Anda di halaman 1dari 5

Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan untuk produksi bioetanol terbagi menjadi :

1. Gula (glucose)

Gula (glukosa) merupakan bentuk bahan baku yang paling sederhana dengan rumus
kimia C6H12O6 , berbeda dengan pengertian gula sehari-hari yang mengandung sukrosa,
laktosa dan fruktosa.

Gula dapat diperoleh dari tebu (sugarcane) melalui hasil sampingan produksinya
berupa tetes (molases). Sebagai bahan baku bioetanol, glukosa dapat langsung
digunakan dalam proses peragian.

2. Pati (starch)

Pati banyak ditemukan pada jagung,  singkong, sagu


dan beragam makanan pokok manusia yang
mengandung karbohidrat. Rumus kimia dari pati
adalah (C6H10O5)n dengan jumlah n antara 40 – 3.000.
Sebagai bahan baku bioetanol, pati membutuhkan
proses untuk memecah ikatan kimianya menjadi
glukosa. Proses yang umum dilakukan adalah
dengan penambahan enzim amylase untuk
menghidrolisis menjadi glukosa. Penggunaan bahan
pati sebagai bahan baku bioetanol secara umum
akan bersaing dengan cadangan pangan bagi
manusia, yang pada akhirnya akan meningkatkan
harga bahan pangan.

3. Selulosa (cellulose)

Selulosa merupakan polisakarida dengan rumus kimia (C 6H10O5)n  ,dengan jumlah n


ribuan hingga lebih dari puluhan ribu, yang membentuk dinding tanaman dan kayu.
Selulosa merupakan senyawa organik yang paling banyak jumlahnya di muka bumi.
Sekitar 1/3 komposisi tanaman adalah selulosa yang tidak tercerna oleh manusia.
Karena tidak bersaing dengan bahan pangan, maka selulosa diperkirakan akan
mendominasi bahan baku bioetanol di masa mendatang. Sebagai bahan baku
bioetanol, selulosa membutuhkan pengolahan awal yang lebih intensif dibandingkan
dengan bahan baku lain.

Untuk melakukan proses hydrolysis (merubah struktur selulosa menjadi glukosa) dapat


ditempuh menggunakan penambahan asam yang dilarutkan pada suhu dan tekanan
tinggi. Proses tersebut membutuhkan energi yang cukup besar sehingga net energy
gain yang dihasilkan menurun. Selain itu kondisi yang asam akan menggangu proses
fermentasi lanjutan, sehingga dibutuhkan proses perantara untuk menetralkan
keasaman.

Proses Produksi

Bahan baku harus melalui proses pre-treatment dengan tujuan untuk meningkatkan


kandungan glukosa bahan semaksimal mungkin sebelum memasuki tahap fermentasi.
Kandungan glukosa ditingkatkan dengan merubah bentuk gula kompleks (polisakarida)
menjadi gula sederhana. Proses pre-treatment sangat bergantung dari tipe bahan baku
yang digunakan.

Proses produksi bioetanol dilakukan melalui proses fermentasi yang menghasilkan


alkohol dengan kadar rendah. Proses fermentasi merubah bahan baku glukosa menjadi
alkohol dan residu karbon dioksida. Pada proses tersebut dibutuhkan bantuan
ragi saccharomyces cerevisae dengan persamaan kimia sebagai berikut:

C6H12O6 → 2 CH3CH2OH + 2 CO2

Proses fermentasi menghasilkan alkohol dengan kadar maksimal hanya 7 – 9% ( 15%


jika menggunakan strain ragi yang paling tahan alkohol). Untuk meningkatkan kadar
etanol hingga mencapai Fuel Grade Ethanol (FGE) 99.5% dibutuhkan proses
penyulingan (distillation) dan dehidrasi (dehydration). Proses penyulingan akan
menghasilkan etanol dengan kadar maksimum 95.6% dan tidak bisa ditingkatkan lagi
karena sifat azeotrope larutan etanol-air.

sumber: Panji Tri Atmojo, 2010


Untuk meningkatkan konsentrasi etanol hingga mencapai FGE dilakukan proses
dehidrasi dengan beberapa metode antara lain:

1. Azeotropic Distillation

Penambahan benzene pada larutan alkohol-air untuk menghilangkan sifat


larutan azeotrope. Dibutuhkan proses tambahan untuk memisahkan benzene dari
larutan alkohol.

2. Molecular Sieve

Penambahan zat adsorbent untuk memerangkap air dari larutan etanol-air.


Zat adsorbent yang jamak digunakan antara lain zeolite. Dalam proses yang lebih
sederhana dapat digunakan kapur gamping (CaO) bubuk yang dilarutkan dalam larutan
etanol-air.

3. Membrane Pervaporation

Proses pervaporation menggunakan membran porous atau non-porous untuk memfilter


fase gas dari larutan azeotrope alkohol-air. Proses ini diklaim mengonsumsi energi
relatif rendah karena memanfaatkan tekanan dan suhu rendah.

Produsen

Hingga tahun 2009, Amerika Serikat merupakan negara produsen biofuel terbesar di
dunia, yang diikuti oleh Brazil di posisi kedua. Produksi bioetanol di Amerika Serikat
didominasi oleh bahan baku jagung dan kedelai, sedangkan proses produksi bioetanol
di Brazil didominasi oleh bahan baku tebu (sugarcane), mengingat Brazil merupakan
produsen tebu nomor 1 di dunia.

Dari data produksi bioetanol 2007 – 2009, Brazil menunjukkan efisiensi tertinggi dalam
pemanfaatan lahan untuk bahan baku bioetanol. Yang berarti dibutuhkan lebih sedikit
lahan untuk menghasilkan sejumlah volume bioetanol.

Penggunaan

Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor bervariasi


antara blend hingga bioetanol murni. Bioetanol sering disebut dengan notasi “Ex”,
dimana x adalah persentase kandungan bioetanol dalam bahan bakar. Beberapa
contoh penggunaan notasi “Ex” antara lain:

1. E100, bioetanol 100% atau tanpa campuran


2. E85, campuran 85% bioetanol dan bensin 15%
3. E5, campuran 5% bioetanol dan bensin 95%
Pertamina telah menjual biopremium (E5) yang mengandung bioetanol 5% dan
premium 95%. Bahan bakar E5 dapat digunakan pada kendaraan yang menggunakan
bensin (gasoline) standar, tanpa modifikasi apapun. Namun, bahan bakar E15 ke atas
atau persentase bioetanol lebih dari 15% harus memanfaatkan kendaraan dengan
tipe Flexible-Fuel Vehicle. Brazil sebagai salah satu negara yang menggunakan
bioetanol terbesar di dunia, telah mengadopsi bahan bakar E100, dimana kandungan
bioetanol 100%.

Bioetanol dengan kandungan 100% memiliki nilai oktan (octane) RON 116 – 129, yang
relatif lebih tinggi dibandingkan bahan bakar premium dengan nilai oktan RON 88.
Karena nilai oktan yang tinggi, bioetanol dapat digunakan sebagai pendongkrak oktan
(octane booster) untuk bahan bakar beroktan rendah. Nilai oktan yang lebih tinggi pada
bioetanol juga berpengaruh positif terhadap efisiensi dan daya mesin.

Penggunaan bahan bakar E10 dan E20 memiliki performa (power dan force) yang lebih
baik untuk mesin, seperti tercantum dalam tabel pengujian berikut:

Sumber: Lab BTMP-BPPT, 2006

Sayangnya untuk menghasilkan power dan force yang lebih tinggi, dibutuhkan bahan


bakar E20 dalam jumlah lebih banyak per jam relatif terhadap Pertamax. Untuk
nilai fuel consumption / power bahan bakar pertamax memberikan hasil yang terbaik
diikuti oleh E20 dan E10. Secara umum, pencampuran premium dengan bioetanol
memberikan dampak yang baik bagi performa mesin.

Emisi

Penggunaan bioetanol juga mampu mengurangi emisi gas beracun (CO dan HC) yang
umum ditemukan pada pembakaran bensin. Hal tersebut disebabkan oleh air-fuel
ratio yang lebih baik pada bioetanol sehingga menyebabkan pembakaran bahan bakar
yang lebih sempurna. Namun sayangnya justru emisi NOx lebih tinggi dibandingkan
pembakaran bahan bakar premium.

 sumber: Reksowardojo, 2006

Selain emisi gas beracun, emisi karbon dioksida (greenhouse gas) juga menjadi
perhatian utama dalam pemilihan bahan bakar yang ramah lingkungan. Pembakaran
bioetanol E100 akan menghasilkan sekitar 1.5 kg gas rumah kaca, sedangkan
pembakaran 100% oktana (octane) menghasilkan sekitar 2.1 kg gas rumah kaca.
Menurut data EPA (Environmental Protection Agency) pembakaran 1 Liter bensin akan
menghasilkan sekitar 2.3 kg gas karbon dioksida.

Anda mungkin juga menyukai