Kombinasi General Anestesi dan Caudal Anestesi Pada Tindakan Anoplasty Atas Indikasi
Atresia Ani
Kombinasi General Anestesi dan Caudal Anestesi Pada Tindakan Anoplasty Atas Indikasi
Atresia Ani
Disusun oleh:
Fazilla Maulidia
G1A219104
PEMBIMBING,
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) dalam bentuk
laporan kasus yang berjudul “Kombinasi General Anestesi dan Caudal Anestesi Pada
Tindakan Anoplasty Atas Indikasi Atresia Ani” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah laporan kasus ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Penulis
mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Fazilla Maulidia
BAB I
PENDAHULUAN
Atresia ani atau anus imperforata atau malformasi anorektal adalah suatu kelainan
kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis
rekti dan atresia rekti. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb). Atresia ani paling sering
terjadi pada bayi yang baru lahir. 1
Terapi definitif atresia ani adalah pembedahan. Untuk atresia ani letak tinggi, operasi
dilakukan beberapa tahap. Tahap pertama dilakukan pembuatan saluran pembuangan sementara
di perut disebut colostomy. Tahap kedua dilakukan operasi untuk membuat anus baru disebut
anoplasty. Dan tahap ketiga adalah operasi penutupan colostomy.
Sindrom Down (juga disebut trisomi 21) adalah gangguan genetik yang terjadi pada 1
dari 800 kelahiran hidup. Ini adalah penyebab utama kerusakan kognitif. Sindrom Down terkait
dengan ketidakmampuan belajar ringan sampai sedang, perkembangan terhambat, ciri wajah dan
otot rendah nada awal masa bayi. 2
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). General anestesi merupakan teknik yang
paling banyak dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. Teknik ini menghilangkan
kesadaran yang bersifat pulih kembali (reversible) dan meniadakan nyeri secara sentral. Trias
anestesia terdiri dari analgesia, hipnotik dan relaksasi. Tahap awal dari anestesi umum adalah
induksi.3
Caudal epidural analgesia adalah salah satu regional anestesi yang paling umum
digunakan pada pasien pediatri. Pada anak-anak, anestesi kaudal sering dikombinasi
dengan anestesi umum untuk suplemen intraoperatif dan analgesia pascabedah. Teknik
ini umumny digunakan untuk prosedur dibawah diapraghma, termasuk operasi
urogenital, rektal, inguinal, dan ekstrimitas bawah. Blok kaudal pada pediatrik paling
sering dilakukan setelah induksi anestesi umum.4
BAB II
LAPORAN KASUS
Riwayat Kelahiran
Pasien lahir cukup bulan, anak lahir dibantu dokter dengan SC, dengan berat badan 2,5 kg
daan tinggi badan 48 cm.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi lengkap.
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, skar (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Palpasi : Ictus cordis terabadi ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : tidak diperiksa.
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi abdomen (-), skar (-), stoma (+)
Auskultasi : Bising usus (+), 20 x/menit
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-)
Perkusi : timpani (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, edema (-)
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
b. Laboratorium
Darah Rutin
WBC : 6,42x 103/L
HGB : 13,3 gr/dL
HCT : 42,0%
PLT : 480 x 109/L
Masa Pendarahan (BT) : 3 menit
Masa Pembekuan (CT) : 1,5 menit
Faal Hari
SGOT : 32 g/dL
SGPT : 23 g/dL
2. Tindakan Anestesi
1. Diagnosa pra bedah : Post kolostomi atas indikasi atresia ani + sindrom down
1. Tindakan bedah : anoplasty
2. Status fisik ASA : ASA II
3. Malampati :I
4. Jenis anestesi : Anestesi umum ( General Anestesi) dan caudal anestesi
Pramedikasi :
Jam : 09.00 WIB
Dexametason 2,5 mg (IV)
Asam traneksamat 120 mg (IV)
5. Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan Laringoskop
Tube : ETT Non Kinking no 3
Airway : Goodle
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Intorducer : Mandrin
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction
Anestesi umum :
Induksi inhalasi dengan Sevofluran 3%
Intubasi dengan ETT no.3,5 (tanpa cuff) dengan laringoskop blade lengkung no.1 1/2
didahului oleh pelumpuh otot atrakurium 1 mg
Maintenance dengan Sevofluran + O2
Caudal Anestesi:
Bupivacain 3 ml+ morphine 0,1 cc+aquades
EBV = 85 cc/KgBB
= 85 cc x 6,5
= 552,5 cc
4. Monitoring
5. Ruang Pemulihan
Masuk Jam : 10.50 WIB
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
Tanda vital
TD :-
Nadi : 141 x/menit
RR : 17 x/menit
Pernafasan : Baik
Monitoring
Jam TD Nadi RR SpO2 Keterangan
Scoring steward:
pergerakan :1
Pernafasan :2
Kesadaran :1
Jumlah :4
Instruksi Post Operasi:
- Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit
- Tirah baring tanpa menggunakan bantal
- Diit bila sadar penuh
- Instruksi lain sesuai dr. Willy, Sp.BA
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Dinitrogenoksida (N2O)
N2O merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang
kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap
SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan,
hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan
tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan
atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
2. Halotan
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas kendali
sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Halotan
menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit
dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk
bedah otak. Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.
3.Enfluran
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan.Efek depresi nafas
lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif dibandingkan
halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik dibandingkan halotan.
4.Isofluran
Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan
aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat dikurangi dengan teknik
anestesia hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
5.Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek
terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap
sistem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar.
Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada
laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia.
2. Anestesi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan
dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi,
dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
1. Barbiturate
Contohnya pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat anestesi intravena yang
bekerja cepat (short acting). Bekerja menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem
sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat
pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi
dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan
berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi
jantung terhadap katekolamin.
2. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi. Propofol
memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun
pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi
umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena
propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai
induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi
bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi
berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi
pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam
keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat. Rasa
nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau
trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan
dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti selama
induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi. Propofol
menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena
vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali
normal dengan intubasi trakea.
Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam
memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi
hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan
menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi
pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi,
aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala,
pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).
3. Ketamin
Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang menyerupai
keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan nistagmus lambat. Pada
saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi, terjadi amnesia dan analgesia yang
sangat baik. Ketamin meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut
jantung meningkat, kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi.
Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit,
tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu paruh 7-11
menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5 menit. Dosis bolus untuk
induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik
dicapai dengan dosis sub anestetik 0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1 ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).
4. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi.
Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis
induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
5. Benzodiazepin
Yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam, dan midazolam.
Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik (sebagai
neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal
dalam anestetik regional. Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini
menyebabkan tidur, mengurangi, cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd
(setelah pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada SSP
ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.
a) Midazolam
Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan anestesi, bekerja
cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja
kuat menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5 mg/ml. Mula
kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM 15-30
menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam
30 menit. Midazolam menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari
diazepam, penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer .Efek depresi pernafasan minimal juga menurunkan metabolisme O2 di otak
dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi 0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg
IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb IV.
b) Diazepam
Obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot, antikonvulsi dan
amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi liver. Dibandingkan dengan
barbiturate, efek anestesi diazepam kurang memuaskan karena mula kerjanya
lambat dan masa pemulihannya lama. Diazepam digunakan untuk berbagai macam
intervensi (menimbulkan sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama),
meringankan kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti
berkurangnya ingatan, juga untuk induksi anestesia terutama pada penderita dengan
penyakit kardiovaskular. Diazepam juga digunakan untuk medikasi preanestetik
dan untuk mengatasi konvulsi. Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang
disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik. Dosis
premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2
mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV
tergantung indikasi dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi
dilakukan secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena pemberian terlalu cepat dapat
menimbulkan apnea.
Gambar. Bagian sagital dari orang dewasa (A) dan bayi (B) saluran napas
Selain pada jalan napas terdapat beberapa perbedaan lain pada anak-anak yakni
bagian kepala oksiput yang lebih besar akan menyulitkan untuk menempatkan pasien pada
posisi sniffing untuk mengatasi hal tersebut dapat dibetikan ganjalan bahu.16
Volume darah pada bayi lebih tinggi daripada orang dewasa, hal tersebut akan
mempengaruhi jumlah cairan atau darah yang harus ditransfusikan bila terjadi
hypovolemia. Rumus ABL (Allowable Blood Loss) digunakan untuk mencari jumlah
cairan yang dibutuhkan dan dihitung dengan rumus ( ABL: EBV X Ht 1−Ht 2 / Ht1 )
dengan EBV : Estimated Blood Volume , HT1 : Hematocrit (atau bisa hemoglobin) awal
(normal pria: 42- 52%, wanita : 37-47%), HT2 : Hematocrit (atau bisa hemoglobin) akhir.
Sebelum Operasi disarankan dibuat perhitungan estimasi kehilangan darah pada saat
intraop sebelum dilakukan operasi, dan bila mungkin dapat diberikan terapi preoperatif
seperti supplemen besi. Bila pasien dengan anemia kronis tidak dapat menerima transfusi
darah karena alasan tertentu atau memiliki penyakit ginjal dapat dibantu dengan
pemberian EPO (Erythropoietin).
B. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
2) Tanda-Tanda Vital : Tekanan darah, Laju nadi dan napas, Suhu
3) Data antropometrik : Tinggi dan berat badan
4) Adanya gigi yang lepas atau goyang
5) Sistem respirasi
6) Sistem Kardiovaskuler
7) Sistem Neurologi
C. Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan penunjang disarankan bagi beberapa pasien anak dengan kondisi
khusus. Pemeriksaan kadar Hb dilakukan apabila diperkirakan akan ada banyak pendarahan
pada saat operasi, bayi prematur, penyakit sistemik dan penyakit jantung kongenital.
Pemeriksaan kadar elektrolit dapat dilakukan bila terdapat penyakit ginjal ataupun metabolik
lainnya dan pada kondisi dehidrasi. Pemeriksaan x-ray dapat dilakukan bila terdapat penyakit
paru-paru, skoliosis ataupun penyakit jantung. Pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan
sesuai penyakit
B. Peralatan Elektronik :
Lampu ruangan
Mesin anestesia
Mesin penghangat tempat tidur
Infusion pump
Syringe pump
Defibrilator
3.2.8 Induksi7,12
Induksi dapat dilakukan baik dengan metode inhalasi maupun metode intravena.
Metode inhalasi dapat digunakan apabila pasien takut terhadap jarum, tidak kooperatif atau
sulit mencari akses vena, namun metode inhalasi merupakan teknik yang memerlukan 2
orang, orang pertama harus mempertahankan jalan napas dan orang kedua mencari akses
vena dan memasukan obat-obatan intravena sesuai indikasi. Obat-obatan inhalasi anestesi
yang paling sering diberikan adalah halothane dan sevoflurane. Halothane memiliki bau
yang manis sehingga mudah dihirup dan bila ditambah dengan N2O dapat mempercepat
induksi serta durasi obat yang lebih lama namun dapat menimbulkan arritmia sehingga
penggunaanya sudah mulai ditinggalkan. Sevoflurane tidak bersifat irritatif dan memiliki
onset yang lebih cepat dan durasi yang lebih pendek namun dapat menyebabkan delirium
pada saat pasien sadar. Pilihan obat untuk induksi intravena adalah propofol, thiopental dan
ketamine.
Caudal epidural analgesia adalah salah satu regional anestesi yang paling umum
digunakan pada pasien pediatri. Juga digunakan pada operasi anorektal pada dewasa.
Ruangan caudal adalah bagian sakral dari ruangan epidural. Analgesia kaudal
memerlukan penetrasi jarum dan atau kateter melalui ligament sacrococcygeal yang
menutupi hiatus sacralis. Hiatus dirasakan sebagai groove atau notch diatas
coccygeus dan diantara dua prominen, kornu sakralis. Jadi hiatus sacralis terdapat
diantara kedua kornu sakralis kanan-kiri. Anatomi ini lebih mudah dilihat pada bayi
dan anak. Spina iliaca superior posterior dan hiatus sacralis membentuk suatu
segitiga equilateral.
Gambar. The prone jackknife position often used for anorectal surgery can also be used
for caudal anesthesia in adults.
Spinal 26 6 0 5 0 19
(n=40.640)
Epidural 3 0 4 0 1 5
(n=30.413
Penelitian di Prancis
Blokade saraf dengan level tinggi dapat terjadi baik dengan anestesi spinal atau
anestesi epidural. Pemberian dosis besar, kegagalan untuk mengurangi dosis standar
pada pasien tertentu (geriatri, hamil, obes, atau sangat pendek) atau sensitivitas yang
tidak biasa atau penyebaran obat anestesi lokal. Pasien sering mengeluh sesak nafas
dan mati rasa dan lemah pada ekstremitas atas. Mual dengan atau tanpa muntah
sering terjadi mendahului hipotensi. Harus diingat pasien harus ditenteramkan
hatinya, pemberian oksigen dinaikan, serta hipotensi dan bradikardi harus dikoreksi.
Anestesi Spinal yang menaik ke level servikal menyebabkan hipotensi berat,
bradikardi, dan depresi nafas. Tidak sadar, apnoe, dan hipotensi akibat blok spinal
tinggi disebut sebagai high spinal atau total spinal. Keadaan ini dapat pula
terjadi setelah epidural/caudal kalau terjadi suntikan intratekal yang tidak disengaja.
Hipotensi berat yang berlangsung terus menerus dengan blok sensoris yang lebih
rendah juga dapat membawa kearah terjadinya apnoe akibat hipoperfusi batang
otak. Anterior Spinal Artery Syndrome telah dilaporkan terjadi setelah anestesi
neuroaksial, mungkin disebabkan hipotensi berat yang lama bersama-sama dengan
peningkatan tekanan intraspinal.
Terapi untuk blok neuroaksial tinggi adalah mempertahankan airway dan
ventilasi adekuat dan support sirkulasi. Bila terjadi depresi nafas, tambahan dari
suplement oksigen adalah mungkin diperlukan melakukan assisted ventilasi, intubasi,
dan ventilasi mekanis. Hipotensi diterapi dengan pemberian cepat cairan intavena,
posisi head down, dan pemberian vasopressor secara agresif. Epinefrin harus segera
digunakan bila efedrin atau penilefrin tidak berefek. Infus dopamin dapat menolong.
Bradikardi harus segera diterapi dengan sulfas atropin. Efedrin atau epinefrin juga
dapat meningkatkan denyut jantung. Kalau pengendalian hemodinamik dan
respirasi segera tercapai dan dapat di maintenance setelah high atau total spinal,
operasi dapat diteruskan. Apnoe sering transient/sebentar, dan ketidaksadaran dapat
menyevabkan pasien amnesia tanpa recall.
bradikardi dengan vagolitik (atropin) dan bila diperlukan diikuti dengan efedrin dan
epinefrin.
Retensi Urine
Blokade radiks saraf S2-S4 dengan obat anestesi lokal menurunkan tonus vesica
urinaria dan menghambat refleks kencing. Opioid epidural juga mempengaruhi
kencing normal. Efek ini lebih kuat pada pasien laki-laki. Harus dipasang kateter
urine untuk semua pasien yang dilakukan neuroaksial blok. Kalau kateter tidak
dipasang, diperlukan monitoring ketat untuk melihat pasien sudah bisa kencing.
Disfungsi vesica urinaria yang menetap dapat terjadi sebagai komplikasi serius
cedera neuron.
Hal ini tidak aneh, bila dihubungkan dengan kegagalan kecil tapi signifikan
yang berbanding terbalik dengan pengalaman klinisinya. Target anestesi spinal (ada
aliran CSF) lebih pasti daripada loss of ressistance. Kegagalan masih bisa terjadi
walaupun nyata keluar CSF yang dapat disebabkan karena pergerakan jarum selama
penyuntikkan, ujung jarum yang tidak lengkap masuk ruangan subarachnoid, suntikan
subdural, atau hilangnya potensi obat anestesi lokal. Larutan tetracain bila disimpan
dalam jangka waktu lama pada temperatur tinggi akan hilang potensinya.
Suntikan Intravaskul er
Suntikan obat anestesi lokal kedalam intravaskuler yang tidak disengaja untuk
epidural atau caudal anestesi akan menyebabkan sangat tinggi level obat didalam
serum. Konsentrasi tinggi obat anestesi lokal mempengaruhi SSP (menimbulkan
kejang dan hilangnya kesadaran) dan sistem kardiovaskuler (hipotensi, aritmia,
kolaps kardiovaskuler). Disebabkan dosis obat untuk spinal anestesi relatif kecil
komplikasi ini terutama terlihat bila dilakukan anestesi epidural atau caudal. Obat
anestesi lokal mungkin disuntikan langsung kedalam pembuluh darah mellaui jarum
atau kateter yang masuk kedalam darah vena. Kejadian suntikan intravaskuler dapat
dikurangi dengan tindakan aspirasi jarum atau kateter sebelum setiap kali menyuntik,
menggunakan test dose, selalau menyuntikkan secara inkremental, dan observasi
ketat untuk setiap tanda suntikan intravaskuler (tinnitus, sensasi lidah).
Toksisitas obat anestesi lokal bervariasi. Chloroprokain paling kecil toksisitasnya
disebabkan dipecah dengan sangat cepat; lidokain, mepivacain, levobupivakain, dan
ropivakain bersifat intermediate dalam hal toksisitas, dan bupivacain paling toksik.
Total spinal anestesi dapat terjadi setelah epidural/caudal anestesi bila terjadi
suntikan intratekal yang tidak disengaja. Onsetnya cepat disebabkan jumlah obat
anestesi yang diperlukan untuk epidural/caudal anestesia 5-10 kali lebih banyak
daripada untuk spinal anestesi. Aspirasi yang hati-hati, gunakan test dose, dan teknik
suntikan inkremental selama epidural dan caudal anestesi dapat menghindari
terjadinya komplikasi ini. Dalam keadaan terjadi suntikan subarachnoid dalam
jumlah besar, terutama lidokain dapat dilakukan dengan melakukan lavage
subarachnoid , caranya adalah dengan menarik 5 ml CSF lalu ganti dengan NaCl
fisiologis.
Suntikan Subdural
Sama dengan suntikan yang tidak disengaja kedalam pembuluh darah dan
disebabkan jumlah besar obat anestesi lokal diberikan, suntikan subdural yang tidak
disengaja selama melakukan usaha tindakan epidural anestesia lebih serius daripada
selama usaha melakukan spinal anestesi. Suntikan subdura dari dosis epidural obat
anestesi lokal menimbulkan keadaan seperti high spinal anestesi dengan pengecualian
bahwa onsetnya lambat kira-kira 15-30 menit. Ruangan subdural spinal adalah suatu
ruangan antara dura dan arachnoid yang berisi sejumlah kecil cairan serosa. Tidak
seperti ruangan epidural, ruangan subdural meluas sampai ke intrakranial, maka
suntikan obat anestesi lokal kedalam ruangan subdura spinal dapat menyebabkan level
yang lebih tinggi daripada bila obat anestesi lokal diberikan secara epidural. Seperti
high spinal anestesi, terapinya adalah suportif dan mungkin memerlukan intubasi,
ventilasi mekanis dan suport kadiovaskuler. Efeknya umumnya berakhir dari satu
sampai beberapa jam.
Backache
Ketika jarum masuk menembus kulit, jaringan subkutis, otot, dan ligamen
menyebabkan tingkatan trauma jaringan yang berbeda. Suatu respons inflamasi
lokal dengan atau tanpa refleks spasme otot merupakan penyebab terjadinya
backache pascabedah. Harus dicatat bahwa sampai 25-30% pasien yang hanya
menerima anestesi umum juga mengeluh backache pascabedah dan suatu persentase
yang signifikan dari populasi umum mempunyai chronic back pain. Sakit punggung
pascabedah umumnya ringan dan sembuh sendiri, walaupun berakhir beberapa
minggu. Bila diperlukan terapi, asetaminofen, NSAID, kompres hangat atau dingin
dapat menolong. Walaupun sakit punggung umumnya jinak, mungkin merupakan
tanda klinis penting adanya komplikasi yang lebih berat misalnya abses atau hematom
epidural.
Neurological I njury
Trauma akibat jarum atau kateter pada vena epidural sering menyebabkan
perdarahan ringan didalam kanalis spinalis yang pada umumnya sembuh sendiri.
Spinal hematom yang jelas secara klinis dapat terjadi setelah anestesi spinal atau
anestesi epidural, terutama dengan adanya pembekuan yang abnormal atau gangguan
perdarahan. Kejadian hematom kira-kra 1:150.000 untuk blok epidural dan
1:220.000 untuk spinal anestesi. Laporan kebanyakan terjadi pada pasien dengan
koagulasi abnormal akibat penyakit atau peberian obat. Beberapa mempunyai
hubungan dengan kesulitan teknik atau block yang berdarah-darah. Itu harus dicatat
bahwa banyak hematom terjadi segera setelah penarikan kateter epidural. Jadi
pemasangan atau penarikan kateter merupakan faktor resiko.
Insult patologis pada medulla spinalis dan saraf disebabkan karena efek
kompresi dari massa pada jaringan saraf dan menyebabkan tekanan langsung dan
menyebabkan injury dan iskemia. Kebutuhan untuk diagnosa dan intervensi yang
cepat adalah sangat penting untuk mencegah sequele neurologis permanen. Onset
dari gejala lebih cepat dibandingkan dengan abses epidural. Gejalanya adalah
punggung seperti diiris dan nyeri kaki dengan mati rasa dan kelemahan motoris dan
atau disfungsi sphincter. Bila disangka ada hematoma, MRI, CT Scan atau mielografi
harus segera dilakukan dan konsul ke dokter bedah saraf harus segera dilakukan.
Pada kebanyakan kasus pemulihan neurologis yang baik pada pasien yang segera
dilakukan bedah dekompresi dalam waktu 8-12 jam.
Abses Spinal epidural jarang terjadi tapi merupakan komplikasi yang sangat
berat pada anestesi neuroaksial. Laporan kejadian bervariasi dari 1:6500 sampai
1:500.000 epidural anestesi. Beberapa penelitian prospektif, termasuk 140.000 blok,
gagal untuk melaporkan satu abses epidural. Epidural abses dapat terjadi pada pasien
yang tidak menerima anestesi regional; faktor resikonya adalah trauma punggung,
obat yang disuntikkan, prosedur bedah saraf. Kasus yang dihubungkan dengan
anestesi adalah akibat kateter epidural. Dalam satu laporan seri, rata-rata 5 hari
pemasangan kateter untuk berkembangnya gejala walaupun dapat lambat sampai
mingguan.
Ada 4 stadium klinis dari Epidural abses, walaupun progresivitas dan
waktunya berbeda. Pada permulaannya, gejalanya adalah nyeri punggung atau
vertebra yang lebih sakit bila diketuk. Kedua, terjadi nyeri radikuler atau radiks saraf.
Stadium ketiga ditandai dengan defisit motoris dan atau sensoris atau disfungsi
sphincter, pada stdium empat ada paraplegi dan paralisis. Idealnya diagnosa
harus dibuat pada stadium permulaan. Adanya sakit punggung dan demam setelah
epidural anestesi harus dicurigai adanya abses epidural. Adanya nyeri radikuler
dan defisist neurologis meningkatkan indikasi perlunya pemeriksaan lanjtan. Sekali
di diagnosa abses epidural, kateter epidural harus dicabut dan ujung kateter dikultur.
Selain diberikan antibiotika, maka terapi lain adalah dilakukan pembedahan
dekompresi.
Terdapat resiko kateter putus atau robek saat ditarik dari jarumnya. Kalau kateter
harus ditarik maka harus ditarik bersama-sama jarumnya. Bila kateter putus dan
tertinggal di ruang epidural, banyak ahli menganjurkan tinggalkan saja, akan tetapi,
bila ada di jaringan superfisial, terutama bila sebagian kateter terlihat, maka harus
dilakukan tindakan pembedahan, karena ujung kateter akan menjadi tempat
masuknya bakteri.
Komplikasi yang dihubungkan dengan Toksisitas Obat
Toksisitas Sistemi k
Absorpsi jumlah besar obat anestesi lokal dapat menimbulkan level toksik serum
yang sangat tinggi. Absorpsi yang banyak dari blok epidural atau kaudal jarang jika
obat diberikan tidak melebihi dosis maksimal yang aman.
Transient Neurological Symptom (TNS)
Neurotoksisitas Lidokain
3.4.1 Definisi
Atresia Ani adalah suatu kelainan congenital dimana menetapnya membrane anus
sehingga anus tertutup. Defek ini tidak selalu total; kadangkala sebuah lubang sempit masih
memungkinkan keluarnya isi usus. Bila penutupannya total anus tampak sebagai lekukan kulit
perineum; keadaan ini seringkali disertai atresia rectum bagian bawah.13
3.4.2 Embriologi
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan hindgut. Foregut
akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung sebagian
duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian
duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut
oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak
ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal.
3.4.3 Etiologi
1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang
dubur.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan.
3. Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen
genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang
memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan
dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya
hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 ( Down's syndrome). Kedua hal
tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat
menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik.14
3.4.4 Patofisiologi
Kelainan atresia ani terjadi akibat kegagalan pembentukan septum urorectal secara
komplit. Embryogenesis dari kelainan ini masih belum jelas. Anus dan rektum diketahui
berasal dari bagian dorsal hindgut atau rongga cloacal ketika pertumbuhan lateral bagian
mesenchyme, kloaka akan membentuk sekat di tengah yang disebut septum urorectal. Septum
urogenital membagi kloaka (bagian caudal hindgut) menjadi rektum dan sinus urogenital,
urogenital sinus terutama akan membentuk kandung kecing dan uretra. Penurunan
perkembangan dari septum urorectal dipercaya menutup saluran ini ketika usia 7 minggu
kehamilan.
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani dibagi 2 golongan
yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 5
kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada
invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu
kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram:
udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu
kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada
invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu
kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm
dari kulit.16
3.4.6 Penatalaksanaan
Dari kedua hal tadi pada anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin
dan fistel perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis
menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin
jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin
mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar,
penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum tindakannya sama pada
perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum sama
dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anusnormal. Pada membran anal
biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada
sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan wanita,
tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara < 1cm dari kulit pada
invertogram, perlu juga segera dilakukan pertolongan bedah.16
3.4.7 Prognosis
Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai pengendalian defekasi,
pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum dan kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok
dubur. Fungsi kontineia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau ensibilitasnya,
tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan mental penderita . Hasil operasi
atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya metode PSARP.16
3.5.1 Definisi
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi, karena
individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu kromosom. Mereka mempunyai
tiga kromosom 21 dimana orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini
akan mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik
dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh.17
3.5.2 Epidemiologi
Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi
pada manusia. Kejadian sindroma Down diperkirakan satu per 800 sampai satu per 1000
kelahiran. Pada tahun 2006, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit memperkirakan
tingkat kejadiannya sebagai satu per 733 kelahiran hidup di Amerika Serikat (5429 kasus baru
per tahun). Sekitar 95% dari kasus ini adalah trisomi 21. Sindroma Down terjadi pada semua
kelompok etnis dan di antara semua golongan tingkat ekonomi. Kebanyakan anak dengan
Sindrom Down dilahirkan oleh wanita yang berusia datas 35 tahun. Sindrom Down dapat terjadi
pada semua ras. Dikatakan angka kejadian pada orang kulit putih lebih tinggi dari orang hitam.
Sumber lain mengatakan bahwa angka kejadian 1,5 per 1000 kelahiran, terdapat pada penderita
retardasi mental sekitar 10 %, secara statistik lebih banyak di lahirkan oleh ibu yang berusia
lebih dari 30 tahun, prematur dan pada ibu yang usianya terlalu muda.18
3.5.3 Etiologi
Dijumpai penderita Sindrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah
penderita Sindrom Down translokasi 46.t (14q21q). Setelah kromosom dari orang tuanya
diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk
satu autosom 21, 1 autosom 14 dan 1 autosom translokasi 14q21q. Jelaslah bahwa bahwa ibu
merupakan “carrier” yang walaupun memiliki 45 kromosom 45.XX.t (14q21q) ia adalah normal.
Sebaliknya, laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya ,
sampai sekarang belum diketahui. 2
3.5.4 Klasifikasi
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan mosaik. Tipe
pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom
21. Sembilan puluh empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini .
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan berkombinasi
dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang menjadi karier kromosom
yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan
4% dari total kasus.
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang mempunyai
kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik ini dan biasanya kondisi si
penderita lebih ringan. 17
3.5.5 Patofisiologi
Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh bagian dalam nukleus.
Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat lolos sebagai struktur tersendiri, tetapi
hanya sebagai bagian dari bahan dalam nukleus yang diwarnai dengan jelas. Sewaktu sel mulai
membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya untuk membentuk untaian kromosom.
Kromosom ini mengandung banyak molekul DNA yang tersusun dalam urutan tertentu.
Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang, merupakan
susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang kromosom seks.
Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y dalam
setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita normal ditandai dengan 46 XX, seorang
pria normal ditandai dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada setiap individu berasal dari
kedua orangtua dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma normal masing-masing mengandung
23 kromosom, merupakan susunan haploid, sehingga pembuahan menghasilkan zigot yang
tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog.
Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya memiliki 46
kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46. t(14 q 21q). setelah
kromosom orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki
45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan satu autosom translokasi 14q 21q.
jelaslah bahwa ibu itu merupakan “carrier” yang walupun memiliki 45 kromosom 45.xx.t
(14q21q) ai adalah normal. Sebaliknya laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi tidak
dikenal dan apa sebabnya demikian, sampai sekarang belum diketahui. 2
Pada Down syndrome trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada waktu
pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot, walaupun
kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit primer yang terhenti
perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi
ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut,
oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam meiosis
I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi oleh
spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.
Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah :
a. Infeksi virus atau radiasi dimana makin mudah berpengaruh pada wanita usia tua
b. Kandungan antibody tiroid yang tinggi
c. Mundurnya sel telur di tuba falopii setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena itu para
ibu yang berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko yang lebih besar
untuk mendapat anak sindroma Down Tripel-21.
Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak pernah
ada non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi setiap hari dan tidak
ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada oogenesis. Akibat dari adanya trisomi
21 dalam zigot, kromosom penderita Down syndrome jenis ini mempunyai 47 kromosom
(47,XX,+21 atau 47,XY,+21).
Anak dengan sindroma Down pada umumya memiliki berat badan lahir yang kurang dari
normal. Diperkirakan 20% kasus mempunyai berat badan lahir 2500 gr atau kurang.8 Secara
fenotip karakteristik yang terdapat pada bayi dengan sindroma Down yaitu: 2,19,20
Sutura sagitalis yang terpisah, fisura palpebralis yang oblique, jarak yang lebar antara jari kaki i
dan ii, “plantar crease” jari kaki i dan ii, hiperfleksibilitas, peningkatan jaringan sekitar leher,
bentuk palatum yang abnormal, tulang hidung hipoplasia, kelemahan otot, hipotonia (kaplan),
bercak brushfield pada mata (prof suci, baby down syd), mulut terbuka, lidah terjulur, lekukan
epikantus, “single palmar crease” pada tangan kiri, ”single palmar crease” pada tangan kanan,
“brachyclinodactily” tangan kiri, “brachyclinodactily” tangan kanan, jarak pupil yang lebar,
tangan yang pendek dan lebar, oksiput yang datar
Karakteristik dari sindroma tersebut ada yang berubah dengan bertambahnya umur anak,
misalnya lekukan epikantus atau jaringan tebal di sekitar leher akan berkurang dengan
bertambahnya umur anak. Berdasarkan atas ditemukannya karakteristik dengan frekuensi yang
tinggi pada sindroma Down, maka gejala–gejala tersebut dianggap sebagai “cardinal sign” dan
petunjuk diagnostik dalam mengidentifikasi sindroma Down secara klinis. Tetapi yang perlu
diketahui adalah tidak adanya kelainan fisik yang terdapat secara konsisten dan patognomonik
pada sindroma Down. Bentuk muka anak dengan sindroma Down pada umumnya mirip dengan
ras Mongoloid.
Selain beberapa tampilan dari anak dengan sindroma Down terdapat juga kelainan
klinis antara lain: 20
Cacat jantung bawaan, cacat jantung kongenital yang umum (40 - 50%) jantung bawaan
yang paling sering endocardial cushion defect (43%), ventricular septal defect (32%),
secundum atrial septal defect (10%), tetralogy Fallot cacat septum atrium (6%), dan
isolated patent ductus arteriosus (4%), lesions pada patent ductus arteriosus (16%) dan
pulmonic stenosis (9%). Sekitar 70% dari semua endocardial cushion defects terkait
dengan sindroma Down.
Vision disorders
Hearing disorders
Obstructive sleep apnoea syndrome, terjadi ketika aliran udara inspirasi dari saluran
udara bagian atas ke paru-paru yang terhambat untuk 10 detik atau lebih sehingga sering
mengakibatkan hypoxemia or hypercarbia.
Wheezing airway disorders
Congenital defek pada gastrointestinal tract
Coeliac disease
Obesity dan bertubuh pendek selama remaja
Transient myeloproliferative disorder
Thyroid disorders, yaitu hipotiroidism
Atlanto-axial instability,
Anomali saluran kemih
Masalah kulit seperti Atopik eksim, Seborrhoeic eczema, Alopecia areata, Vitiligo
Syringomas, Perforans elastosis serpiginosa, Onychomycosis, Tinea corporis,
Anetoderma, Folliculitis, Chelitis, Keratosis pilaris, Psoriasis , Cutis marmorata⁄ivedo
reticularis, Xerosis, hyperkeratosis Palmar atau hiperkeratosis plantar
Behaviour problems, spontanitas alami, kehangatan, ceria, kelembutan dan kesabaran
sebagai karakteristik toleransi. Beberapa pasien menunjukkan kecemasan dan keras
kepala.
Psychiatric disorder, Prevalensi dari 17.6% gangguan kejiwaan di kalangan anak-anak
dan di antara orang dewasa adalah 27,1%. Anak-anak dan remaja berada pada risiko
tinggi untuk autisme, attention deficit hyperactivity disorder dan conduct disorder.
Obsessive-compulsive disorder, Tourette syndrome, gangguan depresi, dan dapat terjadi
selama transisi dari remaja sampai dewasa.
Gangguan Kejang 5-10 %, yaitu umumnya kejang infantil pada bayi, sedangkan-kejang
tonik klonik umumnya diamati pada pasien yang lebih tua.
Gambar . Tanda & gejala sindrom Down
3.5.7 Faktor Risiko
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat dengan
bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun.
Walaubagaimanapun, wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat
bayi dengan sindrom Down.
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom Down adalah lebih
tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi dengan sindrom Down, atau jika adanya
anggota keluarga yang terdekat yang pernah mendapat kondisi yang sama. Walau bagaimanapun
kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal.
3.5.8 Diagnosis
Tidak ada kritera diagnosis khusus untuk sindroma Down. Namun, retardasi mental
merupakan gambaran yang menumpang tindih dengan sindroma Down. Sebagian besar orang
dengan sindroma ini mengalami retardasi mental sedang atau berat, hanya sebagian kecil yang
memiliki IQ diatas 50. Perkembangan mental tampak normal dari lahir hingga usia 6 bulan dan
nilai IQ secara bertahap menurun dari hampir normal pada usia 1 tahun hingga sekitar 30 pada
usia yang lebih tua. Penurunan intelegensi dapat nyata atau jelas: uji infantil mungkin tidak
mengungkapkan tingkat defek sepenuhnya, yang mungkin tertungkap ketika uji yang lebih
canggih digunakan pada masa kanak-kanak awal. 1 Derajat atau tingkat retardasi mental
diekspresikan dalam berbagai istilah. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) memberikan empat tipe retardasi mental, yang
mencerminkan tingkat gangguan intelektual antara lain: retardasi mental ringan, sedang, berat,
dan sangat berat. Adapun kriteria diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-IV antara
lain : 21
a. Fungsi intelektual yang secara bermakna di bawah rata-rata: IQ kira-kira 70 atau
kurang pada tes IQ yang dilakukan secara individual (untuk bayi, pertimbangan klinis adanya
fungsi intelektual yang jelas di bawah rata-rata)
b. Adanya defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif sekarang (yaitu,
efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang dituntut menurut usianya dalam
kelompok kulturalnya) pada sekurangnya dua bidang keterampilan berikut: komunikasi, merawat
diri sendiri, keterampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana masyarakat, mengarahkan
diri sendiri, keterampilan akademik fungsional, pekerjaan, liburan, kesehatan, dan keamanan.
c. Onset sebelum usia 18 tahun
Gambar. Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 dari lengan isochromosome arm 21q tipe
[46,XY,i(21)(q10)]
f. Interphase fluorescence in situ hybridization (FISH)
FISH dapat digunakan untuk diagnosis cepat. Hal ini dapat berhasil di kedua diagnosis
prenatal dan diagnosis pada periode neonatal. Mosaicism yang tersembunyi untuk trisomi 21
sebagian dapat menerangkan hubungan yang telah dijelaskan antara sejarah keluarga sindroma
Down dan risiko penyakit Alzheimer. Skrining untuk mosaicism dengan FISH diindikasikan
pada pasien tertentu dengan gangguan perkembangan ringan dan mereka dengan Alzheimer
onset dini.
g. Ekokardiografi
Tes ini harus dilakukan pada semua bayi dengan sindroma Down untuk mengidentifikasi
penyakit jantung bawaan, terlepas dari temuan pada pemeriksaan fisik.
h. Skeletal Radiografi
Kelainan kraniofasial termasuk brachycephalic microcephaly, hypoplastic facial bones dan
sinuses. Tes ini diperlukan untuk mengukur jarak atlantodens dan untuk menyingkirkan
atlantoaxial instabilitas pada umur 3 tahun. Radiografi juga digunakan sebelum anesthesia
diberikan jika terdapat tanda-tanda spinal cord compression. Penurunan sudut iliac dan
acetabular juga dapat ditemukan pada bayi baru lahir.22
3.5.9 Penatalaksanaan
Medikamentosa
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada
jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan
pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan
terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah
infeksi yang adekuat.
Non Medikamentosa
1. Fisio Terapi.
Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar untuk
mencapai manfaat yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap
perkembangan yang berkelanjutan.
Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk
menggerakkan tubuhnya seperti duduk dan berjalan dengan cara/gerakan yang
tepat (appropriate ways). Misalkan saja hypotonia pada anak dengan Down
Syndrome dapat menyebabkan pasien berjalan dengan cara yang salah yang
dapat mengganggu posturnya, hal ini disebut sebagai kompensasi.
Tanpa fisioterapi sebagian banyak anak dengan Down Syndrome menyesuaikan
gerakannya untuk mengkompensasi otot lemah yang dimilikinya, sehingga
selanjutnya akan timbul nyeri atau salah postur.
Dapat dilakukan seminggu sekali
2. Terapi Bicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami
keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata.
3. Terapi Okupasi. Melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman, kemampuan
sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya anak DS
tergantung pada orang lain atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa ada
komunikasi dan tidak memperdulikan orang lain. Terapi ini membantu anak
mengembangkan kekuatan dan koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat.
4. Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan
akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari sekolah
biasa.
5. Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah rangsangan /
sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang mengalami gangguan
integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll.
Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan
otak akan meningkat.
6. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy). Mengajarkan anak DS yang sudah berusia
lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan norma-
norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.
7. Terapi alternatif. Penaganan yang dilakukan oleh orangtua tidak hanya penanganan medis
tetapi juga dilakukan penanganan alternatif. hanya saja terapi jenis ini masih belum pasti
manfaatnya secara akurat karena belum banyak penelitian yang membuktikan manfaatnya,
meski tiap pihak mengklaim dapat menyembuhkan DS. Terapi alternatif tersebut di
antaranya adalah :
Terapi Akupuntur. Dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian tubuh tertentu
dengan jarum. Titik syaraf yang ditusuk disesuaikan dengan kondisi sang anak.
Terapi Musik. Anak dikenalkan nada, bunyi-bunyian, dll. Anak-anak sangat senang
dengan musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka dengan
begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan meningkat dan mengakibatkan
fungsi tubuhnya yang lain juga membaik
Terapi Lumba-Lumba. Terapi ini biasanya dipakai bagi anak Autis tapi hasil yang
sangat mengembirakan bagi mereka bisa dicoba untuk anak DS. Sel-sel saraf otak
yang awalnya tegang akan menjadi relaks ketika mendengar suara lumba-lumba.
Terapi Craniosacral. Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang ringan
pada syaraf pusat. Dengan terapi ini anak DS diperbaiki metabolisme tubuhnya
sehingga daya tahan tubuh lebih meningkat.
Terapi-terapi alternatif lainnya, ada yang berupa vitamin, supplemen maupun dengan
pemijatan pada bagian tubuh tertentu.
3.5.10 Prognosis
Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40 tahun. Selain
perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan fisik. Kemampuan
berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan kelainan jantung bawaan,
seperti defek septum ventrikel yang memperburuk prognosis.15 Sebesar 44% penderita sindroma
Down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko
terkena leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit Alzheimer
yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun.
Beberapa penderita sindroma Down mengalami hal-hal berikut:
a. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa.
b. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.
c. Pada usia 30 tahun menderita dementia (berupa hilang ingatan, penurunan kecerdasan
dan kepribadian).
d. Gangguan tiroid.
Bisa terjadi kematian dini pada penderita sindroma Down meskipun banyak juga
penderita yang berumur panjang. Kematian biasanya disebabkan kelainan jantung bawaan.
Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini yang mengakibatkan 80%
kematian. Anak-anak dengan sindroma Down memiliki risiko tinggi untuk menderita kelainan
jantung dan leukemia. Jika terdapat kedua penyakit tersebut maka angka harapan hidupnya
berkurang dan jika kedua penyakit tersebut tidak ditemukan maka anak bisa bertahan sampai
dewasa.
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang ke RS untuk melakukan tindakan anoplasty atas indikas atresia ani 1 tahun
SMRS. Pada umur 5 hari pasien dirujuk ke RSUD Raden Mattaher dengan keluhan pasien tidak
pernah BAB dan didapatkan perutnya kembung dan pasien tidak memiliki lubang anus. Riwayat
muntah (-), sesak (-), demam (-), BAK dalam batas normal. Selain itu pasien juga memiliki
bentuk wajah seperti mongoloid. Pasien dirujuk ke RSUD Raden Mattaher dengan diagnosis
atresia ani dan sindrom down. Dan dilakukan kolostomy pada umur 7 hari.
Pasien lahir di sebuah RS di Bulian dengan SC. pasien merupakan anak ketiga. saat
mengandung ibu pasie berusia 39 tahun. Usia kehamilan cukup bulan 38 minggu, air ketuban
jernih. Bayi dilahirkan dengan berat badan 2,5 dan tinggi badan 48 cm. Pada saat hamil ibu
pasien tidak pernah sakit dan riwayat ANC lengkap.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan moingoloid face, pada abdomen:ditemukan stoma.
Pasien diatas direncanakan menjalani operasi anoplasty dengan general anestesi dan caudal
anestesi.
Pada saat kunjungan pra anestesi (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang), didapatkan keadaan umum pasien baik, stoma bekas konolostomy yang dilakukan 1
tahun yang lalu dan pemeriksaan laboratorium masih dalam batas normal dan tidak memiliki
riwayat penyakit sistemik sehingga status fisik pada pasien ini adalah ASA II. Hal ini sesuai teori
bahwa ASA II adalah dimana Pasien dengan gangguan sistemik ringan sedang, Sebelum jadwal
operasi dilaksanakan, dipuasakan 6-8 jam sebelum operasi dan mempersiapkan SIO.
Sebagai obat premedikasi pada pasien ini yaitu: Dexametason 2,5 mg, asam traneksamat
120 mg. Tujuan pemberian deksametason diberikan untuk mengurangi histamin release,
sehingga dapat mengurangi alergi pada pasien. Asam traneksamat diberikan untuk meredakan
nyeri dan peradangan.
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi sekitar 15 menit sebelum dilakukan operasi.
Berdasarkan teori, tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi bertujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk meredakan
kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah
dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah,
menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.
Tindakan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general anestesi
menggunakan teknik anestesia secara induksi inhalasi dan rumatan inhalasi. Pada pasien ini juga
dilakukan caudal anestesi Induksi pada pasien ini dengan inhalasi sevopluron 3%, serta
pemasangan Single Lumen ETT no 3,5 dengan dosis pemeliharaan menggunakan anestesi
inhalasi: sevoflurans + N2O: O2. Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk
membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi.
Obat-obatan yang sering digunakan untuk anestesi inhalasi adalah N2O, halotan, enflurane,
isoflurane, desflurane dan sevoflurone. Sevoflurane merupakan halogenasi eter, dikemas dalam
bentuk cairan, tidak berwarna, tidak eksplosif, tidak berbau, tidak iritatif sehingga bai untuk
induksi inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya paling cepat dari semua obat-obat anestesia
inhalasi yang ada saat ini. Juga memiliki efek analgesia ringan dan relaksasi otot ringan. Dapat
digunakan untuk induksi pada bayi atau anak yang tidak kooperatif.
Pada pasien ini diberikan fentanil 10 mg, dimana berdasarkan teori golongan opioid
(morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi diberikan dalam dosis tinggi. Opioid
tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelainan jantung. Untuk anestsia opioid digunakan fentanyl dosis induksi 2-20 mcg/kgbb. Dosis
pada pasien ini sudah tepat. Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot atrakurium 40 mg IV
yang merupakan non depolaritation intermediete acting. Atracurim dipilih sebagai agen
penginduksi karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain metabolisme terjadi di dalam
darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut eliminasi Hofman. Reaksi
ini tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal. Selain itu tidak mempunyai efek kumulasi pada
pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis intubasi dan
relaksasi otot adalah 0,5-0,6 mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2 mg/kgBB (iv).
Pada pasien ini diberikan atrakurium 10 mg. Pada pasien ini diberikan maintenance O2 +
N2O + sevoflurans. Oksigen diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi
analgetiknya kuat. Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat
dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan
aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan oleh tubuh.
Kebutuhan maintenance cairan pada pasien ini, yaitu 26 cc/jam. selama operasi, terdiri dari
jumlah cairan pengganti puasa 156 cc, maintenance 26cc/jam, stress operasi 26 cc/jam. pada jam
I dibutuhkan 130 cc. Cairan yang telah masuk RL sebesar 300 cc.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang ini pemulihan dari
anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak berdekatan dengan ruang operasi
sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang memerlukan pembedahan ulang tidakakan
mengalami kesulitan. Pada saat di RR, dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu
meliputi saturasi oksigen, denyut nadi hingga kondisi stabil. Pasien didapatkan dalam keadaan
tenang karena efek caudal anestesi. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan
atau karena hipoksia (TD turun, nadi cepat, misalnya karena hipovolemik). Namun jika gelisah
karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya dengan menambah cairan elektrolit (RL),
koloid, darah. Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh. Pasien hendaknya jangan
dikirim keruangan sebelum sadar, tenang, reflek jalan nafas sudah aktif, nadi dalam batas
normal. Pada pasien ini, didapatkan skor steward 4 sehingga dapat keluar dari ruang RR.
Pasien pindah dan dibawa ke bangsal bedah pada jam 11.50 WIB
BAB V
KESIMPULAN
• Pasien An. F usia 1 tahun 6 bulan, dengan diagnosa post kolostomy atas indikasi atresia
ani+syndroma down akan dilakukan tindakan anoplasty dengan metode anestesi berupa
anestesi umum dan caudal anestesi.
• Pada pemeriksaan pre anestesi dilakukan anamnesis dan didapatkan bahwa pasien datang
dengan untuk melakukan tindakan anoplasty atas indikasi atresia ani 1 tahun SMRS. Pada
hari ke 5 kelahiran orang tua pasien mengeluhkan anaknya belum juga BAB dan
didapatkan perutnya kembung. Setelah dibawa ke RS ternyata pasien tidak memiliki
lubang anus dan dilakukan persiapan kolostomy. Dari alloanamnesa pasien sudah
dilakukan operasi kolostomy 1 tahun yang lalu dan pasien juga merupakan penderita
syndroma down.
• Pemeriksaan fisik : Compos mentis, GCS 15, N 80x/i, RR 24x/i, mongoloid face, gigi
insisi atas dan gigi insisi bawah, mallampati I, paru jantung ekstremitas dalam batas
normal, abdomen tampak adanya stoma dari operasi kolostomy 1 tahun yang lalu.
• Pemeriksaan penunjang : darah rutin semua dalam batas normal.
• Untuk obat premedikasi diberikan, dexamethasone, dan asam traneksamat, serta medikasi
diberikan fentanyl, atracurium dan sevoflurane sebagai inhalasi dan maintenance.
• Dilakukan caudal anestesi.
• Dilakukan persiapan alat STATICS, pasien dalam keadaan litotomi, dan menggunakan
ETT no 3,5
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Kelainan Bawaan. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed3. Jakarta
: EGC, 2004 : 667-670
2. Suryo. Abnormalitas akibat kelainan kromosom dalam Genetika manusia, Universitas
Gadjah Mada press, cetakan ke 6 tahun 2001. Hal 259-270
3. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology
6th Edition. McGraw-Hill Education: USA. 2018.
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clincal Anesthesiology, 4th ed. New
York : Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006,289-323.
5. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar anestesiologi . Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto Mangankusumo
2012 : Jakarta
6. Longnecker DE, Tinker JH, Morgan GE, et al, eds. Principles and Practice of
Anesthesiology. Vol I, 2nd Edition. St. Louis, MO: Mosby; 1998.
7. Bansal T, Hooda S. Anesthetic Considerations In Pediatric Patients . JIMSA 2013 ;26:2
8. Lerman J, Schmitt Bantel BI, Gregory GA, et al. Effect of age on the solubility of volatile
anesthetics in human tissues. Anesthesiology 1986; 65; 307-11
9. Lerman J, Gregory GA, Willis MM, et al. Age and solubility of volatile anesthetics in
blood. Anesthesiology 1984; 61: 139-43.
10. Macfarlane F. Pediatric Anatomy and Physiology and the Basis of Pediatric Anesthesia .
Mater Children’s Hospital. Diambil dari: https://www.aagbi.org. [Diakses tanggal 5
Maret 2021]
11. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar anestesiologi . Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto Mangankusumo
2012 : Jakarta
12. Esther Weathers. Neonatal And Pediatric Cuffed Endotracheal Tubes: Safety And Proper
Use. KC Educational Counseling Services.
13. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta : EGC 1994: 262
14. Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases
2007 , 2:33. http://www.ojrd.com/content/2/1/33 [diakses 5 Maret 2021]
15. Nelson, G Rosen, MD. Pediatric Imperforate Anus. 25 januari 2010 (diakses tanggal 5
Maret 2021). Available from: http://emedicine.medscape.com/article/929904- overview.
16. Hamami A.H, Pieter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. 2004. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Editor Peter J. Ed 2. Jakarta : EGC
17. Chen H. genetics of Down syndrome. eMedicine. Feb 4, 2011. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/943216-overview#a0104. Accessed on March
2021.
18. N Heyn, Sietske. 2011. Available at: Down
Syndrome.http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.htm. [Accessed on
March 2021].
19. Sietske N.H. Down syndrome 10 July 2011. Available at
http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.html. Accessed on March 2021.
20. Down syndrome. Genetics Home Reference. 30 Aug 2010. Available at
http://www.ghr.nlm.nih.gov/condition/down-syndrome. Accessed on March 2021.
21. Sadock, Benjamin J., Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Ed. 2. Jakarta: EGC, 2010:563
22. Care C. masalah sindrom Down. 2009. Available at http://www.childcare-
center.com/masalah/sindrom-down.html. Accessed on March 2021.