Anda di halaman 1dari 2

Antara Wudhu Lahir dan Wudhu Batin

Pernah terjadi dialog antara Syekh Hatim dan Syekh Ashim bin Yusuf terkait masalah wudhu. Syekh
Hatim menyuruh Syekh Ashim untuk melakukan dua wudhu, yaitu wudhu lahir dan wudhu batin.
Perintah tersebut serasa asing di telinga Syekh Ashim. Kemudian beilau pun bertanya, “Wahai Syekh
Hatim, bagaimana saya melakukan dua wudhu yang engkau perintahkan ini?” Syekh Hatim
menjawab:  

ِ ‫ب ال ُّد ْنيَا َوثَنَا ِء ْالخ َْل‬


‫ق‬ ِ ‫ك ْال ِغلِّ َو ْال َغشِّ َوال َّشكِّ َو ْال ِكب ِْر َوتَرْ ِك ُح‬ ِ َ‫اَ َّما ُوضُوْ ُء الظَّا ِه ِر فَتُ َعلِّ ُم َواَ َّما ُوضُوْ ُء ْالب‬
ُ ْ‫اط ِن فَالتَّوْ بَةُ َوالنَّدَا َمةُ َوتَر‬
  ‫َوالرِّ يَا َس ِة‬

“Wudhu lahir adalah wudhu sebagimana telah engkau ketahui. Sedangkan wudhu batin adalah
taubat, menyesali dosa-dosa, menghilangkan dendam atau dengki, meninggalkan penipuan,
keraguan, sombong, dan meninggalkan cinta dunia, pujian dari makhluk dan pemimpin” (Syekh
Muhammad Nawawi Bin Umar, Syu’abul Iman, Indonesia: Al-Haramain, hal. 9).  

Syekh Hatim memahami arti wudhu dari sudut pandang fiqih dan tasawuf, syariat dan hakikat. Bagi
kaum sufi wudhu tidak cukup sebatas membasuh anggota lahir saja melainkan keduanya, yakni lahir
dan batin. Bahkan wudhu dalam arti membersihkan batin lebih sulit dari sekadar membersihkan
anggota lahir.   Untuk mempertajam perbedaan kedua jenis wudhu ini dapat dilihat dalam sebuah
kisah sarjana agama dengan guru sufi berikut:

Kisah ini berawal dari ketidakpercayaan sarjana agama terhadap kesufian salah satu guru sufi
termasyhur. Ia ingin menguji apakah guru sufi tersebut benar-benar seorang sufi sejati. Ketika
mereka sudah saling bertemu, sarjana agama menanyakan kepadanya masalah hukum berwudhu.
Sang sufi menjawab, “Maksudnya hukum wudhu untuk kalian atau untukku? Sarjana agama pun
terkejut mendengar jawaban guru sufi. Selama ini mereka hanya tahu bahwa hukum wudhu
hanyalah satu.   Guru sufi menjelaskan, “Hukum untuk kalian adalah wudhu yang dilakukan setiap
kali masuk kamar mandi, sedangkan hukum untukku adalah kewajiban berwudhu setiap kali
melupakan Allah” (Robert Frager, Psikologi Sufi, Jakarta: Zaman, hal. 238).  

Kedua jenis wudhu ini bukanlah sesuatu yang berseberangan. Akan tetapi menunjukkan adanya
peningkatan kualitas ibadah seorang hamba. Bayangkan saja jika selama menempuh jenjang
pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi hanya mengkaji materi yang sama dan
dengan muatan yang sama pula. Lantas di manakah letak kemajuan ilmu pengetahuan, yang pada
akhirnya berdampak pula pada kualitas amaliah?   Semakin tinggi tingkat pengetahuan agama
seseorang, maka semakin sempurna pula amaliah ibadahnya. Karena sebanyak apa pun ibadah yang
dilakukan, jika tidak didasari dengan ilmunya maka tertolak. Orang berilmu lebih utama daripada
ahli ibadah, sebagaimana teranganya rembulan di antara bintang-bintang. Namun yang paling baik
adalah orang alim yang juga ahli ibadah, atau alim dan amil.

Robert Frager memberikan contoh latihan sederhana sebagai bentuk aplikasi wudhu secara lahir
dan batin:   Ketika membersihkan tangan, berharap kepada Allah memiliki tangan yang suci dan
bersih untuk melayani makhluk-Nya. Tangan yang terulur hanya untuk mengambil haknya.   Ketika
berkumur, berharap bahwa mulut yang dibersihkan itu hanya digunakan untuk berdoa,
mengagungkan Allah subhanahu wata’ala, membaca ayat-ayat-Nya dan berkata yang baik.   Ketika
menghirup air ke dalam hidung, berharap akan mendapatkan nikmat mencium bau surga.   Ketika
membasuh wajah, berharap bahwa hanya kepada Allah wajah itu dihadapkan untuk menyembah
dan memohon pertolongan.   Ketika membasuh lengan, berharap bahwa tangan yang dibasuh itu
hanya akan digerakkan untuk mencari ridha Allah.   Ketika mengusap sebagian kepala, berharap
akan ketetapan iman dan dihilangkan segala kesombongan.   Ketika mengusap telinga, berharap
bahwa amanah berupa alat pendengaran itu hanya digunakan untuk mendengarkan suara
kebenaran.   Dan ketika menyuci kaki, berharap kedua kaki yang dibasuh itu hanya akan melangkah
kepada tempat-tempat yang di ridhai Allah subhanahu wata’ala.

Anda mungkin juga menyukai