parasimpatis dan dapat dicetuskan oleh hypoxia
ataupun stimulus menyakitkan seperti pemasangan laryngoskopi ataupun intubasi, hal
tersebut dapat menurunkan cardiac output secara dramatis, hal ini dapat diatasi dengan
pemberian atropine, sedangkan bradycardia yang dicetus oleh hypoxia dapat diatasi
dengan pemberian oksigen dan ventilasi yang baik.
Tabel Variasi Laju Nadi dan Tekanan Darah pada Pasien Anak
3.1.1.4 Sistem Hematologi
Neonatus memiliki kadar HbF 70-90% dimana HbF memiliki efek protektif
terhadap anemia sel sabit, selain itu HbF memiliki afinitas yang tinggi sehingga mudah
mengikat oksigen namun karena kadar 2,3 DPG rendah maka pelepasan oksigen
kejaringan lebih sulit dibandingkan dengan HbA, hal ini diatasi dengan kadar Hb bayi
yang lebih tinggi yaitu sekitar 18-20 g/dL dengan hematocrit 0.6 . Seiring waktu akan
terdapat penurunan kadar Hb yang tajam dan akan ditemukan anemia fisiologis pada usia
3 bulan , hal tersebut menandakan transisi produksi hemoglobin Fetal menjadi menjadi
hemoglobin Adult, setelah fase ini maka hemoglobin akan meningkat secara perlahan
Tabel. Kadar Hb pada Anak

Volume darah pada bayi lebih tinggi daripada orang dewasa, hal tersebut akan
mempengaruhi jumlah cairan atau darah yang harus ditransfusikan bila terjadi
hypovolemia. Rumus ABL (Allowable Blood Loss) digunakan untuk mencari jumlah
cairan yang dibutuhkan dan dihitung dengan rumus ( ABL: EBV X Ht 1−Ht 2 / Ht1 )
dengan EBV : Estimated Blood Volume , HT1 : Hematocrit (atau bisa hemoglobin) awal
(normal pria: 42- 52%, wanita : 37-47%), HT2 : Hematocrit (atau bisa hemoglobin) akhir.
Sebelum Operasi disarankan dibuat perhitungan estimasi kehilangan darah pada saat
intraop sebelum dilakukan operasi, dan bila mungkin dapat diberikan terapi preoperatif
seperti supplemen besi. Bila pasien dengan anemia kronis tidak dapat menerima transfusi
darah karena alasan tertentu atau memiliki penyakit ginjal dapat dibantu dengan
pemberian EPO (Erythropoietin).

3.1.1.5 Cairan dan Elektrolit


Anak kecil memiliki kadar air dalam tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan
orang dewasa , dengan kadar TBW (Total Body Water) pada bayi prematur 90% berat
badan, bayi aterm 80% dan bayi berusia 6-12 bulan 60%. Hal tersebut memiliki 2
dampak, dampak pertama adalah peningkatan volume distribusi obat sehingga
penggunaan beberapa obat anestesi seperti thiopental pada anak-anak harus dengan dosis
20-30% lebih besar dibandingkan dengan dewasa.
Dampak kedua adalah semakin banyak TBW maka akan semakin rentan terhadap
terjadinya dehidrasi, anak-anak membutuhkan kadar TBW yang lebih banyak karena
kadar metabolisme tubuh yang tinggi serta kemampuan laju filtrasi glomerulus(GFR)
yang lebih rendah sehingga pengeluaran urin lebih banyak dari dewasa, waktu paruh obat
yang dimetabolisme di ginjal akan meningkat serta toleransi yang rendah terhadap
pemberian air dan garam (GFR saat lahir : 40 ml/min , usia 1 tahun : 100 ml/min,
Dewasa : 130 ml/min).

3.1.1.6 Sistem Hepatobilier


Pada Anak-anak maturitas fungsional hati belum sepenuhnya terbentuk, sebagian
besar enzim untuk metabolisme obat sudah diproduksi namun belum terstimulasi oleh
obat tersebut. Seiring pertumbuhan anak anak kemampuan untuk metabolisme obat akan
meningkat secara drastis dan menjadi siap dalam usia beberapa bulan , hal tersebut
disebabkan 2 hal, pertama adalah peningkatan aliran darah ke hati sehingga lebih banyak
obat masuk ke dalam hati, dan sistem enzim yang diproduksi sudah dapat distimulasi oleh
obat tersebut.
Kadar albumin dan beberapa protein yang dibutuhkan untuk berikatan dengan obat
pada plasma lebih rendah di anak anak dibandingkan dewasa, kondisi tersebut akan
mengakibatkan lebih banyak obat bebas beredar di sirkulasi karena tidak berikatan dengan
albumin, selain itu hyperbilirubinemia dapat terjadi karena perpindahan bilirubin dari
albumin yang disebabkan oleh obat sehingga pasien menjadi ikterus.

3.1.1.7 Sistem Endokrin


Neonatus memiliki cadangan glikogen yang sedikit sehingga mereka rentan
terhadap terjadinya hypoglikemia, faktor resiko lain adalah bayi dari ibu yang menderita
diabetes, prematur, stress perinatal dan sepsis. Untuk mengatasi hal tersebut maka bayi
dengan faktor resiko dapat diberi dextrose 5-15mg/kg/menit.

3.1.1.8 Sistem Gastrointestinal


Fungsi koordinasi gerakan menelan dan bernapas pada bayi serta fungsi LES
(Lower esophageal sphincter) belum sempurna sampai berusia 4-5 bulan sehingga
menyebabkan insidense refluks gastroesophageal. Hal tersebut menimbulkan beberapa
pendapat untuk mempuasakan bayi sebelum operasi namun kadar glukosa harus tetap
diperhatikan ketat karena bayi rentan terhadap terjadinya hipoglikemia.

3.1.1.9 Sistem Thermoregulasi


Bayi dan anak-anak memiliki luas permukaan yang lebih banyak dibandingkan
dengan berat badan serta lemak subkutis yang sedikit. Hal tersebut mengakibatkan bayi
lebih mudah mengeluarkan panas baik secara radiasi (pengaruh terbesar), konduksi,
konveksi, dan evaporasi sehingga rentan mengalami hipotermia. Bayi memiliki jaringan
lemak coklat yang dapat digunakan sebagai kompensasi untuk menghasilkan panas karena
bayi berusia dibawah 3 bulan tidak dapat menggigil. Suhu ruangan yang disarankan pada
saat operasi adalah 34°C untuk bayi prematur, 32°C untuk neonatus, dan 28°C untuk
remaja dan dewasa. Hipotermia pada anak - anak dapat menyebabkan depresi napas,
acidosis, penurunan cardiac output, meningkatkan durasi efek obat, menurunkan kadar
trombosit, dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi.
Tabel. Langkah-langkah dalam mempertahankan suhu bayi
3.2 Anestesi Pediatrik
3.2.1 Obat anestesi Inhalasi
Bayi dan anak-anak memiliki tingkat ventilasi alveolar yang lebih tinggi serta
koefisien distribusi gas-darah yang lebih rendah dari orang dewasa sehingga
menyebabkan penyerapan obat inhalasi lebih cepat. Nilai MAC (Mean Alveolar
Concentration) untuk pasien anak sedikit lebih tinggi dari dewasa namun neonatus
membutuhkan MAC yang lebih rendah dari pasien dewasa, hal ini disebabkan karena
immaturitas otak, level progesterone residual dari ibu, dan kadar endorphin yang tinggi
sehingga ambang nyeri meningkat. Ketika NO (Nitrous Oxide) ditambahkan kepada gas
anestesi lain, maka kadar MAC yang dibutuhkan akan berkurang karena efek second gas
exchange dengan nilai sebagai berikut ; MAC sevoflurane berkurang 20-25% , halothane
berkurang 60%, isoflurane 40% , dan desflurane 25%.
Selain pengambilan, eliminasi obat anestesi pada pasien pediatrik juga lebih cepat
dibandingkan dengan orang dewasa , hal ini disebabkan karena tingginya laju napas dan
cardiac output serta distribusi yang besar kepada organ dengan vaskularisasi banyak, di
sisi lain hal ini menyebabkan mudahnya terjadi overdosis obat anestesi pada pasien
pediatrik. Fungsi hati bayi belum sepenuhnya terbentuk sehingga hanya sedikit obat yang
dimetabolisme di sana sehingga hepatitis yang disebabkan oleh halotan jarang pada anak
(1:200.000 anestesi).
Tabel. Nilai MAC untuk anestesi sesuai golongan umur
3.2.2 Obat Anestesi Intravena
Neonatus memiliki proporsi cardiac output yang mencapai otak yang lebih besar
dibandingkan pasien anak sehingga dosis untuk induksi lebih kecil. Salah satu obat yang
paling sering digunakan untuk anestesi intravena adalah propofol walau penggunaan
dibawah umur 3 tahun belum direkomendasikan. Dalam pemberian obat anestesi
intravena perlu diketahui karena fungsi ginjal dan hati belum sempurna maka interval
dosis pemberian obat perlu diperpanjang agar tidak terjadi toksisitas.
Dosis untuk anestesi intravena pada anak-anak harus disesuaikan karena massa otot
dan lemaknya berbeda dari orang dewasa. Efek samping dari propofol yang dapat muncul
adalah bradikardi dan hipotensi dimana insidensi bradikardia pada anak-anak 10-20%
lebih tinggi daripada orang dewasa, hal ini penting dipertimbangkan karena pada pasien
anak fungsi baroreceptor belum sempurna sehingga pengaturan cardiac output didominasi
oleh peningkatan laju nadi. Selain propofol terdapat beberapa kombinasi obat yang dapat
digunakan untuk anestesi intravena.

Tabel. Dosis Obat Anestesi Intravena untuk Pasien Anak


Tabel Kombinasi TIVA(Total Intravenous Anesthesia) pada anak
Analgetik Sedatif Hipnotik
Fentanyl DHBP Trapanal
Alfentanyl Midazolam Methohexital
Sulfentanil Flunitrazepam Propofol
Cetamin Diazepam Etomidate

3.2.3 Obat Pelumpuh Otot


Anak-anak memiliki distribusi volume yang besar sehingga dosis yang diperlukan
lebih tinggi untuk menimbulkan efek, namun di sisi lain karena fungsi hati dan ginjal
belum sempurna maka eliminasi dan durasi efek obat akan lebih panjang. Suksinilkolin
digunakan untuk intubati endotrakeal, dosis yang diperlukan untuk balita lebih tinggi
daripada anak dewasa yakni infusi 2 mg/kg diberikan untuk anak-anak sedangkan pasien
anak dewasa diberikan infusi 1.5 mg/kg. Efek samping suksinilkolin bila tidak
diperhatikan dapat berakibat fatal, seperti bradycardia, asystole, otot kaku,
myoglobinemia dan hipertermia malignant. Relaxan non depolarizing seperti
pankuronium digunakan pada pasien pediatrik sebagai relaxan untuk intra operasi, dan
pada beberapa kasus dipakai juga pada saat akan mengintubasi pasien namun anakanak
sangat sensitif terhadap obat-obat golongan ini sehingga mudah overdosis.
Tabel. Dosis penggunaan muscle relaxant pada anak
3.2.4 Evaluasi Preoperatif
A. Anamnesis
1) Usia Gestasi dan Berat Lahir
2) Masalah selama kehamilan dan persalinan serta skor APGAR
3) Riwayat Penyakit Sekarang
4) Riwayat Penyakit Dahulu
5) Kelainan kongenital atau metabolik
6) Riwayat pembedahan
7) Riwayat kesulitan anestesi pada keluarga dan pasien
8) Riwayat Allergi
9) Batuk , Episode Asma, ISPA yang sedang dialami
10) Waktu terakhir makan dan minum

B. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
2) Tanda-Tanda Vital : Tekanan darah, Laju nadi dan napas, Suhu
3) Data antropometrik : Tinggi dan berat badan
4) Adanya gigi yang lepas atau goyang
5) Sistem respirasi
6) Sistem Kardiovaskuler
7) Sistem Neurologi

C. Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan penunjang disarankan bagi beberapa pasien anak dengan kondisi
khusus. Pemeriksaan kadar Hb dilakukan apabila diperkirakan akan ada banyak pendarahan
pada saat operasi, bayi prematur, penyakit sistemik dan penyakit jantung kongenital.
Pemeriksaan kadar elektrolit dapat dilakukan bila terdapat penyakit ginjal ataupun metabolik
lainnya dan pada kondisi dehidrasi. Pemeriksaan x-ray dapat dilakukan bila terdapat penyakit
paru-paru, skoliosis ataupun penyakit jantung. Pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan
sesuai penyakit

Klasifikasi Status Fisik


Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of Anesthesiologists (ASA)
yaitu:
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa pembatasan aktivitas.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak
akan lebih dari 24 jam.

3.2.5 Puasa Pre-operatif


Usia Air Bening ASI Susu Formula Makanan Padat
Neonatus-6 2 jam 4 jam 4 jam -
bulan
6-36 bulan 2 jam 4 jam 6 jam 6 jam
>36 bulan 2 jam - 6 jam 8 jam
3.2.6 Premedikasi
Tujuan pemberian premedikasi pada pasien anak sama dengan orang dewasa yakni
untuk menurangi ansietas pasien, mengurangi rasa nyeri yang dialami, menurunkan dosis
obat untuk induksi, serta mengurangi sekresi jalan napas, namun pemberian pre-medikasi
pada anak dapat memfasilitasi perpisahan dengan orang tuaa dan memudahkan proses
intubasi bila dibutuhkan. Beberapa obat pre-medikasi yang paling sering diberikan adalah
midazolam dan ketamine. Pemberian obat sedasi harus diberikan hati-hati bila pasien
memiliki gangguan saluran napas dan pemberian harus dihindari bila pasien memiliki
gangguan neurologis atau peningkatan tekanan intrakranial serta bila ada resiko besar
terjadinya aspirasi atau regurgitasi di lambung.

Tabel. Obat Sedasi

3.2.7 Persiapan Anestesia


A. STATIC :
 Scope : Laringoskop apakah lampunya cukup terang atau tidak, serta Stethoscope.
 Tubes : ETT dipersiapkan dengan ukuran sesuai dan satu ukuran dibawah dan diatasnya.
 Airway : alat untuk menahan lidah agar tidak jatuh yakni pipa orofaringeal Guedel atau pipa
nasofaringeal.
 Tapes : Plester untuk fiksasi ETT
 Introducer : kawat untuk dimasukan ke dalam ETT
 Connector : penghubung antara ETT dengan sirkuit nafas
 Suction : mesin pengisap untk membersihkan jalan napas.

B. Peralatan Elektronik :
 Lampu ruangan
 Mesin anestesia
 Mesin penghangat tempat tidur
 Infusion pump
 Syringe pump
 Defibrilator

C. Summber Gas : O2,N2O , Halothane, Isoflurane dan gas sejenis serta


D. Dipantau dengan penggunaan flowmeter

3.2.8 Induksi7,12
Induksi dapat dilakukan baik dengan metode inhalasi maupun metode intravena.
Metode inhalasi dapat digunakan apabila pasien takut terhadap jarum, tidak kooperatif atau
sulit mencari akses vena, namun metode inhalasi merupakan teknik yang memerlukan 2
orang, orang pertama harus mempertahankan jalan napas dan orang kedua mencari akses
vena dan memasukan obat-obatan intravena sesuai indikasi. Obat-obatan inhalasi anestesi
yang paling sering diberikan adalah halothane dan sevoflurane. Halothane memiliki bau
yang manis sehingga mudah dihirup dan bila ditambah dengan N2O dapat mempercepat
induksi serta durasi obat yang lebih lama namun dapat menimbulkan arritmia sehingga
penggunaanya sudah mulai ditinggalkan. Sevoflurane tidak bersifat irritatif dan memiliki
onset yang lebih cepat dan durasi yang lebih pendek namun dapat menyebabkan delirium
pada saat pasien sadar. Pilihan obat untuk induksi intravena adalah propofol, thiopental dan
ketamine.

3.2.9 Intubasi 7,12


Sesuai anatomi jalan napas pasien anak, pada intubasi disarankan menggunakan blade
lurus, namun blade bengkok dapat digunakan bila pasien memiliki berat 6-10 kg.
Penggunaan ETT lebih disarankan jenis tanpa cuff pada pasien berusia dibawah 8 tahun,
serta usahakan terdapat sedikit bocoran pada ETT. Ukuran ETT pada anak-anak dapat
menggunakan rumus Modified Cole formula dan Khine Formula: [(Usia/4) + (4, bila tanpa
cuff jadinya ditambah 3)]. Kedalaman ETT dapat diperkirakan dengan menggunakan
rumus : [(Usia/2) + (12) bila pada anak berusia >2 tahun, bila usia anak <2 menggunakan
rumus: (Ukuran ETT X 3).
Kedalaman ETT dapat diperhitungkan dengan rumus namun tetap harus disesuaikan
secara klinis dengan mendengarkan suara napas kedua paru pasien. Penggunaan LMA
disesuaikan dengan berat badan pasien.

3.2.10 Tatalaksana Jalan Napas Pediatrik7,8,12


Pada saat induksi pasien sebaiknya ditempatkan dalam posisi bernafas yang pasien
paling nyaman, namun pada saat sudah dipasang intubasi sebaiknya pasien ditempatkan
dalam posisi sniffing untuk membuka jalan udara. Selain itu pasien diberikan ganjalan agar
dapat membuka LA (Laryngeal Angle), OA (Oral Angle), dan PA (Pharyngeal Angle) agar
memudahkan proses ventilasi. Pasien juga dilakukan jaw thrust agar mandibula dapat
terangkat dan membuka glotis sehingga mulut laring dan faring akan lebih besar dan lebih
mempermudah proses ventilasi.

3.5 Caudal Anestesi

Caudal epidural analgesia adalah salah satu regional anestesi yang paling umum
digunakan pada pasien pediatri. Juga digunakan pada operasi anorektal pada dewasa.
Ruangan caudal adalah bagian sakral dari ruangan epidural. Analgesia kaudal
memerlukan penetrasi jarum dan atau kateter melalui ligament sacrococcygeal yang
menutupi hiatus sacralis. Hiatus dirasakan sebagai groove atau notch diatas
coccygeus dan diantara dua prominen, kornu sakralis. Jadi hiatus sacralis terdapat
diantara kedua kornu sakralis kanan-kiri. Anatomi ini lebih mudah dilihat pada bayi
dan anak. Spina iliaca superior posterior dan hiatus sacralis membentuk suatu
segitiga equilateral.

Pada pasien dewasa adanya kalsifikasi ligamentum sacrococcygeal


menyebabkan anestesi kaudal menjadi sulit atau tidak mungkin dilakukan. Dalam
kanalis sakralis, sacus dura meluas ke vertebra S1 pada dewasa dan S3 pada bayi,
menyebabkan tusukan intratekal yang tidak disengaja sering terjadi pada bayi.

Pada anak-anak, anestesi kaudal sering dikombinasi dengan anestesi umum


untuk suplemen intraoperatif dan analgesia pascabedah. Teknik ini umumny
digunakan untuk  prosedur dibawah diapraghma, termasuk operasi urogenital, rektal,
inguinal, dan ekstrimitas bawah. Blok kaudal pada pediatrik paling sering dilakukan
setelah induksi anestesi umum. Pasien ditempatkan dalam posisi lateral atau prone
dengan satu atau kedua lutut fleksi, kemudian raba hiatus sakralis. Setelah dilakukan
tindakan asepsis dan antiseptis, tutupi dengan doek  bolong, tusukan jarum no 18-23
dengan sudut 450 kearah sefalad sampai dirasakan letusan  ketika jarum menembus
membrana sacrococcygeal. Sudut jarum kemudian didatarkan dan didorong masuk
lebih jauh. Lakukan aspirasi untuk melihat adanya darah atau CSF, bila negatif dapat
dilakukan pemberian obat anestesi lokalnya. Beberapa klinisi menganjurkan tetap
melakukan test dose seperti tindakan epidural lainnya, walaupun banyak secara
sederhana dilakukan dengan dosis inkremental dengan melakukan aspirasi berulang-
ulang/sering. Takikardia (bila digunakan epinefrin) atau adanya peningkatan ukuran
gelombang T pada EKG menunjukkan adanya suntikan intravaskuler. Data klinis
telah menunjukkan bahwa komplikasi kiddie caudal  (kaudal anestesi yang dilakukan
pada anak-anak) sangat rendah. Komplikasi akibat total spinal atau suntikan
intravaskuler menyebabkan terjadinya kejang-kejang atau henti jantung. Juga telah
dilaporkan adanya suntikan intraosseous yang menimbulkan toksisitas sistemik.
Gambar. Positioning an anesthetized child for caudal block and palpation for the

sacral hiatus. An assistant gently helps flex the spine.

Dapat digunakan bupivacain atau ropivacain 0,125%-0,25% dengan atau


tanpa epinefrin dengan dosis sebanyak 0,5-1 ml/kg. Dapat ditambahkan opioid
(misalnya 50-70 ug/kg morfin), walaupun tidak dianjurkan untuk pasien bedah rawat
jalan disebabkan resiko depresi nafas yang terjadi lambat. Efek analgesi
memanjang sampai periode  pascabedah. Pasien bedah rawat jalan pediatri dengan
aman dapat diulangkan dari RS bila masih ada blokade motoris ringan dan belum
bisa kencing, kebanyakan anak bisa mulai kencing setelah 8 jam.
Suntikan ulangan dapat dilakukan dengan suntikan jarum ulangan atau
melalui kateter yang ditutup dengan plester dan disambungkan ke ekstension tube.
Anestesi epidural yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan mendorong kateter kearah
ruang epidural lumbal atau torakal dari tusukan di kaudal pada pasien infant dan
anak-anak (berbeda dengan dewasa dimana kateter didorong 2-6 cm unuk
menghindari komplikasi). Teknik lain dengan memakai stimulator saraf atau
fluoroscopy untuk menentukan sampai sejauh mana kateter akan ditempatkan.
Lebih kecil ukuran kateter makin sulit untuk memasukkannya dan mempunyai
resiko terjadi kinking. Kateter yang didorong ke ruang epidural torakal untuk
mencapai level blokk T2-T4 pada ex-prematur infant yang dilakukan operasi hernia.
Hal ini dilakukan dengan menggunakan kloroprokain 1 ml/kg sebagai dosis bolus
dan dose inkremental 0,3 ml/kg sampai level yang diinginkan tercapai.

Untuk dewasa dengan prosedur anorektal, anestesi kaudal dapat memberikan


blokade sensoris sakral yang dalam dengan sedikit penyebaran kearah sefalad.
Lebih  jauh, suntikan dapat dilakukan dengan pasien pada posisi prone Jackknife,
dimana posisi tersebut digunakan untuk pembedahan. Dosis lidokain 1,5-2% sebanyak
15-20 ml dengan atau tanpa epinefrin umumnya efektif. Fentanyl 50-100 ug dapat
ditambahkan. Teknik ini harus dihindari pada pasien dengan kista pilonidal karena
jarum dapat menusuk track kista dan menyebarkan bakteri keruang epidural.
Walaupun tidak banyak digunakan pada obstetri analgesia, caudal blok dapat
digunakan pada persalinan Kala 2 dalam situasi dimana epidural blok tidak
mencapai saraf sakral, atau bila suntikan ulangan pada blok epidural tidak berhasil.

Gambar. The prone jackknife position often used for anorectal surgery can also be used
for caudal anesthesia in adults.

Komplikasi Blokade Neuroaksial

Komplikasi epidural, spinal, atau caudal anestesi berentang dari mulai


keadaan yang menyulitkan sampai lumpuh dan mengancam nyawa. Secara garis
besar, komplikasi dapat digolongkan kedalam 1) akibat efek samping fisiologis yang
besar, 2)  penusukan jarum dan atau kateter, dan 3) toksisitas obat.

Suatu survey yang sangat besar tentang anestesi regional dilakukan di


Prancis menunjukkan komplikasi serius akibat spinal dan epidural anestesi relatif
kecil, seperti terlihat pada tabel dibawah ini.

Tabel: Kejadian Komplikasi Serius dari Spinal dan Epidural Anestesi

Teknik Henti Mati Kejang CES Paraplegi Radikulopa


 Jantung ti

Spinal 26 6 0 5 0 19
(n=40.640)

Epidural 3 0 4 0 1 5
(n=30.413

Penelitian di Prancis

Sebaliknya, ASA menunjukkan dalam periode 20 tahun (1980-1999)


jumlah pertanggung jawaban untuk tuntutan akibat anestesi regional sekitar 18%.
Sebagian besar dari tuntutan tersebut, 64% diputuskan sebagai cedera yang temporary
atau nondisabling. Komplikasi serius 13% akibat kematian, 10% kerusakan saraf
permanen, kerusakan otak permanen 8%, dan cedera permanen lainnya 4%. Tuntutan
akibat regional anestesi adalah 42% akibat lumbal epidural, 34% akibat anestesi
spinal, dan cenderung lebih banyak pada kasus obstetri. Hal ini menggambarkan
penggunaan neuroaksial anestesi lebih banyak dibandingkan teknik anestesi regional
lain pada pasien obstetri. Tuntutan akibat anestesi caudal hanya 2%.

Komplikasi yang dihubungkan dengan Perubahan Respon Fisiologi


High Neural Bl okade

Blokade saraf dengan level tinggi dapat terjadi baik dengan anestesi spinal atau
anestesi epidural. Pemberian dosis besar, kegagalan untuk mengurangi dosis standar
pada pasien tertentu (geriatri, hamil, obes, atau sangat pendek) atau sensitivitas yang
tidak biasa atau penyebaran obat anestesi lokal. Pasien sering mengeluh sesak nafas
dan mati rasa dan lemah pada ekstremitas atas. Mual dengan atau tanpa muntah
sering terjadi mendahului hipotensi. Harus diingat pasien harus ditenteramkan
hatinya, pemberian oksigen dinaikan, serta hipotensi dan bradikardi harus dikoreksi.
Anestesi Spinal yang menaik ke level servikal menyebabkan hipotensi berat,
bradikardi, dan depresi nafas. Tidak sadar, apnoe, dan hipotensi akibat blok spinal
tinggi disebut sebagai high spinal  atau total spinal.  Keadaan ini dapat pula
terjadi setelah epidural/caudal kalau terjadi suntikan intratekal yang tidak disengaja.
Hipotensi berat yang berlangsung terus menerus dengan blok sensoris yang lebih
rendah juga dapat membawa kearah terjadinya apnoe akibat hipoperfusi batang
otak. Anterior Spinal Artery Syndrome  telah dilaporkan terjadi setelah anestesi
neuroaksial, mungkin disebabkan hipotensi berat yang lama bersama-sama dengan
peningkatan tekanan intraspinal.
Terapi untuk blok neuroaksial tinggi adalah mempertahankan airway dan
ventilasi adekuat dan support sirkulasi. Bila terjadi depresi nafas, tambahan dari
suplement oksigen adalah mungkin diperlukan melakukan assisted ventilasi, intubasi,
dan ventilasi mekanis. Hipotensi diterapi dengan pemberian cepat cairan intavena,
posisi head down, dan pemberian vasopressor secara agresif. Epinefrin harus segera
digunakan bila efedrin atau penilefrin tidak berefek. Infus dopamin dapat menolong.
Bradikardi harus segera diterapi dengan sulfas atropin. Efedrin atau epinefrin juga
dapat meningkatkan denyut  jantung. Kalau pengendalian hemodinamik dan
respirasi segera tercapai dan dapat di maintenance setelah high  atau total spinal, 
operasi dapat diteruskan. Apnoe sering transient/sebentar, dan ketidaksadaran dapat
menyevabkan pasien amnesia tanpa recall.

Cardiac Ar rest selama Anestesi Spinal


Penelitian dari ASA Close Claim Project menunjukkan adanya beberapa kasus henti
jantung selama anestesi spinal. Disebabkan karena banyak laporan kasus henti jantung
tersebut sebelum dipakainya monitoring rutin pulse oksimetri, banyak klinisi
percaya  bahwa penyebab henti jantung adalah oversedasi dan hipoventilasi yang tidak
terdeteksi. Akan tetapi, suatu penelitian prospektif yang besar melaporkan kejadian
henti jantung setelah spinal anestesi relatif tinggi sekitar 1:1500. Banyak henti
jantung didahului oleh  bradikardi dan terjadi pada dewasa muda yang sehat. Suatu
pengujian yang baru pada masalah ini menunjukkan respons vagal dan penurunan
preload merupakan faktor kunci dan menyokong bahwa pasien dengan tonus vagal
yang tinggi beresiko untuk terjadinya henti jantung. Pemberian cairan profilaksis
dianjurkan dan terapi dini dan segera dari

 bradikardi dengan vagolitik (atropin) dan bila diperlukan diikuti dengan efedrin dan
epinefrin.
Retensi Urine

Blokade radiks saraf S2-S4 dengan obat anestesi lokal menurunkan tonus vesica
urinaria dan menghambat refleks kencing. Opioid epidural juga mempengaruhi
kencing normal. Efek ini lebih kuat pada pasien laki-laki. Harus dipasang kateter
urine untuk semua pasien yang dilakukan neuroaksial blok. Kalau kateter tidak
dipasang, diperlukan monitoring ketat untuk melihat pasien sudah bisa kencing.
Disfungsi vesica urinaria yang menetap dapat terjadi sebagai komplikasi serius
cedera neuron.

Komplikasi yang dihubungkan dengan Pemasangan Jarum atau


Kateter

An estesi atau Analgesi Tidak Adekuat

Sama dengan teknik anestesi regional lainnya, blokade neuroaksial adalah


teknik ‘blind” yang mengandalkan dari tanda tidak langsung dari penempatan jarum yang
tepat.

Hal ini tidak aneh, bila dihubungkan dengan kegagalan kecil tapi signifikan
yang  berbanding terbalik dengan pengalaman klinisinya. Target anestesi spinal (ada
aliran CSF) lebih pasti daripada loss of ressistance. Kegagalan masih bisa terjadi
walaupun nyata keluar CSF yang dapat disebabkan karena pergerakan jarum selama
penyuntikkan, ujung jarum yang tidak lengkap masuk ruangan subarachnoid, suntikan
subdural, atau hilangnya potensi obat anestesi lokal. Larutan tetracain bila disimpan
dalam jangka waktu lama pada temperatur tinggi akan hilang potensinya.

Suntikan Intravaskul er

Suntikan obat anestesi lokal kedalam intravaskuler yang tidak disengaja untuk
epidural atau caudal anestesi akan menyebabkan sangat tinggi level obat didalam
serum. Konsentrasi tinggi obat anestesi lokal mempengaruhi SSP (menimbulkan
kejang dan hilangnya kesadaran) dan sistem kardiovaskuler (hipotensi, aritmia,
kolaps kardiovaskuler). Disebabkan dosis obat untuk spinal anestesi relatif kecil
komplikasi ini terutama terlihat bila dilakukan anestesi epidural atau caudal. Obat
anestesi lokal mungkin disuntikan langsung kedalam pembuluh darah mellaui jarum
atau kateter yang masuk kedalam darah vena. Kejadian suntikan intravaskuler dapat
dikurangi dengan tindakan aspirasi jarum atau kateter sebelum setiap kali menyuntik,
menggunakan test dose, selalau menyuntikkan secara inkremental, dan observasi
ketat untuk setiap tanda suntikan intravaskuler (tinnitus, sensasi lidah).
Toksisitas obat anestesi lokal bervariasi. Chloroprokain paling kecil toksisitasnya
disebabkan dipecah dengan sangat cepat; lidokain, mepivacain, levobupivakain, dan
ropivakain bersifat intermediate dalam hal toksisitas, dan bupivacain paling toksik.

Total Spinal Anestesi

Total spinal anestesi dapat terjadi setelah epidural/caudal anestesi bila terjadi
suntikan intratekal yang tidak disengaja. Onsetnya cepat disebabkan jumlah obat
anestesi yang diperlukan untuk epidural/caudal anestesia 5-10 kali lebih banyak
daripada untuk spinal anestesi. Aspirasi yang hati-hati, gunakan test dose, dan teknik
suntikan inkremental selama epidural dan caudal anestesi dapat menghindari
terjadinya komplikasi ini. Dalam keadaan terjadi suntikan subarachnoid dalam
jumlah besar, terutama lidokain dapat dilakukan dengan melakukan lavage
subarachnoid , caranya adalah dengan menarik 5 ml CSF lalu ganti dengan NaCl
fisiologis.

Suntikan Subdural

Sama dengan suntikan yang tidak disengaja kedalam pembuluh darah dan
disebabkan  jumlah besar obat anestesi lokal diberikan, suntikan subdural yang tidak
disengaja selama melakukan usaha tindakan epidural anestesia lebih serius daripada
selama usaha melakukan spinal anestesi. Suntikan subdura dari dosis epidural obat
anestesi lokal menimbulkan keadaan seperti high spinal anestesi dengan pengecualian
bahwa onsetnya lambat kira-kira 15-30 menit. Ruangan subdural spinal adalah suatu
ruangan antara dura dan arachnoid yang berisi sejumlah kecil cairan serosa. Tidak
seperti ruangan epidural, ruangan subdural meluas sampai ke intrakranial, maka
suntikan obat anestesi lokal kedalam ruangan subdura spinal dapat menyebabkan level
yang lebih tinggi daripada bila obat anestesi lokal diberikan secara epidural. Seperti
high spinal anestesi, terapinya adalah suportif dan mungkin memerlukan intubasi,
ventilasi mekanis dan suport kadiovaskuler. Efeknya umumnya berakhir dari satu
sampai beberapa jam.

Backache

Ketika jarum masuk menembus kulit, jaringan subkutis, otot, dan ligamen
menyebabkan tingkatan trauma jaringan yang berbeda. Suatu respons inflamasi
lokal dengan atau tanpa refleks spasme otot merupakan penyebab terjadinya
backache  pascabedah. Harus dicatat bahwa sampai 25-30% pasien yang hanya
menerima anestesi umum juga mengeluh backache pascabedah dan suatu persentase
yang signifikan dari populasi umum mempunyai chronic back pain. Sakit punggung
pascabedah umumnya ringan dan sembuh sendiri, walaupun berakhir beberapa
minggu. Bila diperlukan terapi, asetaminofen, NSAID, kompres hangat atau dingin
dapat menolong. Walaupun sakit  punggung umumnya jinak, mungkin merupakan
tanda klinis penting adanya komplikasi yang lebih berat misalnya abses atau hematom
epidural.

Postdur al Puncture H eadache

Setiap robekan dura dapat menyebabkan Postdural Puncture Headache (PDPH).


Keadaan ini dapat terjadi setelah tusukan lumbal untuk diagnosa, mielogram,
anestesi spinal, atau suatu epidural wet tap dimana jarum epidural melalui ruangan
epidural dan masuk ruangan subarachnoid. Hal yang sama, kateter epidural
menembus dura dan menimbulkan PDPH. Suatu epidural wet tap umumnya sgera
diketahui karena keluarnya CSF dari jarum atau saat dilakukan aspirasi dari kateter
epidural. Akan tetapi, PDPH dapat terjadi setelah pemasangan epidural yang tidak
sulit akibat dari goresan ujung  jarum pada dura. Khasnya, PDPH sakit kepalanya
bersifat bilateral, frontral, atau retroorbital, occipital, dan meluas keleher. Mungkin
berdenyut-denyut atau konstan dan dihubungkan dengan fotofobia dan mual. Tanda
dari PDPH adalah dihbungkan dengan  posisi tubuh. Nyeri menghebat dalam
posisi duduk atau berdiri dan berkurang bila  berbaring terlentang. Onset sakt
kepala umumnya 12-24 jam stelah tusukan dura, akan tetapi, dapat juga sgera
terlihat. Bila tidak diobati, nyeri akan berlangsung beringgu- minggu tapi jarang
memerlukan tindakan pembedahan untuk reparasi dura.
PDPH dipercaya akibat dari bocornya CSF dari defect dura dan menurunkan
tekanan intrakranial. Hilangnya CSF lebih cepat daripada produksinya menyebabkan
traksi dari struktur yang menyokong otak, terutama dura dan tentorium.
Peningkatan traksi pada pembuluh darah juga berperanan timbulnya nyeri. Tarikan
pada saraf kranial kadang- kadang menyebabkan diplopia (umumnya saraf otak ke-
VI) dan tinnitus. Kejadian PDPH berhubungan secara jelas dengan ukuran jaum,
tipe jarum, dan populasi. Lebih besar ukuran jarum, lebih besar kejadian PDPH.
Ujung jarum cutting/tajam lebih besar kejadian PDPH dari pada pencil point dalam
ukuran besar jarum yang sama. Suatu jarum tajam ditusukkan dengan bevel paralel
terhadap serabut longitudinal dura disebutkan memisahkan serabut tsb daripada yang
ditusukkan memotong serabut. Yang memotong serabut kejadian PDPH akan lebih
tinggi daripada yang memisahkan serabut dura. Faktor-faktor yang meningkatkan
resiko PDPH antara lain umur muda, jenis kelamin wanita, dan kehamilan. Kejadian
tertinggi adalah bila terjadi tusukan dura oleh jarum epidural pada pasien obstetri
(mungkin setinggi 20-50%). Kejadian paling rendah pada geriatri dan memakai
jarum no 27 (kejadiannya < 1%). Penelitian pasien obstetri yang dilakukan spinal
anestesi untuk SC dengan jarum kecil tipe pencil point, kejadian PDPH sekitar 3-4%.
Terapi konservatif seperti posisi recumbent, analgesik, pemberian cairan peroral
atau intavena, dan caffein. Mempertahankan posisi pasien supine akan menurunkan
tekanan hidrostatik dan membawa air keluar dari dural hole dan mengurangi sakit
kepala. Analgesik dapat diberikan mulai asetaminofen sampai NSAID. Hidrasi
dan caffein  bekerja untuk mengstimulasi produksi CSF. Coffein juga mempunyai
efek vasokonstriksi  pembuluh darah intrakranial. Feses harus lunak dan diet lunak
untuk mengurangi mengejan Valsalva. Sakit kepala akan menetap beberapa hari
meskipun diberi terapi konservatif.
Pemberian epidural blood patch merupakan terapi yang sangat efektif untuk
PDPH, dilakukan dengan cara menyuntikkan 15-20 ml darah autologus (darah pasien
itu sendiri) kedalam ruang epidural pada atau satu interspace dibawah level tusukan
dura. Tindakan ini dipercaya mampu menghentikan kebocoran dengan efek massa
atau koagulasi. Efeknya dapat segera atau dalam beberapa jam seperti produksi CSF
lambat membangun tekanan intrakranial. Kira-kira 90% pasien akan berrespons
dengan pemberian patch yang  pertama, dan 90% dari sisanya (90% dari 10%) akan
memperoleh hasil pada pemberian  patch yang kedua. Profilaksis blood patching
telah dianjurkan dengan menyuntikkan darah melalui kateter epidural yang
ditempatkan setelah terlihat keluarnya CSF. Akan tetapi, tidak semua pasien
berkembang menjadi PDPH, dan ujung kateter mungkin jauh dari defek dura.
Alternatifnya, NaCl bolus dapat disuntikkan melalui kateter epidural tapi tidak
seefektif blood patch. Kebanyakan praktisi melakukan epidural blood patch bila
terlihat ada PDPH atau dicoba terapi konservatif selama 12-14 jam.

Neurological I njury

Mungkin tidak ada komplikasi yang lebih mengejutkan atau menyulitkan


daripada kerusakan saraf permanen setelah neuroaksial blok rutin, setelah penyebab
karena epidural hematom atau epidural abses dikeluarkan. Radiks saraf atau medulla
spinalis mungkin telah cedera. Cedera medulla spinalis mungkin dihindari apabila
blokade neuroaksial dilakukan dibawah L1 pada dewasa atau dibawah L3 pada
anak -anak.

 Neuropati perifer postoperatif dapat disebabkan karena trauma fisik langsung


pada radiks saraf. Walaupun dapat sembuh spontan, beberapa permanen. Beberapa
dari defisit dihubungkan dengan parestesi dari jarum atau kateter atau mengeluh
nyeri selama penyuntikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usaha
penusukan yang berkali- kali pada kasus yang sulit merupakan faktor resiko.
Setiap adanya parestesi harus menjadikan klinisi waspada untuk melakukan
suntikan ulang. Suntikan harus segera dihentikan dan jarum dicabut bila ada rasa
sakit. Suntikan langsung pada medulla spinalis dapat menyebabkan paraplegia.
Kerusakan pada conus medularis dapat menyebabkan disfungsi sacral yang
terisolasi termasuk paralis pada biceps femoralis; anestesi pada  paha posterior,
daerah sadle, ibu jari kaki, hilangnya fungsi kandung kencing dan bowel. Beberapa
penelitian binatang menunjukan kateter dapat menyebabkan inflamasi atau
demielinisasi jaringan saraf.
Ini harus dicatat bahwa tidak semua defisit neurologis terjadi setelah anestesi
regional adalah akibat bok. Survey tentang komplikasi telah melaporkan banyak
contoh defisit neurologis pascabedah dihubungkan dengan anestesi regional. Defisit
postpartum termasuk neuropati cutaneus femoral lateral, kaki lemas, paraplegi
masih terjadi pada pasien yang tidak dianestesi.

Hematoma Spinal atau Epidural

Trauma akibat jarum atau kateter pada vena epidural sering menyebabkan
perdarahan ringan didalam kanalis spinalis yang pada umumnya sembuh sendiri.
Spinal hematom yang jelas secara klinis dapat terjadi setelah anestesi spinal atau
anestesi epidural, terutama dengan adanya pembekuan yang abnormal atau gangguan
perdarahan. Kejadian hematom kira-kra 1:150.000 untuk blok epidural dan
1:220.000 untuk spinal anestesi. Laporan kebanyakan terjadi pada pasien dengan
koagulasi abnormal akibat penyakit atau  peberian obat. Beberapa mempunyai
hubungan dengan kesulitan teknik atau block yang  berdarah-darah. Itu harus dicatat
bahwa banyak hematom terjadi segera setelah penarikan kateter epidural. Jadi
pemasangan atau penarikan kateter merupakan faktor resiko.
Insult patologis pada medulla spinalis dan saraf disebabkan karena efek
kompresi dari massa pada jaringan saraf dan menyebabkan tekanan langsung dan
menyebabkan injury dan iskemia. Kebutuhan untuk diagnosa dan intervensi yang
cepat adalah sangat penting untuk mencegah sequele neurologis permanen. Onset
dari gejala lebih cepat dibandingkan dengan abses epidural. Gejalanya adalah
punggung seperti diiris dan nyeri kaki dengan mati rasa dan kelemahan motoris dan
atau disfungsi sphincter. Bila disangka ada hematoma, MRI, CT Scan atau mielografi
harus segera dilakukan dan konsul ke dokter bedah saraf harus segera dilakukan.
Pada kebanyakan kasus pemulihan neurologis yang baik pada pasien yang segera
dilakukan bedah dekompresi dalam waktu 8-12 jam.

Anestesi neuroaksial lebih baik dihindari pada pasien dengan koagulopati,


thrombositopenia yang nyata, disfungsi platelet, atau yang menerima fibrinolitik
/trombolitik terapi.

M eningitis dan Ar achnoiditis

Infeksi ruangan subarachnoid setelah neuroaksial blok adalah akibat kontaminasi


alat atau larutan yang disuntikkan, atau dari organisme dari kulit. Kateter dapat
menjadi koloni organisme yang kemudian masuk lebih dalam, menyebabkan infeksi.
Untungnya, hal ini jarang terjadi.
Arachnoiditis, komplikasi neuroaksial yang jarang terjadi, dapat infeksious atau
noninfectious. Secara klinis, hal ini ditandai dengan nyeri dan symptom neurologis
lain dan pada pemeriksaan MRI terlihat adanya gumpalan radiks saraf. Arachnoiditis
lumbal telah dilaporkan akibat suntikan steroid tapi lebih umum terlihat setelah
operasi spinal atau trauma. Sebelum penggunaan jarum spinal yang disposible, alat
pembersih jarum sering menimbulkan meningitis akibat zat kimia dan menyebabkan
disfungsi neurologis berat.
Abses Epidural

Abses Spinal epidural jarang terjadi tapi merupakan komplikasi yang sangat
berat  pada anestesi neuroaksial. Laporan kejadian bervariasi dari 1:6500 sampai
1:500.000 epidural anestesi. Beberapa penelitian prospektif, termasuk 140.000 blok,
gagal untuk melaporkan satu abses epidural. Epidural abses dapat terjadi pada pasien
yang tidak menerima anestesi regional; faktor resikonya adalah trauma punggung,
obat yang disuntikkan, prosedur bedah saraf. Kasus yang dihubungkan dengan
anestesi adalah akibat kateter epidural. Dalam satu laporan seri, rata-rata 5 hari
pemasangan kateter untuk berkembangnya gejala walaupun dapat lambat sampai
mingguan.
Ada 4 stadium klinis dari Epidural abses, walaupun progresivitas dan
waktunya  berbeda. Pada permulaannya, gejalanya adalah nyeri punggung atau
vertebra yang lebih sakit bila diketuk. Kedua, terjadi nyeri radikuler atau radiks saraf.
Stadium ketiga ditandai dengan defisit motoris dan atau sensoris atau disfungsi
sphincter, pada stdium empat ada paraplegi dan paralisis. Idealnya diagnosa
harus dibuat pada stadium permulaan. Adanya sakit punggung dan demam setelah
epidural anestesi harus dicurigai adanya abses epidural. Adanya nyeri radikuler
dan defisist neurologis meningkatkan indikasi perlunya pemeriksaan lanjtan. Sekali
di diagnosa abses epidural, kateter epidural harus dicabut dan ujung kateter dikultur.
Selain diberikan antibiotika, maka terapi lain adalah dilakukan pembedahan
dekompresi.

Strategi untuk melawan kejadian abses epidural adalah 1) kurangi manipulasi


kateter dan pertahankan sistem tertutup bila mungkin, 2) gunakan filter bakteri (0,22
um) dan 3) cabut kateter epidural setelah 96 jam atau ganti kateter, filter dan larutan
setiap 96 jam.

Robekan Kateter Epidural

Terdapat resiko kateter putus atau robek saat ditarik dari jarumnya. Kalau kateter
harus ditarik maka harus ditarik bersama-sama jarumnya. Bila kateter putus dan
tertinggal di ruang epidural, banyak ahli menganjurkan tinggalkan saja, akan tetapi,
bila ada di jaringan superfisial, terutama bila sebagian kateter terlihat, maka harus
dilakukan tindakan pembedahan, karena ujung kateter akan menjadi tempat
masuknya bakteri.
Komplikasi yang dihubungkan dengan Toksisitas Obat

Toksisitas Sistemi k

Absorpsi jumlah besar obat anestesi lokal dapat menimbulkan level toksik serum
yang sangat tinggi. Absorpsi yang banyak dari blok epidural atau kaudal jarang jika
obat diberikan tidak melebihi dosis maksimal yang aman.
Transient Neurological Symptom (TNS)

Pertama kali disebutkan pada tahun 1993, Transient Neurological Symptom


(TNS),  juga disebut sebagai transient radicular irritation, adalah khas dengan
adanya sakit  punggung yang menyebar ke kaki tanpa adanya defisit sensoris dan
motoris, terjadi setelah blok spinal dan sembuh spontan dalam beberapa hari. Keadaan
ini paling umum dihubungkan dengan pemakaian lidokain hiperbarik (kejadiannya
11,9%), tapi juga dilaporkan dengan tetrakain (1,6%), bupivakain (1,3%), mepivacain,
prilocain, procain, dan ropivakain. Juga ada laporan TNS setelah anestesi epidural.
Kejadian sindroma ini  paling tinggi pada bedah rawat jalan (ambulasi yang cepat)
setelah pembedahan dalam  posisi litotomi dan paling rendah pada pasien yang tidak
dalam posisi litotomi. Terdapat kekurangan dari laporan tentang TNS setelah spinal
lidokain untuk SC. Patogenesis TNS dipercaya tergantung pada konsentrasi obat
anestesi lokal yang dapat menimbulkan neurotoksisitas.

Neurotoksisitas Lidokain

Cauda equina syndrome (CES) telah dihubungkan dengan penggunaan kateter


spinal kontinu (sebelum ditarik dari pasaran) dan pemakaian lidokain 5%. CES
adalah khas dengan adanya disfungsi bowel dan vesica urinaria bersama-sama
dengan cedera radiks saraf multipel. Ada tipe lower motor neuron injury dengan
paresis kaki.
Defisit sensoris mungkin ringan, khas terjadi pada saraf perifer. Penelitian
binatang menunjukkan bahwa  pooling atau maldistribusi larutan lidokain hiperbarik
dapat menyebabkan neurotoksisias  pada radiks saraf cauda equina. Akan tetapi, ada
laporan CES terjadi setelah suntikan tunggal spinal lidokain. CES juga
dilaporkan setelah anestesi epidural. Penelitian  binatang menyokong bahwa bukti
histologis dari neurotoksisitas setelah penyuntikkan ulangan lidokain = tetrakain
bupivacaine > ropivakain.4
3.4 Atresia Ani

3.4.1 Definisi

Atresia Ani adalah suatu kelainan congenital dimana menetapnya membrane anus
sehingga anus tertutup. Defek ini tidak selalu total; kadangkala sebuah lubang sempit masih
memungkinkan keluarnya isi usus. Bila penutupannya total anus tampak sebagai lekukan kulit
perineum; keadaan ini seringkali disertai atresia rectum bagian bawah.13

3.4.2 Embriologi

Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan hindgut. Foregut
akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung sebagian
duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian
duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut
oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak
ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal.

3.4.3 Etiologi

Atresia ani dapat disebabkan karena:

1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang
dubur.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan.
3. Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen
genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang
memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan
dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya
hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 ( Down's syndrome). Kedua hal
tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat
menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik.14

3.4.4 Patofisiologi

Kelainan atresia ani terjadi akibat kegagalan pembentukan septum urorectal secara
komplit. Embryogenesis dari kelainan ini masih belum jelas. Anus dan rektum diketahui
berasal dari bagian dorsal hindgut atau rongga cloacal ketika pertumbuhan lateral bagian
mesenchyme, kloaka akan membentuk sekat di tengah yang disebut septum urorectal. Septum
urogenital membagi kloaka (bagian caudal hindgut) menjadi rektum dan sinus urogenital,
urogenital sinus terutama akan membentuk kandung kecing dan uretra. Penurunan
perkembangan dari septum urorectal dipercaya menutup saluran ini ketika usia 7 minggu
kehamilan.

Selama waktu ini, bagian ventral urogenital mengalami pembukaan


eksternal/keluar;bagian dorsal dari anal membuka kemudian. Anus berkembang dari fusi
antara tuberculum anal dan invagination bagian luar/eksternal, yang dikenal sebagai
proctodeum, yang mendalam ke arah anus.pada awalnya. Perineum memisahkan kloaka
membran menjadi membran urogenital anterior dan membran anal posterior rektum dan
bagian superior kanalis anus terpisah dari eksterior oleh membran anal. selaput pemisah ini
akan menghilang saat usia kehamilan 8 minggu.

Gangguan pada perkembangan struktur anorectal bermacam-macam tingkatannya


dengan berbagai macam kelainan, antara lain anal stenosis, rupture selaput yang anal yang
tidak komplit , atau complete failure atau anal agenesis dari bagian atas dari kloaka sampai
kebawah dan kegagalan proktoderm mengalami invaginasi. Hubungan langsung antara
saluran urogenital dan bagian rectal dari kloaka menyebabkan rectourethral fistule atau
rectovestibular fistule.15
3.4.5 Klasifikasi

Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani dibagi 2 golongan
yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki  –   laki golongan I dibagi menjadi 5
kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada
invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada laki –   laki dibagi 5 kelainan yaitu
kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram:
udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu
kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada
invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu
kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm
dari kulit.16

3.4.6 Penatalaksanaan

Dari kedua hal tadi pada anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin
dan fistel perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis
menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin
jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin
mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar,
penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum tindakannya sama pada
perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum sama
dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anusnormal. Pada membran anal
biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada
sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan wanita,
tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara < 1cm dari kulit pada
invertogram,  perlu juga segera dilakukan pertolongan bedah.16

3.4.7 Prognosis

Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai pengendalian defekasi,
pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum dan kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok
dubur. Fungsi kontineia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau ensibilitasnya,
tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan mental penderita . Hasil operasi
atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya metode PSARP.16

3.5 Sindrom Down

3.5.1 Definisi

Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi, karena
individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu kromosom. Mereka mempunyai
tiga kromosom 21 dimana orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini
akan mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik
dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh.17
3.5.2 Epidemiologi

Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi
pada manusia. Kejadian sindroma Down diperkirakan satu per 800 sampai satu per 1000
kelahiran. Pada tahun 2006, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit memperkirakan
tingkat kejadiannya sebagai satu per 733 kelahiran hidup di Amerika Serikat (5429 kasus baru
per tahun). Sekitar 95% dari kasus ini adalah trisomi 21. Sindroma Down terjadi pada semua
kelompok etnis dan di antara semua golongan tingkat ekonomi. Kebanyakan anak dengan
Sindrom Down dilahirkan oleh wanita yang berusia datas 35 tahun. Sindrom Down dapat terjadi
pada semua ras. Dikatakan angka kejadian pada orang kulit putih lebih tinggi dari orang hitam.
Sumber lain mengatakan bahwa angka kejadian 1,5 per 1000 kelahiran, terdapat pada penderita
retardasi mental sekitar 10 %, secara statistik lebih banyak di lahirkan oleh ibu yang berusia
lebih dari 30 tahun, prematur dan pada ibu yang usianya terlalu muda.18
3.5.3 Etiologi

Penyebab kelainan kromosom adalah terjadinya pemecahan kromosom dan pecahnya


hilang/melekat pada kromosom lain. Kejadian ini disebut translokasi. Pengaturan kembali yang
dilakukan sel dapat menghasilkan keseimbangan normal tetapi dapat juga menjadi tidak
seimbang. Jika terjadi keseimbangan normal, total materi genetik didalam sel dengan kromosom
normal. Pengaturan semacam ini biasanya tidak akan menimbulkan sindrom klinis. Apabila
terjadi ketidakseimbangan maka terjadi kelebihan atau kekurangan materi genetik dalam barisan
sel-sel tersebut. Pengaturan semacam ini biasanya menimbulkan perubahan dalam fenotif klinis.

Dijumpai penderita Sindrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah
penderita Sindrom Down translokasi 46.t (14q21q). Setelah kromosom dari orang tuanya
diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk
satu autosom 21, 1 autosom 14 dan 1 autosom translokasi 14q21q. Jelaslah bahwa bahwa ibu
merupakan “carrier” yang walaupun memiliki 45 kromosom 45.XX.t (14q21q) ia adalah normal.
Sebaliknya, laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya ,
sampai sekarang belum diketahui. 2

3.5.4 Klasifikasi

Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan mosaik. Tipe
pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom
21. Sembilan puluh empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini .

Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan berkombinasi
dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang menjadi karier kromosom
yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan
4% dari total kasus.

Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang mempunyai
kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik ini dan biasanya kondisi si
penderita lebih ringan. 17

3.5.5 Patofisiologi

Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh bagian dalam nukleus.
Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat lolos sebagai struktur tersendiri, tetapi
hanya sebagai bagian dari bahan dalam nukleus yang diwarnai dengan jelas. Sewaktu sel mulai
membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya untuk membentuk untaian kromosom.
Kromosom ini mengandung banyak molekul DNA yang tersusun dalam urutan tertentu.
Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang, merupakan
susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang kromosom seks.
Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y dalam
setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita normal ditandai dengan 46 XX, seorang
pria normal ditandai dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada setiap individu berasal dari
kedua orangtua dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma normal masing-masing mengandung
23 kromosom, merupakan susunan haploid, sehingga pembuahan menghasilkan zigot yang
tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog.

Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya memiliki 46
kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46. t(14 q 21q). setelah
kromosom orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki
45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan satu autosom translokasi 14q 21q.
jelaslah bahwa ibu itu merupakan “carrier” yang walupun memiliki 45 kromosom 45.xx.t
(14q21q) ai adalah normal. Sebaliknya laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi tidak
dikenal dan apa sebabnya demikian, sampai sekarang belum diketahui. 2

Pada Down syndrome trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada waktu
pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot, walaupun
kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit primer yang terhenti
perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi
ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut,
oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam meiosis
I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi oleh
spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21. 
Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah :

a. Infeksi virus atau radiasi dimana makin mudah berpengaruh pada wanita usia tua
b. Kandungan antibody tiroid yang tinggi
c. Mundurnya sel telur di tuba falopii setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena itu para
ibu yang berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko yang lebih besar
untuk mendapat anak sindroma Down Tripel-21.
Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak pernah
ada non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi setiap hari dan tidak
ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada oogenesis. Akibat dari adanya trisomi
21 dalam zigot, kromosom penderita Down syndrome jenis ini mempunyai 47 kromosom
(47,XX,+21 atau 47,XY,+21).

Gambar . Kariotipe Trisomi 21.


Sumber:http://www.meddean.luc.edu/lumen/MedEd/genetics/diseases/downs_syndrome.
htm
3.5.6 Manifestasi Klinis

Anak dengan sindroma Down pada umumya memiliki berat badan lahir yang kurang dari
normal. Diperkirakan 20% kasus mempunyai berat badan lahir 2500 gr atau kurang.8 Secara
fenotip karakteristik yang terdapat pada bayi dengan sindroma Down yaitu: 2,19,20
Sutura sagitalis yang terpisah, fisura palpebralis yang oblique, jarak yang lebar antara jari kaki i
dan ii, “plantar crease” jari kaki i dan ii, hiperfleksibilitas, peningkatan jaringan sekitar leher,
bentuk palatum yang abnormal, tulang hidung hipoplasia, kelemahan otot, hipotonia (kaplan),
bercak brushfield pada mata (prof suci, baby down syd), mulut terbuka, lidah terjulur, lekukan
epikantus, “single palmar crease” pada tangan kiri, ”single palmar crease” pada tangan kanan,
“brachyclinodactily” tangan kiri, “brachyclinodactily” tangan kanan, jarak pupil yang lebar,
tangan yang pendek dan lebar, oksiput yang datar
Karakteristik dari sindroma tersebut ada yang berubah dengan bertambahnya umur anak,
misalnya lekukan epikantus atau jaringan tebal di sekitar leher akan berkurang dengan
bertambahnya umur anak. Berdasarkan atas ditemukannya karakteristik dengan frekuensi yang
tinggi pada sindroma Down, maka gejala–gejala tersebut dianggap sebagai “cardinal sign” dan
petunjuk diagnostik dalam mengidentifikasi sindroma Down secara klinis. Tetapi yang perlu
diketahui adalah tidak adanya kelainan fisik yang terdapat secara konsisten dan patognomonik
pada sindroma Down. Bentuk muka anak dengan sindroma Down pada umumnya mirip dengan
ras Mongoloid.

Gambar. Neonatus dengan Sindroma Down.

Gambar . Penampakan klinis tangan anak dengan Sindroma Down.

Selain beberapa tampilan dari anak dengan sindroma Down terdapat juga kelainan
klinis antara lain: 20
 Cacat jantung bawaan, cacat jantung kongenital yang umum (40 - 50%) jantung bawaan
yang paling sering endocardial cushion defect (43%), ventricular septal defect (32%),
secundum atrial septal defect (10%), tetralogy Fallot cacat septum atrium (6%), dan
isolated patent ductus arteriosus (4%), lesions pada patent ductus arteriosus (16%) dan
pulmonic stenosis (9%). Sekitar 70% dari semua endocardial cushion defects terkait
dengan sindroma Down.
 Vision disorders
 Hearing disorders
 Obstructive sleep apnoea syndrome, terjadi ketika aliran udara inspirasi dari saluran
udara bagian atas ke paru-paru yang terhambat untuk 10 detik atau lebih sehingga sering
mengakibatkan hypoxemia or hypercarbia.
 Wheezing airway disorders
 Congenital defek pada gastrointestinal tract
 Coeliac disease
 Obesity dan bertubuh pendek selama remaja
 Transient myeloproliferative disorder
 Thyroid disorders, yaitu hipotiroidism
 Atlanto-axial instability,
 Anomali saluran kemih
 Masalah kulit seperti Atopik eksim, Seborrhoeic eczema, Alopecia areata, Vitiligo
Syringomas, Perforans elastosis serpiginosa, Onychomycosis, Tinea corporis,
Anetoderma, Folliculitis, Chelitis, Keratosis pilaris, Psoriasis , Cutis marmorata⁄ivedo
reticularis, Xerosis, hyperkeratosis Palmar atau hiperkeratosis plantar
 Behaviour problems, spontanitas alami, kehangatan, ceria, kelembutan dan kesabaran
sebagai karakteristik toleransi. Beberapa pasien menunjukkan kecemasan dan keras
kepala.
 Psychiatric disorder, Prevalensi dari 17.6% gangguan kejiwaan di kalangan anak-anak
dan di antara orang dewasa adalah 27,1%. Anak-anak dan remaja berada pada risiko
tinggi untuk autisme, attention deficit hyperactivity disorder dan conduct disorder.
Obsessive-compulsive disorder, Tourette syndrome, gangguan depresi, dan dapat terjadi
selama transisi dari remaja sampai dewasa.
 Gangguan Kejang 5-10 %, yaitu umumnya kejang infantil pada bayi, sedangkan-kejang
tonik klonik umumnya diamati pada pasien yang lebih tua.
Gambar . Tanda & gejala sindrom Down
3.5.7 Faktor Risiko

Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat dengan
bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun.
Walaubagaimanapun, wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat
bayi dengan sindrom Down.

Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom Down adalah lebih
tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi dengan sindrom Down, atau jika adanya
anggota keluarga yang terdekat yang pernah mendapat kondisi yang sama. Walau bagaimanapun
kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal.

3.5.8 Diagnosis

Tidak ada kritera diagnosis khusus untuk sindroma Down. Namun, retardasi mental
merupakan gambaran yang menumpang tindih dengan sindroma Down. Sebagian besar orang
dengan sindroma ini mengalami retardasi mental sedang atau berat, hanya sebagian kecil yang
memiliki IQ diatas 50. Perkembangan mental tampak normal dari lahir hingga usia 6 bulan dan
nilai IQ secara bertahap menurun dari hampir normal pada usia 1 tahun hingga sekitar 30 pada
usia yang lebih tua. Penurunan intelegensi dapat nyata atau jelas: uji infantil mungkin tidak
mengungkapkan tingkat defek sepenuhnya, yang mungkin tertungkap ketika uji yang lebih
canggih digunakan pada masa kanak-kanak awal. 1 Derajat atau tingkat retardasi mental
diekspresikan dalam berbagai istilah. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) memberikan empat tipe retardasi mental, yang
mencerminkan tingkat gangguan intelektual antara lain: retardasi mental ringan, sedang, berat,
dan sangat berat. Adapun kriteria diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-IV antara
lain : 21
a. Fungsi intelektual yang secara bermakna di bawah rata-rata: IQ kira-kira 70 atau
kurang pada tes IQ yang dilakukan secara individual (untuk bayi, pertimbangan klinis adanya
fungsi intelektual yang jelas di bawah rata-rata)
b. Adanya defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif sekarang (yaitu,
efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang dituntut menurut usianya dalam
kelompok kulturalnya) pada sekurangnya dua bidang keterampilan berikut: komunikasi, merawat
diri sendiri, keterampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana masyarakat, mengarahkan
diri sendiri, keterampilan akademik fungsional, pekerjaan, liburan, kesehatan, dan keamanan.
c. Onset sebelum usia 18 tahun

Penulisan didasarkan pada derajat keparahan yang mencerminkan tingkat gangguan


intelektual:
a. Retardasi mental ringan : tingkat IQ 50-55 sampai 70
b. Retardasi mental sedang : tingkat IQ 35-40 sampai 50-55
c. Retardasi mental berat : tingkat IQ 20-25 sampai 35-40
d. Retardasi mental sangat berat : tingkat IQ dibawah 20 atau 25
e. Retardasi mental, keparahan tidak ditentukan : jika terdapat kecurigaan kuat adanya retardasi
mental tetapi inteligensi pasien tidak dapat diuji oleh tes inteligensi baku.
Pada pemeriksaan fisik berbagai bagian tubuh mungkin memiliki karakteristik tertentu
yang sering ditemukan pada orang dengan retardasi mental seperti sindroma Down ini dan
kemungkinan memiliki penyebab pranatal. Pemeriksaan fisik pasien dengan sindroma Down
dapat dilihat dari gambaran klinis fisik pasien yang telah dijelaskan sebelumnya. 21
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi sindrom Down.
Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test dan/atau sonogram. Uji kedua adalah
uji diagnostik yang dapat memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom
Down atau tidak.
b. Amniocentesis
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang kemudiannya diuji
untuk menganalisa kromosom janin. Amniosentesis merupakan pemeriksaan yang berguna untuk
diagnosis berbagai kelainan kromososm bayi terutama sindroma Down, di mana dengan
mengambil sejumlah kecil cairan amniotik dari ruang amnion secara transabdominal antara usia
kehamilan 14-16 minggu. Amniosentesis dianjurkan untuk semua wanita hamil di atas usia 35
tahun. Risiko keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
c. Chorionic villus sampling (CVS)
CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji
untuk melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga
14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
d. Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS)
PUBS adalah tehnik di mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat
kromosom janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini dilakukan
sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko keguguran adalah lebih
tinggi (Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER), 2011).
e. Pemeriksaan sitogenik
Diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan studi sitogenetika. Karyotyping sangat
penting untuk menentukan risiko kekambuhan. Dalam translokasi sindrom Down, karyotyping
dari orang tua dan kerabat lainnya diperlukan untuk konseling genetik yang tepat. 10
Gambar . Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 (47,XY,+21)

Gambar. Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 dari lengan isochromosome arm 21q tipe
[46,XY,i(21)(q10)]
f. Interphase fluorescence in situ hybridization (FISH)
FISH dapat digunakan untuk diagnosis cepat. Hal ini dapat berhasil di kedua diagnosis
prenatal dan diagnosis pada periode neonatal. Mosaicism yang tersembunyi untuk trisomi 21
sebagian dapat menerangkan hubungan yang telah dijelaskan antara sejarah keluarga sindroma
Down dan risiko penyakit Alzheimer. Skrining untuk mosaicism dengan FISH diindikasikan
pada pasien tertentu dengan gangguan perkembangan ringan dan mereka dengan Alzheimer
onset dini.
g. Ekokardiografi
Tes ini harus dilakukan pada semua bayi dengan sindroma Down untuk mengidentifikasi
penyakit jantung bawaan, terlepas dari temuan pada pemeriksaan fisik.
h. Skeletal Radiografi
Kelainan kraniofasial termasuk brachycephalic microcephaly, hypoplastic facial bones dan
sinuses. Tes ini diperlukan untuk mengukur jarak atlantodens dan untuk menyingkirkan
atlantoaxial instabilitas pada umur 3 tahun. Radiografi juga digunakan sebelum anesthesia
diberikan jika terdapat tanda-tanda spinal cord compression. Penurunan sudut iliac dan
acetabular juga dapat ditemukan pada bayi baru lahir.22
3.5.9 Penatalaksanaan

Medikamentosa
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada
jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan
pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan
terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah
infeksi yang adekuat.

Non Medikamentosa

1. Fisio Terapi.
 Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar untuk
mencapai manfaat yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap
perkembangan yang berkelanjutan.
 Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk
menggerakkan tubuhnya seperti duduk dan berjalan dengan cara/gerakan yang
tepat (appropriate ways). Misalkan saja hypotonia pada anak dengan Down
Syndrome dapat menyebabkan pasien berjalan dengan cara yang salah yang
dapat mengganggu posturnya, hal ini disebut sebagai kompensasi.
 Tanpa fisioterapi sebagian banyak anak dengan Down Syndrome menyesuaikan
gerakannya untuk mengkompensasi otot lemah yang dimilikinya, sehingga
selanjutnya akan timbul nyeri atau salah postur.
 Dapat dilakukan seminggu sekali

2. Terapi Bicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami
keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata.
3. Terapi Okupasi. Melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman, kemampuan
sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya anak DS
tergantung pada orang lain atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa ada
komunikasi dan tidak memperdulikan orang lain. Terapi ini membantu anak
mengembangkan kekuatan dan koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat.
4. Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan
akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari sekolah
biasa.
5. Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah rangsangan /
sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang mengalami gangguan
integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll.
Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan
otak akan meningkat.
6. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy). Mengajarkan anak DS yang sudah berusia
lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan norma-
norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.
7. Terapi alternatif. Penaganan yang dilakukan oleh orangtua tidak hanya penanganan medis
tetapi juga dilakukan penanganan alternatif. hanya saja terapi jenis ini masih belum pasti
manfaatnya secara akurat karena belum banyak penelitian yang membuktikan manfaatnya,
meski tiap pihak mengklaim dapat menyembuhkan DS. Terapi alternatif tersebut di
antaranya adalah :
 Terapi Akupuntur. Dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian tubuh tertentu
dengan jarum. Titik syaraf yang ditusuk disesuaikan dengan kondisi sang anak.
 Terapi Musik. Anak dikenalkan nada, bunyi-bunyian, dll. Anak-anak sangat senang
dengan musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka dengan
begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan meningkat dan mengakibatkan
fungsi tubuhnya yang lain juga membaik
 Terapi Lumba-Lumba. Terapi ini biasanya dipakai bagi anak Autis tapi hasil yang
sangat mengembirakan bagi mereka bisa dicoba untuk anak DS. Sel-sel saraf otak
yang awalnya tegang akan menjadi relaks ketika mendengar suara lumba-lumba.
 Terapi Craniosacral. Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang ringan
pada syaraf pusat. Dengan terapi ini anak DS diperbaiki metabolisme tubuhnya
sehingga daya tahan tubuh lebih meningkat.
 Terapi-terapi alternatif lainnya, ada yang berupa vitamin, supplemen maupun dengan
pemijatan pada bagian tubuh tertentu.
3.5.10 Prognosis

Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40 tahun. Selain
perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan fisik. Kemampuan
berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan kelainan jantung bawaan,
seperti defek septum ventrikel yang memperburuk prognosis.15 Sebesar 44% penderita sindroma
Down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko
terkena leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit Alzheimer
yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun.
Beberapa penderita sindroma Down mengalami hal-hal berikut:
a. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa.
b. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.
c. Pada usia 30 tahun menderita dementia (berupa hilang ingatan, penurunan kecerdasan
dan kepribadian).
d. Gangguan tiroid.
Bisa terjadi kematian dini pada penderita sindroma Down meskipun banyak juga
penderita yang berumur panjang. Kematian biasanya disebabkan kelainan jantung bawaan.
Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini yang mengakibatkan 80%
kematian. Anak-anak dengan sindroma Down memiliki risiko tinggi untuk menderita kelainan
jantung dan leukemia. Jika terdapat kedua penyakit tersebut maka angka harapan hidupnya
berkurang dan jika kedua penyakit tersebut tidak ditemukan maka anak bisa bertahan sampai
dewasa.
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke RS untuk melakukan tindakan anoplasty atas indikas atresia ani 1 tahun
SMRS. Pada umur 5 hari pasien dirujuk ke RSUD Raden Mattaher dengan keluhan pasien tidak
pernah BAB dan didapatkan perutnya kembung dan pasien tidak memiliki lubang anus. Riwayat
muntah (-), sesak (-), demam (-), BAK dalam batas normal. Selain itu pasien juga memiliki
bentuk wajah seperti mongoloid. Pasien dirujuk ke RSUD Raden Mattaher dengan diagnosis
atresia ani dan sindrom down. Dan dilakukan kolostomy pada umur 7 hari.
Pasien lahir di sebuah RS di Bulian dengan SC. pasien merupakan anak ketiga. saat
mengandung ibu pasie berusia 39 tahun. Usia kehamilan cukup bulan 38 minggu, air ketuban
jernih. Bayi dilahirkan dengan berat badan 2,5 dan tinggi badan 48 cm. Pada saat hamil ibu
pasien tidak pernah sakit dan riwayat ANC lengkap.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan moingoloid face, pada abdomen:ditemukan stoma.
Pasien diatas direncanakan menjalani operasi anoplasty dengan general anestesi dan caudal
anestesi.
Pada saat kunjungan pra anestesi (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang), didapatkan keadaan umum pasien baik, stoma bekas konolostomy yang dilakukan 1
tahun yang lalu dan pemeriksaan laboratorium masih dalam batas normal dan tidak memiliki
riwayat penyakit sistemik sehingga status fisik pada pasien ini adalah ASA II. Hal ini sesuai teori
bahwa ASA II adalah dimana Pasien dengan gangguan sistemik ringan sedang, Sebelum jadwal
operasi dilaksanakan, dipuasakan 6-8 jam sebelum operasi dan mempersiapkan SIO.
Sebagai obat premedikasi pada pasien ini yaitu: Dexametason 2,5 mg, asam traneksamat
120 mg. Tujuan pemberian deksametason diberikan untuk mengurangi histamin release,
sehingga dapat mengurangi alergi pada pasien. Asam traneksamat diberikan untuk meredakan
nyeri dan peradangan.
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi sekitar 15 menit sebelum dilakukan operasi.
Berdasarkan teori, tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi bertujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk meredakan
kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah
dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah,
menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.
Tindakan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general anestesi
menggunakan teknik anestesia secara induksi inhalasi dan rumatan inhalasi. Pada pasien ini juga
dilakukan caudal anestesi Induksi pada pasien ini dengan inhalasi sevopluron 3%, serta
pemasangan Single Lumen ETT no 3,5 dengan dosis pemeliharaan menggunakan anestesi
inhalasi: sevoflurans + N2O: O2. Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk
membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi.
Obat-obatan yang sering digunakan untuk anestesi inhalasi adalah N2O, halotan, enflurane,
isoflurane, desflurane dan sevoflurone. Sevoflurane merupakan halogenasi eter, dikemas dalam
bentuk cairan, tidak berwarna, tidak eksplosif, tidak berbau, tidak iritatif sehingga bai untuk
induksi inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya paling cepat dari semua obat-obat anestesia
inhalasi yang ada saat ini. Juga memiliki efek analgesia ringan dan relaksasi otot ringan. Dapat
digunakan untuk induksi pada bayi atau anak yang tidak kooperatif.
Pada pasien ini diberikan fentanil 10 mg, dimana berdasarkan teori golongan opioid
(morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi diberikan dalam dosis tinggi. Opioid
tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelainan jantung. Untuk anestsia opioid digunakan fentanyl dosis induksi 2-20 mcg/kgbb. Dosis
pada pasien ini sudah tepat. Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot atrakurium 40 mg IV
yang merupakan non depolaritation intermediete acting. Atracurim dipilih sebagai agen
penginduksi karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain metabolisme terjadi di dalam
darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut eliminasi Hofman. Reaksi
ini tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal. Selain itu tidak mempunyai efek kumulasi pada
pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis intubasi dan
relaksasi otot adalah 0,5-0,6 mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2 mg/kgBB (iv).
Pada pasien ini diberikan atrakurium 10 mg. Pada pasien ini diberikan maintenance O2 +
N2O + sevoflurans. Oksigen diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi
analgetiknya kuat. Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat
dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan
aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan oleh tubuh.
Kebutuhan maintenance cairan pada pasien ini, yaitu 26 cc/jam. selama operasi, terdiri dari
jumlah cairan pengganti puasa 156 cc, maintenance 26cc/jam, stress operasi 26 cc/jam. pada jam
I dibutuhkan 130 cc. Cairan yang telah masuk RL sebesar 300 cc.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang ini pemulihan dari
anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak berdekatan dengan ruang operasi
sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang memerlukan pembedahan ulang tidakakan
mengalami kesulitan. Pada saat di RR, dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu
meliputi saturasi oksigen, denyut nadi hingga kondisi stabil. Pasien didapatkan dalam keadaan
tenang karena efek caudal anestesi. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan
atau karena hipoksia (TD turun, nadi cepat, misalnya karena hipovolemik). Namun jika gelisah
karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya dengan menambah cairan elektrolit (RL),
koloid, darah. Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh. Pasien hendaknya jangan
dikirim keruangan sebelum sadar, tenang, reflek jalan nafas sudah aktif, nadi dalam batas
normal. Pada pasien ini, didapatkan skor steward 4 sehingga dapat keluar dari ruang RR.
Pasien pindah dan dibawa ke bangsal bedah pada jam 11.50 WIB
BAB V
KESIMPULAN

• Pasien An. F usia 1 tahun 6 bulan, dengan diagnosa post kolostomy atas indikasi atresia
ani+syndroma down akan dilakukan tindakan anoplasty dengan metode anestesi berupa
anestesi umum dan caudal anestesi.
• Pada pemeriksaan pre anestesi dilakukan anamnesis dan didapatkan bahwa pasien datang
dengan untuk melakukan tindakan anoplasty atas indikasi atresia ani 1 tahun SMRS. Pada
hari ke 5 kelahiran orang tua pasien mengeluhkan anaknya belum juga BAB dan
didapatkan perutnya kembung. Setelah dibawa ke RS ternyata pasien tidak memiliki
lubang anus dan dilakukan persiapan kolostomy. Dari alloanamnesa pasien sudah
dilakukan operasi kolostomy 1 tahun yang lalu dan pasien juga merupakan penderita
syndroma down.
• Pemeriksaan fisik : Compos mentis, GCS 15, N 80x/i, RR 24x/i, mongoloid face, gigi
insisi atas dan gigi insisi bawah, mallampati I, paru jantung ekstremitas dalam batas
normal, abdomen tampak adanya stoma dari operasi kolostomy 1 tahun yang lalu.
• Pemeriksaan penunjang : darah rutin semua dalam batas normal.
• Untuk obat premedikasi diberikan, dexamethasone, dan asam traneksamat, serta medikasi
diberikan fentanyl, atracurium dan sevoflurane sebagai inhalasi dan maintenance.
• Dilakukan caudal anestesi.
• Dilakukan persiapan alat STATICS, pasien dalam keadaan litotomi, dan menggunakan
ETT no 3,5
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Kelainan Bawaan. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed3. Jakarta
: EGC, 2004 : 667-670
2. Suryo. Abnormalitas akibat kelainan kromosom dalam Genetika manusia, Universitas
Gadjah Mada press, cetakan ke 6 tahun 2001. Hal 259-270
3. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology
6th Edition. McGraw-Hill Education: USA. 2018.
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clincal Anesthesiology, 4th ed. New
York : Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006,289-323.
5. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar anestesiologi . Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto Mangankusumo
2012 : Jakarta
6. Longnecker DE, Tinker JH, Morgan GE, et al, eds. Principles and Practice of
Anesthesiology. Vol I, 2nd Edition. St. Louis, MO: Mosby; 1998.
7. Bansal T, Hooda S. Anesthetic Considerations In Pediatric Patients . JIMSA 2013 ;26:2
8. Lerman J, Schmitt Bantel BI, Gregory GA, et al. Effect of age on the solubility of volatile
anesthetics in human tissues. Anesthesiology 1986; 65; 307-11
9. Lerman J, Gregory GA, Willis MM, et al. Age and solubility of volatile anesthetics in
blood. Anesthesiology 1984; 61: 139-43.
10. Macfarlane F. Pediatric Anatomy and Physiology and the Basis of Pediatric Anesthesia .
Mater Children’s Hospital. Diambil dari: https://www.aagbi.org. [Diakses tanggal 5
Maret 2021]
11. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar anestesiologi . Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto Mangankusumo
2012 : Jakarta
12. Esther Weathers. Neonatal And Pediatric Cuffed Endotracheal Tubes: Safety And Proper
Use. KC Educational Counseling Services.
13. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta : EGC 1994: 262
14. Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases
2007 , 2:33. http://www.ojrd.com/content/2/1/33 [diakses 5 Maret 2021]
15. Nelson, G Rosen, MD. Pediatric Imperforate Anus. 25 januari 2010 (diakses tanggal 5
Maret 2021). Available from: http://emedicine.medscape.com/article/929904- overview.
16. Hamami A.H, Pieter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. 2004. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Editor Peter J. Ed 2. Jakarta : EGC
17. Chen H. genetics of Down syndrome. eMedicine. Feb 4, 2011. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/943216-overview#a0104. Accessed on March
2021.
18. N Heyn, Sietske. 2011. Available at: Down
Syndrome.http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.htm. [Accessed on
March 2021].
19. Sietske N.H. Down syndrome 10 July 2011. Available at
http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.html. Accessed on March 2021.
20. Down syndrome. Genetics Home Reference. 30 Aug 2010. Available at
http://www.ghr.nlm.nih.gov/condition/down-syndrome. Accessed on March 2021.

21. Sadock, Benjamin J., Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Ed. 2. Jakarta: EGC, 2010:563
22. Care C. masalah sindrom Down. 2009. Available at http://www.childcare-
center.com/masalah/sindrom-down.html. Accessed on March 2021.

Anda mungkin juga menyukai