Disusun Oleh:
B. Dasar Teori
Sabun merupakan senyawa kimia yang dihasikan dari reaksi lemak atau minyak
dengan alkali. Sabun juga merupakan garam-garam monovalen dari asam karboksilat
dengan rumus umunya RCOOM, R adalah rantai lurus (alifatis) panjang dengan jumlah
atom C bervariasi, yaitu antara C12 – C18 dan M adalah kation dari kelompok alkali atau
ion amonium (Austin, 1984).
Sabun adalah garam logam dari asam lemak. Pada prinsipnya sabun dibuat
dengan cara mereaksikan asam lemak dan alkali sehingga terjadi reaksi penyabunan
(saponifikasi). Beberapa cara pembuatan sabun, yaitu :
1. Proses dingin
Pembuatan sabun dilakukan pada suhu biasa. Pada proses ini reaksi penyabunan
berjalan lambat dan gliserol tidak dapat dipisahkan.
2. Proses panas
Minyak terlebih dahulu dipanaskan hingga suhu 90oC baru ditambahkan NaOH.
Pada proses ini reaksi berjalan cepat tetapi pada proses ini gliserol tidak dapat
dipisahkan
3. Proses pendidihan
Pada proses ini NaOH dan minyak dipanaskan bersama-sama. Kemudian
ditambahkan larutan garam misal NaCI untuk memisahkan gliserol
Sabun tidak pernah secara aktual ditemukan, namun berasal dari pengembangan
campuran antara senyawa alkali dan lemak/minyak. Bahan pembuatan sabun terdiri dari
dua jenis, yaitu bahan baku dan bahan pendukung. Bahan baku dalam pembuatan sabun
adalah minyak atau lemak dan senyawa alkali (basa). Bahan pendukung dalam
pembuatan sabun digunakan untuk menambah kualitas produk sabun, baik dari nilai
guna maupun dari daya tarik. Bahan pendukung yang umum dipakai dalam proses
pembuatan sabun di antaranya natrium klorida, natrium karbonat, natrium fosfat,
parfum, dan pewarna.
Bahan Dasar Pembuatan Sabun
Secara teoritis semua minyak atau lemak dapat digunakan untuk membuat
sabun. Meskipun demikian, ada beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam memilih
bahan mentah untuk membuat sabun. Beberapa bahan yang dapat digunakan dalam
pembuatan sabun antara lain (Fessenden, 1997).
1. Minyak atau Lemak
Minyak atau lemak merupakan senyawa lipid yang memiliki struktur berupa
ester dari gliserol. Pada proses pembuatan sabun, jenis minyak atau lemak yang
digunakan adalah minyak nabati atau lemak hewan. Perbedaan antara minyak dan
lemak adalah wujud keduanya dalam keadaan ruang. Minyak akan berwujud cair pada
temperatur ruang (± 28°C), sedangkan lemak akan berwujud padat (Fessenden, 1997).
Jumlah minyak atau lemak yang digunakan dalam proses pembuatan sabun
harus dibatasi karena berbagai alasan, seperti : kelayakan ekonomi, spesifikasi produk
(sabun tidak mudah teroksidasi, mudah berbusa, dan mudah larut), dan lain-lain.
Beberapa jenis minyak atau lemak yang biasa dipakai dalam proses pembuatan sabun di
antaranya :
a. Tallow (Lemak Sapi)
Tallow adalah lemak sapi atau domba yang dihasilkan oleh industri pengolahan
daging sebagai hasil samping. Tallow dengan kualitas baik biasanya digunakan
dalam pembuatan sabun mandi dan tallow dengan kualitas rendah digunakan dalam
pembuatan sabun cuci. Oleat dan stearat adalah asam lemak yang paling banyak
terdapat dalam tallow. Jumlah FFA dari tallow berkisar antara 0,75-7,0 %. Titer
point pada tallow umumnya di atas 40°C. Tallow dengan titer point di bawah 40°C
dikenal dengan nama grease. Kandungan utama dari tallow yaitu : asam oleat 40-
45%, asam palmitat 24-37%, asam stearat 14-19%, asam miristat 2-8%, asam
linoleat 3-4%, dan asam laurat 0,2%.
b. Lard (Lemak Babi)
Lard merupakan minyak babi yang masih banyak mengandung asam lemak tak
jenuh seperti asam oleat (60-65%) dan asam lemak jenuh seperti asam stearat (35-
40%). Jika digunakan sebagai pengganti tallow, lard harus dihidrogenasi parsial
terlebih dahulu untuk mengurangi ketidakjenuhannya. Sabun yang dihasilkan dari
lard berwarna putih dan mudah berbusa.
c. Palm Oil (Minyak Sawit)
Minyak sawit berwarna jingga kemerahan karena adanya kandungan zat warna
karotenoid sehingga jika akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun
harus dipucatkan terlebih dahulu. Sabun yang terbuat dari 100% minyak sawit akan
bersifat keras dan sulit berbusa. Jika digunakan sebagai bahan baku pembuatan
sabun, maka minyak sawit harus dicampur dengan bahan lainnya. Kandungan asam
lemaknya yaitu asam palmitat 42-44%, asam oleat 35-40%, asam linoleat 10%,
asam linolenat 0,3%, asam arachidonat 0,3%, asam laurat 0,3%, dan asam miristat
0,5-1%.
d. Coconut Oil (Minyak Kelapa)
Minyak kelapa merupakan minyak nabati yang sering digunakan dalam industri
pembuatan sabun. Minyak kelapa berwarna kuning pucat dan diperoleh melalui
ekstraksi daging buah yang dikeringkan (kopra). Minyak kelapa memiliki
kandungan asam lemak jenuh yang tinggi, terutama asam laurat sekitar 44-52%,
sehingga minyak kelapa tahan terhadap oksidasi yang menimbulkan bau tengik.
e. Palm Kernel Oil (Minyak Inti Sawit)
Minyak inti sawit diperoleh dari biji buah sawit. Minyak inti sawit memiliki
kandungan asam lemak yang mirip dengan minyak kelapa sehingga dapat
digunakan sebagai pengganti minyak kelapa. Minyak inti sawit memiliki
kandungan asam lemak tak jenuh lebih tinggi dan asam lemak rantai pendek lebih
rendah daripada minyak kelapa. Kandungan asam lemak yang terdapat pada palm
kernel oil yaitu : asam laurat 40-52%, asam miristat 14-18%, asam oleat 11-19%,
asam palmitat 7-9%, asam kaprat 3-7%, asam kaprilat 3-5%, asam stearat 1-3%,
dan asam linoleat 2%.
f. Palm Oil Stearine (Minyak Sawit Stearin)
Minyak sawit stearin adalah minyak yang dihasilkan dari ekstraksi asam-asam
lemak dari minyak sawit dengan pelarut aseton dan heksana. Kandungan asam
lemak terbesar dalam minyak ini adalah asam palmitat 52-58% dan asam oleat 27-
32%. Selain itu juga terdapat asam linoleat 6,6-8,2%, asam stearat 4,8-5,3%, asam
miristat 1,2-1,3%, asam laurat 0,1- 0,4%
g. Marine Oil
Marine oil berasal dari mamalia laut (paus) dan ikan laut. Marine oil memiliki
kandungan asam lemak tak jenuh (asam oleat) yang cukup tinggi, sehingga harus
dihidrogenasi parsial terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai bahan baku.
h. Castor Oil (Minyak Jarak)
Minyak jarak berwarna bening dan dapat dimanfaatkan sebagai kosmetika, bahan
baku pembuatan biodisel dan sabun. Minyak jarak mempunyai massa jenis 0,957-
0,963 kg/liter, bilangan iodium 82-88 g I2/100 g, bilangan penyabunan 176-181
mg KOH/g. Minyak jarak mengandung komponen gliserida atau dikenal sebagai
senyawa ester. Komposisi asam lemak minyak jarak terdiri dari asam riccinoleat
sebanyak 86%, asam oleat 8,5%, asam linoleat 3,5%, asam stearat 0,5-2,0%, asam
dihidroksi stearat 1-2% (G. Brown, 1973).
i. Olive Oil ( Minyak Zaitun )
Minyak zaitun berasal dari ekstraksi buah zaitun. Minyak zaitun dengan kualitas
tinggi memiliki warna kekuningan. Sabun yang berasal dari minyak zaitun
memiliki sifat yang keras tapi lembut bagi kulit. Zaitun secara alami mengandung
beberapa senyawa yang tak tersabunkan seperti fenol, tokoferol, sterol, pigmen,
dan squalen. Minyak zaitun juga mengandung triasil gliserol yang sebagian besar
di antaranya berupa asam lemak tidak jenuh tunggal jenis oleat. Kandungan asam
oleat tersebut dapat mencapai 55-83% dari total asam lemak dalam minyak zaitun.
j. Campuran Minyak dan Lemak
Industri pembuat sabun umumnya membuat sabun yang berasal dari campuran
minyak dan lemak yang berbeda. Minyak kelapa sering dicampur
dengan tallow karena memiliki sifat yang saling melengkapi. Minyak kelapa
memiliki kandungan asam laurat dan miristat yang tinggi dan dapat membuat
sabun mudah larut dan berbusa. Kandungan stearat dan dan palmitat yang tinggi
dari tallow akan memperkeras struktur sabun.
2. Alkali
Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi adalah NaOH,
KOH, Na2CO3, NH4OH, dan ethanolamines (sinonim: 2-Aminoethanol,
monoethanolamine, dengan rumus kimia C2H7NO, dan formulasi kimia
NH2CH2CH2OH). NaOH, atau yang biasa dikenal dengan soda kaustik dalam industri
sabun, merupakan alkali yang paling banyak digunakan dalam pembuatan sabun keras.
KOH banyak digunakan dalam pembuatan sabun cair karena sifatnya yang mudah larut
dalam air. Na2CO3 (abu soda/natrium karbonat) merupakan alkali yang murah dan dapat
menyabunkan asam lemak, tetapi tidak dapat menyabunkan trigliserida dari minyak
atau lemak (Fessenden, 1992).
Pembuatan Sabun
Sabun dibuat dengan reaksi penyabunan. Reaksi penyabunan (saponifikasi)
dengan menggunakan alkali adalah adalah reaksi trigliserida dengan alkali (NaOH atau
KOH) yang menghasilkan sabun dan gliserin. Pemasakan minyak/lemak dalam larutan
alkali (NaOH atau KOH) pada suhu mendidih (95 –100oC). Reaksi penyabunan dapat
ditulis sebagai berikut:
C3H5(OOCR)3 + 3 NaOH C3H5(OH)3 + 3 RCOONa
Reaksi pembuatan sabun atau saponifikasi menghasilkan sabun sebagai produk
utama dan gliserin sebagai produk samping. Gliserin sebagai produk samping juga
memiliki nilai jual. Sabun merupakan garam yang terbentuk dari asam lemak dan
alkali. Sabun dengan berat molekul rendah akan lebih mudah larut dan memiliki
struktur sabun yang lebih keras. Sabun memiliki kelarutan yang tinggi dalam air, tetapi
sabun tidak larut menjadi partikel yang lebih kecil, melainkan larut dalam bentuk ion.
Reaksi penyabunan merupakan reaksi eksotermis sehingga harus diperhatikan
pada saat penambahan minyak dan alkali agar tidak terjadi panas yang berlebihan. Pada
proses penyabunan, penambahan larutan alkali (KOH atau NaOH) dilakukan sedikit
demi sedikit sambil diaduk dan dipanasi untuk menghasilkan sabun cair. Untuk
membuat proses yang lebih sempurna dan merata maka pengadukan harus lebih baik.
Sabun cair yang diperoleh kemudian diasamkan untuk melepaskan asam lemaknya
(Levenspiel, 1972).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi reaksi penyabunan
(saponifikasi), antara lain:
1. Konsentrasi larutan KOH/NaOH
Konsentrasi basa yang digunakan dihitung berdasarkan stokiometri reaksinya,
dimana penambahan basa harus sedikit berlebih dari minyak agar tersabunnya
sempurna. Jika basa yang digunakan terlalu pekat akan menyebabkan terpecahnya
emulsi pada larutan sehingga fasenya tidak homogen, jika basa yang digunakan
terlalu encer, maka reaksi akan membutuhkan waktu yang lebih lama.
2. Suhu (T)
Ditinjau dari segi thermodinamikanya, kenaikan suhu akan menurunkan hasil, hal
ini dapat dilihat dari persamaan
Van`t Ho : RTHdTKdΔ=ln ............. (1).
Reaksi penyabunan merupakan reaksi eksotermis (ΔH negatif), maka dengan
kenaikan suhu akan dapat memperkecil harga K (konstanta keseimbangan), tetapi
jika ditinjau dari segi kinetika, kenaikan suhu akan menaikan kecepatan reaksi. Hal
ini dapat dilihat dari persamaan Arhenius berikut ini (Smith 1987)
k = ARTEe− ......................(2)
Dalam hubungan ini, k adalah konstanta kecepatan reaksi, A adalah faktor
tumbukan, E adalah energi aktivasi (cal/grmol), T adalah suhu (ºK), dan R adalah
tetapan gas ideal (cal/grmol.K).
Berdasarkan persamaan tersebut maka dengan adanya kenaikan suhu berarti harga
k (konstanta kecepatan reaksi) bertambah besar. Jadi pada kisaran suhu tertentu,
kenaikan suhu akan mempercepat reaksi, yang artinya menaikan hasil dalam waktu
yang lebih cepat. Tetapi jika kenaikan suhu telah melebihi suhu optimumnya maka
akan menyebabkan pengurangan hasil karena harga konstanta keseimbangan reaksi
K akan turun yang berarti reaksi bergeser ke arah pereaksi atau dengan kata lain
hasilnya akan menurun. Turunnya harga konstanta keseimbangan reaksi oleh
naiknya suhu merupakan akibat dari reaksi penyabunan yang bersifat eksotermis
(Levenspiel, 1972).
3. Pengadukan
Pengadukan dilakukan untuk memperbesar probabilitas tumbukan molekul-
molekul reaktan yang bereaksi. Jika tumbukan antar molekul reaktan semakin
besar, maka kemungkinan terjadinya reaksi semakin besar pula. Hal ini sesuai
dengan persamaan Arhenius dimana konstanta kecepatan reaksi k akan semakin
besar dengan semakin sering terjadinya tumbukan yang disimbolkan dengan
konstanta A (Levenspiel, 1987).
4. Waktu
Semakin lama waktu reaksi menyebabkan semakin banyak pula minyak yang dapat
tersabunkan, berarti hasil yang didapat juga semakin tinggi, tetapi jika reaksi telah
mencapai kondisi setimbangnya, penambahan waktu tidak akan meningkatkan
jumlah minyak yang dihasilkan.
Sabun pada umumnya dikenal dalam dua wujud, sabun cair dan sabun padat.
Perbedaan utama dari kedua wujud sabun ini adalah alkali yang digunakan dalam reaksi
pembuatan sabun. Sabun padat menggunakan natrium hidroksida/soda kaustik (NaOH),
sedangkan sabun cair menggunakan kalium hidroksida (KOH) sebagai alkali. Selain
itu, jenis minyak yang digunakan juga mempengaruhi wujud sabun yang dihasilkan.
Minyak kelapa akan menghasilkan sabun yang lebih keras daripada minyak kedelai,
minyak kacang, dan minyak biji katun (Livenia, 2013).
Sifat-Sifat Sabun
a. Sabun bersifat basa. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suku tinggi
sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air
bersifat basa.
CH3(CH2)16COONa + H2O → CH3(CH2)16COOH + NaOH
b. Sabun larut dalam alkohol dan sedikit larut dalam pelarut lemak
Sabun + air → larutan koloid
c. Dalam air terlarut secara kolodial dan bersifat surfaktan yang terdiri dari molekul
yang suka air (hidrofil) dan tidak suka air (hidrofob).
d. Dalam air sadah (mengandung Ca dan Mg berlebih) mengendap sebagai sabun
kalsium/ natrium.
CH3(CH2)16COONa + CaSO4 →Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2
e. Dalam asam, sabun akan terhidrolisa menjadi asam lemak kembali.
RCOONa + HCl → RCOOH + NaCl
f. Larutan encer sabun terionkan membentuk anion dari alkil karboksilat, yang aktif
sebagai pencuci (ZAP).
g. Hidrolisa dalam air bersifat alkali dan terbentuk molekul RCOONa, RCOOH, dan
ion-ion RCOO-, OH-, dan Na+.
h. Panjang rantai alkil akan mempengaruhi sifat fisik sabun seperti derajat hidrolisa,
suhu titer, dan titik keruh. Untuk sabun jumlah C-nya 14, 15, dan 17.
Fungsi sabun
Fungsi dari sabun adalah kemampuannya mengemulsi kotoran berminyak
sehingga dapat dibuang dengan pembilasan, kemampuan ini disebabkan oleh dua sifat
sabun yaitu :
1. Sabun alkali tanah untuk detergen (zat pencuci) RCOONa, RCOOK, RCOONH4.
2. Sabun alkali logam mineral untuk zat tahan air yang tidak permananen
(RCOO)2Ca, (RCOO)2Mg, (RCOO)3Al (Fessenden, 1992).
3. Sabun yang digunakan sebagai pencuci pada umumnya dibuat dari basa natrium
yang direaksikan dengan asam lemak berantai panjang. Untuk tujuan tertentu sabun
dapat dibuat dari garam kalium, misalnya untuk sabun yang lebih lunak dan lebih
larut dalam air.
D. Prosedur Kerja
Pembuatan sabun
1) Diambil 34 mL minyak kelapa dan dimasukkan ke dalam gelas kimia
2) Ditambahkan 36 mL etanol ke dalam gelas kimia yang telah berisi minyak
kelapa
3) Ditambahkan 20 mL larutan NaOH 2N sambil diaduk.
4) Ditutup gelas kimia dengan kaca alroji
5) Dipanaskan campuran dalam gelas kimia sampai hilang bau dari alkohol
(etanol)
6) Didinginkan campuran dalam gelas kimia
7) Diamati apa yang terjadi dalam gelas kimia
8) Ditambahkan 120 mL larutan NaCl jenuh ke dalam gelas kimia
9) Diamati apa yang terjadi.
10) Diaduk campuran dengan baik, kemudian saring zat padat yang dihasilkan.
Sifat Sabun
1) Dimasukkan 1 mL kerosene dan 10 ml air dalam tabung reaksi. Dikocok
campuran tersebut dan dicatat hasil pengamatan.
2) Dimasukkan sedikit sabun ke dalam tabung reaksi yang berisi campuran
kerosene dan air. Dikocok dan diamati perubahan
3) Ditambahkan sedikit sabun dan dikocok jika tidak ada perubahan pada
campuran dan catat pengamatan. Dicatat pengaruh penambahan sabun pada
campuran tersebut.
4) Diambil tabung reaksi yang bersih, kemudian dilarutkan sedikit sabun dalam 5
ml air panas.
5) Ditambahkan 8-10 tetes larutan magnesium sulfat.
6) Dicatat pengaruh magnesium sulfat terhadap air sabun.
7) Diambil tabung reaksi yang bersih, kemudian dilarutkan sedikit sabun dalam 5
ml etanol.
8) Ditambahkan 2 tetes larutan phenolphthalein.
9) Dicatat hasil pengamatan.
Diagram Alir
Pembuatan Sabun
Minyak kelapa 34 mL
+ 36 mL Etanol
+ 20 mL NaOH 2N, ditutup dengan gelas arloji, dipanaskan sampai bau etanol hilan
Didinginkan
+ NaCl jenuh 120 mL
Diaduk dan disaring
1 mL Kerosene
+ 10 mL air
dikocok
Amati dan catat perubahan
+ sabun
dikocok
dikocok
Amati dan catat perubahan
sabun
+ 5 mL air panas
+ 8-10 tetes MgSO4 dikocok
Sabun
+ 5 mL etanol
+3 tetes PP
2 Minyak Kelapa + etanol + Terbentuk dua lapisan, kuning keruh diatas dan
larutan NaOH kuning di bawah
Perhitungan
Pembuatan larutan NaOH 2 N sebanyak 100 mL
Larutan NaOH 2 N dibuat dari larutan NaOH 10 M, sehingga dilakukan pengenceran
−¿¿
NaOH → Na +¿+OH ¿
Valensi basa = 1
N=M x b=10 x 1=10 N
Pengenceran larutan NaOH 10 N
N 1 V 1=N 2 V 2
10 N × V 1=2 N × 100 mL
2 N × 100 mL
V 1= =20 mL
10 N
Untuk membuat larutan NaOH 2 N sebanyak 100 mL diperlukan larutan NaOH 10 N
sebanyak 20 mL
F. Pembahasan
Sabun adalah pembersih yang dibuat dengan reaksi kimia antara basa Natrium
atau kalium dengan asam lemak dari minyak nabati atau hewani. Sabun termasuk
kebutuhan pokok manusia. Sabun adalah garam alkali dari asam-asam lemak telah
dikenal secara umum oleh masyarakat karena merupakan keperluan penting di dalam
rumah tangga sebagai alat pembersih dan pencuci. Kandungan zat-zat yang terdapat
pada sabun juga bervariasi sesuai dengan sifat dan jenis sabun. Zat-zat tersebut dapat
menimbulkan efek, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan.
Sabun dihasilkan oleh proses saponifikasi, yaitu hidrolisis lemak menjadi asam
lemak dan glisrol dalam kondisi basa. Sabun juga merupakan garam-garam monovalen
dari asam karboksilat dengan rumus umunya RCOOM, R adalah rantai lurus (alifatis)
panjang dengan jumlah atom C bervariasi, yaitu antara C12 – C18 dan M adalah kation
dari kelompok alkali atau ion amonium (Austin, 1984). Pembuat kondisi basa yang
biasanya digunakan adalah NaOH (natrium/sodium hidroksida) dan KOH
(kalium/potasium hidroksida). Asam lemak yang berikatan dengan natrium atau kalium
inilah yang kemudian dinamakan sabun. Berikut reaksi penyabunan atau saposifikasi:
G. Kesimpulan
Berdasakan praktikum yang dilakukan dan pembahasan di atas ini dapat
disimpulkan bahwa:
1. Prinsip dari penyabunan (saponifikasi) adalah reaksi antara asam lemak dengan
suatu alkali
2. Reaksi yang terjadi pada proses penyabunan adalah asam laurat yang terkandung
dalam minyak kelapa memiliki gugus ester, gugus tersebut terhidrolisis
membentuk garam karboksilat dan gliserol
3. Sabun memiliki sifat sebagai pengemulsi, tidak berbusa pada air sadah, dapat larut
dalam alcohol dan bersifat basa.
4. Bahan yang digunakan dalam pembuata sabun pada praktikum ini adalah minyak
kelapa, larutan NaOH, etanol, dan larutan NaCl jenuh.
H. Daftar Pustaka
Austin,
Calyden dkk. 2012. Organic Chemistry. Oxford University
Fesenden, R.J. dan Fessenden J.S. 1997. Kimia Organik Jilid II. Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga
Livenia. 2013.
Retnowati, R.A.S.. 2015. Pengembangan Prototype Alat Ion Exchanger Berbasis
Karbon Aktif untuk Pengolahan Air Sanitasi DIII Teknik Kimia. Universitas
Diponegoro.
I. Lampiran
Foto Praktikum