(1) bagi peserta didik mendukung prestasi akademik, meningkatkan kehadiran, kesadaran terhadap
kehidupan yang sehat, dan meningkatkan perilaku positif;
(2) bagi orang tua memperbaiki pandangan terhadap sekolah, meningkatkan kepuasan terhadap guru,
dan mempererat hubungan dengan anak; dan
(3) bagi sekolah memperbaiki iklim sekolah, meningkatkan kualitas sekolah, dan mengurangi masalah
kedisiplinan. Sekolah tidak dapat memberikan semua kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan
peserta didiknya, sehingga diperlukan keterlibatan bermakna dari orangtua/keluarga dan anggota
masyarakat. Anak-anak belajar dengan lebih baik jika lingkungan sekitarnya mendukung, yakni orang
tua, guru, dan anggota keluarga lainnya serta masyarakat sekitar. Artinya, sekolah, keluarga, dan
masyarakat merupakan “tri sentra pendidikan” yang sangat penting untuk dapat menjamin
pertumbuhan anak secara optimal. Untuk itu, perlu dibangun kemitraan antara sekolah, keluarga, dan
masyarakat.
Tujuan Khusus
Secara khusus, berikut ini tujuan program kemitraan satuan pendidikan
dengan keluarga dan masyarakat untuk:
• menguatkan jalinan kemitraan antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam mendukung
lingkungan belajar yang dapat mengembangkan potensi anak secara utuh;
• meningkatkan keterlibatan orang tua/wali dalam mendukung keberhasilan pendidikan anak di rumah
dan di sekolah; dan
• meningkatkan peran serta masyarakat dalam mendukung program pendidikan di sekolah dan di
masyarakat.
C. Model Kemitraan
Kemitraan dibangun di atas dasar kebutuhan anak sehingga orang tua/wali dan masyarakat diharapkan
dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan sekolah. Model kemitraan melibatkan
jejaring yang luas dan melibatkan peserta didik, orang tua, guru, tenaga kependidikan, masyarakat,
kalangan pengusaha, dan organisasi mitra di bidang pendidikan.Selain itu, pihak sekolah membangun
kapasitas warganya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang pendidikan
keluarga serta berbagi pengetahuan dengan orang tua terkait dengan pola pengasuhan anak. Keluarga
atau orang tua diharapkan membantu dan mendukung anak melalui bimbingan, arahan, motivasi, dan
tindakan mendidik lainnya yang selaras dengan program pendidikan yang dilaksanakan pihak sekolah,
misalnya ketika sekolah mengajarkan agar anak selalu menjaga kebersihan lingkungan sekolah, di rumah
juga diajarkan untuk menjaga kebersihan lingkungan rumah.
Masyarakat sesuai kapasitasnya dapat mendukung program pendidikan keluarga di sekolah melalui
berbagai cara misalnya salah satu tokoh masyarakat menjadi narasumber dalam kegiatan kelas orang
tua/wali, menjadi guru model, atau menjadi konsultan bagi pihak sekolah. Pemberdayaan,
pendayagunaan, dan kolaborasi tri sentra pendidikan tersebut diharapkan dapat membentuk ekosistem
sekolah yang aman, nyaman, dan menyenangkan, sehingga bisa menjamin tumbuh kembang fisik,
intelektual, sosial, emosional dan spiritual peserta didik.
D. Prinsip Kemitraan
Kemitraan antara sekolah dengan keluarga dan masyarakat dirancang agar terbentuk ekosistem
pendidikan yang dapat mendorong tumbuhnya karakter dan budaya prestasi semua warga sekolah.
Untuk mewujudkan harapan tersebut, maka kemitraan dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip-
prinsip berikut.
1. Kesamaan Hak, Kesejajaran, dan Saling Menghargai.
Kemitraan antara sekolah dengan keluarga dan masyarakat dapat terjalin secara dinamis dan harmonis
apabila semua unsur yang terlibat memiliki kesamaan hak, kesejajaran, dan saling menghargai sesuai
dengan peran dan fungsinya. Prinsip ini akan mendorong peran aktif dan sukarela dari semua pihak
untuk terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program kemitraan.
2. Semangat Gotong-Royong dan Kebersamaan.
Kemitraan dibangun atas dasar semangat gotong royong dan kebersamaan. Prinsip ini akan terjadi
apabila semua pihak merasakan ada kebutuhan dan kepentingan yang sama terkait dengan pendidikan
anak atau peserta didik. Prinsip ini akan menumbuhkankan keinginan
dari semua pihak untuk berkolaborasi dan bersinergi untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang
dapat memberi pengalaman belajar yang kaya kepada peserta didik.
3. Saling Melengkapi dan Memperkuat.
Pihak sekolah tidak mungkin mampu melayani semua kebutuhan belajar peserta didiknya dengan segala
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Untuk itu, perlu dijalin kemitraan dengan orang tua dan
masyarakat sehingga tercipta tri sentra pendidikan yang saling melengkapi dan memperkuat sesuai
perannya masing-masing.
4. Saling Asah, Saling Asih, dan Saling Asuh.
Prinsip saling asah, saling asih, dan saling asuh diharapkan dapat mewujudkan terjadinya proses berbagi
pengalaman, pengetahuan, keterampilan, dan nilai/norma antara satu dengan lainnya. Serta terjadi
proses saling membelajarkan antara pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat dilandasi oleh rasa cinta
dan kasih sayang dalam rangka menciptakan ekosistem pendidikan yang baik bagi peserta didik.
E. Bentuk Kemitraan
Bentuk-bentuk kemitraan sekolah, keluarga, dan masyarakat dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Penguatan Komunikasi Dua Arah
Komunikasi dua arah bertujuan untuk mendapat informasi dan masukan tentang perkembangan peserta
didik, baik dari keluarga kepada sekolah maupun sebaliknya. Komunikasi sekolah dengan keluarga dan
masyarakat dapat dilakukan dalam beragam bentuk dan media. Misalnya informasi yang dituliskan rutin
melalui buku penghubung, pertemuan rutin wali kelas dengan orang tua/wali, komunikasi dalam wadah
paguyuban orang tua per kelas, komunikasi melalui media komunikasi seperti melalui pesan singkat
(SMS), dan lain-lain yang sesuai.
2. Pendidikan bagi orang tua
Bentuk kemitraan ini ingin membantu orang tua/wali dalam membangun kesadaran akan pendidikan
anak, termasuk di antaranya adalah dengan mengembangkan lingkungan belajar di rumah yang kondusif
(aman, nyaman dan menyenangkan). Pendidikan orang tua ini bisa berupa kelas orang tua/wali yang
dilakukan rutin oleh sekolah atau masyarakat (komite sekolah, organisasi mitra dan komponen
masyarakat lain).
Penanaman karakter harus dilakukan sejak usia dini. Tidak cukup dilakukan di sekolah,
tidak juga cukup dilakukan di keluarga saja. Harus ada kerjasama antara keluarga, dalam hal ini
orangtua dengan guru di sekolah. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menilai
karakter seorang anak. Menilai prestasi anak mungkin mudah dengan memberikan nilai-nilai
tertentu sebagai simbul keberhasilan atau ketuntasan seorabng peserta didik. Baca juga : Pola
Asuh Demokratis Bagi Anak Milenial Lantas bagaimana menilai karakter seorang peserta didik?
Kirk Wheeler, kepala Sekolah St. Thomas School, Washington, Amerika Serikat, seperti dikutip
dari parentmap.com memberikan beberapa tip untuk bagaimana orangtua dan guru bekerjasama
dalam hal penanaman karakter di rumah dan di kelas. Orangtua perlu menciptakan waktu untuk
bertemu secara khusus dengan guru anak di sekolah. Keterlibatan orang tua dan kemitraan aktif
dengan guru membawa hasil terbaik. Awal tahun sekolah adalah waktu yang tepat untuk
bertemu dengan guru. Pertemuan itu menentukan bagaimana orangtua dapat mendukung
pertumbuhan karakter anak di rumah. Orangtua dapat mengajukan pertanyaan langsung tentang
bagaimana kurikulum atau misi sekolah dalam penanaman moral dan karakter. Bertanya kepada
guru tentang peluang kepemimpinan dan bahkan program yang ditawarkan sekolah juga akan
membantu orangtua memahami bagaimana sekolah mendukung atau memperkenalkan
keterampilan karakter, seperti menjadi teladan yang kuat dan menavigasi pengambilan keputusan
yang etis. Setelah orangtua memahami bagaimana guru mendukung pengembangan karakter di
sekolah, ciptakan peluang yang dapat ditindaklanjuti untuk mengembangkan kebiasaan di rumah.
Memperkenalkan sopan santun yang tepat, memimpin dengan memberi contoh, dan memberikan
tanggung jawab kepada anak di sekitar rumah akan membantu menanamkan nilai-nilai ini
dengan cara yang dapat dipahami anak-anak. Baik itu menerima surat setiap hari, membongkar
mesin pencuci piring, atau mengucapkan tolong dan terima kasih, mulai dari yang kecil dan
memperkenalkan nilai-nilai ini ke dalam kebiasaan yang dapat ditindaklanjuti dan dapat
ditindaklanjuti di rumah akan membantu meletakkan dasar bagi kompas moral yang kuat yang
dapat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Luangkan waktu untuk refleksi dan
percakapan keluarga. Dalam iklim politik dan sosial saat ini, anak-anak dihadapkan pada
tantangan yang sangat nyata, dan seringkali membingungkan. Mereka berada di puncak
memasuki dunia yang kompleks di mana mereka akan dipercaya untuk membuat keputusan yang
berdampak pada diri mereka sendiri, keluarga dan teman-teman mereka, serta komunitas lokal
dan global mereka. Meluangkan waktu untuk membahas apa yang terjadi dalam berita dan di
sekolah menghadirkan kesempatan bagi orang tua untuk membimbing, atau melatih, anak-anak
mereka dan membantu mereka memahami seperti apa toleransi, integritas, dan rasa hormat.
Kemampuan untuk merefleksikan, baik sebelum dan sesudah keputusan dibuat, adalah
keterampilan yang bermakna bagi siapa saja untuk mencapai dan meningkatkan saat kita
menjalani kehidupan kita. Meskipun refleksi bisa menjadi praktik yang membutuhkan waktu
sepenuhnya untuk merangkul anak-anak, penting bagi orang tua untuk memperkenalkan ide,
menjelaskan mengapa itu berharga, dan memecah refleksi menjadi potongan-potongan berukuran
gigitan untuk dipraktikkan. Ketika anak-anak merangkul kehidupan, baik di dalam maupun di
luar kelas, pengalaman tertanam di dalamnya dan menjadi pola untuk tindakan dan keputusan di
masa depan. Ketika anak-anak tahu bagaimana harus bertindak dengan karakter, mereka lebih
siap untuk memanfaatkan peluang ini dan menjadi kekuatan untuk kebaikan..
C. Tujuan
1) Untuk mengetahui pengertian dari anak putus sekolah.
2) Untuk mengetahui keadaan anak putus sekolah di Surakarta.
3) Untuk mengetahui resiko anak putus sekolah.
4) Untuk mengetahui upaya untuk mengatasi anak-anak yang putus sekolah di Surakarta.
E. Metode
Pengkajian teori tidak akan terlepas dari kajian pustaka atau studi pustaka. Karena teori secara
nyata dapat diperoleh melalui studi atau kajian kepustakaan. Nazir (2005 : 93) menyatakan
bahwa studi kepustakaan atau studi literatur, selain dari mencari sumber data sekunder yang akan
mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu yang
berhubungan dengan penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat kesimpulan dan
generalisasi yang pernah dibuat sehingga situasi yang diperlukan diperoleh.
Menurut Pohan (2012) kegiatan ini (penyusunan kajian pustaka) bertujuan mengumpulkan data
dan informasi ilmiah, berupa teori-teori, metode, atau pendekatan yang pernah berkembang dan
telah di dokumentasikan dalam bentuk buku, jurnal, naskah, catatan, rekaman sejarah, dokumen-
dokumen, dan lain-lain yang terdapat di perpustakaan. Kajian ini dilakukan dengan tujuan
menghindarkan terjadinya pengulangan, peniruan, plagiat, termasuk suaplagiat. Dasar
pertimbangan perlu disusunnya kajian pustaka dalam suatu rancangan penelitian menurut Ratna
(2012) didasari oleh kenyataan bahwa setiap objek kultural merupakan gejala multidimensi
sehingga dapat dianalisis lebih dari satu kali secara berbeda-beda, baik oleh orang yang sama
maupun berbeda. Berdasarkan pendapat ahli di atas kajian pustaka adalah bahan-bahan bacaan
yang berkaitan dengan objek penelitian yang pernah dibuat dan didokumentasikan yang
digunakan untuk menganalisis objek penelitian yang dikaji.
Sumber kajian pustaka ini diambil dari metode buletin. Nazir (2005: 107) menyatakan bahwa
buletin adalah tulisan ilmiah pendek yang diterbitkan secara berkala dan berisi catatan ilmiah
ataupun petunjuk ilmiah tentang satu kegiatan operasional. Jika buletin berisi satu artikel
mengenai hasil penelitian, sering disebut contributions. Pencarian data mengenai anak putus
sekolah yang ada di kota Surakarta, peneliti melakukannya dengan cara sekunder, yaitu
dilakukan dengan cara membaca berita dari koran harian yaitu Solopos dan jawapos yang
membahas mengenai anak putus sekolah di Surakarta.
Pembahasan
1) Keadaan anak putus sekolah di Surakarta
Berdasarkan Koran harian Solopos yang membahas mengenai Kasus anak Solo putus sekolah
menerangkan bahwa Sebanyak 3.696 anak putus sekolah. Mereka yang tidak melanjutkan wajib
belajar pendidikan sembilan tahun ini terjadi pada usia 7 hingga 18 tahun.
Anak-anak yang putus sekolah terdiri dari jenjang SD, SMP dan SMA. Kepala Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) menyatakan ada banyak faktor yang
menyebabkan anak-anak tersebut tak mendapat pendidikan secara penuh. Diantaranya kondisi
ekonomi keluarga, kondisi lingkungan yang tak mendukung, serta motivasi dari anak yang
kurang kuat. Dari ketiga sebab tersebut dapat dikatakan bahwa lingkungan sangat mempengaruhi
perkembangan anak, lingkungan yang baik akan menghasilkan anak yang baik, begitu juga
sebaliknya. Dalam hal ini, anak putus sekolah menjadi bagian dari dampak lingkungan yang
kurang baik atau kurang mendukung anak. Biasanya anak putus sekolah mempunyai lingkungan
yang hampir semua memiliki nasib yang sama yaitu putus sekolah. Contohnya lingkungan yang
disitu banyak orang perokok, berjudi, narkoba, dan lain-lain. Jadi anak putus sekolah dapat
dipengaruhi oleh lingkungannya.
Ekonomi juga berpengaruh terhadap anak putus sekolah. Ekonomi merupakan kebutuhan setiap
orang. Contohnya adalah uang. Seorang anak membutuhkan uang untuk membiayai sekolahnya,
karena banyak kebutuhan sekolah yang harus dipenuhi dengan uang. Misal untuk membayar
SPP, membeli seragam, membeli buku, bahkan untuk uang saku setiap harinya. Anak yang putus
sekolah biasanya kurang mampu dalam ekonomi.
Selain karena sebab lingkungan dan ekonomi, yang menjadi sebab anak putus sekolah adalah
karena rendahnya motivasi untuk melanjutkan sekolah. Biasanya anak dengan ekonomi keluarga
yang rendah akan lebih memilih untuk membantu orang tua dalam mencukupi kebutuhan
ekonomi keluarganya. Mereka akan beranggapan bahwa apabila melanjutkan sekolah hanya akan
tambah mempersulit keadaan ekonomi keluarganya. Motivasi dapat juga sangat berpengaruh
pada anak dalam melanjutkan sekolah.
2) Resiko Anak Putus Sekolah
Sekolah sebagai satuan pendidikan berperan maksimal dalam kehidupan masyarakat,maka
masyarakat dapat tercerdaskan dan terangkat harkat dan pendidikannya. Semakin tinnginya
sekolah seseorang juga mampu mengangkat status sosial di masyarakat. Anak yang bersekolah
sangat berperan penting dalam meningkatkan pembangunan di dalam suatu Negara, karena anak
merupakan generasi penerus bangsa. Namun bagaiman dengan anak yang tidak bersekolah,
tentunya hal tersebut menjadi suatu masalah yang sangat serius dan menjadi penghambat
pembangunan dalam suatu Negara. Meningkatnya angka penganguran menjadikan banyak
masyarakat miskin dan tentunya hal tersebut merupakan masalah yang diakibatkan karena
pengetahuan yang minim Dan tentunya mempunyai resiko tersendiri bagi anak. Berikut
merupakan akibat yang ditimbulkan bagi anak putus sekolah :
a) Akibat dalam putus sekolah mengakibatkan banyaknya jumlah pengangguran dan merupakan
tenaga kerja yang tidak terlatih. Dalam sebuah Negara seperti Indonesia hal tersebut merupakan
masalah yang sangat besar sehingga harus ditangani dengan serius. Adanya kekurang cocokan
kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja, dimana friksi profil lulusan merupakan akibat langsung
dari perencanaan pendidikan yang tidak berorientasi pada realitas yang terjadi dalam masyarakat.
Pendidikan dilaksanakan sebagai bagian parsial, terpisah dari konstelasi masyarakat yang terus
berubah.
b) Anak putus sekolah dapat pula mengganggu keamanan masyarakat. Tidak adanya kegiatan
yang menentu menjadikan anak dapat menimbulkan kelompok liar dimana kegiatan kelompok
tersebut bersifat negative seperti, mencuri, memakai narkoba, mabuk-mabukan, menipu,
menodong dan sebagainya.
c) Menjadi subjek dan objek kriminalitas seperti ; kenakalan remaja, tawuran, kebut-kebutan
dijalan raya, perkelahian. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya pembekalan skill bagi mereka
yang putus sekolah.