Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM DIPLOMATIK DAN

KONSULER
SERTA PENGATURANNYA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

 Sejarah Hukum Diplomatik dan Konsuler

Sejarah telah membuktikan bahwa, jauh sebelum bagsa-bangsa di dunia mengenal dan menjalankan
praktek hubungan diplomatik, di zaman india kuno telah dikenal ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah
yang mengatur hubungan antara raja ataupun kerajaan, dimana hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah
mengenal pula apa yang dinamakan duta. Pengiriman duta Negara Asia serta Arab sejak sebelum Negara-
negara barat mengetahuinya. Di benua eropa baru ada pada abad ke 16 masalah pengiriman dan penempatan
duta-duta itu diatur menurut hukum kebiasaan.

Pada zaman Mesir, India dan cina kuno sudah titemukan beberapa buktitentang adanya utusan
diplomatik dan konsuler yang memiliki berbagai fungsi dan keistimewaan. Pada tahun 1179 SM, sudah ada
perjanjian perdamaian yang dibuat oleh Ramses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kerajaan Kheta (Asia
Kecil) dengan menggunakan bahasa Akkadi/Babylon. Raja Iskandar Agung (Alexander The Great) juga
pernah menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Maurya di India. Di saat yangbersamaan, beberapa
duta besar dari Yunani ditempatkan atau dipercayakan pada Raja Patali Putra. Kemudian ada pula pertukaran
utusan antara Maharaja Ashoka dengan pemerintah di negara-negara seperti Syria, Macedonia, Cyprus
dan juga Mesir

Kaidah-kaidah Hukum Diplomatik dibentuk oleh negara-negara seperti Romawi, Perancis, Yunani dan
Turki. Selain itu, kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia juga telah sejak lama melakukan hubungan
diplomatik dan
perdagangan dengan Cina, India, dan kawasan-kawasan timur lainnya. Awal hukum diplomatik dimulai
dengan hukum kebiasaan yang berlaku sebelumnya.

Contohnya adalah sebuah kebiasaan yang telah menjadi ketentuan mengenai keistimewaan dan
kekebalan para duta besar. Hal ini dikarenakan Duta Besar adalah dianggap orang suci, yang perlu
diperlakukan secara istimewa. Duta Besar mempunyai kekebalan hukum. Kekebalan hukum ini hendaknya
tidak disalahartikan dan disalahgunakan sehingga bebas melakukan berbagai kejahatan demi kepentingan diri
sendiri.

Pada masa keemasan kerajaan Romawi di Eropa dan Afrika Utara, untuk keperluan tentaranya,
kerajaan Romawi telah membangun jalan-jalan untuk mengamankan daerah-daerah kekuasaannya. Jalan-jalan
tersebut sangat penting, tidak hanya untuk keperluan militer, tetapi diperlukan oleh kaum pedagang pada masa
itu. Pemerintah juga mengizinkan para pedagang tersebut untuk melintasi jalan-jalan yang mereka buat, asal
menunjukan surat yang dibuat untuk itu (surat izin). Dan surat yang dikeluarkan oleh kerajaan Romawi
tersebut disebut Diploma.
Demikianlah para pedagang melintasi jalan” melalui pos-pos tentara dengan membawa diploma.
Diploma yang berbentuk logam tipis bundar diberi cap dan disebutkan keahlian/kepandaian serta bakat orang
yang membawanya, dan orang yang membawa diploma itu disebut Diplomat. Kemudian, diploma yang
berbentuk logam tipis itu disempurnakan menjadi passport (to pass to port = izin untuk melintasi portal).
Untuk mencegah kepalsuan keterangan yang tercantum dalam diploma (passport) itu, diadakanlah kantor-
kantor perwakilan yang disebut resdiplomatica untuk memeriksa apakah paspor itu benar-benar asli / palsu.
Kantor perwakilan itu lebih populer dikenal dengan sebutan kedutaan (embassy).

Sejarah tentang hukum diplomatik kemudian bergulir dengan adanya perjanjian Whespalia, yang
merupakan awal perkembangan hukum diplomatik, sebab saat itu pula perwakilan-perwakilan diplomatik
kemudian bersifat permanen, utusan-utusan diplomatik kemudian mulai diangkat, dikirim dan dipercayakan
pada negara lain.
 Perkembangan Hukum Diplomatik dan Konsuler Beserta Aturan yang
Dikodifikasikan

I. Kongres Wina 1815

Konggres Wina adalah sebuah pertemuan antara para wakil dari kekuatan-kekuatan besar di Eropa.
Pertemuan ini dipimpin oleh negarawan Austria, Klemens Wenzel von Metternich dan diadakan di Wina,
Austria dari 1 September 1814 hingga 9 Juni 1815. Tujuannya adalah untuk menentukan kembali peta politik
di Eropa setelah kekalahan Perancis hingga berakhirnya kekuasaan Napoleon pada musim semi sebelumnya.
Perbicangan dalam konggres ini tetap berlanjut meskipun Napoleon Bonaparte, mantan Kaisar Perancis
kembali dari pengasingan dan melanjutkan kekuasaan di Perancis pada Maret 1815. Pasal Terakhir Kongres
ditandatangani sembilan hari sebelum kekalahan terakhir Napoleon pada Pertempuran Waterloo. Secara
teknis, "Konggres Wina" sebanrnya tidak pernah dilaksanakan, karena Kongres tersebut tidak pernah
bersidang dalam sesi pleno, namun hanya berbincang dalam sesi-sesi informal yang dihadiri perwakilan dari
para kekuatan besar Eropa. Beberapa pemimpin dan wakil Negara Eropa yang hadir dalam Konggres Wina:

1. Pangeran Matternich (Austria)


2. Viscount Castlereagh (Britania Raya)
3. Tsar Alexander I (Rusia)
4. Charles Maurice de Talleyrand-Perigord (Perancis)

Kongres Wina berlangsung di Wina, Austria dari 1 September 1814 hingga 9 Juni 1815. Dalam
konggres wina banyak permasalahan yang dibahas, akan tetapi masalah Saksen Polandia adalah masalah yang
hangat dibicarakan. Seperti diketahui bahwa Polandia adalah daerah yang sangat strategis bagi Rusia. Tsar
Alexander I lalu membujuk Prusia untuk mendukung agar wilayah Polandia diakui sebagai wilayah Rusia,
akan tetapi Matternich dan Castlereagh tidak setuju dengan hal tersebut.

Pada saat genting tersebut, Perancis yang diwakili oleh Talleyrand menawarkan kesediaannya untuk
mendukung Austria-Inggris. Tampilnya Perancis sebagai sekutu Austria-Inggris mengurungkan niat Rusia
untuk memiliki Polandia. Kemudian sebagai imbalan atas bantuan yang diberikannya pada saat-saat genting
tersebut, Perancis diterima untuk duduk bersama sebagai salah satu Negara besar, dan berhak ikut serta
membuat dan merundingkan keputusan-keputusan penting yang dicapai dalam konggres wina.
Konggres yang berakhir pada bulan Juni 1815, menghasilkan keputusan-keputusan penting yang ditandangani
oleh Negara - Negara besar peserta Konggres.

Hasil konggres wina adalah sebagai berikut :


1. Russia diperluas wilayahnya dengan 2/5 wilayah kerajaan Saksen, ditambah lagi dengan daerah –
daerah Poses dan Pommerania, sedang dibagian barat wilayahnya bertambah dengan wilayah –
wilayah Rheindland dan Westhphalia.
2. Daerah - daerah milik Austria di Belanda Selatan digabungkan dengan kerajaan Belanda dengan
maksud agar kerajaan Belanda cukup kuat untuk kemungkinan menahan ekspansi Perancis ke utara.
3. Austria tetap memiki wilayah Gacilia, dan memperoleh daerah Lombardia serta Venesia di Italia
Utara. Kota Cracow (Polandia) dijadikan kota merdeka atau free city.
4. Suatu kondeferasi – konfederasi negara Jerman dibentuk dengan Austria sebagai ketuanya.
Konfederasi ini beranggotakan 39 negara.
5. Wilayah – wilayah kerajaan gereja diserahkan kembali kepada Paus; sedangkan wilayah Toscana,
Odena dan Parmaditempatkan dibawah pemerintahan keluarga – keluarga Habsburg (Austria).
Kerajaan Sardinia diperluas wilayahnya.
6. Inggris berhasil memperoleh jaminan dari negara – negara besar, bahwa mereka akan menghapuskan
perdagangan budak; dan jaminan pembukaan sungai – sungai tertentu untuk kepentingan lalu lintas
perdagangan. Di samping itu diperolehnya keuntungan – keuntungan teritorial di daerah seberang
lautan terutama di Asia.

Demikian keputusan-keputusan penting diambil dalam Kongres Wina suatu rangkaian keputusan
penting, yang pernah diambil antara Konfrensi perdamaiaan. Di antara para ahli sejarah sering terdengar
pendapat, bahwa keputusan Kongres Wina itu berbau Reaksioner, hanya menguntungkan pihak-pihak yang
berkuasa dan menutup ide dan pahampaham Revolusioner namun perlu diinggat bahwa para diplomatik yang
berkumpul di Wina pada saat itu berada dalam keadaan yang sulit disebabkan pleh situasi dan kondisi yang
kurang menguntungkan.

Konggres Wina merupakan suatu perjanjian damai yang muncul sebagai dampak bergulirnya Revolusi
Perancis. Walaupun Konggres Wina dianggap bukan sebagai suatu Konggres dalam arti sebenarnya akan
tetapi dari Konggres ini dihasilkan beberapa keputusan penting untuk membangun kembali Eropa seperti
sebelumnya terjadinya perang koalisi. Para diplomat dan para Raja yang berkumpul di Wina tahun 1814 dan
1815, kebanyakan mereka berfikir bahwa mereka telah berhasil menghentikan gerakan revolusioner dan
ambisi imperialis Napoleon yang melanda Eropa.

II. Kongres Aix-la-Chapelle


Kongres Wina tersebut pada dasarnya merupakan tonggak sejarah diplomasi sistematis, termasuk
klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik dan mengatur prosedur dan mekanisme hubungan
diplomatik. Dengan demikian, sampai dengan 1815 ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hubungan
diplomatik sebagian besar bersumber dari hokum kebiasaan.

Pada Kongres Wina 1815, raja-raja yang ikut dalam konvensi itu sepakat untuk mengodifikasian
hukum kebiasaan tersebut menjadi hokum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai, dan mereka
hanya menghasilkan satu naskah, yaitu hierarki diplomat (klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik)
yang kemudian dilengkapi pula dengan Protocol Aix-La-Chapelle tanggal 21 November 1818. Sebenarnya
Kongres Wina ini dilihat dari segi substansi, praktis tidak menambah apa-apa terhadap praktik yang sudah ada
sebelumnya, yang jelas hanya sebagai upaya positif mengoidifikasi praktik-praktik negara dalam bidang
hubungan diplomatik itu menjadi hukum tertulis, sehingga lebih terjamin kepastiannya.

III. Dari Liga Bangsa-Bangsa, Konvensi Den Haag sampai Konvensi Havana
Pada tahun 1927 dalam kerangka Liga bangsa-bangsa (LBB) diupayakanlah kodifikasi yang
sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai komisi ahli ditolak oleh dewan LBB tersebut. Alasannya yaitu
belum waktunya untuk merumuskan kesepakatan global mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan
diplomatik yang cukup kompleks. karena itu, memutuskan untuk tidak memasukkan masalah tersebut dalam
agenda konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada tahun 1930 untuk kodifikasi hukum internasional.

Disamping itu, di Havana pada tahun 1928 konferensi ke-6 organisasi negara- negara amerika (OAS)
menerima konvensi dengan nama Convention of Diplomatik Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh 12
negara Amerika, kecuali Amerika Serikat yang mendatangani saja dan tidak meratifikasi karena menolak
ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suaka politik. Mengingat sifatnya yang regional
implementasi konvensi ini tidak menyeluruh. Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk
oleh Majelis Umum PBB atas amanat pasal 13 Piagam PBB yang berbunyi sebagai berikut:

“Majelis umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulan-usulan (recoomendations) dengan
tujuan: Memajukan kerjasama internasional di bidang politik, dan mendorong peningkatan dan
pengembangan hukum internasional secara progresif dan pengodifikasiannya; Memajukan kerjasama
internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan bidang-bidang kesehatan, dan
membantu meningkatkan pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua umat
manusia tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun agama.”

Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topic pembahasan yang didalamnya
juga termasuk topik hubungan diplomatik, terutama mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
Namun, pembahasan mengenai hubungan diplomatik tidak mendapatkan prioritas. Selanjutnya, karena
seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai akibat perang dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan
tentang hubungan diplomatik, maka atas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum PBB pada tahun 1953
menerima resolusi yang meminta Komisi Hukum Internasional memberikan prioritas untuk melakukan
kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.

Pada tahun 1954, Komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik, dan
sebelum berakhir 1959 Majelis Umum melalui resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan
suatu Konferensi Internasional guna membahas maslah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan
keistimewaan diplomatik. (Ibid.) Konferensi tersebut dinamakan “The United Nations Conference on
Diplomatik Intercourse and Immunities”, mengadakan sidangnya di Wina pada 2 Maret 1961–14 April 1961.
Kota Wina dipilih dengan pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatic
diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. Konferensi ini dihadiri oleh delegasi dari 81 negara, 75
diantaranya adalah anggota-anggota PBB dan enam lagi adalah delegasi dari badan-badan yang berhubungan
dengan Mahkamah Internasional.

IV. Sejak Berdirinya PBB

a) Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik


Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk
pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai
pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan
yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan secara rinci.

Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari
hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan
mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing
terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak
tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987.

Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah
pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam
protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa.Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961
menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan
surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes); pasal 20-28 mengenai kekebalan dan
keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak.

Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para diplomat dan
keistimewaan bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan pasal
48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya
Konvensi itu.

b) Konvensi Wina 1963 Mengenai Hubungan Konsuler


Dalam praktiknya, Konvensi Wina 1963 tentang hubungan konsuler mulai berlaku secara efektif pada
Maret 1967. Sebelum suatu Negara meratifikasi konvensi ini, maka Negara itu harus menyiapkan seperangkat
ketentuan-ketentuan yang disebut Consular Manual atau sekarang dikenal dengan Panduan Umum Tata Cara
Hubungan Luar Negeri.
Konvensi wina 1961 diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu negara abstain.
Pada 18 april 1961, wakil dari 75 negara menandatangani konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53
pasal, dan 2 protokol. Tga tahun kemudian, pada 24 april 1964, konvensi wina 1961 tentang hubungan
diplomatik ini dinyatakan mulai berlaku.
Kini, hampir seluruh negara di dunia telah meratifikasi konvensi tersebut, termasuk indonesia yang
meratifikasinya dengan UU no. 1 tahun 1982. pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi
wina tersebut digaris bawahi oleh mahkamah internasional dalam kasus united states diplomatic and
copnsullar staff in teheran melalui ordinasinya tertanggal 15 mei 1979, dan pendapat hukumnya (advisory
opinion) tertanggal 24 mei 1980. konferensi wina ini sungguh merupakan kode diplomatik yang sebenarnya.
Walaupun hukum kebiasaan dalam konvensi wina ini tetap berlaku seperti tersebut dalam alinea terakhir
mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai tambahan:

“…that the rules of costumary international law should


continue to govern question not expressly regulated by the provisions of
the present convention.”
Sehubunagan dengan itu perlu diingat bahwa untuk pertama kalinya ada usaha guna mengadaka
kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul, telah dilakukan dalam konferensi negaranegara
amerika tahun 1928 di havana-cuba, dimana dalam tahun itu juga telah disetujui convention of consular
agents (konvensi mengenai pejabat konsuler).
Sesudah itu dirasakan belum ada usaha yang cukup serius untuk mengadakan kodifikasi lebih lanjut
tentang peraturan-peraturan tentang hubungan konsuler, kecuali setelah majelis umum PBB meminta kepada
komisi hokum international untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan konsuler.

c) Konvensi New York 1969 Mengenai Misi Khusus


Konvensi wina 1963 mengenai hubungan konsuler terdiri dari 79 pasal dan digolongkan dalam lima bab
yaitu:

1) Bab pertama (pasal 2-pasal 27) antara lain mengenai cara-cara dalam mengadakan hubungan konsuler,
termasuk tugas-tugas konsul;
2) Bab kedua (pasal 28-pasal 57) mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan bukan saja
kepada perwakilan konsulernya, tetapi juga kepada para pejabat konsuler karier serta para anggota
perwakilan konsuler lainnya;
3) Bab ketiga (pasal 58-pasal 67) khusus menyangkut ketentuanketentuan mengenai lembaga konsul
kehormatan, termasuk kantornya. Ketentuan-ketentuan dalam bab ketiga ini juga memuat tentang
kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada konsul kehormatan dan kantornya;
4) Bab keempat (pasal 68-73) berisikan ketentuan-ketentuan umum, antara lain mengenai pelaksanaan
tugas-tugas konsuler olah perwakilan diplomatik, hubungan konvensi ini dengan persetujuan
internasional lainnya, dan lain sebagainya;
5) Bab kelima mengenai ketentuan-ketentuan final, seperti penandatanganan, ratifikasi, aksesi, mulai
berlakunya, dan sebagainya.

Konvensi wina tersebut dilengkapi dengan konvensi mengenai misi-misi khusus (convention on
special missions) yang diterima oleh majelis umum PBB pada 8 desember 1969. konvensi mengenai misi-misi
khusus yang juga disebut konvensi new york 1969 ini, telah pula diratifikasi indonesia dengan UU no. 2 tahun
1982 pada 25 januari 1982.

d) Konvensi New York Mengenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Terhadap Orang-Orang yang
Menurut Hukum Internasional Dilindungi Termasuk Para Diplomat
Dalam sidangnya yang ke-24 pada 1971, sehubungan dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan
terhadap misi diplomatic, termasuk juga para diplomatnya, dan perlunya untuk menghukum para pelanggar,
majelis umum PBB telah meminta komisi hokum internasional mempersiapkan draft artikel mengenai
pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang
yang dilindungi oleh hokum internasional. Konvensi new york mengenai pencegahan dan penghukuman
kejahatan terhadap orang-orang yang menurut hukum internasional dilindungi, termasuk para diplomat 1973
ini akhirnya telah disetujui oleh majelis umum PBB di new york pada 14 desember 1973, dengan resolusi
3166 (XXVII). Konvensi ini kemudian diberlaukan pada 2 febuari 1977, dan sekarang telah tecatat sekitar 79
negara yang sudah menjadi anggotanya.

e) Konvensi Wina 1975 Mengenai Keterwakilan Negara Dalam Hubungannya Dengan Organisasi
Internasional yang Bersifat Universal.
Konvensi ini dikenal sebagai konvensi wina 1975 yang juga merupakan sumbangan yang penting bagi
pengembangan kodifikasi hukum diplomatik. Urgensi perumusan konvensi sebenarnya disorong
oleh adanya situasi dimana pertumbuhan organisasi internasional begitu cepat, baik jumlahnya maupun
lingkup masalah hukumnya yang timbul akibat hubungan negara dengan organisasi internasional.
Perumusan konvensi tersebut tidak seperti dalam konvensi wina 1961 karena melibatkan tiga aspek
subjek hukum, yaitu bukan hanya organisasi internasional dan negara-negara anggotanya, melainkan juga
negara tuan rumah tempat markas besar organisasi itu berada. Situasi yang sangat komplek seperti ini benar-
benar memerlukan hak dan kewajiban dari para pihak yang sangat adil dan memadai.
Sejak dimajukannya masalah ini kepada komisi hukum internasional untuk pertama kalinya pada
1958, barulah pembahasan secara substantif dapat dilakukan pada 1968, di mana reporter khusus
yang ditugasi untuk menangani masalah ini dapat melaporkan tentang draft articles yang lengkap dengan
komentar mengenai status hukum bagi wakil-wakil negara dalam organisasi internasional.
Komisi hukum internasional kemudian menyetujui draft articles sebanya 21 pasal dengan komentar
mengenai ruang lingkup dan hal-hal lainnya yang menyangkut draft articles secara keseluruhan, termasuk
perwakilan tetap pada organisasi internasional secara umum.
Selama 1969 dan 1970, setelah melanjutkan pembahasan mengenai topik tersebut, komisi hukum
internasional telah menyetujui draft articles lagi tentang kekebalan, keistimewaan, dan fasilitas diplomatik
bagi perwakilan diplomatik bagi perwakilan tetap, termasuk kedudukan, kekebalan, keistimewaan dan
kemudahan bagi perwakilan peninjau tetap, serta delegasi ke berbagai badan dan konferensi.
Dalam perkembangannya terdapat permasalahan baru dalam persidangan 1971 di mana telah dimajukan
tiga masalah, yaitu:
1) Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti tidak adanya pengakuan,
putusnya hubungan diplomatik, dan konsuler, atau adanya pertikaian bersenjata di antara
anggotaanggota organisasi internasional sendiri;
2) Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa; dan
3) Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konferensi.

Akhirnya pada 1972 majelis umum PBB memutuskan untuk menyelenggarakan konferensi
internasional sesegera mungkin. Kemudian pada 1973, majelis umum memberikan waktu agar konferensi
semacam itu diberlakukan pada permulaan tahun 1975 di wina.
Konferensi PBB mengenai keterwakilan negara-negara dalam hubungannya dengan organisasi
internasional yang bersifat universal telah diselenggarakan di wina, austria sejak 4 febuari-14 maret 1975
yang dihadiri oleh 81 negara, 2 negara peninjau, 7 badan khusus, 3 organisasi antarpemerintah, dan 7 wakil
dari organisasi pembebasan nasional yang dilakukan oleh organisasi persatuan afrika atau liga arab.
Konferensi kemudian menyetujui konvensi tersebut yang terdiri dari 92 pasal dan terbuka untuk
penandatanganan sejak 14 maret 1975 s.d. 30 april 1975 di kementrian luar negeri austria, kemudian
diperpanjang s.d. 30 maret 1976 di PBB new york.

Anda mungkin juga menyukai